close

Contoh Makalah Filsafat Hukum Tentang Hukum Selaku Sosial Kendali Dalam Penduduk

 
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Semua masyarakat dan semua kelompok sosial memiliki prosedur untuk menjamin ketaatan (conformity) terhadap norma-norma, yang disebut mekanisme kendali sosial.  Kontrol social berarti proses-proses dan tata cara-sistem yang digunakan oleh anggota-anggota suatu masyarakat atau sebuah golongan untuk memelihara keteraturan/ kedamaian sosial (social order) dengan penegakan sikap yang sudah disepakati. 
Hukum merupakan salah satu fasilitas pergeseran sosial yang ada di dalam masyarakat. Terdapat sebuah kekerabatan interaksi antara sektor aturan dan pergeseran sosial yang terjadi di penduduk . Dapat dibilang hokum sebagai peralatan penduduk untuk menciptakan ketertiban keteraturan di dalam masyarakat maka antara hokum dengan manusia tidak mampu dipisahkan maka hukum yakni bab hidup dari manusia dan hukum harus dicintai oleh setiap orang dan ditaati oleh setiap orang.
Hukum yakni tata cara yang paling penting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan penduduk dalam aneka macam cara dan bertindak, selaku perantara utama dalam kekerabatan sosial antar penduduk terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, aturan pidana yang berupayakan cara negara mampu menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menawarkan kerangka kerja bagi penciptaan aturan, pinjaman hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan mereka yang hendak dipilih. Administratif aturan dipakai untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara aturan internasional mengontrol problem antara berdaulat negara dalam aktivitas mulai dari perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer. filsuf Aristotle menyatakan bahwa “Sebuah supremasi aturan akan jauh lebih baik dibandingkan dengan ketimbang peraturan tirani yang merajalela.
Dalam kehidupan penduduk pra-modern, tatkala kehidupan itu masih berada pada skalanya dan formatnya yang setempat, homogen dan eksklusif – yang oleh  karena itu lebih cocok untuk diistilahi ‘komunitas’ (community) ketimbang ‘masyarakat’ (society) atau ‘penduduk negara’ (political state) — apa yang disebut ‘hukum’ ini umumnya tidak tertulis dan eksis selaku asas-asas biasa di dalam ingatan warga komunitas, dirawat secara turun temurun selaku tradisi yang dipercaya berasal dari nenek-moyang.  Inilah yang disebut tradisi atau sopan santun kehidupan sebuah komunitas, yang di dalam kajian sosiologi aturan sering juga disebut juga ‘hukum rakyat’, dan yang didalam ilmu hukum disebut ‘aturan kebiasaan’ atau ‘hukum budbahasa’.
Dalam pertumbuhan kehidupan yang lebih canggih, tatkala kehidupan bernegara bangsa menggantikan kehidupan-kehidupan lokal yang berukuran kecil dan pribadi, apa yang disebut hukum itu mulai menampakkan wujudnya yang tertulis.  Inilah yang disebut hukum undang-undang, yang ditulis dalam rumusan-rumusan yang lebih eksak, dibuat atau dibuat melalui prosedur tertentu, dan terorganisir atau terlembagakan sebagai fasilitas kendali yang konkret-konkret formal sifatnya, yang oleh alasannya adalah itu akan ditunjang oleh otoritas kekuasaan negara yang berkewenangan untuk mendayagunakan hukuman.
Manusia dan aturan yaitu dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam ilmu aturan, terdapat adagium yang populer yang berbunyi: “ Ubi societas ibi jus ” (di mana ada masyarakat di situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam setiap pembentukan sebuah  bangunan struktur sosial yang bernama penduduk , maka selalu akan diharapkan materi yang bersifat sebagai “semen perekat” atas banyak sekali unsur pembentuk dari penduduk itu, dan yang berfungsi sebagai “semen perekat” tersebut adalah hukum.
Manusia, disamping bersifat selaku makhluk individu, juga berhakekat dasar selaku makhluk sosial, mengenang manusia tidak dilahirkan dalam keadaaan yang serupa (baik fisik,  psikologis, hingga lingkungan geografis, sosiologis, maupun ekonomis) sehingga dari  perbedaan itulah timbul inter dependensi yang mendorong manusia untuk berhubungan dengan sesamanya. Berdasar dari usaha pewujudan hakekat sosialnya di atas, insan membentuk korelasi sosio-ekonomis di antara sesamanya, ialah relasi di antara manusia atas landasan motif eksistensial yaitu usaha pemenuhan keperluan hidupnya (baik fisik maupun psikis).
Untuk menyanggupi keperluan hidup, tiap individu manusia maupun kelompok umumnya berhadapan dengan individu atau kalangan yang lain, dalam konteks ini insan akan menghadapi dua relasi yaitu kerja sama atau kompetisi dan untuk mengendalikan relasi ini, insan maupun penduduk   akan memerlukan hukum aturan dalam mengontrol dan mengontrol tiap individu dan masyarakat agar tidak terjadi benturan. Hal ini menyebabkan aturan mesti berfungsi selaku alat control sosial.
Hukum sebagai ‘Kontrol Sosial’ mempunyai arti aturan dapat mengatur masyarakat dan melakukan pengendalian terhadap kejahatan dan potensinya di dalamnya, baik dalam perspektif para pelaku sosial secara perorangan maupun secara kooperatif bareng dalam kesatuan sosial, baik dari dalam maupun dari luar diri masyarakat. Sebagaimana dua proses dasar kendali sosial yaitu internalisasi dan juga dengan tekanan dari luar penduduk . kontrol sosial merujuk pada cara para anggota suatu penduduk memelihara hukum dan memajukan kemungkinan untuk memperkirakan suatu tindakan.

B.    Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang di atas, maka penulis menciptakan rumusan duduk perkara sebagai focus dalam kajian pembahasan yaitu; Hukum Sebagai Fungsi Kontrol Sosial dalam Masyarakat

C.    Tujuan

Tujuan dalam penulisan ini yakni untuk mengetahui bagaimana bentuk aturan sebagai fungsi sosial control dalam Masyarakat 
 
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kontrol Sosial

Pengendalian sosial (sosial control) merupakan sebuah tata cara yang mendidik, mengajak bahkan memaksa warga penduduk untuk berperilaku sesuai dengan nilai dan norma – norma sosial biar kehidupan penduduk mampu berlangsung dengan tertib dan teratur. Berger dalam Kamanto (1993 : 65) mengartikan pengendalian sosial sebagai cara yang digunakan penduduk untuk menertibkan anggota yang membangkang. Semantara, Roucek dalam Bagong (2010) mendefenisikan pengendalian sosial tidak hanya pada tindakan terhadap mereka yang membangkang, namun proses – proses yang dapat kita klasifikasikan selaku proses sosialisasi. Berbeda dengan, Veeger dalam Kolip (2010 : 252) pengendalian sosial yaitu titik kelanjutan dari proses sosialisasi dan berhubungan dengan cara dan metode yang digunakan untuk mendorong seseorang agar berperilaku selaras dengan kehendak kalangan atau penduduk yang kalau dilaksanakan secara efektif, perilaku individu akan konsisten dengan tipe sikap yang diharapkan.
Proses – proses pengandalian sosial yang dilakuakan secara terus-menerus maka sacara tidak langsung akan menyebabkan perilaku individu sesuai dengan nilai – nilai dan pola – contoh atau hukum – hukum yang telah disepakati secara bersama oleh seluruh lapisan penduduk tertentu. Menurut Reucek (1987 : 2) proses pengendalian sosial mampu diklasifikasikan dalam tiga bentuk, yaitu:
1.    Pengendalian sosial antara individu dan individu yang lain, dimana individu yang satu memantau individu yang yang lain. Misalnya, seorang ayah yang mendidik anak-anaknya untuk menaati peraturan dalam keluarga. Hal ini ialah contoh dari pengendalian sosial yang intinya pengendalian sungguh lazim dalam kehidupan sehari – hari, meskipun kadang kala tidak disadari.
2.    Pengendalian sosial antara individu dan kalangan terjadi saat individu memantau suatu golongan.
3.    Pengendalian sosial antara kelompok dan kalangan lainnya, terjadi ketika suatu golongan memantau kalangan yang lain.
Pengendalian sosial dapat terjadi dalam kehidupan sehari – hari agar keharmonisan dan stabilitas dalam kehidupan sehari – hari tercapai. Dengan pengendalian sosial ini, diharapkan penyimpangan yang terjadi di penduduk dapat berkurang khususnya penyimpangan yang dijalankan oleh para anak – anak akil balig cukup akal. Oleh karena itu pengendalian sosial harus menerima perhatian yang mendalam dan mendasar.
Pengendalian Sosial (social control) lazimnya diartikan selaku sebuah proses, baik yang dijadwalkan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak, atau bahkan memaksa warga masyarakat supaya mematuhi metode kaidah dan nilai yang berlaku. Perwujudan social control tersebut mungkin berbentukpemidanaan, kompensasi, terapi, maupun konsiliasi. Standar atau persyaratan dari pemidanaan yaitu sebuah larangan, yang apabila dilanggar akan mengakibatkan penderitaan (sanksi negatif) bagi pelanggarnya. Dalam hal ini, jika kepentingan-kepentingan dari sebuah golongan dilanggar, inisiatif datang dari seluruh warga golongan (yang mungkin dikuasakan kepada pihak tertentu).
Pada kompensasi, kriteria atau patokannya ialah kewajiban, di mana inisiatif untuk memprosesnya ada pada pihak yang dirugikan. Pihak yang dirugikan akan meminta ganti rugi, oleh sebab pihak musuh melaksanakan wanprestasi. Di sini ada pihak yang kalah dan ada pihak yang menang, seperti halnya dengan pemidanaan yang sifatnya akusator.
Berbeda dengan kedua hal di atas, terapi maupun konsiliasi sifatnya “remedial”, artinya mengembalikan situasi (interaksi sosial) pada keadaan yang semula. Oleh alasannya itu, yang pokok bukanlah siapa yang kalah dan siapa yang menang, melainkan yang penting ialah menetralisir keadaan yang tidak menggembirakan bagi para pihak. Hal itu tampak bahwa konsiliasi, standarnya yakni normalitas, keharmonisan, dan kesepadanan yang umum disebut keharmonisan.
Setiap kalangan masyarakat senantiasa mempunyai duduk perkara sebagai balasan adanya perbedaan antara yang ideal dan yang aktual, antara yang standar dan yang simpel, antara yang sebaiknya atau yang diperlukan untuk dilakukan dan apa yang dalam kenyataan dikerjakan. Standar dan nilai-nilai kelompok dalam penduduk mempunyai variasi sebagai aspek yang menentukan tingkah laris individu. Penyimpangan nilai-nilai yang ideal dalam penduduk mampu disebut sebagai teladan: pencurian, perzinaan, ketidakmampuan mengeluarkan uang utang, melukai orang lain, pembunuhan, mencemarkan nama baik orang yang bagus-baik, dan semacamnya. Semua acuan itu ialah bentuk-bentuk tingkah laku menyimpang yang menimbulkan dilema di penduduk , baik penduduk yang sederhana maupun masyarakat terbaru. Di dalam situasi yang demikian itu, kalangan itu berhadapan dengan persoalan untuk menjamin ketertiban jikalau golongan itu mengharapkan menjaga eksistensinya
B.    Fungsi Hukum Sebagai Kontrol Sosial
Kontrol sosial yaitu upaya untuk merealisasikan keadaan sebanding di dalam masyarakat, yang bertujuan terciptanya sebuah keadaan yang harmonis antara stabilitas dan perubahan di dalam penduduk . Maksudnya yaitu hukum selaku alat memelihara ketertiban dan pencapaian keadilan. Pengendalian sosial mencakup semua kekuatan-kekuatan yang menciptakan serta memelihara ikatan sosial. Hukum merupakan fasilitas pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari tindakan dan ancaman yang membahayakan dirinya dan harta bendanya. 
Hukum selaku ‘Kontrol Sosial’ memiliki arti aturan dapat mengatur penduduk dan melakukan pengendalian kepada kejahatan dan potensinya di dalamnya, baik dalam perspektif para pelaku sosial secara perorangan maupun secara kooperatif bareng dalam kesatuan sosial, baik dari dalam maupun dari luar diri penduduk . Sebagaimana dua proses dasar kendali sosial adalah internalisasi dan juga dengan tekanan dari luar masyarakat
Hukum sebagai alat kendali sosial dalam kehidupan penduduk dituntut untuk dapat menangani atau mencurigai segala bentuk perubahan sosial atau kebudayaan. Meskipun telah diatur dalam peraturan perundang-usul masih banyak masyarakat yang tidak mengenali dan mengetahui bagaimana prosedur-mekanisme yang berlaku dalam hukum itu sendiri. Tidak adanya pemahaman tersebut seringkali mengakibatkan terjadi implementasi aturan yang tidak benar. Hal tersebut mampu membuat hukum yang berlaku di penduduk menjadi tidak optimal, bahkan tidak jarang perangkat aturan tersebut justru disalahgunakan untuk tujuan-tujuan dan maksud-maksud tertentu oleh oknum-oknum tertentu demi mendapatkan keuntungan pribadi atau kalangan.
Fungsi hukum selaku social control bermaksud untuk memperlihatkan suatu batas-batas tingkah laris masyarakat yang menyimpang dan balasan yang harus diterima dari penyimpangan tersebut. Penggunaan hukum selaku social control dapat bermakna bahwa aturan itu mengawasi tingkah laku penduduk artinya tidak terjadi penyimpangan dari hukum hukum itu. Misalnya menentukan larangan – larangan sumbangan ganti rugi, dll. Adapun maksudnya biar setiap orang maupun masyarakat tidak melaksanakan tindakan yang tidak boleh oleh hukum.
Sebagai fungsi control, aturan juga dapat dijadikan selaku alat pengendalian sosial dengan tujuan untuk mengusulkan, mengajak, memerintahkan, bahkan memaksa warga penduduk untuk mematuhi kaidah hukum yang berlaku. Sarana pengendalian sosial dapat dikerjakan dalam 3 bentuk yaitu :
–    Bersifat preventif yakni bermaksud untuk menghalangi terjadinya gangguan stabilitas di dalam penduduk .
–    Bersifat represif adalah bermaksud mengembalikan keseimbangan yang telah mengalami gangguan di dalam masyarakat.
–    Bersifat preventif represif ialah selain bermaksud untuk menghalangi terjadinya gangguan dalam penduduk , juga sekaligus untuk mengembalikan keseimbangan antara stabilitas dan fleksibilitas dalam kehidupan penduduk .
Kontrol sosial mengacu lazimnya prosedur sosial dan politik atau proses yang mengatur perilaku individu dan kelompok, yang menjadikan kesesuaian dan kepatuhan terhadap hukum negara, masyarakat diberikan, atau golongan sosial. Banyak mekanisme kendali sosial lintas-budaya, jika hanya dalam prosedur kontrol yang digunakan untuk menghalangi pembentukan kesemrawutan atau anomi klarifikasi diharapkan] Beberapa teori, seperti Émile Durkheim, lihat bentuk kendali selaku peraturan.. Sosiolog mengidentifikasi dua bentuk dasar kendali sosial  yaitu; Internalisasi norma dan nilai     dan Eksternal sanksi, yang mampu baik faktual (penghargaan) atau negatif (eksekusi).
Fungsi hukum dalam kalangan sosial di maksud  ialah menerapkan prosedur kontrol sosial yang akan membersihkan penduduk dari sampah-sampah masyarakat yang tidak diharapkan sehingga aturan mempunyai suatu fungsi untuk menjaga eksistensi kalangan itu. Anggota kelompok akan berhasil menangani tuntutan-permintaan yang menuju ke arah penyimpangan, guna menjamin biar kalangan dimaksud tetap utuh, atau kemungkinan lain aturan gagal dalam melaksanakan tugasnya sehingga kalangan itu hancur, atau cerai-berai atau punah. Karena itu, aturan terlihat memiliki fungsi rangkap. Di satu pihak dapat ialah langkah-langkah yang mungkin menjadi demikian melembaga, ialah menjadi mantap di antara anggota-anggota kalangan masyarakat sehingga hukum mudah dipakai untuk meraih tujuan-tujuan kalangan, dan golongan itu menilai langkah-langkah itu sebagai sebuah kewajiban. Di lain pihak mungkin merupakan tindakan yang berwujud reaksi golongan itu terhadap tingkah laris yang menyimpang, dan yang diadakan untuk mengontrol tingkah laris yang menyimpang itu. Hukum dalam pengertian yang disebutkan terakhir ini berisikan pola-contoh tingkah laris yang dimanfaatkan oleh kelompok untuk mengembalikan langkah-langkah-tindakan yang jelas mengganggu perjuangan-usaha untuk mencapai tujuan-tujuan kalangan. Hukum dalam fungsinya yang demikian itu, merupakan instrumen pengendalian sosial.

1.    Kontrol sosial informal
Kontrol sosial informal diejawantahkan sebagai fungsi-fungsi “tatakrama” (folkways) yaitu norma-norma yang dibuat untuk praktek-praktek biasa mirip menspesifikasikan tatacara berbusana, etiket, dan penggunaan bahasa; serta “pamali” (mores), yaitu norma-norma masyarakat yang berhubungan dengan perasaan yang besar lengan berkuasa ihwal yang benar dan yang salah dan aturan keras ihwal perilaku yang tidak seharusnya dilanggar, contohnya incest.  Kontrol-kendali informal ini mencakup teknik-teknik dimana individu-individu yang mengenal satu sama lain secara eksklusif baiklah (accord) untuk menjunjung tinggi individu-individu yang patuh (comply) terhadap keinginan penduduk dan menawarkan ketidakpuasan terhadap individu-individu yang tidak patuh (Shibutani, 1961:426). Teknik-teknik ini mampu diperhatikan dari sikap spesifik seperti olok-olok (ridicule), gossip, pujian, teguran (reprimands), kritikan, menghalang-halangi (obstracism), atau kutukan (lisan rationalizations), dan pernyataan pendapat (expressions of opinion).  Gosip, atau ketakutan akan gossip, adalah salah satu dari alat efektif  yang dipakai oleh sejumlah anggota masyarakat untuk membawa individu-individu biar patuh dengan norma-norma.  Tidak seperti kendali sosial formal, kontrol informal ini tidak dilakukan melalui prosedur golongan resmi, dan tidak ada orang tertentu yang ditunjuk untuk penegakannya.
Mekanisme informal dari kendali sosial condong lebih efektif jikalau dikerjakan di golongan-golongan atau penduduk yang keterkaitannya tatap-wajah (face-to-face) dan intim serta dimana pembagian kerjanya masih sederhana.  Misalnya, Emile Durkheim beropini bahwa di masyakarat sederhana, mirip desa-desa suku atau di kota-kota kecil, norma-norma hukum lebih sesuai (accord) dengan norma-norma social, ketimbang di desa yang lebih besar atau di masyarakat yang jauh lebih kompleks.  Ketidaksetujuan watak kepada si penyimpang yaitu mutlak di masyarakat sederhana; seperti catatan Daniel Glaser (1971: 32), “Toleransi terhadap keragaman perilaku beragam secara pribadi dengan pembagian kerja (distribution of labor) di penduduk ”. Pada masyarakat sederhana aturan kadang kala tidak tertulis, yang mewajibkan pengajaran langsung perihal norma-norma ke bawah umur.  Sosialisasi di penduduk sederhana tidak memberi contoh kepada belum dewasa wacana norma-norma kontradiktif yang menjadikan kebingungan atau pertentangan internal.  Interaksi tatap muka yang sungguh intens di masyarakat sederhana menghasilkan konsensus etika yang dikenali dengan baik oleh semua anggota penduduk ; sehingga adanya tindakan yang menyimpang akan segera menarik minatsemua anggota penduduk . 
Ada bukti dalam literatur sosiologi untuk mendukung usulan bahwa kontrol sosial informal lebih besar lengan berkuasa di penduduk yang lebih kecil dan homogen, ketimbang di masyarakat yang heterogen.  Di penelitiannya yang sungguh kuat perihal perilaku menyimpang di Koloni Teluk Massachussets, Kai T. Erikson menemukan bahwa ukuran kecil dan homogenitas budaya dari penduduk menolong sikap terkontrol, sebab setiap orang dalam penduduk menekan individu-individu yang punya bakat menyimpang untuk patuh terhadap norma-norma lebih banyak didominasi.  Terdapat sejumlah intel oleh tetangga di dalam penduduk yang mengawasi tindakan-langkah-langkah yang menyimpang.  Sensor sopan santun saat itu juga akan mengikuti tindakan yang menyimpang (Erikson, 1966: 169-170).  Bahkan hari ini, reaksi terhadap tindakan kriminal tertentu seperti perkosaan atau pembunuhuhan di kota kecil, homogen, dan antar anggota penduduk terkait yang dekat, sangatlah besar dan saat itu juga sehingga pengadilan kepada si terdakwa dari kejahatan macam ini akan sukar, karena tekanan publik terhadap tata cara aturan yang menginginkan adanya hukuman yang keras dan saat itu juga akan menciptakan jalannya proses pengadilan akan sulit.  Dalam kasus seperti itu, perlu adanya pergantian lokasi pengadilan untuk meminimalisir tekanan publik.  Perubahan lokasi pengadilan seperti itu biasanya terjadi di penduduk sederhana dibandingkan dengan di penduduk yang kompleks dimana pengadilan tidak mengasumsikan bahwa si terdakwa akan mendapatkan peradilan yang fair sebab adanya dugaan / prejudice (Friendly dan Goldfarb, 1967: 96-101). 
Tidak disangsikan lagi, kontrol sosial informal berlangsung lebih efektif di penduduk yang lebih kecil dimana individu-individu tahu satu sama lain dan secara terencana berinteraksi.  Di masyarakat yang seperti itu biro penegakan aturan (polisi, jaksa, hakim) boleh berharap adanya koordinasi yang lebih baik.  Seperti yang dicatat oleh Komisi Presiden tentang Penegakan Hukum dan Administrasi Pengadilan (the President’s Commission on Law Enforcement and Administration of Justice) (1967a: 6), “Seorang laki-laki yang hidup di pedesaan atau di kota kecil kemungkinan besar mesti senantiasa berhati-hati, alasannya diawasi terus oleh masyarakatnya, dan oleh sebab itu berada di bawah dampak masyarakatnya.  Seorang pria yang tinggal di kota besar nyaris tidak terlihat (invisible),  secara sosial terisolasi dari masyarakatnya, dan oleh alasannya itu tidak dapat dikelola oleh masyarakatnya. Ia memiliki peluang yang lebih besar untuk melakukan tindak kejahatan”. 
Pendapat bahwa mekanisme sosial kontrol informal yang lebih efektif di masyarakat sederhana disokong oleh penelitian Sarah L. Boggs wacana sosial kontrol formal dan informal di sentra-pusat kota, pinggiran-pinggiran kota, dan kota-kota kecil di Negara bab Missouri.  Boggs menyimpulkan bahwa penduduk kota-kota besar lebih apatis daripada penduduk pinggiran kota atau kota kecil untuk merasakan bahwa kejahatan secepatnya akan terjadi (likely to occur) di dalam masyarakatnya.  Penduduk kota besar kemungkinan besar tidak akan melaporkan perampokan (burglary) yang dilihatnya, dan lebih banyak penduduk kota besar yang tahu adanya tindak kejahatan atau sikap yang mencurigakan di kotanya di tahun yang lampau.  Kebanyakan orang menyampaikan bahwa lokasi kawasan tinggal (neighborhood) mereka aman, dan cuma sedikit yang merasa demikian di kota-kota besar.  Ketika ditanya apa yang menciptakan lokasi kawasan tinggal mereka kondusif, 83 persen dari mereka yang tinggal di pedesaan dan kota kecil menyampaikan bahwa itu alasannya adanya kendali sosial; 70 persen di pinggiran kota  dan 68 persen di kota besar mengatakan aman karena adanya kontrol sosial.  Ketika mereka menyampaikan bahwa lokasi tempat tinggalnya kondusif alasannya adalah kendali sosial informal, mereka mengartikan mereka merasa kondusif sebab abjad dari masyarakat dan penduduknya, ialah “warga negara yang baik, terhormat (decent), patuh terhadap aturan (law-abiding), dan kelas menengah” (Boggs, 1971: 323). Keamanan dari lokasi tempat tinggal (neighborhood) juga sebab jaringan sosial dalam masyarakat yang hendak menciptakan “orang-orang di pinggir jalan” (bystander) untuk mengintervensi tindak kejahatan.  Responden yang tinggal di pinggiran kota dan kota-kota besar kemungkinan besar akan menyangkutpautkan keamanan dengan agen kontrol sosial formal mirip polisi ketimbang responden yang tinggal di pedesaan dan kota-kota kecil (Boggs, 1971:234).  Boggs menyimpulkan bahwa masyarakatkota-kota besar cenderung lebih menginginkan terjadinya tindak kejahatan, tetapi cenderung tidak mengandalkan tetangganya untuk melindungi komunitasnya dan lebih mengandalkannya ke tunjangan polisi.   Sebagai kesudahannya, mereka lebih berjaga-jaga (take precautions), mirip membeli senjata atau anjing penjaga dibandingkan dengan masyarakatyang tinggal di pinggiran kota, kota-kota kecil, dan di pedesaan. 
Dalam penelitian lainnya perihal penggunaan mekanisme kendali sosial formal dan informal, Richard D. Schwartz (1977) mengusut dua kompleks pemukiman pertanian Israel.  Komunitas itu awalnya sama satu dengan yang yang lain, karena tidak adanya perbedaan besar kepada ilham-ide kontrol aturan.  Satu pemukiman yaitu pemukiman kolektif atau kvutza, yang tidak memiliki prosedur formal untuk menyelesaikan pertikaian hukum, dan satu pemukiman lainnya adalah pemukiman semi swasta yang disebut moshav, yang mempunyai komisi judisial untuk menangani pertengkaran hukum.  Pemukiman kolektif tersebut tidak memiliki komisi hukum karena adanya interaksi intensif dan tatap tampang yang menunjukkan cara yang efektif untuk kendali sosial lewat tekanan golongan.  Sebaliknya, pada pemukiman yang semi swasta, adanya kekurangan interaksi dan kekurangan konsensus : perilaku agak tidak kelihatan (less visible) bagi anggota-anggota komunitas ketimbang di pemukiman kolektif.  Schwartz menyimpulkan bahwa kendali sosial informal kurang efektif pada pemukiman semi swasta daripada di permukiman kolektif dimana pemikiran informasi akan menciptakan tindakan menyimpang akan segera diketahui oleh semua anggota penduduk . 
Kesimpulan yang serupa wacana peranan mekanisme kendali sosial informal dapat ditarik dari observasi-observasi ihwal negara-negara berkembang (developing nations). Sebagai teladan, dalam membandingkan antara komunitas yang tingkat kejahatannya rendah dan komunitas yang tingkat kejahatannya tinggi di Kampala, Uganda, Mashall B. Clinard dan Daniel J. Abbott memperoleh bahwa lokasi-lokasi yang tingkat kejahatannya kurang memperlihatkan adanya solidaritas sosial yang tinggi, adanya interaksi sosial antara para tetangga, adanya partisipasi dalam organisasi lokal, kurangnya mobilitas geografi (jarang bepergian, jarang pindah), dan adanya stabilitas dalam relasi keluarga.  Juga adanya homogenitas budaya yang lebih besar dan adanya aksentuasi lebih besar pada relasi kesukuan dan keluarga (tribal and kinship ties) pada komunitas yang tingkat kejahatannya rendah, yang sungguh menolong dalam mengatasi (counteract) orang-orang yang tidak diketahui dengan jelas (anonymity) yang pindah ke kotanya.  Ikatan kalangan utama yang lebih besar di antara penduduk di komunitas yang tingkat kejahatannya rendah membuatnya lebih sukar bagi orang gila (stranger) di dalam komunitasnya untuk melarikan diri dari perhatian publik. Untuk menghindari pencurian, masyarakatdi area itu mesti merasakan apa yang salah; membagi tanggung jawab untuk memelihara property dari lokasi tempat tinggal; dapat mengindentifikasikan orang-orang ajaib di arenya; dan mau untuk mengambil tindakan kalau mereka melihat seorang pencuri (Clinard dan Abbott, 1973: 149). 
Berdasarkan observasi-observasi ini, mampu disimpulkan bahwa jika terdapat adanya interaksi sosial yang intim dan tatap muka, konsensus normatif, dan pengawasan (surveillance) terhadap perilaku anggota-anggota masyarakat, kendali sosial informal akan berpengaruh sehingga kontrol sosial formal dan legal mungkin tidak lagi dibutuhkan. Unger beropini bahwa aturan birokrasi muncul saat Negara dan penduduk menjadi “meletakkan perhatian” (differentiated), dan adanya perasaan keperluan akan sebuah institusi yang bangun di atas semua kalangan yang bertikai. Hal ini terjadi kalau komunitas terpecah belah, ialah, saat individu-individu tidak dianggap lagi untuk bertindak di serangkaian cara tanpa petunjuk yang sebaliknya (when individuals may no longer be  counted on to act in set ways without overt guidance). Disintegrasi seperti itu tiba ketika pembagian pekerjaan menimbulkan potensi -peluang baru untuk kekuasaan dan kekayaan, yang pada gilirannya, memangkas hirarki usang yang diputuskan oleh kelahiran / keturunan (detemined by birth).  Proses ini dibarengi dengan bertambahnya sandaran kepada kendali sosial formal.
Kontrol sosial secara informal dicontohkan dengan fungsi-fungsi yang berjalan dalam cara kerakyatan(norma-norma yang dimunculkan dalam praktik keseharian sebagaimana mode busana tertentu, etiket, dan penggunaan bahasa) dan adab-istiadat(norma-norma sosial berasosiasi dengan perasaan-perasaan intens perihal benar atau salah dan hukum tertentu perihal tingkah laris yang secara sederhana tidak akan mengusik, selaku acuan, incest). Kontrol informal tersebut terdiri atas teknik-teknik yang oleh individu yang mengenali satu sama lain dalam dasar keseuaian personal akan memuji kepada mereka yang mentaati harapan bersama dan menawarkan ketidaknyamanan terhadap mereka yang tidak mentaatinya (Shibutani, 1961:426)
Dengan demikian kontrol sosial yang sifatnya informal senantiasa merupakan bagian dari masyarakat dengan ciri keeratan sosial yang oleh Durkheim dibilang memiliki mechanical solidarity, yang oleh Dragan Milovanovic (1994) dibilang sebagai tipe wajar dalam masyarakat yang pemilahan tingkat pekerjanya masih sangat kecil, dan “perekat” ikatan sosial dalam kesamaan dan kesetaraan masih kuat. Tetapi konteks kontrol sosial informal tidaklah hanya ada dalam bentuk penduduk dengan mechanical solidarity sebagaimana dijelaskan Durkheim. Nilai-nilai tentang solidaritas dan janji dalam penduduk majemuk dengan konsep hukum tidak tertulisnya juga senantiasa memiliki peluanginformal social controls.
Mekanisme informal dari kontrol sosial dirancang untuk lebih efektif dalam golongan dan masyarakat dimana relasi bersifat face to face dan intimasi dan dimana pembagian pekerjaan relatif sederhana. Selanjutnya, intensional interaksi face to face dalam masyarakat tertentu menciptakan konsensus budbahasa yang dikenal oleh seluruh anggotanya; juga menjinjing langkah-langkah menyimpang secara cepat menjadi perhatian setiap orang. 
2.    Kontrol Sosial Formal
Walaupun tidak ada garis pembatas yang terang, kontrol sosial formal biasanya dicirikan oleh penduduk yang lebih kompleks dengan pembagian kerja yang lebih terperinci, populasi yang lebih heterogen, dan sub golongan-sub kalangan dengan nilai-nilai yang saling berkompetisi dan berbagai rangkaian “pamali” (mores) dan ideology.  Kontrol formal timbul saat kendali informal tidak mencukupi untuk menjaga kepatuhan (conformity) kepada norma-norma tertentu, dan memiliki karakteristik adanya sistem wacana lembaga-forum khusus dan teknik-teknik persyaratan. 
Kontrol sosial formal diejawantahkan delam lembaga-lembaga di dalam penduduk dan mempunyai huruf selaku adanya prosedur-prosedur eksplisit, dan delegasi terhadap lembaga-forum khusus untuk menegakkan prosedur-prosedur eksplisit tersebut (aturan, dekrit, regulasi, undang-undang). Karena mereka diejawantahkan ke dalam lembaga-lembaga di dalam penduduk , mereka diatur oleh individu-individu yang menjabat di jabatan-jabatan lembaga tersebut.  Pada lazimnya , seseorang yang menjajal untuk memanipulasi perilaku dari yang lainnya lewat penggunaan tidak yakin formal dapat disebut distributor kendali sosial (Clinard dan Meier, 1979: 21).
Dalam desain Durheim dan Vago mempunyai kecenderungan yang sama. Ia menjelaskan bahwa konrol sosial formal biasanya merupakan karakteristik dari penduduk yang lebih kompleks dengan pembagian tingkat pekerjaan yang lebih besar, heterogenitas populasi, dan sub-grup dengan nilai-nilai terkompetensi dengan bentuk berlainan dalam adab-istiadat dan ideologi. Kontrol yang bersifat formal muncul dikala kontrol informal tidak lagi sesuai dipraktekkan untuk memelihara kenyamanan pada norma-norma tertentu dan dicirikan dengan tata cara yang mengenal keutamaan biro-biro sosialnya dan dengan teknik-teknik yang tolok ukur. 
Seperti telah diterangkan bahwa pemahaman formal yaitu ketika yang informal tidak lagi bisa hadir dan menunjukkan fungsi kontrolnya. Maka formal selalu muncul dari keperluan akan keteraturan dan kendali yang membuat semuanya kepada kondisi sebagaimana keadaan informal. Seperti menjelaskan bagaimana Durkheim berusaha mengganti secara perlahan ‘solidaritas mekanis’ sederhana dengan ‘solidaritas organik’ yang lebih kompleks, yaitu solidaritas komplementer, berkat kian tegasnya pembagian kerja dalam masyarakat. Jika Durkheim berusaha menjaga tetap adanya solidaritas, maka demikian pula peran sosial kontrol senantiasa diupayakan tetap ada, alasannya eksistensinya yang menjadi urgensi dan keperluan sosial.
Formal dijelaskan sebagai keperluan yang tumbuh selaku karena ketiadaan informal. Begitu pula hukum, informal mengenal formulasi kendali pada aturan tak tertulis, sedangkan format formal yakni mulai dikenalnya konsep ‘standarisasi’ atau dalam hukum dikenallah hukum yang mengenal prinsip ‘legalitas’ atau ketertulisan. Sehingga nalar kebenaran dan kesalahan, kebaikan dan kejahatan, yang tepat definisi bareng , dituangkan ke dalam perundang-seruan untuk dijadikan sebagai alat kendali sosial.
Dinyatakan sebagai undang-undang lewat aturan, aturan, dan regulasi terhadap perilaku menyimpang. Hal ini dikerjakan oleh pemerintah dan organisasi yang memakai prosedur penegakan aturan dan hukuman formal lainnya seperti denda dan hukuman penjara dalam masyarakat demokratis tujuan dan mekanisme kontrol sosial formal ditentukan melalui undang-undang oleh wakil-wakil terpilih dan dengan demikian menikmati santunan dari ukuran. masyarakatdan kepatuhan sukarela.
Kontrol yang bersifat formal timbul ketika kontrol informal tidak lagi sesuai dipraktekkan untuk memelihara kenyamanan pada norma-norma tertentu dan dicirikan dengan metode yang mengenal keutamaan agen-agen sosialnya dan dengan teknik-teknik yang kriteria.
 Kontrol sosial ialah faktor normatif dari kehidupan sosial atau mampu disebut sebagai pemberi definisi dari tingkah laku yang menyimpang serta balasan-kesudahannya mirip larangan-larangan, permintaan-tuntutan, pemidanaan dan bantuan ganti rugi”.
Fungsi aturan selaku alat pengendalian sosial dapat dijelaskan selaku fungsi hukum untuk menetapkan tingkah laris mana yang dianggap ialah penyimpangan kepada hukum aturan, dan apa hukuman atau tindakan yang dilakukan oleh hukum kalau terjadi penyimpangan tersebut.
Perlu dicatat dari mulanya bahwa kendali melalui hukum jarang dilakukan dengan penggunaan hukuman kasatmata atau penghargaan (rewards). Seseorang yang selama hidupnya menghormati aturan dan memenuhi standar hukum jarang mendapatkan penghargaan atau saran.  Kontrol negara dikerjakan terutama, namun tidak secara eksklusif, lewat penggunaan hukuman untuk mengendalikan sikap warga negaranya.  
Berikut akan membicarakan penggunaan tidak yakin pidana dan komitmen sipil untuk mengontrol tipe perilaku tertentu.
a.    Kontrol Sosial Formal untuk Penyimpang : Sanksi Pidana
Kontrol sosial terhadap kejahatan (criminal) dan perilaku melanggar (delinquent behavior) membentuk sistem formal terstruktur tertinggi (the most highly structured formal system) yang digunakan oleh masyarakat.  Sistem untuk mengontrol kejahatan dan pelanggaran (the criminal justice system) secara eksplisit menyatakan ketidaksetujuan penduduk akan “tindak kejahatan” (“crime”), tidak seperti bentuk lain dari penyimpangan sosial (Clinard dan Meier, 1979: 243). Hukum, yang diundangkan oleh legislator dan dimodifikasi oleh keputusan pengadilan, mendefinisikan tindak kejahatan dan perilaku melanggar dan menyebutkan sanksi-hukuman yang akan diterapkan bagi yang melanggar.  Waktu demi waktu, terdapat pengandalan yang meningkat dari aturan (an increasing reliance of law) untuk mengatur aktivitas-acara dan kehidupan dari masyarakat.  Karena aturan telah disebarluaskan untuk meliputi banyak sekali tipe perilaku, banyak perubahan dalam hal hukuman untuk tipe-tipe kejahatan tertentu yang sudah terjadi (Packer, 1968). Peningkatan ini tidak mampu tidak akan menghasilkan kendali sosial yang lebih ketat dan pergeseran lebih lanjut dari sistem-sistem kontrol. Mengingat banyak perilaku lagi yang didefinisikan sebagai tindak kejahatan, maka lebih banyak langkah-langkah yang menjadi perhatian polisi, pengadilan, dan metode penjara. 
Dalam literatur sosiologi, istilah “legislasi” dipakai untuk menggambarkan proses dimana norma-norma dipindahkan dari level sosial ke level legal / aturan.  Tidak semua norma sosial menjadi hukum; pada kenyataannya, cuma norma-norma tertentu yang diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk aturan.  Mengapa pelanggaran kepada norma-norma tertentu, tetapi tidak yang yang lain, dipilih untuk dimasukkan ke dalam hukum pidana ? Austin T. Turk (1972) menjawab bahwa ada kekuatan-kekuatan sosial yang terlibat di dalam legislasi dan pengerjaan dari norma-norma legal: kehormatan tabiat (budpekerti indignation), nilai tinggi terhadap keteraturan / kedamaian (a high value on order), respons kepada bahaya, dan taktik-seni manajemen politik. 
Seperti yang sudah saya bahas di Bab sebelumnya, hukum mungkin dibentuk oleh tindakan ”pebisnis watak” (”moral entrepreneurs”) yang menjadi marah alasannya adalah beberapa praktek yang menurut mereka tidak dapat dikenali, contohnya merokok marijuana. Pihak yang lainnya lebih suka keteraturan / kedamaian (order) dan bersikeras pada standar-standar (provisions) untuk mengontrol kehidupan dan menciptakan masyarakat seteratur mungkin.  Mereka mengajukan (promulgate) hukum untuk menjamin keteraturan (order) dan keseragaman (uniformity), mirip pada kasus regulasi lalu lintas.  Beberapa orang bereaksi kepada ancaman yang riil atau imajiner dan menyarankan adanya langkah-langkah kendali legal (legal control measures).  Sebagai acuan, banyak orang menganggap adanya benda-benda pornografi tidak cuma salah secara moral, namun berkontribusi secara langsung terhadap kenaikan kejahatan sex.  
Dalam hal ini, telah pasti orang-orang ini akan berusaha untuk melarang secara hukum penjualan benda-benda pornografi ini.  Sumber yang lain dari legalisasi dari norma-norma ialah dilema politik, dimana hukum pidana dibentuk sesuai dengan minat golongan-kelompok yang berkuasa di dalam penduduk .  Sumber ini diindentifikasikan dengan perspektif konlik yang dipunyainya mirip yang sudah aku bahas di bagian-bagian sebelumnya. Proses pengukuhan norma-norma juga diikuti oleh hukuman tertentu untuk jenis tertentu dari pelanggaran aturan pidana. ”Setiap tata cara bikinan condong untuk mendapatkan hukuman yang bekerjasama dengan kekerabatan produktifnya” (Rusche dan Kirchheimer, 1968:5).  Michel Foucault (1977) mengatakan bahwa sebelum revolusi industri, kehidupan terbilang murah dan individu-individu tidak mempunyai nilai utilitas atau nilai komersial yang diberikan kepada mereka pada sebuah ekonomi industri.  Dalam hal ini, hukuman sangatlah berat (severe) dan sering tidak berhubungan sama sekali dengan sifat dari kejahatan itu sendiri (misalnya, eksekusi mati untuk pencurian ayam).  Ketika banyak pabrik bermunculan, nilai dari individu-individu dalam kehidupan, bahkan para pelaku kejahatan, mulai ditekankan.  Dimulai di selesai masa kedelapanbelas dan permulaan abad kesembilanbelas, usaha-usaha telah dikerjakan untuk menghubungkan sifat dari eksekusi tertentu dengan sifat dari kejahatan yang dilakukannya. 
Mencocokkan eksekusi dengan tindak kejahatan yang dikerjakan adalah pekerjaan yang merepotkan dan kadang-kadang kontroversial.  Definisi tindak kejahatan dan hukumannya sungguh beragam dari waktu ke waktu dan dari satu penduduk ke penduduk yang yang lain.  Dalam sebuah demokrasi, kekuasaan untuk mendefinisikan tindak kejahatan dan hukumannya terletak pada warganegara (citizenry). Kekuasaan ini lazimnya didelegasikan ke perwakilan yang dipilih.  Statutanya seringkali sungguh luas dan tergantung kepada banyak sekali interpretasi.  Seperti yang telah dibahas sebelumnya, perundangan legislatif mengizinkan hakim, jaksa, dan juri untuk memiliki keleluasaan dan diskresi yang luas dalam mengkaji kesalahan dan tahap-tahapan hukumannya. 
b.    Kontrol Sosial Formal untuk Penyimpang : Komitmen Sipil
Kontrol formal dari perilaku menyimpang tidak terbatas kepada sanksi-sanksi kriminal.  Ada berbagai macam bentuk kendali sosial berupa hukum yang beroperasi secara luas di masyarakat Amerika – yang disebut kesepakatan sipil (Forst, 1978:1).  Komitmen sipil yakni proses nonkriminal, yang menempatkan (commits) individu-individu yang cacat (disabled) atau bila tidak tergantung (alasannya adalah cacatnya), tanpa sepengetahuan mereka, ke lembaga-forum negara untuk pemeliharaan, perlakuan, atau perwalian (custody), tetapi bukan penghukuman (punishment).  Hal itu didasarkan terhadap 2 prinsip aturan : 1) hak dan keharusan negara untuk melindungi (to assume guardianship) individu-individu yang menderita cacat (disability); dan 2) kekuasaan polisi di dalam batas-batas-batasan konstitusi untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi penduduk .  Secara prosedur, kesepakatan sipil berbeda dengan komitmen pidana (criminal commitment).  Pada akad sipil jaminan mekanisme-mekanisme tertentu tidak ada, mirip hak diadili oleh juri, yang mencakup mendatangkan saksi-saksi yang melawan terdakwa, atau untuk menghindari kesaksian melawan seseorang.  Selain itu, kutukan akhlak formal dari komunitas bukan merupakan issue dalam komitmen sipil.  ” Situasi ini bisa timbul jika sikap itu disengaja tetapi tidak secara watak patut untuk dipersalahkan, seperti di somasi perdata untuk adanya kerusakan / kerugian (damages), ketaknormalan mental, dimana tindak kriminal (criminal culpability) disebarkan atau dinegasikan.  Di perkara yang terakhir, issue perdata bukan ialah ”sikap” seseorang tetapi ”status”nya” (Forst, 1978:3).  Dalam persepsi ini, pecandu heroin, cacat mental, atau pelanggar sex tidak harus bertanggung jawab terhadap aksinya.  Konsensus biasa yakni bahwa individu-individu patut menerima perawatan, bukan eksekusi, walaupun perawatan itu akan berakibat pada pemasungan kebebasannya di suatu forum perawatan mental tanpa adanya proses hukum. 
Di Amerika Serikat, sekitar 1 dari 12 orang akan melalaikan sebagian waktu hidupnya di lembaga-lembaga perawatan mental (mental institutions).  Di sebuah hari pada sebuah tahun, sekitar setengah juta orang Amerika dirawat di bangsal-bangsal perawatan mental; bahkan, sekitar setengah kawasan tidur di rumah sakit Amerika dihuni oleh orang yang menderita cacat mental.  Namun komitmen sipil untuk sakit mental dan ketidakmampuan adalah cuma salah satu dari tipe-tipe komitmen sipil yang dipakai untuk mengendalikan perilaku menyimpang.  Tipe-tipe yang lain mirip pengebirian (incarceration) bawah umur badung (juveniles) di sekolah-sekolah training atau rumah-rumah tahanan; janji kepada pecandu berat alkohol atau pelanggar yang berafiliasi dengan alkohol; komitmen kepada pecandu narkoba; dan pemasyarakatan (institutionalization), lewat hukum perdata, dari para pelanggar sex (biasanya disebut psikopat seksual, orang-orang yang berbahaya secara seksual, atau pelanggar seksual cacat mental).  Martin L. Forst (1978:7) menyebut bahwa aneka macam tipe akad sipil ”ialah salah satu dari bentuk-bentuk utama dari kontrol sosial melalui hukum di masyarakat Amerika”. Dia lebih lanjut menyebutkan bahwa bentuk kendali sosial seperti ini  lebih ekstensif / manjur dibandingkan dengan kendali sosial lewat akad pidana tradisional. 
Para profesional kesehatan mental, khususnya psikiatris, mempunyai kekuasaan besar dengan menempatkan individu-individu ke forum-lembaga perawatan tanpa jaminan pengadilan. Sebagai acuan, Thomas S. Szasz (1965: 85-143) menggambarkan kasus dari operator pompa bensin di kota Syracuse, negara bagian New York yang telah ditekan oleh pengembang real estate untuk memasarkan tanahnya sehingga suatu sentra perbelanjaan dapat dibangun di lokasi tersebut.  Ketika pengembang ingin mendirikan papan tanpa dari properti tersebut, pemilik pompa bensin yang marah memberi tembakan perayaan ke udara. Dia ditahan tetapi tidak pernah dibawa ke pengadilan.  Dengan saran oleh jaksa penuntut, operator tersebut ditugaskan untuk menjalani investigasi psikiatris untuk memilih bahwa ia cukup sehat untuk menghadapi pengadilan. Dia diputuskan tidak mampu (untuk mengontrol dirinya sendiri) sehingga dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa.  Setelah 10 tahun di rumah sakit jiwa, ia telah menjalani kurun hukuman yang lebih lama ketimbang beliau diadili dan dinyatakan bersalah. 
Dalam arena hukum, penyebab sikap kriminal dan tanggung jawab dari perilaku tersebut terletak pada individu-individu.  Namun di suatu metode aturan yang mempercayai (posits) alasannya adalah-sebab individu melakukan langkah-langkah tertentu, timbul adanya komplikasi dalam usaha untuk menertibkan individu-individu yang mengancam namun tidak melanggar hukum.  Salah satu cara untuk mengendalikan individu mirip itu ialah dengan mendefinisikannya selaku sakit mental (mental disorder).  ”Definisi ini mempunyai efek kombinasi untuk mengurangi irasionalitas terhadap perilaku tersebut dan memberi kendali terhadap individu-individu melalui cara-cara yang lunak (ostensibly benign), dan bukan intervensi psikiatrik yang memaksa” (Greenaway dan Brickey, 1978: 139).  Jadi, tidak mengherankan untuk mendapatkan bahwa banyak rumah sakit jiwa negara merawat orang-orang yang sudah melaksanakan pelanggaran ringan (trivial misdemeanors) atau yang belum didakwa melaksanakan tindak kejahatan apapun, tetapi sudah dikirim ke sana untuk keperluan ”observasi”.  Polisi dan pengadilan menunjuk individu-individu yang perilakunya ”abnormal” untuk diperiksa psikiatris, dan kalau mereka mendapatkan bahwa orang tersebut ”abnormal” (insane), maka mereka akan dirawat di rumah sakit jiwa tanpa kesepakatan orang tersebut untuk abad waktu yang usang, bahkan seumur hidup. 
Penggunaan kesepakatan sipil selaku bentuk kendali sosial tidak cuma terbatas di Amerika Serikat. Di Uni Soviet (dahulu), sebagai acuan, banyak nakal di tahun-tahun akhir-akhir ini tidak dikirim ke kamp konsentrasi di Siberia, tetapi dikirim ke rumah sakit jiwa.  Daftar penyair, penulis, dan intelektual yang sudah didefinisikan ”sakit jiwa” dan bukan penjahat kriminal oleh penguasa Soviet, sangatlah panjang.  Psikiatris di Uni Soviet tidak sinis mirip yang kita pertimbangkan.  Dengan ”realitas” mereka yaitu Marxist-Leninist, ternyata banyak di antara mereka yang berpikir bahwa orang-orang yang tidak mengikuti keadaan terhadap realitas dianggap mempunyai cacat psikologis dan harus ditempatkan di forum pengasingan.  Namun apakah mereka sadar atau tidak perihal implikasi politis dari diagnosis mereka, psikiatris di Uni Soviet sudah memberi cap ”sakit jiwa” sebagai sistem kontrol sosial. 
Ada banyak sekali klarifikasi perihal meningkatnya penggunaan kesepakatan sipil selaku prosedur kontrol sosial.  ”Ada beberapa mereka (kriminologis aktual) yang memandang kenaikan tersebut selaku perubahan warisan (beneficial shift) dari penekanan tradisional perihal menghukum orang untuk merehabilitasi mereka…Penjelasan lain dari meningkatnya penggunaan kesepakatan sipil (perubahan dari aturan pidana) bahwa komitmen sipil berfungsi sebagai ganti dari, atau merupakan embel-embel dari, hukum pidana untuk mengontrol secara sosial bentuk tingkah laris yang tidak diinginkan
 
 
BAB III
PENUTUP

  Fungsi Dan Tujuan Pengetahuan Nusantara

A.    Kesimpulan

Dalam pembahasan ini di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa;
–    Hukum selaku alat kendali sosial memberikan arti bahwa dia ialah sesuatu yang mampu menetapkan tingkah laku manusia
–    Fungsi aturan sebagai sosial control dalam penduduk dapat dibagi menjadi dua ialah, kontrol sosial informal dan kendali sosial formal
–    Dalam menjalankan fungsi control, hukum mesti mempunyai sanksi semoga masyarakat harus menaati dan tidak melakukakkn pelanggaran supaya dapat terciptanya penduduk yang terorganisir dan penuh keseimbangan
–    Fungsi social control dari hukum, pada dasarnya memaksa warga penduduk semoga berprilaku sesuai dengan aturan
B.    Saran
Setelah melakuan tugas makalah yang berjudul Fungsi Hukum sebagai Kontrol Sosial di penduduk , penulis hendak member saran bahwa;
–    Untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang serasi maka penting kiranya tiap angggota penduduk harus menjadikan aturan selaku alat control yang efektif semoga terciptanya suatu tatanan sosial yang harmonis
–    Selain itu kita juga harus membiasakan diri hidup sesuai dengan nilai dan norma yang dinut oleh masyarakat secara lazim yang baik dan bermanfaat, demi terciptanya keteraturan sosial dalam kehidupan bermasyarakat
Penulis sungguh menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kelemahan, untuk itu kami menginginkan adanya masukkan untuk penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, 2009.

Arrasjid, Chainur, Dasar – Dasar Ilmu Hukum. Cetakan I. Jakarta:  Sinar Grafika, 2000.

Johnson, Alvin, Sosiologi Hukum, Rineka Cipta, 1994

Choiruddin, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika; Jakarta 1991.

F. Budi Hardiman, Teori Sistem Niklas Luhmann: Sebuah Pengantar Singkat, Jurnal Filsafat Driyarkara Tahun XXIX, no. 3 / 2008, Jakarta: STF Driyarkara, 2008.

Soekanto Soerjono, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum. Jakarta; Rajawali Press,1982

  Denny Indrayana Kembali Offside

Soekanto Soejono & Heri Tjandra, J.S. Roucek, Pengendalian Sosial (seri pengenalan Sosiologi) Rajawali Press, Jakarta. 1987.

Soemitro Ronny Hanitijo, Masalah-dilema Sosiologi Hukum, Sinar Baru, Bandung, 1984

Rahardjo Satjipto,  Ilmu Hukum. Bandung;PT Citra Aditya Bakti