close

Contoh Makalah Desain Insan Menurut Islam

KONSEP MANUSIA MENURUT ISLAM

 


 
 
KELOMPOK II

Annisa ( 064 2014 0095 )
Nur Rahmah ( 064 2014 0094 )
Wawan Setiawan ( 064 2014 0117 )

Kelas : C2

AKADEMI BAHASA ASING
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2016


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kedatangan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat, dan hidayahNya, kami  dapat menyelesaikan Makalah Pendidikan Agama Islam ihwal “Konsep Manusia Menurut Islam”. Semoga dengan membaca makalah  ini,  para pembaca akan lebih mengetahui Konsep Manusia Menurut Islam. Kritik dan nasehat demi pertumbuhan makalah ini sangat diperlukan.  Semoga makalah ini dapat berfaedah.

        Penyusun,

        Kelompok II

 

DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………………………………………….      i
Daftar Isi …………………………………………………………………………………………………….      ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang …………………………………………………………………………………………    1
B.    Rumusan Masalah ……………………………………………………………………………………..    1
C.    Tujuan………………………………………………………………………………………………………   2
BAB II PEMBAHASAN
1.    Keberadaan Manusia…………………………………………………………………………………..    3
2.    Hakikat Manusia…………………………………………………………………………………………    5
3.    Martabat Manusia ……………………………………………………………………………………….   6
4.    Tujuan Penciptaan Manusia……………………………………………………………………………    8
5.    Fungsi dan Peranan Manusia ………………………………………………………………………….   9
6.    Tanggung Jawab Manusia ……………………………………………………………………………..   10
BAB III PENUTUP
A.     Kesimpulan………………………………………………………………………………………………    14
DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Kehadiran manusia tidak terlepas dari asal ajakan kehidupan di alam semesta. Manusia hakihatnya yakni makhluk ciptaan Allah SWT. Pada diri manusia terdapat perpaduan antara sifat ketuhanan dan sifat kemakhlukan. Dalam persepsi Islam, selaku makhluk ciptaan Allah SWT insan mempunyai peran tertentu dalam menjalankan kehidupannya di dunia ini. Untuk melakukan tugasnya manusia dikaruniakan nalar dan pikiran oleh Allah SWT. Akal dan anggapan tersebut yang mau menuntun insan dalam mengerjakan kiprahnya. Dalam hidup di dunia, insan diberi peran kekhalifaan, yaitu tugas kepemimpinan, wakil Allah di paras bumi, serta pengelolaan dan pemeliharaan alam.

Kewajiban insan terhadap khaliknya adalah bagian dari rangkaian hak dan keharusan manusia dalam hidupnya selaku sebuah wujud dan yang maujud. Didalam hidupnya insan tidak lepas dari adanya kekerabatan dan ketergantungan. Adanya hubungan ini menyebabkan adanya hak dan keharusan. Hubungan manusia dengan Allah adalah korelasi makhluk dengan khaliknya. Dalam dilema ketergantungan, hidup insan selalu memiliki ketergantungan kepada lainnya. Dan referensi serta ketergantungan adalah ketergantungan terhadap yang Maha Kuasa, yang Maha Perkasa, Yang Maha Bijaksana, Yang Maha Sempurna, ialah Allah rabbul’alamin, Allah Tuhan Yang Maha Esa.

B.    Rumusan Masalah

1.    Bagaimana Keberadaan Manusia dalam Islam?
2.    Bagaimana Hakikat Manusia dalam Islam?
3.    Bagaimana Martabat Manusia dalam Islam?
4.    Apa Tujuan Penciptaan Manusia dalam Islam?
5.    Bagimana Fungsi dan Peranan Manusia dalam Islam?
6.    Bagaimana Tanggungjawab Manusia dalam Islam?

C.     Tujuan

 1. Untuk Mengetahui Keberadaan Manusia dalam Islam.
2. Untuk Mengetahui Hakikat Manusia dalam Islam.
3. Untuk Mengetahui Martabat Manusia dalam Islam.
4. Untuk Mengetahui Tujuan Penciptaan Manusia dalam islam.
5. Untuk Mengetahui Fungsi dan Peranan Manusia dalam islam.
6. Untuk Mengetahui Tanggungjawab Manusia dalam Islam.

 

BAB II

PEMBAHASAN

1.     Keberadaan Manusia

Keberadaan manusia di paras bumi ini memiliki misi utama, ialah beribadah kepada Allah SWT. Maka, setiap langkah dan gerak-geriknya mesti searah dengan garis yang sudah diputuskan. Setiap desah nafasnya mesti selaras dengan kebijakan-kebijakan ilahiah, serta setiap detak jantung dan cita-cita hatinya mesti seirama dengan alunan-alunan kehendak-Nya. Semakin mantap langkahnya dalam menanggapi undangan Islam dan makin teguh hatinya dalam mengimplementasikan apa yang telah menjadi tugas dan kewajibannya, maka dia akan mampu menangkap  sinyal-sinyal yang ada di balik ibadahnya. Karena, dalam setiap ibadah yang  telah diwajibkan oleh Islam menampung nilai filosofis, mirip nilai filosofis yang  ada dalam ibadah shalat, adalah sebagai ‘aun (tunjangan) bagi insan dalam mengarungi lautan kehidupan (al-Baqarah:153), dan sebagai benteng kokoh untuk menyingkir dari, menghadang, dan mengantisipasi gelombang kekejian dan kemungkaran (al-Ankabuut: 45). Adapun nilai filosofis ibadah puasa yakni untuk menghantarkan insan muslim menuju gerbang ketaqwaan, dan ibadah-ibadah lain yang bertujuan untuk melahirkan insan-insan muslim yang berakhlak mulia (Al-Baqarah: 183 dan At-Taubah:103). Maka, apabila insan bisa menangkap sinyal-sinyal nilai filosofis dan kemudian mengaplikasikan serta mengekspresikannya dalam bahasa lisan maupun perbuatan, dia akan hingga gerbang ketaqwaan. Gerbang yang dijadikan satu-satunya tujuan penciptaannya.
Artinya ialah insan tepat, berasal dari kata al-manusia yang bermakna manusia dan al-kamil yang berarti sempurna. Konsepsi filosofid ini pertama kali timbul dari pemikiran tokoh sufi Ibnu Arabi. Oleh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428), pengikutnya, gagasan ini dikembangkan menjadi bagian dari renungan mistis yang bercorak tasawuf filosofis. 
Al-Jili merumuskan insan kamil ini dengan merujuk pada diri Nabi Muhammad SAW selaku sebuah pola manusia ideal. Jati diri Muhammad (al-haqiqah al-Muhammad) yang demikian tidak semata-mata dimengerti dalam pemahaman Muhammad SAW asebagai utusan Tuhan, namun juga selaku nur (cahaya/roh) Ilahi yang menjadi pangkal dan poros kehidupan di jagad raya ini. 
Nur Ilahi kemudian dikenal selaku Nur Muhammad oleh kalangan sufi, disamping terdapat dalam diri Muhammad juga dipancarkan Allah SWT ke dalam diri Nabi Adam AS. Al-Jili dengan karya monumentalnya yang berjudul al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakir wa al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Konsep Pengetahuan wacana Misteri yang Pertama dan yang Terakhir) memulai pembicaraannya dengan mengidentifikasikan manusia kamil dengan dua pemahaman. Pertama, insan kamil dalam pengertian rancangan wawasan mengeneai manusia yang sempurna. Dalam pemahaman demikian, insan kamil terkail dengan persepsi mengenai sesuatu yang dianggap mutlak, yaitu Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu, adalah yang bagus dan sempurna. 
Sifat tepat inilah yang pantas ditiru oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri pada sifat sempurna dari Yang Mutlak tersebut, maka kian sempurnalah dirinya. Kedua, insan kamil terkait dengan jati diri yang mengidealkan kesatuan nama serta sifat-sifat Tuhan ke dalam hakikat atau esensi dirinya. Dalam pemahaman ini, nama esensial dan sifat-sifat Ilahi tersebut intinya juga menjadi milik insan tepat oleh adanya hak mendasar, yakni sebagai suatu keniscayaan yang inheren dalam esensi dirinya. Hal itu dinyatakan dalam ungkapan yang sering terdengar, yaitu Tuhan berfungsi selaku cermin bagi manusia dan insan menjadi cermin bagi Tuhan untuk melihat diri-Nya. 
Bagi al-Jili, manusia dapat mencapai jati diri yang tepat lewat latihan rohani dan mendakian gaib, bersama-sama dengan turunnya Yang Mutlak ke dalam manusia lewat banyak sekali tingkat. Latihan rohani ini diawali dengan insan bermeditasi perihal nama dan sifat-sifat Tuhan, dan mulai mengambil bagian dalam sifat-sifat Illahi serta menerima kekuasaan yang luar biasa. 
Pada tingkat ketiga, dia melintasi kawasan nama serta sifat Tuhan, masuk ke dalam situasi hakikat mutlak, dan kemudian menjadi “manusia Tuhan” atau manusia kamil. Matanya menjadi mata Tuhan, kata-katanya menjadi kata-kata Tuhan, dan hidupnya menjadi hidup Tuhan (nur Muhammad). Muhammad Iqbal tidak oke dengan teori para sufi mirip fatwa al-Jili ini. Menurut dia, hal ini membunuh individualitas dan melemahkan jiwa. Iqbal memang menatap dan mengakui Nabi Muhammad SAW selaku manusia kamil, tetapi tanpa penafsiran secara mistik. 
Insan kamil model Iqbal tidak lain yaitu sang mukmin, yang dalam dirinya terdapat kekuatan, pengetahuan, perbuatan, dan kebijaksanaan. Sifat-sifat luhur ini dalam wujudnya yang tertinggi tergambar dalam etika Nabi SAW. Insan kamil bagi Iqbal yakni sang mukmin yang ialah makhluk moralis, yang dianugerahi kemampuan rohani dan agamawi. Untuk menumbuhkan kekuatan dalam dirinya, sang mukmin senantiasa meresapi dan menghayati budpekerti Ilahi. Sang mukmin menjadi tuan terhjadap nasibnya sendiri dan secara tahap demi tahap mencapai kesempurnaan. Iqbal melihat, manusia kamil diraih lewat beberapa proses. Pertama, ketaatan pada hukum; kedua penguasaan diri sebagai bentuk tertinggi kesadaran diri ihwal pribadi; dan ketiga kekhalifahan Ilahi. 
2.     Hakekat Manusia
•     Hakekat Manusia Menurut Al-Qur’an

  Materi Kuliah Ketenagakerjaan Tanggungjawab Perusahaan Terhadap Buruh

            Hakekat manusia ialah sebagai berikut :
 

a. Makhluk yang mempunyai tenaga dalam yang mampu menggerakkan hidupnya untuk menyanggupi keperluan-kebutuhannya;
b. Individu yang mempunyai sifat rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laris intelektual dan sosial.yang mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif bisa menertibkan dan menertibkan dirinya serta mampu memilih nasibnya;
 c. Makhluk yang dalam proses menjadi meningkat dan terus meningkat tidak pernah final (tuntas) selama hidupnya;
d.  Individu yang dalam hidupnya selalu melibatkan dirinya dalam usaha untuk merealisasikan dirinya sendiri, menolong orang lain dan menciptakan dunia lebih baik untuk ditempati;
e. Suatu eksistensi yang berpeluang yang perwujudanya merupakan ketakterdugaan dengan kesempatanyang tak terbatas;
f.  Makhluk Tuhan yang bermakna ia adalah makhluk yang mengandung kemungkinan baik dan jahat;
g. Individu yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan turutama lingkungan sosial, bahkan beliau tidak bisa meningkat sesuai dengan martabat kemanusiaannya tanpa hidup di dalam lingkungan sosial.
h.  Makhluk yang berfikir. Berfikir ialah bertanya, mengajukan pertanyaan mempunyai arti mencari tanggapan, mencari jwaban mempunyai arti mencari kebenaran.

•    Hakekat Manusia (Menurut Islam – Mohammad Sholihuddin, M.HI)

Manusia terdiri dari sekumpulan organ tubuh, zat kimia, dan unsur biologis yang semuanya itu terdiri dari zat dan materi Secara Spiritual manusia yakni roh atau jiwa. Secara Dualisme insan terdiri dari dua subtansi, adalah jasmani dann ruhani (Jasad dan roh). Potensi dasar insan berdasarkan jasmani adalah kemampuan untuk bergerak dalam ruang yang bagaimanapun, di darat, laut maupun udara. Dan kalau dari Ruhani, manusia memiliki nalar dan hati untuk berfikir (kognitif), rasa (affektif), dan perilaku (psikomotorik). Manusia diciptakan dengan untuk mempunyai kecerdasan.

3.     Martabat Manusia

Martabat saling berkaitan dengan maqam, maksud nya ialah secara dasarnya maqam merupakan tingkatan martabat seseorang hamba terhadap khalikNya, yang juga ialah sesuatu kondisi tingkatannya seseorang sufi di hadapan tuhannya pada dikala dalam perjalanan spritual dalam beribadah terhadap Allah Swt. Maqam ini terdiri dari beberapa tingkat atau tahapan seseorang dalam hasil ibadahnya yang di wujudkan dengan pelaksanaan dzikir pada tingkatan maqam tersebut, secara biasa dalam thariqat naqsyabandi tingkatan maqam ini jumlahnya ada 7 (tujuh), yang di kenal juga dengan nama martabat tujuh, seseorang hamba yang menempuh perjalanan dzikir ini biasanya lewat bimbingan dari seseorang yang alim yang paham akan isi dari maqam ini setiap tingkatnya, seseorang hamba tidak di benarkan asal-asalan menggunakan tahapan maqam ini sebelum menuntaskan atau ada jadinya pada riyadhah dzikir pada setiap maqam, ia harus ada menerima hasil dari amalan pada maqam tersebut. 

Tingkat martabat seseorang hamba di hadapan Allah Swt harus lewat beberapa proses sebagai berikut : 
1.    Taubat;
2.    Memelihara diri dari perbuatan yang makruh, syubhat dan terlebih yang haram;
3.    Merasa miskin diri dari segalanya;
4.    Meninggalkan akan kesenangan dunia yang dapat merintangi hati terhadap ilahi yang maha esa;
5.    Meningkatkan keteguhan terhadap takdirNya;
6.    Meningkatkan ketaqwaan dan tawakkal kepadaNya;
7.    Melazimkan muraqabah (memantau atau instropeksi diri);
8.    Melazimkan renungan terhadap kebesaran Allah Swt;
9.    Meningkatkan hampir atau kedekatan diri terhadapNya dengan cara memutuskan kenangan kepadaNya;
10.    Mempunyai rasa takut, dan rasa takut ini hanya kepada Allah Swt saja.
Dengan lewat latihan di atas melalui amalan dzikir pada maqamat, maka seseorang hamba akan muncul sifat berikut : 
1. Ketenangan jiwa;
2. Harap terhadap Allah Swt;
3. Selalu rindu kepadaNya dan suka memajukan ibadahnya;
4. Muhibbah, cinta kepada Allah Swt.

  Memuji Namun Jangan Lebay

Untuk menerima point di atas, seseorang hamba mesti melalui beberapa tingkatan maqam di bawah ini, namun melaluinya yaitu amalan dzikir pada maqam yang 7 (tujuh), adapun risikonya akan mampu di uraikan dengan beberapa maqam sifat, yakni : 

•    Taubat;
•    Zuhud;
•    Sabar;
•    Syukur;
•    Khauf (takut);
•    Raja’ (harap);
•    Tawakkal;
•    Ridha;
•    Muhibbah. 
4.     Tujuan Penciptaan Manusia
Tujuan penciptaan manusia adalah untuk penyembahan Allah. Pengertian penyembahan kepada Allah dihentikan diartikan secara sempit, dengan hanya membayangkan faktor ritual yang tercermin salam solat saja. Penyembahan bermakna ketundukan insan pada hukum Allah dalam mengerjakan kehidupan di paras bumi, baik ibadah ritual yang menyangkut korelasi vertical (insan dengan Tuhan) maupun ibadah sosial yang menyangkut horizontal ( insan dengan alam semesta dan manusia).
Penyembahan insan pada Allah lebih mencerminkan kebutuhan manusia kepada terwujudnya sebuah kehidupan dengan tatanan yang adil dan baik. Oleh alasannya adalah itu penyembahan harus dijalankan secara sukarela, alasannya adalah Allah tidak memerlukan sedikitpun pada manusia termasuk pada ritual-ritual penyembahannya. Dalam hal ini Allah berfirman:
Dan aku tidak membuat jin dan manusia, melainkan agar mereka menyambah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan saya tidak menginginkan  semoga mereka member saya makan. Sesungguhnya Allah, Dialah maha pemberi Rezeki yang memiliki kekuatan lagi sangat kokoh. (az-Zaariyaat, 51:56-58).
     Dan mereka telah di perintahkan kecuali agar mereka menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan terhadap-Nya dalam (melaksanakan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan degnan dekimikian itulah agama yang lurus. (Bayinnah, 98:5)
Penyembahan yang sempurna dari seseorang manusia akan menjadikan  dirinya sebagai khalifah Allah di tampang bumi dalam mengorganisir kehidupan alam semesta. Keseimbangan alam dapat tersadar dengan aturan-aturan alam yang kokoh. Keseimbangan pada kehidupan insan tidak sekedar akan menghancurkan bagian-bab alam semesta lainnya, inilah tujuan penciptaan insan di tengah-tengah alam.
 5.     Fungsi Dan Peranan Manusia Dalam Islam
Berpedoman kepada QS Al-Baqarah 30-36, maka tugas yang dilaksanakan yakni selaku pelaku ajaran Allah dan sekaligus aktivis dalam membudayakan fatwa Allah. Untuk menjadi pelaku ajaran Allah, apalagi menjadi penggagas pembudayaan fatwa Allah, seseorang dituntut memulai dari diri dan keluarganya, baru sehabis itu kepada orang lain. Peran yang hendaknya dilaksanakan seorang khalifah sebagaimana yang telah ditetapkan Allah, diantaranya ialah :
1.    Belajar (surat An Naml : 15-16 dan Al Mukmin :54) ; Belajar yang dinyatakan pada ayat pertama surat al Alaq yakni mempelajari ilmu Allah yaitu Al Qur’an;
2.      Mengajarkan ilmu (al Baqoroh : 31-39) ; Khalifah yang telah diajarkan ilmu Allah maka wajib untuk mengajarkannya kepada insan lain.Yang dimaksud dengan ilmu Allah adalah Al Quran dan juga Al Bayan;
3.      Membudayakan ilmu (al Mukmin : 35 ) ; Ilmu yang telah dikenali bukan cuma untuk disampaikan terhadap orang lain melainkan dipergunakan untuk dirinya sendiri dulu agar membudaya. Seperti apa yang telah dicontohkan oleh Nabi SAW.
Di dalam Al Qur’an disebutkan fungsi dan peranan yang diberikan Allah terhadap insan.
• Menjadi abdi Allah. Secara sederhana hal ini memiliki arti hanya bersedia mengabdi kepada Allah dan tidak inginmengabdi kepada selain Allah termasuk tidak mengabdi terhadap nafsu dan syahwat. Yang dimaksud dengan abdi yaitu makhluk yang mau melaksanakan apapun perintah Allah meski terdapat resiko besar di dalam perintah Allah. Abdi juga tidak akan pernah membangkang kepada Allah. Hal ini tercantum dalam QS Az Dzariyat : 56“Dan tidak Aku ciptakan jin dan insan melainkan semoga mereka menyembahKu”
• Menjadi saksi Allah. Sebelum lahir ke dunia ini, insan bersaksi terhadap Allah bahwa cuma Dialah Tuhannya.Yang demikian dijalankan agar mereka tidak ingkar di hari simpulan nanti. Sehingga manusia sesuai fitrahnya adalah beriman kepada Allah tapi orang tuanya yang menjadikan manusia selaku Nasrani atau beragama selain Islam. Hal ini tercantum dalam QS Al A’raf : 172.
• “Dan (camkan), keturunan bawah umur Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):”Bukankah Aku ini Tuhanmu?”. Mereka menjawab:”Betul (Engkau Tuhan Kami),kami menjadi saksi”.(Kami kerjakan yang demikian itu) biar di hari akhir zaman kau tidak mengatakan:”Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. 
• Khalifah Allah sebetulnya yakni perwakilan Allah untuk berbuat sesuai dengan misi yang telah diputuskan Allah sebelum insan dilahirkan ialah untuk memakmurkan bumi. Khalifah yang dimaksud Allah bukanlah sebuah jabatan selaku Raja atau Presiden tetapi yang dimaksud selaku kholifah di sini yaitu seorang pemimpin Islam yang mampu memakmurkan alam dengan syariah-syariah yang sudah diajarkan Rosulullah terhadap umat insan. Dan insan yang beriman sejatilah yang mampu memikul tanggung jawab ini. Karena kholifah yaitu wali Allah yang mempusakai dunia ini.
6.     Tanggung jawab manusia sebagai Hamba Allah
                  Kewajiban manusia kepada khaliknya yaitu bagian dari rangkaian hak dan keharusan manusia dalam hidupnya selaku suatu wujud dan yang maujud. Didalam hidupnya insan tidak lepas dari adanya korelasi dan ketergantungan. Adanya korelasi ini menimbulkan adanya hak dan keharusan. Hubungan manusia dengan Allah yakni hubungan makhluk dengan khaliknya. Dalam persoalan ketergantungan, hidup manusia selalu memiliki ketergantungan kepada yang lain. Dan tumpuan serta ketergantungan adalah ketergantungan kepada yang Maha Kuasa, yang Maha Perkasa, Yang Maha Bijaksana, Yang Maha Sempurna, ialah Allah rabbul’alamin, Allah Tuhan Yang Maha Esa.
Kebahagian manusia di dunia dan akhirat, tergantung terhadap izin dan ridho Allah. Dan untuk itu Allah memperlihatkan ketentuan-ketentuan semoga manusia dapat mencapainya. Maka untuk mencapainya kebahagian dunia dan akhirat itu dengan sendirinya kita harus mengikuti ketentuan-ketentuan dari allah SWT. Apa yang sudah kita terima dari allah SWT. Sungguh ak dapat dijumlah dan tak mampu dinilai dengan materi banyaknya. Dan jikalau kita mau menghitung-hitung lezat dari Allah, kita tidak mampu menghitungnya, alasannya terlalu amat sangat banyaknya. Secara watak manusiawi insan mempunyai keharusan Allah sebagai khaliknya, yang telah memberi kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya. Jadi berdasarkan hadits AL-Lu’lu uwal kewajiban insan kepada Allah pada garis besar besarnya ada 2 :
1) mentauhidkan-Nya yaitu tidak memusyrik-Nya terhadap sesuatu pun;
2) beribadat terhadap-Nya.
Orang yang demikian ini mempunyai hak untuk tidak disiksa oleh Allah, bahkan akan diberi pahala dengan pahala yang berlipat ganda, dengan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat bahkan dengan ganda yang tak terduga banyaknya oleh insan. Dalam al-quran kewajiban ini diformulasikan dengan :
1) dogma;
2) amal saleh.
Beriman dan berzakat saleh itu dalam istilah lain disebut takwa. Dalam ayat (Q.S al-baqorah ayat 177) dogma dan amal saleh, yang disebut takwa dengan perincian :
1) kepercayaan terhadap Allah : kepada hari final, kepada malaikat-malaikat, kepada kitab-kitab, dan terhadap nabi-nabi;
2) amal saleh :
a. Kepada sesama insan : dengan memperlihatkan harta yang juga bahagia kepada harta itu, terhadap kerabatnya kepada belum dewasa yatim kepada orang-orang miskin terhadap musafir yang membutuhkan perlindungan (ibnu sabil);
b. Kepada Allah : menegakan / mendirikan shalat, menunaikan zakat;
c. Kepada diri sendiri : menempati kesepakatan bila beliau berjanji, sabar delam kesempitan, penderitaan dan pertempuran.
Kesemuanya itu yaitu dalam rangka ibadah kepada allah memenuhi insan kepada khalik.
Tanggung jawab manusia selaku khalifah Allah
Sebagai makhluk Allah, manusia mendapat amanat yang harus di pertanggung jawabkan di hadapan-Nya. Tugas hidup yang di pikul insan di paras bumi yakni tugas kekhalifahan, adalah peran kepemimpinan; wakil Allah di muka bumi untuk mengelola dan memelihara alam.
Khalifah mempunyai arti wakil atau pengganti yang memegang kekuasaan. Manusia menjadi khalifah, berarti insan mendapatkan mandate Tuhan untuk merealisasikan kesejahteraan di muka bumi.Kekuasaan yang di berikan kepada manusia bersifat inovatif, yang memungkinkan dirinya mengolah dan mendayagunakanvapa yang ada di paras bumi untuk kepentingan hidupnya sesuai dengan ketentuan yang di tetapkan oleh Allah. Agar insan mampu mengerjakan kekhalifahannya dengan baik, Allah telah mengajarkan kepadanya kebenaran dalam segala ciptaan-Nya dan lewat pemahaman serta penguasaan kepada hukum-aturan yang terkandung dalam ciptaan-Nya, insan bisa menyusun konsep-rancangan serta melaksanakan rekayasa membentuk wujud gres dalam alam kebudayaan.
Dua peran yang di pegang manusia di wajah bumi. Sebagai khalifah dan ‘abd ialah perpaduan peran dan tanggung jawab yang melahirkan dinamika hidup,  yang sarat dengan kreatifitas dan amaliah yang selalu berpihak pada nilai-nilai kebenaran. Oleh sebab itu hidup seorang muslim akan di penuhi dengan amaliah, jerih payah yang tiada henti, alasannya bekerja bagi seorang muslim yaitu membentuk satu amal shaleh. Kedudukan manusia di paras bumi selaku khalifah dan selaku makhluk Allah, bukanlah dula hal yang bertentangan melainkan suatu kesatuan yang padu dan tidak terpisahkan. Kekhalifaan yaitu ralisasi dari pengabdiannya kepada Allah yang menciptakannya.
Dua segi peran dan tanggung jawab ini tertata dalam diri setiap muslim sedemikian rupa. Apabila terjadi ketidakseimbangan, maka akan lahir sifat-sifat tertentu yang menjadikan derajat insan meluncur jatuh ke tingkat yang terendah, seprti firman Allah dalam Surat Ath-Thin ayat 4.
Dengan demikian, insan selaku khalifah Allah merupakan satu kesatuan yang menyampurnakan nilai kemanusiaan yang memiliki keleluasaan berkreasi dan sekaligus menghadapkannya pada permintaan kodrat yang menempatkan posisinya pada kekurangan .
Perwujudan mutu keinsanian manusia tidak terlepas dari konteks sosial budaya, atau dengan kata lain kekhalifaan manusia pada dasarnya diterapkan pada konteks indvisu dan sosial yang berporos pada Allah, seperti firman Allah dalam Muthathohirin:112.

 
BAB III
 
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Keberadaan manusia di paras bumi ini mempunyai misi utama, adalah beribadah kepada Allah SWT . Kehadiran insan tidak terlepas dari asal permintaan kehidupan di alam semesta. Manusia hakihatnya yaitu makhluk ciptaan Allah SWT. Pada diri manusia terdapat perpaduan antara sifat ketuhanan dan sifat kemakhlukan. Dalam pandangan Islam, selaku makhluk ciptaan Allah SWT insan mempunyai tugas tertentu dalam melaksanakan kehidupannya di dunia ini. Untuk menjalankan tugasnya manusia dikaruniakan akal dan asumsi oleh Allah SWT. 
Hakekat insan dalam pandangan islam adalah selaku khalifah di bumi ini. Yang bisa merubah bumi ini kearah yang lebih baik. Hal yang mengakibatkan insan sebagai khalifah yaitu alasannya insan memiliki keunggulan yang tidak dimiliki makhluk lainnya, mirip akal dan perasaan. Selain itu insan diciptakan Allah dalam bentuk yang paling baik, ciptaan Allah yang paling sempurna.
Kewajiban insan kepada khaliknya adalah bagian dari rangkaian hak dan keharusan manusia dalam hidupnya sebagai sebuah wujud dan yang maujud. Didalam hidupnya manusia tidak lepas dari adanya relasi dan ketergantungan. Adanya relasi ini mengakibatkan adanya hak dan kewajiban. Hubungan insan dengan Allah adalah korelasi makhluk dengan khaliknya. Dalam dilema ketergantungan, hidup insan senantiasa mempunyai ketergantungan kepada yang lain. Dan tumpuan serta ketergantungan adalah ketergantungan terhadap yang Maha Kuasa, yang Maha Perkasa, Yang Maha Bijaksana, Yang Maha Sempurna, ialah Allah rabbul’alamin, Allah Tuhan Yang Maha Esa.

  Pembelajaran Berbasis Masalah (Duduk Perkara Based Learning)

 

DAFTAR PUSTAKA

https://aristasefree.wordpress.com/tag/fungsi-dan-peranan-insan-dalam-islam/
http://carapedia.com/pengertian_definisi_manusia_menurut_para_ahli_info508.html
http://www.scribd.com/doc/48595986/6/Tanggung-Jawab-Manusia-sebagai-Hamba-dan-Khalifah-Allah

(Wallahu’alam)..