Contoh Bermadzhab Dan Taqlid

Pola pemahaman ajaran islam lewat ijtihad para mujtahid umum disebut madzhab. Madzhab mempunyai arti jalan fikiran dan jalan pengertian atau pola pemahaman.
Pola pengertian dengan sistem, prosedur dan produk. Ijtihad itu juga dibarengi oleh umat islam yang tidak mampu ijtihad sendiri karena keteratasan ilmu dan syarat-syarat yang dimiliki. Mereka lazim disebut bermadzhab atau menggunakan madzhab (Muchtar, 2007: 20-21).

Dengan sistem bermadzhab ini, ajaran islam dapat terus dikembangkan, disebarluaskan dan diamalkan dengan gampang kepada semua lapisan dan tingkatan umat islam. Melalui tata cara ini pola pewarisan dan pengamalan pemikiran islam terpelihara kelurusan dan terjamin kemurniannya.

Itu alasannya adalah anutan yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits dipahami, ditafsiri, dan diamalkan dengan pola pemahaman dan metode ijtihad yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.

Pola pemahaman ajaran islam melalui ijtihad para mujtahid lazim disebut madzhab Pola Bermadzhab Dan Taqlid

Pengertian Madzhab (bermadzhab) Dan Taqlid

Madzhab (bermadzhab)

Madzhab secara etimologis ialah jalan, ajaran, usulan, anutan atau iktikad. Dalam kajian islam pengertian madzhab adalah metode mengerti pedoman-pedoman islam.
Sedangkan bermadzhab pada dasarnya yakni mengikuti anutan atau usulan imam mujtahid yang diyakini memiliki kompetensi ( kwenangan / kesanggupan ) berijtihad (Hasan, 2007: 76).

Sedangkan definisi lain diberikan oleh Dr. Sa’id Ramadhan Al-Buthi, menurutnya bermadzhab ialah mengikutinya orang awam atau orang-orang yang tidak mencapai kesanggupan ijtihad.

sebab pendapat atau ajaran seorang imam mujtahid, baik beliau itu mengikuti seorang mujtahid tertentu secara tetap, atau dalam hidupnya beliau berpindah dari seorang mujtahid ke mujtahid yang lainnya.

Dan yang disebut Tidak Bermadzhab adalah tidak mengikutinya orang awam atau orang-orang yang tidak meraih kesanggupan ijtihad, kepada mujtahid manapun, baik secara tetap maupun tidak tetap (Hasan, 2007: 77).

Taqlid

Kemudian mengatakan ihwal Taqlid, para ulama’ ushul fiqih mendefinisikan Taqlid sebagai upaya mengikuti pertimbangan / ajaran orang lain tanpa mengenali atau menelusuri dalil (suatu isyarat untuk dijadikan dasar dalam melaksanakan sesuatu) yang mendasarinya (Muhibbul & Baihaqy, 2007: 17).
Jika mengikuti pendapat orang lain dengan menelusuri dalil-dalilnya, karena atau landasnnya maka dinamakan Itba’ atau Ittiba’.

Syarat-syarat dan Tingkatan Mujtahid

Seorang mujtahid mesti memeras pikiran dan mencurahkan seluruh waktunya untuk meneliti secara mendalam kepada dalil-dalil fiqh, sehingga bisa menghasilkan praduga aturan.
Secara detail, sebagian ulama ushul fiqh menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid,ialah menguasai bahasa arab, menguasai Al-Quran (tergolong Ilmu Tafsir) dan Sunnah, mengenali ijma’ kepada dilema-masalah hukum, menguasai ilmu ushul, memahami maqosid as-syariah (tujuan-tujuan Syara’) secara utuh, mengerti secara baik ikhtilaf dikalangan hebat fiqh (Aceng, 2007: 49).

Dalam rujukan ushul fiqh, bahwa tidak semua mujtahid itu melahirkan mazhab yang mandiri, tetapi sebagian besar mereka tetap mengakui selaku pengikut Imam mazhab tertentu.

Seperti imam Nawawi, Imam Al-Muzani, Iman Ghazali, Imam Al-Haromain meskipun sering melaksanakan ijtihad yang terkadang berlawanan usulan dengan imamnya (Imam Syafi’i) dalam beberapa duduk perkara, namun tetap menyatakan diri sebagai bermadzhab Syafi’i (Hasan, 2007: 85).
Oleh karena kenyataan yang demikian, ulama’ ushul fiqh membagi tingkatan-tingkatan mujtahid kedalam beberapa jenjang.

Selanjutnya berkaitan dengan tingkatan mujtahid, al-Ghazali dan Ibu hammam Dalam Aceng (2007: 49-51) membagi tingkatan mujtahid menjadi dua, yaitu:

  • Mujtahid mutlak, yaitu seseorang yang sudah memenuhi semua syarat-syarat yang ditetapkan.
  • Mujtahid al-Muntashib, yaitu mujtahid yang hanya berijtihad dalam bidang-bindang tertentu saja.
  Inggris di Indonesia

Berbeda dengan pembagian terstruktur mengenai yang diajukan oleh Imam Al-Ghazali, Imam Syarifuddin Yahya Al-Imrithi dalam kitabnya Tashil al-Thuruqat halaman 57, yang mengklasifikasikan Mujtahid sebagai berikut:

  • Mujtahid Mutlak, yaitu seseorang yang mempunyai sistem lengkap dalam berijtihad mirip Imam Muhammad Bin Idris As-Syafi’i, Imam Ahmad Bin Hambal, Imam Abu Hanifah Dan Imam Malik bin Anas.
  • Mujtahid Madzhab, yakni orang yang memiliki kemampuan mengetahui kaidah-kaidah imam Madzhab, kemudian dia mampu menggali pertimbangan yang melampaui usulan imamnya, dari suatu dalil. Seperti: Imam Muzani, Imam Buwaithi, dan lain-lain.
  • Mujtahid Fatwa, yakni orang yang sungguh mendalam pengetahuannya tentang madzhab imamnya sehingga mampu mentarjih salah satu diantara dua qoul, ketik dua qoul tersebut dimutlakkan oleh seorang imam. Seperti Imam Ar-Rofi’I dan Imam An-Nawawi, Ibnu Hajar dan Ar-Romli (Versi Kitab Tanwir Al-Qulub) (Muhibbul & Baihaqy, 2007: 16).

Syarat-syarat Dan Ketentuan Taqlid

Termasuk diantara kriteria orang yang taqlid yaitu ia bukan orang yang ‘alim sebagaimana kealiman seorang mujtahid. Bagi orang-orang yang tidak memenuhi syarat-syarat ijtihad mirip diatas maka wajib baginya untuk berpegang teguh pada pendapatnya mujtahid. Sebagaimana diterangkan dalam firman Alloh:

Dan Kami tidak mendelegasikan sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah terhadap orang yang mempunyai wawasan jika kamu tidak mengenali (An-Nahl: 43)

Melihat mafhum dari ayat diatas, memiliki arti bagi orang yang memiliki kemampuan untuk berijtihad, tidak diperbolehkan taqlid atau mengikuti pendapatnya mujtahid lain. Seperti Imam Syafii dihentikan taqlid kepada Imam Malik atau sebaliknya.

Mengapa Harus Bermadzhab Dan Kenapa Harus Empat Madzhab?

Hadrotus Syeh Hasyim Asy’ari dalam Muktamar NU ke IV Th 1929 disemarang menyampaiakan:

“ketahuilah! Bahwa bahu-membahu mengikuti salah satu dari empat madzhab (hanafi, maliki, Syafi’I, dan hanbali) mengandung kemaslahatan yang besar dan meninggalkan semuanya menenteng resiko kerusakan yang fatal”.

Alasan memilih kenapa empat madzhab saja Menurut Muchtar (2007, 24-25) dapat dijabarkan selaku berikut:

Keempat madzhab tersebut ialah Imam Mujtahid Mutlak Mustaqil, adalah imam Mujtahid yang bisa berfikir secara mampu berdiri diatas kaki sendiri membuat Manhaj al-Fikr, contoh, sistem, proses dan prosedur istinbath dengan seluruh perangkat yang diharapkan.

Para Imam Madzhab itu mempunyai murid yang secara konsisten mengajar dan menyebarkan madzhabnya yang disokong oleh buku induk yang masih terjamin keasliannya sampai dikala ini.
Ternyata para imam Madzhab ini memiliki mata rantai dan jaringan intelektual diantara mereka.
Keempat imam madzhab terebut memiliki perilaku tawadlu’ dan saling menghormati.

Pola-Pola Bermadzhab

Menurut Ahmad Zahro pendekatan bermazhab memakai tiga macam tata cara penggalian aturan yang diterapkan secara berjenjang (Zahro, 2004: 118-124), yakni sebagai berikut:

  • Metode Qauly (tekstual); adalah dengan merujuk pribadi pada teks pertimbangan imam mazhab empat atau pertimbangan ulama pengikutnya (Masyhuri, 1997: 356).
  • Metode Ilhaqi; yakni menyamakan hukum suatu kasus yang belum ada ketentuan hukumnya dengan perkara yang telah ada hukumnya dalam kitab-kitab fikih.
  • Metode manhajiy (Bermadzhab Secara Manhajiy / Metodologis);Yaitu menyelesaikan problem hukum dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam mazhab. Prosedur operasional metode manhajiyadalah dengan mempraktekkan qawaid ushuliyyah (kaidah-kaidah ushul fiqh) dan qawaid fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh).

Secara historis, mazhab dalam islam mampu di identifikasi menjadi dua kelompok besar, ialah ahl Al-ra’y dan ahl al-Hadits, atau biasa diketahui dengan faksi hijaz dan faksi kufah.

Faksi pertama, diwakili oleh imam Abu Hanifah, seorang faqih dan ulama’ yang yang lebih banyak menggunakan takaran ra’yu atau paling tidak lebih rasional dalam dalam pedoman ijtihadnya.

  Gosip Hoax Yang Menggemparkan Dunia, Dan Tips Cara Mengenali Gosip Hoax

Sementara faksi kedua diwakili oleh imam Malik bin Anas ibn Amr, seorang faqih dan ulama’ yang lebih banyak memakai hadits dan tradisi penduduk Madinah sebagai rujukan dalam fatwa ijtihadnya.

Sedangkan imam Syafi’I diketahui sintesa antara dua faksi ini, walaupun condong terhadap ahl al-Hadits, dan imam Ahmad bin Hambali juga masuk dalam faksi ahl al-hadits alasannya adalah beliau orang muhadditsin, disamping juga selaku mujtahid mustaqil, tetapi contoh istinbatnya lebih bersahabat terhadap metodologi gurunya, Imam Syafi’i (Aceng, 2007: 43).

Dalam konteks bermadzhab, tampakbahwa keberadaan mazhab hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali memiliki basis yang besar lengan berkuasa dalam komunitas masyarakat islam, para pengikut dan murid mazhab-mazhab tersebut mengembangkannya sehingga konstruksi tersebut semakin mengakar.

Pluralisme Madzhab

Pluralime mazhab dalam kehidupan penduduk global kini sukar disingkirkan, alasannya terjadinya perubahan-pergantian baru bukan hanya dalam interaksi sosial (seperti relasi kerja, perjanjian -persetujuan bisnis, metode poltik dan pemerintahan) namun juga penemuan baru dibidang ilmu wawasan dan teknologi serta berita, yang tidak atau belum ditemukan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh mazhab yang ada, atau ada disebagian kitab mazhab namun tidak ada dikitab mazhab yang lainnya.

Disinilah pentingnya tugas fiqh dalam menunjukkan penyelesaian / pemecahan duduk perkara. Tapi masih banyak diantara kita yang memandang fiqh selaku sesuatu yang sungguh dogmatik, gara-gara cara bermazhab yang terpaku pada mazhab qouli dan tidak diikuti dengan pemahaman perihal madzhab manhaji (Masalah ini pernah disampaikan oleh ia Tholhah Hasan dalam forum halqoh Masa’il Diniyah di Pondok pesantren Mamba’ul Ma’terpelajar Denanyar Jombang. Lihat Tholhah Hasan. 2007:: 84).

Mayoritas ulama’ mazhab, mirip Imam Rafi’I, Ibnu Hajib, Al-Amidi, Kamal Hamam dan lain-lain menyepakati pendapat yang menyepakati orang awam yang tidak mampu berujtihad mengikuti pendapat atau fatwa doktrin mazhab secara tidak tetap dalam berbagai masalah.

Dengan pertimbangan tersebut seseorang bermakna dapt mengiktui mazhab tertentu (mazhab Syafi’I dan hanbali seumpamanya) tetapi dalam duduk perkara tertentu ia mengikuti mazhab lain. Namun dirinya tetap menyatakan dirinya bermazhab Syafi’I atau Hanbali.

Rekontruksi Metode Bermazhab Secara Manhajiy

Rekonstruksi atau reconstruction berarti sebuah perjuangan atau proses pembangunan kembali, penyusunan atau perangkaian kembali.

Dewasa ini fiqh Islam dianggap mandul alasannya peran kerangka teoritik ilmu ushul fiqh dirasa kurang berkaitan lagi untuk menjawab problem kontemporer. Oleh jadinya, muncul banyak anjuran metodologi gres dari para ahli Islam kontemporer dalam perjuangan menggali aturan Islam dari sumber aslinya untuk diadaptasi dengan dinamika kemajuan zaman.

Metode manhajiy merupakan suatu kemajuan yang ideal alasannya konsekuensi penggunaan metode ini adalah mesti mengacu pada tata cara penggalian aturan mazhab empat secara komprehensif dengan memperhatikan ragam dan hirarkinya.

Metode dan hirarki penggunaan sumber hukum Islam berdasarkan mazhab Hanafi yaitu: al-Qur’an, al-Hadis ash-Shahihah, Aqwal ash-Shahabah, Qiyas, al-Istihsan, Ijma’ Mazhab Maliki: al-Qur’an, al-Hadis ash-Shahih, Ijma’ ash-Shahabah, ‘Amal Ahl Madinah, Fatwa ash-Shahabah, Qiyas, Istihsan, al-Mashalih al-Mursalah, dam az-Zara’i. Mazhab Syafi’i: al-Qur’an, al-Hadis ash-Shahih, Ijma’, Aqwal ash-Shahabah, dan Qiyas. Mazhab Hanbali: Nash, Ijma’, Qiyas, al-Mashalih al-Mursalah, al-Istihsan, az-Zara’i, Fatwa ash-Shahabah, dan al-Istishhab. (Lihat Ahmad Zahro, 2007:130-134)

  Sejarah Desa Weru Plered Kabupaten Cirebon

Akan tetapi itu saja tidak cukup, alasannya baik kaidah fiqh maupun ushul fiqh dalam batas tertentu akan tidak mampu memecahkan duduk perkara hukum kontemporer. Oleh kesudahannya semoga metode itu compatible dengandunia terbaru, maka perlu ada pengembangan metodologi.

Sementara berijtihad secara manhajiy dengan pemahaman di atas, masih mengambil dan mengikuti apa yang sudah dihasilkan oleh ulama mazhab, belum hingga pada pengembangan metodologi yang mesti menjadi kebutuhan dalam kontek memecahkan duduk perkara hukum kekinian

Pengembangan metodologi dilatarbelakangi oleh kenyataan ketidakcukupan tata cara klasik memecahkan problem-masalah kekinian. Sementara metode-tata cara sain terbaru sebab meninggalkan tugas wahyu juga dirasa tidak cukup memperlihatkan jawaban kebutuhan muslim kontemporer.

Pada titik inilah Qodri Azizi menjajal menunjukkan sebuah pemikiran untuk mengisi ruang kosong dalam hal pengembangan metodologi, yakni bermazhab dengan menggunakan pendekatan ijtihad saitifik-modern.

Upaya rekonstruksi bangunan teori bermazhab secara manhajiyyang sudah didefinisikan di atas, yang dikawinkan dengan motode-sistem sain terbaru dengan mengambil bagian-unsur baik dari metode-sistem Islam klasik maupun tata cara-sistem Barat modern.

Sementara itu KH. Sahal Mahfudz juga menawarkan ide baru dalam menggali aturan islam, Bagi KH. Sahal bermazhab secara metodologis (manhaji) ialah sebuah kewajiban, sebab teks-teks fiqh dalam kitab kuning dipandang sudah tidak aplicableseiring dengan berubahnya ruang dan waktu (Sumanto, 1999: 116).

Pada tataran aplikasi KH. Sahal Mahfudh tampaknya setuju dengan pertimbangan Maliki dan Hanbali dengan konsep al-Maslahah al-Mursalah dan asy-Syatibi dengann teori maqashid al-Syariah.

Yang senantiasa memandang aspek mashlahah sebagai acuan syari’ah dalam beristinbathdengan tetap memperhatikan pendapat para shahabat, dan fuqoha permulaan.

Cara ini ditempuh semoga dalam proses penggalian aturan (istinbath) tidak terjerat ke dalam arus modernitas–liberal semata, ia memperlihatkan anjuran ajaran “Fiqih Sosial” (Sumanto, 1999: 119-120).

Menurut Muhibbul Aman Ali, bahwa pada zaman sekarang tidak ada alasan untuk menolak taqlid terhadap imam madzhab empat, alasannya adalah tidak dimungkinkannya setiap insan mengambil aturan-aturan agama langsung dari sumbernya.

Disebabkan tidak dapat terpenuhinya segala standar ijtihad, seperti menguasai ilmu Al-Qur’an, Hadits, Sorof, Nahwu, Lughot, dan perbedaan-perbedaan pendapat ulama’ serta metode dalam mengambil aturan dari sumbernya (Muhibbul, 2007: 11).

Sebagaimana pembahasan diatas, maka mampu disimpulkan bebarapa hal, yakni:

  • Bagi orang-orang yang tidak menyanggupi syarat-syarat ijtihad mirip diatas maka wajib baginya untuk taqlid dengan usulan Imam Madzhab.
  • Menurut sebagian pertimbangan bahwa berpindah madzhab dalam persoalan tertentu itu diperbolehkan.
  • Metode penggalian aturan oleh para mujtahid dibagi menjadi tiga, ialah tata cara Qouli (tekstual), Metode Ilhaqi, dan Metode Manhaji.
  • Dalam pertumbuhan zaman yang makin terbaru, timbul aneka macam pendapat tentang konsep gres dalam bermadzhab seperti yang digagas oleh Qodri Azizi perihal Santifik Modern dan rancangan yang diajukan oleh KH. Sahal Mahfudz Tentang Fiqh Sosial.

Daftar Pustaka

  • Aziz Masyhuri. 1997. Masalah Keagamaan NU. Surabaya: PP. RMI dan Dinamika Press
  • Ahmad Zahro. 2004. Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa’il 1926-1999. Yogyakarta: LkiS
  • Aceng Abd. Aziz, dkk. 2007. Islam Ahlu Sunnah Waljama’ah Indonesia. Cet.II. Jakarta: Pustaka Ma’akil NU
  • Masyhudi muchtar,dkk. 2007. Aswaja An-Nahdliyah. Cet.I. Surabaya: Khalista
  • Syarifuddin Yahya Al-Imrithi. Tt. Tashil At-Thuruqot. Kediri: Hidayatul Mubtadi’in Lirboyo
  • Tholhah Hasan. 2007. Aswaja Dalam Persepsi Dan Tradisi NU. Cet.V. Jakarta: Lantabora Press
  • Muhibbul Amali.dkk. 2007. Ajaran, Fatwa Dan Amaliyah aswaja. Cet.III. Pasuruan: PCNU Kab. Pasuruan
  • Sumanto al-Qurtubi. 1999. KH. M.A. Sahal Mahfudh, Era Baru Fiqih Indonesia. Yogyakarta: Penerbit CERMI
  • Qodri Azizi. 2003. Reformasi Bermazhab, Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Saintifik Modern. Jakarta: Penerbit Teraju