<=Ciri-Ciri Orang Beriman Di dalam al Alquran=> Ada dua surat yang berhubungan dengan orang-orang beriman, adalah surat Al Mukmin dan surat Al mukminun. Al Mukminun secara harfiah artinya orang-orang yang beriman. Kalau surat Al Mukmin menggunakan bentuk kata tunggal, sementara Al Mukminun adalah bentuk kata jamak. Karena banyak penghuni bumi ini yang mukmin adalah kurang lebih 6 milyar, adalah seperempat dari penghuni bumi keseluruhan. Apakah pengesahan ini mampu diterima begitu saja, ataukah ada kriteria minimal yang mampu kita gunakan untuk mengenali orang-orang yang beriman?
Sering kali kita beranggapan seolah-olah beragama itu tidak ada standarnya. Kesan ini tentu tidak benar. Kenapa? Mari kita berelaborasi dengan seorang yang berpredikat misalnya dengan seorang pegawai, baik ia itu lingkungan swasta lebih-lebih di lingkungan negeri sipil atau dilingkungan pegawai negeri Tentara Nasional Indonesia. Yang aku maksud semua itu harus ada syarat-syaratnya. Misalnya seseorang itu akan diterima sebagai pegawai bila beliau telah meraih umur minimal 25 tahun, bila ada anak yang berumur 19 tahun melamar pekerjaan itu pasti tidak akan diterima orang tersebut sebab belum dewasa. Kemudain ada syarat-syarat lain contohnya bertubuhsehat. Itu dibuktikan oleh kepolisian atau dari dokter yang pertanda bahwa orang ini berkelakuan baik. Kemudian jikalau beliau juga ingin dinyatakan berbadan sehat, pasti mesti ada surat keterangan dari dokter. Dokternya tentu saja bukan saja sembarang dokter bahkan sudah ditentukan rumah sakitnya, itu yakni contoh. Jadi analog ini menggambarkan, kita menjadi orang-orang Mukmin atau al Mukminun itu juga niscaya ada syarat-syaratnya, kapan seseorang itu pantas diberi predikat Mukmin (kata jamaknya al Mukminun), kapan ia patut atau tidaknya predikat mukmin tersebut. Nah, tolak ukur kelayakan orang-orang itu layak dianggap selaku al Mukminun, itulah yang dikemukakan di dalam surat al Mukminun.“Sungguh mujur orang-orang yang beriman “ (QS. Akl Mukmin : 1).
Tidak dikatakan “sungguh berbahagia para pembisnis“. Karena berbagai pembisnis itu rugi, kenapa juga tidak dibilang “Sungguh mujur orang-orang yang mempunyai kedudukan yang tinggi“. Tapi al Quran mengatakannya “Sungguh mujur orang-orang yang beriman“ Apapun profesi ia, mampu sebagai petani, pegawai negeri sipil, pedagang, pejabat. Pokoknya jika beliau al Mukminun pasti beliau meraih kebahagiaan, menjangkau keberuntungan dan meraih kemenangan, begitulah alQuran menyampaikan. Hanya Al Quran mengatakan, orang-orang yang Mukmin yang hendak menjangkau kemenangan yakni orang-orang Mukmin yang ada syarat-syaratnya mirip yang diputuskan Al Alquran ini. Tadi digambarkan bahwa beliau itu bertubuhsehat, sebab ada buktinya dari dokter, beliau berkelakuan baik karena ada kerterangannya dari kepolisian, itu merupakan acuan dari tolok ukur. Kalau beliau dinyatakan lulusan dari sebuah sekolah X, itu ada ijazahnya. Maka Orang beriman juga ada ciri-cirinya walaupun tidak dibukukan. Menurut surat al Mukminun ayat 1-8 ciri-cirinya atau syarat-syaratnya adalah selaku berikut :
- 1). Shalatnya khusyu’
“Yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya“ (QS. Al-Mukminun : 2).
Kalau orang tidak pernah shalat, meskipun beliau mengaku diri mukmin, itu bukan. Karena bertentangan dengan al Quran. Karena menurut al Alquran ciri orang beriman itu adalah orang yang melaksanakan shalat, bahkan lebih dari itu shalatnya shalat khusyu’. Kalau dalam surat informasi itu surat palsu, apakah surat keterangan itu diterima? Tentu tidak. Kaprikornus shalat yang bermutu itu ialah tolak ukurnya. Kalau orang yang tidak pernah shalat tiba-tiba mengaku selaku orang-orang yang beriman, rasanya itu sangat berlawanan dengan al Quran surat al Mukminun ayat 1.
Shalat itu mampu dikenali orang. Kalau di kantor punya teman nampaknya tidak pernah mengambil air wudhu, tidak pernah shalat, tentu sulit kalau kita berteman-terus-akses jika Cuma ngaku saja mukmin tetapi tidak mengimplementasikannya dengan cara melakukan shalat, itu namanya bukan mukmin. Itu dijelaskan dalam al Alquran surat al Mukminun ayat 2. Seperti halnya surat imitasi, itu tidak sekedar hanya tidak diterima, kadang dituntut adanya pemalsuan surat tersebut. Serapih-rapihnya mengaku Mukmin sementara tidak pernah shalat, itu niscaya akan diketahui juga, alasannya shalat itu tiap waktu.
- 2). Berusaha menyingkir dari diri dari ucapan-ucapan yang tidak memilki arti
“Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna“ (QS. Al Mukminun : 3).
Pernyataan-pernyataan itu penting, alasannya adalah dimasyarakat itu banyak adu domba-adu domba lantaran ada orang yang tidak bertanggung jawab, membuatisyu sana, bikin isyu sini, itu sama sekali bukan ciri orang yang beriman. Orang yang beriman itu orang yang selalu berupaya membuat suasana yang tidak berbau fitnah, hal-hal yang berbau merugikan orang. Kenapa ditempatkannya sesudah shalat tadi? ketika kita membaca sesuatu di dalam shalat, jangankan satu kata, satu karakter pun tidak ada yang menyuruh kita berbuat yang merugikan orang lain, mulai dari takbiratul ihram sampai mengucapkan salam, shalat apa saja jangankan shalat wajib shalat sunah sekalipun, apakah ada isi yang kita ucapkan di dalam waktu shalat itu yang mengajak ke arah perbuatan yang menyebabkan kejelekan terhadap orang lain, kepada diri sendiri, terhadap keluarga, terhadap agama, kepada kemanusiaan? Itu sama sekali tidak ada, seluruhnya baik. Jadi, saat kita takbiratul ihram, bermakna kita mengatakan usulan Allah. Kerena orang Mukmin itu mustahil takabur membesarkan dirinya, alasannya adalah berlawanan dengan “Allahu Akbar“. Jadi orang yang beriman itu terpelihara, mulutnya tidak “judes“. Makanya Alhamdulillah berulang kali diprovokasi biar terpancing melakukan aksi brutal ketika digambar karikatur nabi Muhammad, sekalipun tetap mesti ada reaksi, tetapi tetap jangan terpancing oleh situasi. Karena nabi Muhammad kian di hina itu semakin tinggi. Bagaimana dengan umat Islam, apakah pernah memaki nabi-nabi lain? Tidak, alasannya semua yakni nabi Allah. jangankan seorang nabi, para pembesar lainpun orang Islam tidak pernah menghujat-hujat. Jadi, dituntun oleh ikrar shalatnya itu, ucapkanlah yang baik-baik, sampaikan yang indah-indah, itulah makna dari shalat yang mengandung bacaan yang mulia.
- 3). Mampu membayar zakat
“Dan orang-orang yang bisa memabayar zakat“ (Qs. Al Mukminun : 4)
Seorang Mukmin sekurang-kurangnyadalam hidupnya punya tekad. Kalau boleh dikatakan, kita mestinya merasa bangga menjadi warga negara Indonesia punya NPWP (nomor pokok wajib pajak), namun periode selaku orang yang beriman tidak punya NPWZ (nomor pokok wajib zakat). Dimana kebanggaannya selaku seorang Mukmin?. Nah, andai kata mesti di NPWZ kan, tentu itu lebih baik. Tapi minimal ada semangat untuk mengeluarkan. Sama halnya saat kita sekolah, Apakah merasa gembira saat kita belum lulus? Belum, alasannya adalah belum ada ijazah selaku bukti kelulusan tersebut.
Jadi, orang mukmin yang menjangkau kebahagiaan, keberuntungan dan kemenangan, itu yakni orang mukmin yang mampu membayar zakat. Kalau belum, maka kita wajib berupaya, tetapi berusaha belum sukses juga, kita tidak diperbolehkan berkecil hati terlebih minder, alasannya al Quran itu adil dan bijaksana, bagi yang tidak mampu membayar zakat, maka kita menduduki posisi sebagai mustahiq. Asal menjadi mustahiq yang benar. Tapi sekali-kali harus ada niat bergeser jangan ingin menjadi mustahiq terus, harus berusaha menjadi muzaqqi, Insya Allah jika ada kemauan, niscaya akan tercapai untuk menyanggupi bahwa menjadi orang mukmin bermutu itu yang mengeluarkan uang zakat.
- 4). Mampu memelihara alat vitalnya
“Dan orang-orang yang mempertahankan kemaluannya“ (QS. Al Mukminun : 5).
Ini penting, Kenapa al Alquran membicarakan hingga pada hal-hal seperti itu? Sekarang ini intinya tidak ada satu negara pun yang merasa tidak kawatir dengan namanya penyakit-penyakit kelamin. Makin hari kian bertambah terus jumlahnya penderita penyakit itu,baik HIV, AIDS. Kaprikornus wajar al Quran ini telah mensinyalir lebih dari 14 kala yang lalu dan telah mengingatkan, orang mukmin itu hartanya aman, jiwanya kondusif, bahkan alat vitalnya pun mesti aman. Cara mengamankan yang utama dan pertama itu yaitu jangan dipergunakan untuk berafiliasi dengan selain isteri atau selain suami. Karena ternyata penyebab tertinggi timbulnya penyakit kelamin itu 80% adalah prilaku seksual yang menyimpang. Itu adalkah luar lazimnya al Alquran. Bayangkan orang-orang mukmin yang pasti meraih kebahagiaan itu yaitu orang mukmin yang memelihara alat kelaminnya, jangan diberikan terhadap sembarang orang, namun mesti ke suami atau ke istrinya sendiri..
Ternyata semua mahir kesehatan yang normal fikirannya, memperlihatkan usulan semoga jangan melaksanakan gonta-ganti pasangan. Yang dimaksud adalah jangan bekerjasama kelamin dengan selain suami atau isteri sendiri. “Siapa saja penduduknya yang menyalahi pemikiran yang sudah diberikan Allah itu, itu betul- betul melampaui batas“.
Oleh karena insan punya akal fikiran, punya perasaan, punya pengetahuan. Semua orang memastikan diri hidupnya ingin baik, ingin meraih kebahagiaan. Tapi, mana mungkin dapat meraih kebahagiaan dengan tidak mampu menengadah kepada Allah swt, Sekurang-kurang nya beliau merasakan kebahagiaan fisik, seperti mencicipi kuliner yang yummy, beliau merasa lezat. Tapi itu semuanya semu. Karena dikala masakan yang dia makan atau minuman yang ia minum, apa-apa yang beliau konsumsi ternyata berakibat buruk untuk dirinya bahkan keluarganya. Disitulah hilangnya kebahagiaan semu yang cuma sesaat itu. Jadi, itulah kenapa dikatakan, siapa yang melaksanakan penyimpangan dari gejala orang mukmin itu betul- betul melampaui batas (keterlaluan).
- 5). Amanah (jujur) bila diberi janji atau berjanji
“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya’‘ (QS. AL Mukminun : 8).
Amanah dimana-mana ada, di dalam tubuh kita sekalipun menurut amanatnya harus pergunakan dengan hal-hal yang baik-baik. Ketika mengambil barang orang lain, itu menunjukan tangan kita tidak amanah. Bisa juga dalam bentuk harta, jikalau itu bukan hak kita, jangan diambil. Kenapa? Kita cuma diperbolehkan mengambil hak yang punya kita. Bayangkan, begitu pentingnya persoalan amanat dan kepercayaan. Sebab kalau dogma sudah tidak proforsional dan tidak terpelihara semuanya akan menjadi ambruk baik itu eksklusif, keluarga bahkan negara sekalipun jikalau amanatnya tidak terjaga.
- 6). shalatnya disamping khusyu juga dilaksnaakan secara kontinyu
“Dan orang-orang yang memeliohara sembahnyangnya“ (Qs. Al Mukminun : 9).
Orang-orang yang shalatnya selalu terpelihara. Untuk mengukurnya, apabila kita diperjalanan sementara waktu shalat telah masuk, bahkan mendekati habis waktunya, terus kita merasa bingung alasannya adalah belum melakukan shalat di waktu itu. Maka kita mesti merasa syukur sebab kita termasuk orang-orang yang mempertahankan dan memelihara shalatnya. Tapi, sebaliknya jikalau kita merasa happy saja ketika waktu shalat telah datang bahkan sudah mendekati waktu habis tanpa berusaha untuk segera menunaikan shalat, itu satu menunjukan shalat kita tidak tersadar. Itu yang jadi tolak ukurnya, tidak susah untuk mencari alat ukur, alasannya adalah kata al Alquran mirip itulah untuk mengukur keimanan seseorang. Kalau kita ada orang yang tidak shalat, tetapi nampaknya hening, itu pertanda mati rohaninya. Karena bila orang wajar itu beliau pasti ada reaksi dan korelasi secara otomatik antara jiwa (rohani) dengan tuntunan Allah (menyatu).
Makara, orang mukmin yang berbahagia tadi yaitu yang syaratnya sudah terpenuhi. Islam juga mengenal syarat usia, buktinya dalam shalat itu mesti telah mukallaf, selama belum mukallaf beliau tidak diwajibkan shalat. Anak-anak kecil sepintar apapun, itu dinyatakan belum diwajibkan shalat, tidak berdosa, belum punya beban. Tapi kalau disuruh shalat itu jauh lebih cantik alasannya adalah mengandung pelatihan, tapi tetap status shalatnya itu bukan kapasitas kewajiban alasannya adalah beliau belum mukallaf. Sebenarnya di dalam agamapun ada tolak ukur. Hanya bedanya, jikalau di dunia itu disebutnya usia kerja, kalau di dalam masalah agama disebut usia beragama dalam arti melaksanakan peran-peran keagamaan. Orang-0rang yang memiliki lima syarat tadi yang pantas disebut sebagai orang yang beriman dan layak menerima kebahagiaan. Coba kita amati, sepanik-paniknya orang yang sering shalat itu tetap masih punya perasaan lebih damai dibanding dengan orang yang tidak pernah beribadah. Orang-orang yang mirip inilah yang layak mewarisi. Mewarisi apa? Yakni mewarisi jannatun firdaus. Di paras bumi saja tentu sudah kelihatan terperinci perbedaan orang yang cukup dengan orang yang tidak tercukupi keperluan hidupnya, secara ekonomi pasti lebih bahagia orang yang berkecukupan di banding dengan orang yang masih dalam kelemahan. Orang-orang yang khusyu dalam shalatnya dijalankan secara terus menerus pasti akan senang dan mujur. Kalau di muka bumi, mungkin untuk menjadi guru saja masih bisa di suap. Sementara Allah tidak, sekali merah, pasti merah sebab Allah tidak butuh dengan kita.
Insya Allah dengan ukuran mirip ini, kita tidak gampang menerima pikiran sempit. Agama tidak sesederhana itu, dilihat dulu akhlaknya seperti apa. Maka itu, kadang ada orang bisa saja senakal apapun sebuah waktu mampu jadi muballigh atau muballighah, alasannya tidak perlu memakai kelakuan baik secara tertulis untuk menjadi orang baik. Maksudnya kita beragama itu jangan dianggap terlalu sepele alasannya merasa tidak ada ukuran, padahal bantu-membantu ada. Al Alquran dan hadits ialah ukuran-ukuran tolok ukur hidup insan, cuma saja kebanyakan dari insan tidak memfungsikan al Quran selaku ukuran-ukuran tersebut.