AKU terus memperhatikan lima ekor cicak yg berada di dinding & atap kamar anakku. Aku percaya, satu di antaranya yaitu anak lelaki semata wayangku yg sudah bermetamorfosis menjadi seekor cicak.
Biasanya, gue melihatnya sedang rebahan di atas kasur dlm kamarnya. Sejak suamiku meninggal lantaran sakit yg tak terobati, anak lelakiku itu kerap merenung di kamar seorang diri. Apalagi selulus SMA, ia tak jua mampu mendapatkan pekerjaan. Meneruskan kuliah terperinci tak bisa lantaran cuma gue penopang hidup keluarga. Seorang diri gue hanya mengandalkan hasil tak seberapa dr membuka warung makan di depan rumah, di daerah pedesaan yg sepi.
Tiga tahun tak mendapatkan pekerjaan, menciptakan anakku mirip patah arang. Hampir setiap hari gue melihatnya sedang merenung di kamar sambil mengamati cicak-cicak di dinding & atap kamar. Jumlah cicak di kamar anakku tak pernah lebih dr empat ekor.
Hari demi hari, gue menyaksikan anakku mirip kian dekat dgn cicak-cicak yg dilihatnya. Bahkan dr balik pintu kamarnya yg terbuka sedikit, gue menyaksikan anakku mirip sedang bercakap-cakap dgn cicak-cicak itu.
Suatu pagi, gue menyaksikan di dlm sana, di kamar anakku, ada seekor cicak sedang menangkap nyamuk. Hap! Lalu ditangkap. Cicak itu berhasil menangkap mangsa dgn mulutnya. Aku melihat anakku dgn saksama memperhatikan kejadian itu. Ia seakan terkagum-takjub dgn hewan yg memiliki kesanggupan istimewa merambat di dinding & atap rumah itu. Tatkala gue kembali ke kamar anakku, sehabis melaksanakan aktivitasku berdagang di warung depan rumah sampai sore menjelang, gue terkesiap. Anakku menghilang. Cicak itu berjumlah menjadi lima ekor yg sebelumnya berjumlah empat ekor. Aku percaya anakku sudah berubah menjadi cicak.
Ketika gue mengabarkan pada orang-orang bahwa anakku sudah berubah menjadi cicak, bermacam-macam respon mereka terhadapku. Ada yg menganggap gue sudah menjadi gila tersebab ajal suamiku empat tahun yg lalu & minggatnya anakku dr rumah.
“Kasihan Martini menjadi kurang waras sejak suaminya meninggal. Anaknya minggat dianggap berganti menjadi cicak,” ucap seorang nenek pada wanita di sampingnya dgn bibir agak dimonyongkan. Aku melihat nenek renta itu menggunjingku ketika gue hendak mencuci di sungai. Melihat kedatanganku di tepi sungai mereka terdiam, berpura-pura melanjutkan membentur-benturkan kain basahnya ke atas watu-watu sungai.
Ada yg menilai anakku pergi dr rumah karena tak kuasa mendapati dirinya yg pengangguran & malu dgn orang-orang desa.
“Anak semata wayang Martini pasti minggat. Mungkin mencari pekerjaan ke kota atau menjadi gelandangan entah di mana,” ucap seorang lelaki paruh baya, yg sering mengecer rokok di warungku tatkala berangkat atau pulang dr sawah, pada lelaki paruh baya yang lain.
Ada yg menilai anakku sudah gila karena terlampau banyak terdiam di kamarnya & sudah pergi meninggalkan rumah tanpa pamit kepadaku, ibu yg sungguh dicintainya.
“Kasihan anak Martini. Kerjanya mengurung diri di kamar. Tak mau membaur, bergaul dgn bujang-bujang desa yang lain. Dan anak itu mungkin telah minggat & menjadi gila,” ucap Rumiyah, temanku waktu sekolah dulu, pada tetangganya.
Aku tak percaya dgn omongan tak berdasar mereka. Aku tak peduli cibiran sinis mereka. Aku percaya anakku sudah berubah menjadi cicak. Dan semenjak itu, gue selalu menjaga kamar anakku. Aku biarkan nyamuk-nyamuk berbiak di kamarnya agar ia tak kelaparan. Aku selalu melihatnya sedang bermain-main dgn empat temannya yg lain. Aku sungguh bahagia, jikalau mendapati anakku sedang menangkap nyamuk untuk dimakannya.
SEMUA itu bermula ketika gue memperhatikan cicak cicak di dinding kamar & atap rumah. Aku menyaksikan seekor cicak sedang menangkap nyamuk dgn mulutnya. Aku takjub. Binatang itu mampu menangkap makanannya merupakan makhluk yg bisa terbang. Padahal hewan reptil itu posisinya sungguh sulit, berada di dinding tembok atau di atap rumah. Sungguh luar biasa. Melihat insiden itu, gue menjadi malu dgn diriku sendiri. Aku cuma bergeming di kamar. Padahal gue diberi kesempurnaan fisik, bisa berenang, bisa berjalan, & bisa melaksanakan apa pun yg gue harapkan. Aku tergerak untuk bangun, berdiri & melakukan pekerjaan . Pekerjaan yg menantang sekali pun.
Aku menjadi teringat kembali enam bulan yg kemudian, saat menolak seruan Paklik Darsun untuk melakukan pekerjaan di kota. Waktu itu gue tidak mau kalau mesti bekerja sebagai kuli bangunan ditambah lokasinya yg penuh risiko karena mesti melakukan pekerjaan di ketinggian beberapa lantai.
“Kapan pun kau mau, datanglah ke kota & bekerja bersamaku,” kata-kata Paklik Darsun seakan kembali mengiang di telingaku.
Tanpa berpikir panjang, gue eksklusif bangkit dr rebahku. Mengambil beberapa potong baju, menyambar jaket hitam, pula topi hitam, & pergi meninggalkan kamar melalui jendela. Aku sengaja tak berpamitan pada ibu. Aku tak memiliki paras di hadapan ibu karena gue sudah bersumpah tak akan melakukan pekerjaan agresif menjadi kuli bangunan. Aku malu menelan ludahku sendiri di hadapan ibu.
Aku bergegas dikala ibu sedang berada di warung depan rumah. Mengenakan jaket hitam, bertopi hitam. Mengendap semoga tak terlihat orang. Menyibak rimbun pohon bambu, melalui jalan yg jarang dilalui orang. Aman. Aku eksklusif naik transportasi pedesaan jurusan kota yg kebetulan melintas di jalan kampong yg sepi. Aman. Tak ada penumpang lain selain aku. Aman. Sopirnya pun tak mengenaliku. Aku berhenti di jalan besar.
Aku kembali naik kendaraan biasa . Setelah menanti beberapa dikala, suatu bus besar jurusan kota berhenti di depanku. Bus itu pun membawaku ke kota tempat Paklik Darsun sedang bekerja.
Setelah mengajukan pertanyaan ke sana kemari, karenanya gue memperoleh tempat kerja Paklik. Aku melihatnya sedang berada di ketinggian. Aku menjadi teringat cicak di kamarku yg sedang menangkap nyamuk. Aku bertekad akan melakukan pekerjaan bersama Paklik Darsun di sana.
“Kamu sudah mantap akan bekerja di tempat ini? Kamu akan naik di tempat itu!” tanya Paklik Darsun sambil menunjuk tempat ketinggian, sore hari ketika ia sudah selesai bekerja hari itu.
“Saya siap, Paklik!” jawabku mantap. Sekelebat bayangan cicak yg sedang menangkap seekor nyamuk di kamarku kembali melintas dlm pikiranku.
“Nah gitu, namanya laki-laki jantan. Siap bekerja di mana pun tempatnya yg penting halal.” Ucap Paklik Darsun sambil menepuk pundakku. Aku pun diajaknya menuju ke kontrakannya yg tak jauh dr tempatnya melakukan pekerjaan .
WARUNGKU makin sepi. Mungkin semenjak orang-orang mengetahui kalau gue menilai anakku sudah berganti menjadi seekor cicak. Para pelangganku mungkin banyak yg tak sudi lagi berbelanja ke warungku & menganggapku gila. Siapa yg sudi berbelanja jika yg berdagang orang gila?
Hanya sedikit orang yg tetap berbelanja ke warungku. Kebanyakan mereka yg berusia lanjut. Mungkin kematangan jiwa mereka menimbulkan mereka mengetahui gejolak yg ada dlm jiwa seorang ibu pada anaknya.
Aku menutup warungku lebih permulaan dr biasanya. Aku lebih sering berada di kamar anakku. Melihatnya sedang termangu di dinding tembok kamarnya sambil menanti ada nyamuk yg hinggap di depannya. Aku merelakan sekujur tubuhku digigit nyamuk-nyamuk yg mengganas.
AWALNYA gue ketakutan saat harus melakukan pekerjaan di ketinggian. Namun lambat laun mengasyikkan pula bisa menaklukkan tantangan itu. Bahkan gue kadang kurang berhati-hati ketika melakukan pekerjaan di ketinggian lantaran merasa sudah terbiasa.
Tak terasa, nyaris setahun gue bekerja di kota. Aku telah menghimpun sejumlah duit. Aku bertekad akan memperbesar modal warung Ibu. Pasti Ibu bahagia kalau warungnya bertambah besar & lengkap.
Beraneka sayuran & keperluan sehari-hari akan tersaji untuk para pembeli. Betapa riang hati Ibu menunggui warung yg besar & lengkap.
Aku pula akan membeli sepetak sawah yg akan kuurus sendiri. Hasilnya akan kutabung & kujadikan modal menikah supaya Ibu lebih bahagia lagi.
Mudik tahun ini, semua impianku itu akan kuwujudkan.
SUARA sirine ambulans mengiung-ngiung seperti dengung lebah yg memekakkan telinga. Aku menutup kedua lubang telingaku agar tak mendengar lagi bunyi yg kian dekat itu. Suara yg menyayat hati. Aku berharap mobil ajaib itu tak menuju ke rumahku.
Seperti sebuah firasat, tadi malam gue menyaksikan ada seekor cicak terjatuh mati di kamar anakku. Aku berharap cicak itu bukan anakku. Anakku niscaya masih merayap di atas sana. Namun gue tetap menguburkan cicak itu. Sejak anakku menghilang, gue menganggap semua cicak yakni anakku. Aku menguburkannya di belakang rumah.
Harapanku tak menjadi realita. Mobil ambulans itu berhenti tepat di depan warungku. Darsun, adikku keluar dr kendaraan beroda empat itu. Matanya sembab. Kabar buruk apa yg dibawanya? Orang-orang berkerumun, dgn tanya yg mungkin sama denganku.
“Anakmu mati, jatuh dr ketinggian, Yu,” ucap Darsun terbata-bata.
“Tak mungkin. Anakku sudah menjadi cicak,” gue menggeleng. Air mata membanjiri pipiku.
Dua orang petugas berpakaian putih-putih dibantu Darsun & seorang tetangga menenteng peti mayat & meletakannya di ruang tamu. Aku mendekat, menatapnya lekat. Aku tak kuasa menyaksikan seorang pemuda berbadan & bermuka menyerupai anakku terbujur kaku tak bernyawa.
Aku menggeleng. Tak bisa menerima kenyataan ini. Bukan. ia niscaya bukan anakku. Aku kembali menatapnya lekat. Ia sangat mirip dgn anakku. Tapi gue lebih percaya kalau anakku sudah menjadi cicak.
Banyumas, 21 Agustus 2012
Agus Pribadi, Ketua Para Penulis Muda Banyumas (Penamas). Cerpen-cerpennya termaktub dlm antologi Balada Seorang Lengger (2011) & Kunang-Kunang Kenangan (2012).