close

Cerpen Keberanian Insan

Dari sebanyak itu peninggalan Jepang di kota kami, cuma sedikit sekali yang mampu kuingat. Ketika Jepang datang di situ, aku masih berusia tujuh tahun dan masih pakai celana monyet. Tapi hingga kini aku masih hafal lagu Kimigayo selaku sebuah kenang-ingatan kurun kecil, seperti aku juga masih bisa mengingat bagaimana serdadu-tentara Jepang itu sama-sama mandi telanjang di kali kota kami. Untukku sendiri ada peristiwa lucu, saat seorang Jepang bertamu ke tempat tinggal kami untuk pertama kali. Dia menaiki sepedaku yang kecil, dan tiba-datang sepedaku patah. Aku jadi geram dan menjerit dan mengambil batu dan melemparkan watu itu ke kepala Jepang itu. Batu itu batu kecil, sebesar genggaman telapak tanganku yang kecil, dan mengakibatkan satu benjolan kecil di kepala Jepang itu. Tapi Jepang itu tersenyum saja dan sore harinya dia membawa suatu mesin ketik yang diberikannya kepada ayah. Beberapa hari saya menangis kecil dan menghujat-makinya dengan makian kecil.
Tapi dendamku yang kecil tidak berurat berakar begitu lama, sehingga lalu Jepang itu menjadi sobat rumah kami. Aku ingat, namanya Dei-san. Satu hal yang saya tetap takjub padanya, alasannya berlain dengan tentara-tentara Jepang yang lain-lain, beliau tidak mandi telanjang. Pernah kutanyakan padanya, kenapa ia tak mandi telanjang beramai-ramai di kali, dan ia menjawab pertanyaanku dengan menawarkan sebuah kudapan manis moci yang enak sekali. Pernah pula kutanyakan kepadanya, kenapa beliau tak punya pedang, dan dia menjawab bahwa pedangnya ketinggalan di Osaka, kampungnya, dan pedang cuma digunakan untuk bunuh diri atau membunuh lawan, Dan aku mengajukan pertanyaan pula, kenapa orang saling membunuh. Dan Dei-san tidak menjawab apa-apa.
Baru lalu kuketahui, Dei-san cuma seorang koki. Tapi, biarpun aku tahu kemudian bahwa beliau cuma seorang koki, tetapi persahabatanku dengan Dei-san tidak putus tetapi semakin erat. Daripadanyalah saya tahu kisah-cerita Momotaro, dan daripadanyalah aku banyak berguru beberapa lagu.
Daripadanyalah pula kemudian kuketahui, sehabis persahabatan kami berlangsung tiga tahun lamanya, kenapa orang-orang di kota kami disuruh membuat gua di bukit-bukit kampungku dan mengapa perempuan-perempuan disuruh mengumpulkan kerikil-watu kali, dan mengapa tiap-tiap rumah menanam pohon jarak dan kapas, dan mengapa tiap-tiap rumah di sampingnya atau di burinya dibikin lubang tunjangan.
Dei-san tidak mengundang namaku. Ia memanggilku dengan istilah “kaibodan”.
“Kaibodan” kata Dei-san sebuah kali kepadaku.
“Apa?”
“Kamu berani naik kapal melayang?”
“Berani, berani,” sahutku.
Lalu Dei-san menunjuk ke suatu bukit. Dari bukit itu hingga kerendahan lembah ada sebuah kawat yang besar, dan pada besoknya kulihat sebuah kapal terbang tidak melayang-layang di udara, tetapi turun dari bukit itu meluncur ke lembah.
“Untuk apa kapal melayang itu, Dei-san?” tanyaku.
“Untuk berperang.”
“Berperang dengan siapa, Dei-san?” tanyaku.
“Berperang dengan Inggris dan Amerika,”
“Kenapa kita berperang dengan Inggris dan Amerika, Dei-san?”
“Karena kita berani.”
“Kenapa kita berani, Dei-san?”
Dei-san tidak menjawab.
“Kenapa kita berani, Dei-san?”
“Karena Amerika dan Inggris dihentikan tembak kita.”
“Kenapa Amerika dan Inggris tembak kita, Dei-san?”
“Karena Amerika dan Inggris ialah lawan kita.”
“Kalau orang tembak kita, Dei-san, itu artinya musuh kita?”
“Ya, ya, jikalau orang tembak kita itu artinya lawan kita dan kita musti tembak ia,” kata Dei-san dan kemudian dipusar-pusarnya rambutku.
Percakapan itu sungguh mengesan kepadaku. Kuceritakan pada ibu dan kakak dan adik-adikku dan ayahku dan pamanku. Ayah,ibu, dan paman dan nenekku termangu saja mendengar ceritaku.
“Jangan dia disuruh ke tempat tinggal koki itu lagi …,” kata ibu.
“Ya, ya. Dia bijak dan pinter ngoceh,” kata nenekku.
“He, kau dilarang datang-datang lagi ke tempat tinggal koki itu,” kata ayah, kali ini dipelototkannya matanya kepadaku. Aku heran kenapa ayah dan ibu dan nenek tidak mengizinkan aku datang ke rumah Dei-san, sahabatku itu.
“Dia kawanku. Dia baik,” kataku bersungut-sungut.
“Dia lawan kita,” kata abangku.
“Jangan kau omong begitu, Karel,” kata ibu sambil menjiwir pendengaran abangku.
Waktu mau tidur kutanyakan kepada abangku, kenapa Dei-san datang-tiba jadi musuh kita, sedangkan ia sahabatku dan Inggris dan Amerikalah yang jadi lawan kita. Abangku mau menceritakan sebab-sebabnya, asal aku mau lebih memperlihatkan telingaku untuk dijiwir. Aku memperlihatkan telingaku yang kanan untuk dijiwir.
“Sekarang ceritakanlah,” kataku.
“Paman Oni ditembak Jepang,” kata abangku berbisik.
“Paman Oni ditembak Jepang?”
“Ya, Paman Oni ditembak Jepang.”
“Tidak mungkin. Paman Oni musti ditembak Inggris dan Amerika dan bukan ditembak Jepang. Kau sudah membohongiku dan aku musti ganti menjiwir telingamu,” kataku. Dan kujiwir indera pendengaran abangku.
“Kujiwir lagi telingamu sekali lagi. Dan nanti kuceritakan apa alasannya adalah Paman Oni ditembak Jepang.”
Kuberikan telingaku yang kiri kini, dan abangku menjiwirnya.
“Ceritakanlah,” kataku.
Abangku bercerita, bahwa tadi sore ayah baru saja menguburkan Paman Oni. Paman Oni sudah ditembak oleh Jepang karena mencuri kuliner.
“Uu salah Paman Oni. Kenapa dia mencuri. Bukankah kita dulu dimasukkan mami sama-sama di dalam kakus satu hari sebab mencuri uang di bawah bantal?” kucungirkan telunjukku ke hidung untuk membikin abangku malu.
“Itu alasannya Paman Oni lapar.”
“Kenapa ia tidak makan?” tanyaku.
“Karena Jepang itu hanya menyuruh Paman Oni kerja keras, tetapi memberi makannya hanya secemil saja. Itu alasannya Paman Oni lapar.”
Aku berpikir sejenak.
“Ya, memang. Itu alasannya Paman Oni lapar dan mencuri,” kataku.
“Karena Paman Oni mencuri, Jepang menembak beliau,” kata abangku Karel.
“Kenapa Paman Oni ditembak cuma alasannya mencuri saja, dan kenapa kita dulu mencuri rambutan tidak ditembak Papa?” tanyaku.
“Karena Paman Oni tubruk melawan Jepang,” kata abangku.
“Kenapa Paman Oni tabrak melawan Jepang?” tanyaku.
“Karena ia lapar. Karena dia berani,” kata abangku.
“Karena dia lapar, Karena beliau berani,” kataku mengulangi.
Aku berpikir sejenak.
“Kalau begitu memang betul-betul Dei-san musuh kita. Aku mau menembaknya,” kataku, menambahi lagi.
“Kau berani menembak si Dei-san koki itu?” tanya abang.
Aku terdiam. Aku lalu ingat Dei-san yang keringatnya anyir itu dan tubuhnya besar itu dan datang-datang saya takut padanya. Aku ingat, sedangkan sama temanku Dulhak saja aku tak berani, apalagi pada Dei-san, yang lebih besar.
Tapi sejak itulah Dei-san kuanggap musuhku. Aku tak pernah lagi tiba masuk ke dapurnya untuk menghendaki bubur kacang hijau atau kudapan manis moci atau ingin mencar ilmu lagu Jepang.
Esoknya, semalaman saya tak bisa tidur mengenang paman kami yang telah mati itu. Paman Oni yakni pamanku yang baik dan tidak layak mati ditembak. Paman Oni penghabisan kali mengajak saya ke pasar malam dan melihat bioskop di tanah lapang. Aku ingat kembali lagu itu, dan di layar putih kelihatan pohon-pohon beruntuhan. Kuingat kalimat lagu itu: “Pohon ditebang dari hutan”.
Dan lalu pohon-pohon yang runtuh ditebang itu, hanyut dibawa air sungai. Kuingat lagu itu lagi;
“Hanyut berkumpul di muara”.
“Mari kerjakan jadi kapal”, kulihat kapal, dan kudengar lagi lagu dan bendera berkibar:
“Untuk Asia Timur Raya”.
Ingatanku mati di situ alasannya datang-tiba kuingat lagi wajah paman Oni. Paman Oni menyampaikan akan pergi ke hutan menebang kayu untuk bikin kapal pengawal bahari, menunggu kehadiran musuh.
Kenangan pada Paman Oni kian hari semakin kabur dan hilang, ingatan itu muncul kembali ketika sementara waktu kemudian ada lagi pasar malam. Ketika itu saya duduk-duduk termangu di beranda dan ingat pada Paman Oni yang melarang saya menghembus-hembus karet pelembungan yang kudapat banyak sekali hanyut di air kali. Paman Oni marah-murka dan Paman Oni pun membelikan pelembungan berwarna di pasar malam.
Kawan-kawanku mengajak pergi ke pasar malam. Aku menolak.
“Kita mampu kuliner roti keju. Dibagi-bagi,” kata kawanku.
Kutolak.
“Kami kemarin malam dapat limun. Tidak dibayar.” Kutolak.
Tiba-datang kulihat sepatu sepasang di akrab kakiku. Ketika kepalaku kuangkat, kulihat Dei-san bangkit di depanku, membawa sebungkusan besar entah apa isinya, bersenyum kepadaku, dan mengajak saya ke pasar malam. Kutolak.
“Saya tidak mau,” kataku.
Ketika ditariknya tanganku, aku berteriak, “Bagero!”
“Nanda omaya!” katanya dan dipicitnya tanganku dengan gemas.
“Nanda omay lu!” teriakku.
Tiba-datang kudengar bunyi ibuku mengundang namaku dan cepat-cepat aku lari ke dalam. Aku dicubit ibu dengan kukunya yang tajam dan aku menangis dan tiba-datang tangisku berhenti karena mendengar deru kapal terbang.
Tiba-tiba kami dengar bunyi sirene. Dan lalu abangku yang gres pulang dari pasar malam menenteng sebuah kertas. Dia mengatakan bahwa Amerika dan Inggris akan membom kota kami.
Semalaman aku tak puas-puasnya bertanya terhadap abangku.
“Kau ceritalah kembali Karel,” bujukku.
“Kita mesti masuk lubang pinjaman di belakang.”
“Kenapa?”
“Kita musti nyumput. Nanti kita mampu mati.”
“Mati seperti Paman Oni?”
Abangku datang-datang mempesona selimutnya karena ibu kami masuk ke kamar kami. Aku pun mempesona selimutku dan dikala ibuku ke luar, kubuka lagi selimut dan mengajukan pertanyaan, “Karel, Karel. Kau telah tidur?”
“Aku telah tidur.”
“Kenapa kamu mampu ngomong jika sudah tidur?”
“Aku mimpi,” kata Karel.
Besoknya ibu dan ayahku dan nenekku melarang kami pergi ke pasar malam, Dua hari lalu kami mendengar lagi pesawat melayang, dan tidak lama lalu mendentumlah dentuman yang menggegar, masuk ke dalam telingaku yang kecil. Malam itu yaitu malam pertama kota menjadi gelap dan untuk pertama kami masuk lubang perlindungan. Tapi besok paginya, beberapa buah kendaraan beroda empat dengan pengeras bunyi berkeliling pula di keliling kota kami dan berteriak-teriak menyampaikan musuh telah kalah dan memanggil orang-orang pergi ke pasar malam. Besok sorenya lagi kendaraan beroda empat-mobil pakai pengeras bunyi itu berputar seputar kota lagi mengundang orang melihat pasar malam. Dan dikala abangku menenteng lagi kertas yang katanya dijatuhkan dari pesawat udara, panggilan untuk tiba ke pasar malam kian riuh dan esok selanjutnya telah lebih sepuluh kendaraan beroda empat mengundang-manggil.
Ibu tetap melarang kami ke luar. Ibu mengatakan, dua hari lagi “Sekutu” akan membom kota. Dan memang, pada malam yang dikatakan ibu itu, menggelegarlah kota. Dan telingaku yang kecil mendengar bunyi yang sebesar itu kusumbat cepat-cepat dengan kapas dan gigiku cepat-cepat menggigit karet yang menyantol dengan tali dileherku.
Tiba-tiba ayah masuk lubang pertolongan kami.
“Sekutu membom pasar malam.”
Kemudian ayah ke luar lagi. Dan saat aku meminta ikut, ibu menjitak kepalaku. Datang lagi ayah. Ayah hanya berkata pada ibu, “Bukit Guha merah semua dimakan api.”
“Bukit Guha?” tanya ibu.
“Ya, Bukit Guha.”
Lalu ibu memekik dan menangis, “Adikku ada di sana disuruh membikin terowongan.”
“Bukan yang di selatan. Yang di utara,” kata ayah.
Ibu menggenggam jarinya dan memelukku.
“Syukur, syukurlah. Coba Pak ke luar menyaksikan yang di selatan.”
“Yang di selatan tidak dibom,” kata ayah.
“Tapi cobalah lihat,” kata ibu. Ibu tampaknya agak marah.
Kenapa ibu tampaknya marah pada ayah, dan kenapa yang di utara, dan kenapa ibu menangis, dan kenapa ibu masih memelukku dan berkata syukurlah dua kali. Aku tak tahu. Tapi kenapa ibu masih menangis kelika ayah ke luar lubang dukungan dan kami mendengar suara dentuman lagi.
Ayah masuk lagi ke lubang pemberian.
“Bukit di utara dibakarnya semua. Kota juga terbakar dekat gudang Sindenbu.”
“Bukit selatan tidak.”
“Guha selatan tidak.”
“Syukur, syukurlah,” kata ibu.
Sejak peristiwa itu memang selama lebih satu ahad kota menjadi ramai kembali. Kami sudah kembali pergi ke sekolah seperti dahulu. Dan kami melihat toapekong hancur, gudang Sindenbu hancur, rumah Haji Munap hancur. Di tiap-tiap rubuhan kehancuran itu aku dan kawanku berdebat dan tiap-tiap kami mempunyai dongeng yang berlain-lain.
Suatu sore, dikala aku minta izin untuk main tali ke rumah Wati, ibu melarang. Ibu berkata, sore itu seluruh isi rumah tidak boleh pergi kecuali ayah. Kami duduk-duduk di beranda ketika itu.
Karel yang paling dulu menyaksikan. Karel menjerit. Ia melihat ke jalan bengkel di belah utara, sambil menunjuk-nunjuk.
Aku masih ingat dengan ingatanku yang kecil, serombongan beruk berbaris. Ibu mempesona kami seluruhnya ke dalam rumah. Tapi kami diizinkan ibu mengintip.
Kami tak mampu menghitungnya. Kami hanya bisa melihat berpuluh-puluh ekor beruk berbaris. Yang di depan besar sekali tubuhnya, dan kukira adalah kakek dari beruk itu. Ia berjenggot. Ia sebesar kakek dan seperti kakekku.
Kemudian dia berdiri dan berhenti di depan rumah Somad. Lalu kami lihat berombongan mereka berbaris dan masuk ke pekarangan rumah Somad. Seorang Jepang menggunakan senapan tiba-tiba berhenti. Jepang itu bangkit seperti prajurit bersiap. Seorang Jepang lain lagi sedang mengayuhkan sepeda kemudian turun, dan berhenti, berhenti mirip orang bersiap.
Kemudian kami melihat tentara-prajurit Jepang yang bersenjata itu berdiri mirip patung.
“Kenapa mereka tak menembaknya?” kata kakak tiba-tiba.
“Apa yang kamu katakan, Karel?’ tanyaku.
“Mereka tak menembak,” kata Karel.
“Menembak siapa?” tanyaku.
“Menembak binatang-binatang itu,” kata abangku.
“Mereka tak berani melawan binatang-binatang itu? Kenapa berani menembak Paman Oni,” tanyaku.
Kuperhatikan muka abangku, ingin tahu apa yang dimaksudkannya.
Lalu abangku mengintip. Lalu saya juga mengintip, kami menyaksikan beruk-beruk itu memanjati pohon pisang, pohon- pohon sawo, pohon-pohon pepaya di kebun Somad.
“Kebun kita juga,” kata abang berteriak.
Lalu abangku melompat ke ruang tengah, tapi datang-datang ibu menangkap tangannya. Dengan kode ibu memanggilku dan dengan arahan telunjuk ibu memerintahkan kami masuk kamar kami.
Semalaman saya terus bertanya kepada abangku kenapa beruk-beruk itu datang sebegitu banyak, tapi abangku mengajukan pertanyaan kepadaku kenapa Jepang-jepang itu tak mau menembak. Dan saya menjawab bahwa aku tak tahu. Abangku menyampaikan bahwa saya goblok. Dan saya pun lekas-lekas mengaku bahwa aku goblok dalam hal itu, tapi aku bertanya pula, untuk apa beruk-beruk itu datang. Dari mana mereka tiba?
Biarpun nyaris hingga pagi kami tak tidur, tapi kami tetap bangun pagi-pagi sebelum dibangunkan ibu seperti biasanya.
Ibu menasihatkan supaya kami tak ke luar rumah, alasannya beruk-beruk itu masih banyak berkeliaran di seluruh kota.
“Kenapa beruk-beruk itu, Mami? Kenapa mereka ke sini berkeliaran Mami?”
“Mereka lapar?”
Cepat-cepat kuikuti abangku yang mengintip di celah-celah dinding. Tiap-tiap beruk menjinjing sepelukan buah-buahan. Jalan sepi, tak ada seorang pun yang lewat dan juga tak ada satu kendaraan pun yang terdengar lalu. Juga tak ada seorang Jepang pun kelihatan. Tiba-tiba kuingat ayahku.
“Ke mana ayah kita, Mami?”
Pertanyaanku tidak dijawab ibu dan kuintip kembali dan celah-celah dinding sambil mengharap ayahku lewat.
Tiada seorang insan pun kelihatan. Kecuali hewan-hewan itu, yang sekarang tampak berkumpul-kumpul, mirip berbisik-bisik.
“Mereka juga berkata-kata, Karel.”
“Diam Pak Cerewet!” gerutu Karel.
“Lihatlah, lihatlah mereka mengendalikan barisan,” kata Karel tiba-tiba. Kulihat dengan mataku yang kecil di lubang yang kecil.
Beruk-beruk itu berbaris dan mulai berjalan menuju ke tengah kota, ke arah pinggir laut, ke arah bukit-bukit di selatan.
Binatang-hewan itu kemudian bergerak semakin jauh, sambil memeluk buah-buahan, dan ketika mereka kian jauh, abang menoleh kepada ibu yang juga mengintip, kemudian memberi isyarat menunjuk pintu.
Ibu melarang dengan kode pula.
Ibu mengintip lagi.
Kemudian kakak berteriak, “Jepang-jepang telah ke luar rumah, Mami.”
“Pak Somad dan Pak Gultom juga,” teriaknya.
Ibulah yang membuka pintu rumah pertama kali. Tapi saat itu kami sudah tak bisa melihat lagi hewan-bmatang itu.
Ketika sore-sore kami melihat kebun kami yang sudah gundul, ayah baru pulang.
“Binatang-hewan itu hewan-binatang punya perasaan,” kata ayah.
“Kenapa Pa?”
“Mereka cuma kelaparan, mengambil buah-buahan, lalu pergi.”
“Dari mana mereka Pa?” tanyaku.
“Dari bukit-bukit yang dibom dan terbakar itu.”
Ketika makan malam, kami bercakap-piawai lagi perihal beruk-beruk itu. Biasanya selama ini bila kami makan, terutama aku, tidak boleh sekali untuk ikut berbicara. Tapi saat itu, seakan-akan saya bebas sekali mengatakan. Kutanyakan, dari mana beruk-beruk itu datang. Kutanyakan untuk apa beruk-beruk itu datang dan ke mana mereka itu pergi.
Pada waktu itu, ada percakapan-percakapan ayah dan ibu yang tak bisa kumengerti, misalnya tentang kelaparan, beras, hutan terbakar dan Paman Oni dan ihwal Jepang.
Aku tak bisa menangkap dan mengenang keseluruhannya tentang kejadian itu, alasannya adalah waktu itu telingaku yang kecil dan pikiranku yang kecil dan aku merasa diriku kecil yang dilarang oleh orang-orang tuaku untuk menanyakan dan mendengarkan dan memikirkan soal-soal orang besar. Aku ingin bertanya banyak-banyak pada ayah, tapi aku takut akan dimarahi.
Waktu itu aku memang masih kecil.

TAMAT