Apakah kehidupan itu? Cut Dini, temanku, senantiasa saja marah bila mendengar jawabanku: Hidup adalah cabikan luka. Serpihan tanpa makna. Hari-hari yg meranggas lara.
Ya, karena gue hanya bisa memendam amarah. Bukan, bukan pada rembulan yg mengikutiku saat ini atau pada gugusan bintang yg mengintai pedih dlm liang-liang diri. Tetapi lantaran gue tinggal sebatas luka. Seperti pula hidup itu.
Dan kini hari telah kian gelap. Aku tersaruk-saruk berjalan sepanjang tiga kilometer dr Seurueke, menuju Buket Tangkurak, bebukitan penuh belukar & pepohonan ini. Dadaku telah amat sesak, namun langkahku makin kupercepat. Lolong anjing malam bersahut-sahutan, seiring darah yg terus menetes dr kedua kakiku. Perih. Airmataku berderai-derai.
“Ugh!”
Aku tersandung gundukan tanah. Dalam remang malam, kulihat dua ekor anjing hutan mengorek-ngorek sesuatu, & pergi sambil menyeret serpihan mayat manusia. Mereka memandangku seolah gue akan berteriak kengerian.
Ngeri?
Oi, tahukah anjing-anjing buduk itu, gue melihat tiga hingga tujuh jenazah sehari mengambang di sungai erat rumahku! Aku pula pernah melihat Yunus Burong ditebas lehernya & kepalanya dipertontonkan pada penduduk desa. Aku menyaksikan orang- orang ditembak diatas sebuah truk kuning. Darah mereka muncrat ke mana-mana. Aku menyaksikan tetanggaku Rohani ditelanjangi, diperkosa beramai-ramai, sebelum rumah & suaminya dibakar. Aku melihat saat Geuchik Harun diikat pada sebuah pohon & ditembak berulangkali. Aku melihat semua itu! Ya, semuanya. Juga ketika mereka membantai … keluargaku, tanpa alasan.
Ffffffhuuih, kutarik napas panjang. Jangan menangis lagi, Inong! Kering airmatamu nanti. Meski lelah, lebih baik memalsukan anjing-anjing itu.
Aku merangkak & maju perlahan. Dengan tangan kosong kuraup gundukan tanah merah dihadapanku. Terus tanpa henti kugunakan kedua cakar tangan ini. Keringatku mengucur deras, wajah & badanku terkena serpihan tanah merah. Sedikit pun tak kuhiraukan bau bangkai manusia yg menyengat hidung.
Tiba-tiba tanganku meraba sesuatu. Kudekatkan benda hambar itu ke mukaku. Tulang. Banyak tulang. Cakarku terus menggali. Kutemukan beberapa tengkorak, kemudian remah-remah daging manusia. Ah, di mana? Di mana tangan kurus Mak? Mana jari manis dgn cincin khas itu? Juga cincin tembaga berbatu hijau & arloji tua yg dikenakan ayah saat orang-orang bersenjata itu membawanya dalam keadaan luka parah. Di mana? Di mana tangan-tangan mereka? Di mana tulang-tulang mereka di tanam? Di mana wajah ganteng Hamzah? Yang mana tengkoraknya?
Sekujur tubuhku gemetar menahan buncahan murung. Aku menggali, terus menggali. Hingga gue semakin lemas & kesannya kembali terisak pilu. Meratapi orang-orang yg kukasihi, yg beberapa waktu lalu digiring ke bukit ini.
Sssssssttt!
Tiba-tiba, di antara suara serangga malam, kupingku mendengar langkah-langkah orang. Sepatu-sepatu lars yg menginjak ranting & daun kering. Mereka menuju ke arahku!
Aku mesti menyanyi. Ya, menyanyi nyaring, dgn iringan dawai kepedihan dr sanubari sendiri.
“Perempuan gila itu!” bunyi seseorang bingung.
“Sayang, dahulu ia anggun…,” ujar yg lain.
“Ya, pula sangat muda. Ah, sudahlah, biarkan saja,” kata yg ketiga. “Ia tak berbahaya. Hanya tertawa & menangis.”
Aku akal-akalan tak mendengar perkataan si loreng-loreng itu. Mereka gila lantaran mengira gue gila. Tak tahukah mereka bahwa gue tak menyanyi sendiri? Aku bernyanyi bersama bulan, awan & udara malam. Bersama desir angin, burung hantu & lolong anjing hutan. Bersama bayangan Ayah, Mak, Ma’e & Agam. Kami menyanyi, kami menari bungong jeumpa. Lalu gue tersenyum malu, dikala Hamzah yg telah meminangku, melintas di depan rumah dengan sepedanya. Dahulu. Ya, dahulu….
“Inong….”
Aku menggeliat. Cahaya mentari masuk dr celah-celah bilik. Hangat. Ah, di mana aku? Dipan ini sarat kutu busuk. Berarti…, ya, gue di rumah. Aku bangkit, mencoba duduk.
“Dari mana, Inong? Aku mencarimu seharian. Ureung-ureung menemukanmu di tepi jalan ke Buket Tangkurak, subuh tadi.”
Kutatap seraut wajah dlm kherudoung putih di hadapanku. Cut Dini. Tangannya lembut membelai kepalaku.
“Aku cuma jalan-jalan. Aku tidak mengganggu orang,” jawabku sekenanya.
“Aku tahu. Kau anak baik. Kau tak akan mengganggu semua orang…, tetapi jangan pergi ke bukit itu atau bahkan ke rumoh geudong lagi. Berbahaya. Lagi pula kamu seorang muslimah. Tidak baik pergi sendirian,” kata Cut Dini sambil memberiku minum.
Kugaruk-garuk kepalaku. “Therimoung… ghaseh…,” kuteguk minuman itu.
Cut Dini. Ia sungguh peduli. Matanya pun senantiasa menatapku sarat pancaran kasih.
Aku kembali merebahkan badan diatas dipan. Sebenarnya gue tak tahu banyak tentang Cut Dini. Aku belum begitu usang mengenalnya. Orang-orang bilang ia anggota … apa itu … LSM? Juga aktivis masjid. Ia kembali ke Aceh setelah tamat kuliah di Jakarta. Dan … cuma dia, di antara para tetangga, yg sudi bersahabat denganku. Ia memberiku makan, memperhatikanku, menceritakan banyak hal. Aku senang sekali.
Dulu, setelah keluargaku dibantai & gue dicemari beramai-ramai, gue seperti terperosok dlm kubangan lumpur yg dalam. Seberpengaruh tenaga kucoba untuk muncul, menggapai-gapai permukaan. Namun tiada tepi. Aku tak bisa bangkit, bahkan menyentuh apa pun, kecuali semua yg bernama kepahitan. Aku mengkonsumsi & meminum nyeri saban hari. Sampai gue bertemu Cut Dini & dapat menjadi burung. Segalanya terasa lebih ringan.
Tetapi tetap saja gue bahagia berteriak-teriak. Aku melempari atau menghantam orang-orang yg lewat. Hingga suatu hari orang-orang desa akan memasungku. Kata mereka gue gila! Hah, dasar orang- orang gila! Cut Dini-lah yg melarang. Cut Dini pula yg mengingatkanku untuk mandi & makan. Ia menyisir rambutku, mengajakku ke dokter, ke pengajian, atau sekedar jalan-jalan.
“Baju yg koyak itu jangan dipakai lagi,” kata Cut Dini suatu ketika.
“Aku suka,” kataku pendek. “Ini baju yg dijahitkan Mak. Aku memakainya tatkala orang-orang jahat itu tiba.”
“Itu baju yg tak layak dilihat. Nanti orang-orang itu dapat menyakitimu lagi,” katanya pelan.
Kupandang baju ungu muda yg kupakai. Tangannya koyak, ketiaknya juga. Lalu di akrab perut, dibelakang…, bahkan ada sisa-sisa darah kering di sana.
“Aku ingin memakainya,” lirihku. “Apa gue gila?” tanyaku.
Cut Dini memandang bola mataku dalam. “Menurutmu?”
Aku menggeleng besar lengan berkuasa-kuat. Menggaruk-garuk kepalaku.
“Kau sakit. Kau sangat terpukul,” ujar Cut Dini. Kulihat ia menggigit bibirnya sesaat. Lalu dgn terampil membungkus baju itu dengan koran.
Aku mengangguk-angguk. Terus mengangguk-angguk, sambil menggoyang-goyangkan kedua kakiku. Aku suka membantah orang, tetapi tak Cut Dini.
“Sudahlah.”
Lalu mirip umumnya Cut Dini mengambil Al- Alquran mungilnya & membacanya dengan syahdu. Suaranya kadang berubah. Aku seperti mendengar Hamzah mengaji —melalui pengeras suara— di musala.
Ah, meski tak mengetahui, gue ingin menangis setiap mendengar bacaan Al-Alquran.
Siang itu gue sedang menjadi burung. Aku terbang tinggi & kadang menukik seketika. Aku hinggap di ranting-ranting pohon belakang & mematuki buah-buah di sana. Huh, semuanya busuk. Aku jadi ingin murka. Bagaimana jika kucuri saja topi-topi merah si loreng & kubakar. Hua…ha…ha, gue tertawa gelak-gelak.
“Siapa kalian?” tiba-tiba kudengar suara Cut Dini bergetar, di ruang tamu yg merangkap kamar tidurku.
Aku melayang & hinggap pada meja kusam disamping rumah, lalu mengintip ke dalam lewat jendela yg rapuh. Dua lelaki tegap dengan rambut cepak menyodorkan sesuatu pada Cut Dini.
“Kami orang baik-baik. Kami hanya ingin memberikan sumbangan sebesar lima ratus ribu rupiah pada Inong.”
Aku nyengir. Lima ratus ribu? Horeeee! Apa bisa buat beli sayap?
“Kami minta ia tak mengatakan apa pun pada orang asing. Ia atau bisa saja anda sebagai walinya menandatangani kertas bermaterai ini.”
Cut Dini membaca kertas itu. Kulihat wajahnya murka. Mengapa? Kugerak-gerakkan kepalaku menatap mimiknya, lebih lekat dr jendela.
“Tidak!! Bagaimana dengan pemerkosaan & penyiksaan selama ini, penjagalan di rumoh geudong, mayat-mayat yg berserakan di Buket Tangkurak, Jembatan Kuning, Sungai Tamiang, Cot Panglima, Hutan Krueng Campli…dan di mana-mana!” suara Cut Dini meninggi. “Lalu perkampungan tiga ribu janda, belum dewasa yatim yg terlantar…, keji that! Tidak!”
Kedua orang itu tampak nervous & sesaat saling berpandangan. “Kami hanya menindak para GPK. Ini tempat operasi militer. Kami mempertahankan keselamatan masyarakat.”
“Oh ya?” Nada Cut Dini sinis. “Kenyataannya masyarakat takut pada siapa? Dulu, banyak yg terpaksa menjadi cuak, memata-matai & menganggap teman sendiri selaku pengikut Hasan Tiro dari Gerakan Aceh Merdeka. Tenamun kini semua usai. Tak ada tempat bagi orang seperti kalian di sini.”
“Sudahlah, ambil saja duit ini buat Anda. Lupakan saja gadis gila itu.”
Apa? Gadis gila?? Kukepakkan sayapku & menukik ke arah dua lelaki itu. Kulempar mereka dengan apa pun yg kutemui di meja & di lantai. Aku berlari ke dapur, & kembali menimpuki mereka dengan panci & penggorengan. Mereka berteriak-teriak seperti anak kecil & berebutan ke luar rumah. Pasti itu ayah orang yg memperkosaku! Pasti ia teman para pembunuh itu! Pasti mereka orang-orang gila yg suka menakut-nakuti orang! Paling tak mereka cuak! Aku benci cuak!
“Inong….”
Aku berhenti melempar. Aku berhenti jadi burung aneh. Orang-orang itu kini hanya titik di kejauhan.
“Masya Allah, nanti piranti itu rusak,” suara Cut Dini, tetap lembut. “Benahi yg rapi lagi, ya. Aku mau shalat lohor dahulu,” katanya.
“Mengapa gue tak pernah diajak salat?” protesku. “Dulu gue shalat bersama keluargaku, sebelum gue bisa jadi burung,” tukasku.
“Jangan menjadi burung, bila ingin shalat mirip insan,” kata Cut Dini tersenyum.
“Keluar, Zakariaaa! Keluar! Atau kami bakar rumah ini!!”
Aku terbangun & mengucek kedua mataku. Ada apa? Pintu rumah kami digedor-gedor. Ayah berjalan ke arah pintu diikuti Mak. Lalu Ma’e & Agam, abang & adikku.
Ketika pintu dibuka, tiba-tiba saja Ayah diseret ke luar, pula Agam & Ma’e! Beberapa orang mengangkat Mak & membawanya pergi! Sebelum gue berteriak, beberapa tangan kekar merobek-robek bajuku! Aku meronta-ronta. Kudengar Ayah tak putus berdzikir. Dzikir itu lebih ibarat jeritan yg menyayat hati.
“Ini pelajaran bagi anggota GPK!” teriak seorang laki-laki berseragam. Kurasa ia seorang pemimpin. “Zakaria & keluarganya membantu anak buah Hasan Tiro sejak lama!”
Warga desa menunduk. Mereka tak mampu membela kami. Dari kejauhan kulihat api berkobar. Puluhan orang ini telah membakar beberapa rumah!
“Jangan ada yg menunduk!”
Aku gemetar mendengar bentakan itu.
“Ayo lihat mereka. Kalian sama dgn warga Mane… bekerjasama dengan GPK!” suaranya lagi.
“Kami bukan GPK!”suara Ma’e. “Ulon hana teupheu sapheu!”
“Lepaskan mereka. Kalian salah sasaran!” Ya Allah, itu bunyi Hamzah!
“Angkut orang yg bicara itu!”
Aku melihat Hamzah dipukul bertubi-tubi hingga limbung, lalu…ia diinjak-injak! Dan diseret pergi. Airmataku menderas.
“Siapa lagi yg mau membela?” tantang lelaki penyiksa itu pongah.
“Kami tak membela, mereka memang bukan orang jahat,” bunyi Geuchik Harun. “Pak Zakaria hanya seorang muadzin. Jiibandum ureung biasa.” Samar-samar kulihat kepala desa kami itu diikat pada sebatang pohon.
Serentetan tembakan segera menghunjam tubuh Geuchik Harun, kemudian Ma’e abangku! Aku histeris. Tak jauh, kulihat Agam tersungkur & tak bergerak lagi, lalu Ayah yg berlumuran darah! Tangan-tangan kekar menyeret mereka ke arah truk.
“Bawa mereka ke bukit bersahabat jalan buntu! Juga gadis itu!”
Aku meronta, menendang, menggigit, mencakar, hingga gue letih sendiri. Dan gue tak ingat apa-apa lagi, dikala tak usang kemudian, nyeri yg amat sungguh merejam-rejam tubuhku!
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!” gue berteriak sebesar lengan berkuasa-kuatnya.
“Astaghfirullah, Inong! Inong, bangun!” dua tangan menggoncang-goncang badanku.
Airmataku menganak sungai, tetapi gue tak bisa bangun, karena gue berada di dalam jaring! Banyak orang sepertiku di sini, di dlm jaring-jaring merah ini.
“Inong, istighfar….”
Tangan-tangan raksasa itu mengayun-ayunkan jaring. Aku & kumpulan insan di sini berjatuhan ke sana ke mari. Kami tak bisa keluar dr sini! Tolong! Toloooooong! Di mana sayapku? Di mana? Di mana tangan Mak dengan cincin khas di jari manisnya? Aku ingin menggenggamnya. Di mana Ayah, Agam & Ma’e? Di mana wajah saleh milik Hamzah? Di mana tengkoraknya?
Tangan-tangan raksasa itu menggerakkan jaring ke sana ke mari. Aku jatuh lagi. Merah. Silau. Pusing. Pedih. Wajah-wajah dlm jaring pias. Wajah-wajah itu retak, terkelupas & berdarah. Aku menjerit-jerit dlm perangkap. Di mana sayapku? Aku ingin terbang dr sini! Oiiii, tolong ambilkan sayapku! Aku ingin pindah ke awan! Di tanah kebanggaanku hanya tersisa nestapa!!
Tak ada yg mendengar. Sebuah pelukan yg sangat erat kurasakan. Lalu airmata seseorang yg menetes-netes & bercampur dgn aliran air di pipiku.
“Allah tak akan membiarkan mereka, Inong! Tak akan! Kau harus sembuh, Inong! Semua sudah berlalu. Peristiwa empat tahun kemudian & rezim ini. Tegar, Inong! Tegar! La hawla wala quwwata illa bi ‘l-Lah….”
Kabur. Samar kulihat Cut Dini. Wajah tulus dengan kerudung putih itu. Ia mengusap airmataku.
Lalu tak jauh di hadapanku, kulihat beberapa orang. Diantaranya berseragam. Tiba-tiba takutku naik lagi ke ubun-ubun. Aku menggigil & mendekap Cut Dini erat-erat.
“Ia cuma satu dr ribuan korban kebiadaban itu, Pak. Tolong, beri kami keadilan. Bapak sudah lihat sendiri. Oknum-oknum itu menjarah segalanya dr perempuan ini!”
Takut-takut kuintip lelaki tegap yg sedang menatapku ini. Apakah ia membawa jaring-jaring untuk menangkapku lagi?
“Pergiiiii! Pergiiii semuaaaa!” teriakku. “Pergiiiiiiii!” gue menjerit sekuat-kuatnya. “Pergiiiiii!” gue menceracau. Sekujur badanku bergetar, terasa berputar. Orang-orang ini tersentak, menatapku kasihan. Hah, apa peduliku?! Aku ingin berteriak, mengamuk, memporakporandakan apa & siapa pun yg ada di hadapanku! Aku….
Tiba-tiba suaraku hilang. Aku berteriak, tak ada bunyi yg keluar. Aku menangis tersedu-sedu, tak ada airmata yg mengalir. Aku mengamuk cemas, tetapi kaku. Aku mencari bunyi, mencari bening, mencari gerak. Tak ada apa pun. Cuma luka nganga.
“Inong…, mereka akan membantu kita….”
Aku terkapar kembali. Menggelepar. Berdarah dalam jaring.
Referensi:
- Data yg diterbitkan oleh Forum LSM Aceh, 5 Agustus 1998.
- Gatra, Republika, Terbit, Kompas ( semua terbitan Agustus 1998).
- Buletin Kontras no 1/Agustus 1998.
Daftar perumpamaan:
- Buket Tangkurak : Bukit Tengkorak
- Geuchik : Kepala Desa
- Cuak : orang yg jadi mata-mata serdadu
- Ma’e : panggilan untuk Ismail
- Mak : Mak
- Rumoh geudong : rumah gedung (tempat penjagalan)
- Mane : nama desa di Pidie
- Ureung-ureung : orang-orang
- That : sekali
- Ulon hana teupheu sapheu : saya hanya orang biasa
- Therimoung ghaseh : terima kasih
- Kherudoung : kerudung