LEMBAH itu tempat paling rahasia. Senantiasa memberi suaka dikala mereka terhukum dengan-cara berjamaah oleh ayah-ibu, lantaran mencuri tebu milik Katib Leman. Hingga amarah reda, mereka menghilang, menembus lapisan-lapisan belukar. Dari situ pula mereka melepas kerikil dr gagang katapel kayu bila datang gerombolan pemburu Murai Batu dgn rupa-rupa bentuk perangkap yg bakal mereka pasang. Belum sempat masuk ke titik pemasangan perangkap, watu bergerigi sebesar gundu telah mendarat di pangkal kuping mereka. Makin mendekat ke jalan setapak pintu masuk Rimba Cempaya, kening, dagu, & batok kepala mereka semakin berlumur darah. Tak mampu dipastikan dr mana asal watu-watu itu, alasannya saat melepas pandang ke sekeliling lembah dr arah bawah, yg tampak cuma belukar kusut. Makin usang mereka melacak sumber kerikil-watu melayang itu, kesempatan pulang dgn kulit kepala terkelupas makin terbuka.
“Barangkali inilah watu yg jatuh dr cengkraman kaki burung ababil. Yang bisa menyaksikan wujud burung utusan Tuhan itu tentu cuma golongan nabi-nabi,” kata ketua komplotan pemburu Murai Batu.
“Murai Batu di sini dijaga oleh hantu pelempar watu. Sebelum mereka menurunkan hujan kerikil, lebih baik kita cari rimba yg ramah!” balas salah satu anak buahnya.
“Setuju! Lebih baik kembali tanpa Murai Batu daripada menghadang watu-batu terbang kiriman para hantu!”
Derita itu pula yg ditanggung oleh gerombolan begundal pembalak liar yg menduga rimba Cempaya selaku tempat tak bertuan. Berbeda dgn cara menggagalkan perburuan Murai Batu, khusus untuk para begundal yg didanai tauke-tauke tajir di kota provinsi itu, katapel kayu yg melingkar di leher Injang, Injing, & Injun tak akan bekerja. Komplotan pembalak malah dibiarkan masuk sampai jantung Rimba Cempaya, bahkan mereka diberi waktu hingga beres membangun pondok peristirahatan, yg sekaligus tempat menyimpan perkakas. Tapi dikala mereka lengah sedikit saja, gergaji mesin lenyap. Bahan bakar dlm beberapa jeriken ditumpahkan di sekeliling pondokan. Satu puntung rokok saja cukup untuk menyulut api, lalu dangau itu jadi debu dlm satu hentakan napas.
Sebagaimana kawanan pemburu Murai Batu, tak satu pun anggota persekutuan pembalak liar yg dapat memastikan pelaku pencurian gergaji mesin & pembakaran pondok tanpa belas kasihan itu. Semakin mereka melacak pelakunya, jerat celeng di sela-sela pohon akan menghempaskan badan-badan bongsor mereka. Lantaran lama menengadah ke lembah sarat belukar, kaki mampu tak sengaja menginjak pemicu jerat celeng. Tubuh pembalak akan terpelanting jauh. Meski mujur tak membentur pinggang pohon besar, tubuh itu akan menggelantung terkebat tali dlm posisi kaki ke atas & kepala ke bawah. Maka, sebelum babak belur mirip celeng yg dicabik-cabik kawanan anjing lapar, lebih baik lekas menjauh dr rimba Cempaya.
“Kau bilang Hutan Cempaya aman, tapi kita seperti menghadapi ranjau pasukan khusus Angkatan Darat,” keluh seorang anggota pembalak liar.
“Tenang, Katua. Siapa tahu ini hanya cobaan guna menakar ketahanan kita,” balas anggotanya.
“Ketahanan gundulmu? Bila perkakas sudah raib, itu lumpuh namanya, Monyet!”
“Siap, Katua!”
Sekali waktu, Injang, Injing, & Injun ketemu lawan bersengat. Bukan sekadar komplotan pemburu Murai Batu atau begundal pembalak liar. Di area yg cukup sulit dijangkau dr lembah rahasia, sebuah helikopter melayang rendah, & berputar-putar di titik yg itu-itu saja. Orang-orang berseragam sibuk melakukan pekerjaan di dlm helikopter itu. Menurunkan tali berpengait, lalu karung demi karung dihela naik. Sekitar 7 hingga 10 orang merencanakan karung-karung itu di bawah. Begitu tali berpengait mampu dijangkau, mereka mengangkat karung-karung itu satu per satu untuk kemudian masuk ke lambung heli. Di luar Hutan Cempaya, orang-orang tahu, aktivitas mereka adalah pecahan dr survei lokasi sekelompok peneliti delegasi perusahaan tambang. Disebut-sebut, Hutan Cempaya mengandung uranium. Tentu banyak iming-iming yg sempat didengar warga sekitar Hutan Cempaya bila nanti uranium itu sungguh-sungguh mampu diangkat ke permukaan.
Tapi, yg dilihat Injang, Injing, & Injun sama sekali bukan pekerjaan survei oleh tampang-tampang sarjana, tapi kesigapan mengangkat berkarung-karung ganja kering siap edar ke atas heli, & semuanya dijalankan orang-orang berseragam lengkap.
“Batu dr katapel kayu tak mungkin melubangi tangki materi bakar helikopter,” gumam Injing.
“Kau tahu di mana letak tangki helikopter, Njing? Aha…” ledek Injun.
“Ladang ganja itu tak sepenuhnya bisa mereka sembunyikan. Kokang katapel kalian, arahkan pada orang-orang berseragam itu!” kata Injang, bersemangat.
Tak berapa lama sehabis satu-dua batu bersarang di tempurung segi belakang kepala orang-orang berseragam, ketiga bocah itu lari tungang-langgang ke lembah diam-diam. Suara tembakan dr pistol yg diarahkan ke langit membuat mereka gemetar & pucat. Dentumannya seakan-akan telah menembus dada mereka. Beberapa sempat berupaya memburu jejak belum dewasa itu dgn pistol di tangan masing-masing. Beruntunglah belukar tebal menciptakan mereka malas melanjutkan pengejaran.
“Seumur-umur baru kali ini gue mendengar bunyi pistol,” bisik Injun.
“Itu gres tembakan perayaan. Bagaimana kalau pelor itu memperbesar lubang pantatmu? Aha…” sahut Injing, berupaya menutupi kegamangannya.
“Cara berkenalan dgn senjata api merupakan dgn menjadi polisi atau prajurit,” bisik Injang.
Begitulah lembah belakang layar menyelamatkan mereka. Tak hanya dr omelan orangtua lantaran kenakalan-kenalan kecil, namun pula dr kejahilan tangan mereka mengokang katapel kayu atas nama kelancaran hidup segenap penghuni Rimba Cempaya. Tak ada yg tahu tempat persembunyian itu, & hingga kapan pun kerahasiaannya akan ditutup rapat oleh Injang, Injing, & Injun.
“Kalau ada yg berkhianat membuka rahasia, akan dibuang dr persekutuan!” kata Injang. Serius.
“Hukuman paling berat akan ditanggung oleh pembaca dalil ini!” balas Injing, sambil menatap Injang dgn sorot mata tajam.
“Bila kau sendiri yg melanggar, lembah ini menjadi nerakamu!” sambung Injun.
*****
Selepas sampaumur, guna menyelesaikan ingin tau pada panas pelor yg keluar dr moncong senapan, Injang sungguh-sungguh merealisasikan niat menjadi pegawapemerintah. Dari tanah seberang terdengar kabar, putra mendiang pencari madu lebah di Rimba Cempaya tercatat sebagai lulusan terbaik akademi kepolisian. Di kota yg berlainan, Injun yg sejak menapak di tanah seberang menghabiskan masa-masa kemahasiswaannya sebagai penggagas pro-demokrasi, sudah duduk sejajar dgn elite-elite sebuah partai politik besar. “Percuma jadi politikus handal, bila tak bisa membangun tanah kelahiran sendiri,” kata seniornya suatu ketika. Setelah satu-dua kali menduduki kursi legislatif, kelak akan tiba saatnya, Injun pulang sangkar, & berkhidmat menyejahterakan orang-orang di tanah asalnya.
Maka, yg tersisa di lembah belakang layar hanya Injing. “Baiknya kita pergi dulu, Njing. Mencari pengetahuan, menghimpun kekuatan. Kelak, musuh-musuh kita di Rimba Cempaya akan kian licik,” bujuk Injun sebelum ia bertolak ke tanah seberang.
“Kalau kita terus bertahan selaku insan terbelakang, mudah bagi mereka mendustai kita,” tambah Injang.
“Tidak, mitra! Aku akan bertahan di Hutan Cempaya hingga mati!” balas Injing cepat.
“Kalau pergi semua, tak ada yg menjaga lembah rahasia. Aku ambil tugas itu. Pergilah! Aku akan baik-baik saja di sini.”
Meski bersikeras ingin bertahan selaku anak rimba, jangan mengira Injing bakal terpuruk selaku orang pandir. Sepanjang dunia terkembang, gres kali ini dusun kecil di pinggang Hutan Cempaya sejahtera sejahtera. Anugerah & keberuntungan itu tak lepas dr tangan cuek seorang senang memberi, pemilik ladang ganja di Hutan Cempaya. Tak ada lagi orang-orang berseragam yg dahulu memuat berkarung-karung ganja kering ke atas helikopter. Semua titik ladang ganja di keluasan Hutan Cempaya telah jatuh pada kuasa Injing. Satu-satunya anggota persekutuan lembah rahasia yg tersisa.
Dari hasil pemasaran ganja, Injing membangun dusun berjulukan Payahtumbuh, yg sekarang sudah pantas disebut baldatun tayyibatun wa rabbun ghofur dlm skala kecil. “Tak ada yg boleh putus sekolah! Pastikan beasiswa mereka sampai S-2 & S-3! Bila ada yg sangat berkemauan keras, kirim ke Eropa!” kata Injing pada orang kepercayaannya. Empatpuluh persen dr keuntungan bisnis haramnya dipakai Injing untuk membangun Dusun Payahtumbuh. Baik pembangunan fisik, lebih-lebih pembangunan sumber daya manusia.
“Bila mereka membangun masjid atau musala, pantangkan mengemis-ngemis di pinggir jalan dgn kotak infaq! Minta RAB pada panitianya, biayai semuanya! Paham?”
Jalan dr & menuju Dusun Payahtumbuh kinclong. Musala berdiri megah di setiap penjuru. Petani memperoleh subsidi pupuk, peladang mampu pinjaman modal dgn bunga rendah, bawah umur mereka mendapatkan beasiswa sarat . Bila tak ada aral yg melintang, satu dua tahun ke depan, Dusun Payahtumbuh akan melahirkan tiga orang Ph.D yg sekarang sedang merampungkan disertasi doktoral di universitas terkemuka di Eropa. Boleh jadi, sepuluh tahun ke depan, salah satu bangku di kabinet pemerintah, bakal diisi putra kelahiran Dusun Payahtumbuh. Itu semua, sekali lagi, tak akan pernah terwujud, tanpa campur tangan laki-laki misterius bernama Injing. Tak ada yg bisa menemukannya, kecuali yg ingin menentukan Hutan Cempaya sebagai pusara. Kalau ada yg nekat ingin membekuk saudagar besar itu & berupaya mengendap-endap di jalan setapak menuju kedalaman Hutan Cempaya, dipastikan tak akan pulang. Baik sebagai insan, maupun selaku arwah.
Perlu bakat khusus untuk membekuk target penting itu. Junaidi Syarkawi, Bupati yg mempunyai otoritas sarat atas wilayah itu sudah disurati pimpinan pucuk Badan Narkotika & Zat Adiktif. Ia diminta berkontribusi dengan-cara terukur guna melancarkan operasi penangkapan, di bawah kontrol Komisaris Besar (Pol) Januar Fadil, delegasi dr Ibu Kota. “Kami ambil-alih operasi ini. Aparat lokal tak akan sanggup. Mafia ganja nomor wahid itu punya barak berkekuatan tiga kompi dgn persenjataan otomatis!” begitu pembicaraan Kepala Badan Narkotika & Zat Adiktif dgn kepala kepolisian setempat.
Tapi di luar dugaan, tanpa mengerahkan banyak anggota, bahkan tanpa melepas satu pelor pun, Komisaris Besar Januar Fadil sudah menggiring target berjulukan Injing dr ekspresi Rimba Cempaya, dlm keadaan tangan terborgol.
“Jauh-jauh kau ke tanah seberang, cuma untuk mencar ilmu cara santun mengkhianati kawan!” bisik Injing pada Komisaris Besar, yg dipanggilnya dgn nama; Injang.
“Bupati mana Bupati? Tinggi sekolah kalian, tetapi rendah derajat tindakan. Lebih hina dr para penjerat Murai Batu & pembalak liar di Rimba Cempaya,” gerutu Injing lagi, yg bagi Kombes Injang terasa menikam dlm sampai ke ulu hati. Bupati mendapatkan laporan. Ladang ganja sudah hangus terbakar. Termasuk belukar berlapis-lapis, pintu masuk menuju lembah diam-diam. Bupati berjulukan kecil Injun itu merasa rumah masa kecilnya telah musnah dilalap api.
Dalam perjalanan kembali ke Ibu Kota, Kombes Injang dilanda dahaga tak terkira. Sepanjang penerbangan, ia tak henti-henti menelan liurnya sendiri… (***)