Suatu hari, Nabi Muhammad saw. sedang duduk-duduk dengan para sahabatnya sambil menunggu saat shalat datang. Tiba-tiba para teman datang. Mereka baru pulang dari pesta makan daging. Terciumlah bacin yang kurang sedap dalam majelis itu. Rasulullah saw. menyadari bahwa anyir itu disebabkan oleh uap napas seseorang akhir makan daging yang berlebihan. Rasulullah saw. juga menyadari bahwa orang yang bersangkutan akan malu jikalau ketahuan.
Mengingat dalam waktu dekat akan melaksanakan shalat berjamaah dan jika orang yang mengeluarkan wangi kurang sedap itu beranjak pergi berwudu, akan ketahuanlah sumber bau kurang sedap itu berasal darinya. Tentu dia mampu aib. Beliau menghendaki pelaku mencicipi kesalahannya itu tanpa diketahui oleh banyak orang.
Rasulullah saw. melepaskan pandangannya terhadap semua yang datang seraya menyuruh.
“Siapa yang makan daging hendaknya berwudu”! “Semua memakan daging ya Rasulullah” jawab para sobat.
“Kalau begitu, berwudu kalian semua.”
Mereka bangun pergi berwudu’, tergolong orang yang menjadi sumber hadirnya amis kurang sedap itu. Orang ini sudah diselamatkan dari rasa malu, berkat akal dan kelembutan etika Rasulullah saw.
Demikianlah keluhuran budi pekerti Nabi Muhammad saw. dalam memperhitungkan tindakan hingga sekecil-kecilnya agar tidak melukai perasaan orang dan kehormatan orang lain.
(Sumber: Al-Thabaqat al-Saniyyat fi Tajarun al-Hanafiyat, Taqiyyuddin bin Abdul Qadir al-Tammii Al-Islam)