Cerita Begundal Karawang Di Rawagede

Kapten Lukas Kustarjo. Dok. Arsip Nasional Republik Indonesia

Gagal temukan Lukas Kustarjo, prajurit Belanda membantai penduduk Desa Rawagede.

Tragedi pembantaian di Kampung Rawagede, Rawamerta, Kabupaten Karawang, oleh tentara Belanda pada 9 Desember 1947 tak terlepas dari pergerakan kaum muda di wilayah itu. Rawagede diincar Belanda alasannya menjadi markas para laskar.

Ketua Yayasan Rawagede Sukarman (60) telah mendokumentasikan dalam bentuk goresan pena wacana bencana pembantaian itu. Tulisan terebut diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Riwayat Singkat Taman Pahlawan Rawagede.

Buku setebal 40 halaman itu sudah tiga kali naik cetak. Total lebih dari 5.000 eksemplar yang tersebar di masyarakat.

Saat Warta Kota berkunjung ke kediamannya di Dusun Rawagede 2, Desa Balongsari, Rawamerta, Kamis (15/9/2011), Sukarman mengatakan bahwa semenjak sebelum perang kemerdekaan, Rawagede sudah menjadi kawasan markas para laskar pejuang. Rawagede diseleksi karena dikala itu dilintasi jalur kereta api Karawang-Rengasdengklok dan salah satu stasiun itu ada di sana.

Laskar pejuang yang dikenal di Rawagede sebelum kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, antara lain Laskar Macan Citarum, Barisan Banteng, MPHS, SP88, dan Laskar Hizbulloh. “Mulai 19 Agustus 1945, seluruh laskar itu bergabung menjadi BKR (Badan Keamanan Rakyat), markasnya ada di rumah-rumah warga. Ini jadi sorotan pemerintah Hindia Belanda,” kata Sukarman.

Pada 1946, kata Sukarman, Letnan Kolonel Suroto Kunto yang masih berusia 24 tahun ditunjuk sebagai Komandan Resimen Jakarta di Cikampek. Salah satu komandan kompinya adalah Lukas Kustaryo yang membawahi Karawang-Bekasi. Kharis Suhud, yang sebelumnya seorang petugas Perusahaan Jawatan Kereta Api, juga bergabung dengan BKR dan diangkat menjadi Komandan Kompi Purwakarta.

  Istilah Garong Gabungan Romusha Ngamuk Pada Masa Usaha

Pada 25 November 1946, Letkol Suroto Kuto yang sedang dalam perjalanan dinas memakai kendaraan diculik laskar rakyat yang pro-Hindia Belanda di kawasan Rawa Gabus, Kabupaten Karawang. Mobil yang ditumpanginya ditemukan penuh bercak darah oleh salah satu ajudannya, Kapten Mursyid, pada 26 November 1946 sekitar pukul 01.00 dini hari. “Tapi jasadnya tak didapatkan hingga dikala ini, juga jasad para pengawalnya,” kata Sukarman.

Bertingkah unik

Sejak kejadian itu, Kapten Lukas Sutaryo yang menjadi Komandan Kompi Karawang-Bekasi menghimpun kekuatan para laskar pejuang. Pada permulaan 1947, Lukas Sutaryo mengendarai sendiri lokomotif kereta api dari arah Cipinang di Jembatan Bojong, perbatasan Karawang-Bekasi. Lokomotif itu ditabrakkannya dengan kereta api sarat senjata dan amunisi milik Belanda yang tiba dari arah bertentangan. “Dari situlah awalnya BKR menerima pasokan senjata dan amunisi,” ujar Sutarman.

Menurut Sutarman, Kapten Lukas Sutaryo juga kerap mengenakan baju seragam serdadu Belanda yang gres saja dibunuhnya. Dengan mengenakan seragam itu, dia menembaki tentara Belanda lainnya. Karena kegigihannya itu, tentara Belanda menjulukinya “Begundal Karawang”.

Karena ulahnya itu, Kapten Lukas juga sempat ditembak dari jarak kira-kira 25 meter oleh Letnan Sarif, anak buahnya. Sarif mulanya tidak menyadari bahwa sosok yang ditembaknya itu komandannya sendiri. Untunglah tembakan itu tak perihal target.

Suatu ketika seusai melawan prajurit Belanda di daerah Pabuaran, Pamanukan, Subang, sampai ke Cikampek, Kapten Lukas meloloskan diri dengan jalan kaki menuju Rawagede. “Dia masuk Rawagede hari Senin, jam 07.00 pagi, tanggal 8 Desember 1947,” tutur Sutarman.

Keberadaan Kapten Lukas di Rawagede akibatnya tercium oleh serdadu Belanda. Dia kemudian mengumpulkan prajurit BKR di Rawagede. Dia berembuk dengan para laskar sampai siang untuk merencanakan penyerangan ke wilayah Cililitan, Jakarta.

  Ili Sadeli Penembak Kahar Muzakar

Sekitar pukul 15.00, Kapten Lukas beserta pasukannya sudah keluar dari Rawagede dan berangkat dengan berlangsung kaki. Sekitar pukul 16.00, turun perintah pimpinan pasukan Belanda bahwa Rawagede mesti dibumihanguskan. Kira-kira tengah malam, tentara Belanda sudah datang di Stasiun Pataruman, Desa Kalangsari, yang bersebelahan dengan Kampung Rawagede. Selang sekitar setengah jam, sebanyak 300 serdadu Belanda yang dipimpin Mayor Alphons Wijnen mulai memasuki Kampung Rawagede.

“Mereka datang ke sini untuk mencari Kapten Lukas Sutaryo. Meskipun tahu Kapten Lukas sudah meninggalkan Rawagede semenjak sore, warga tetap memilih bungkam. Inilah yang menjadi salah satu penyebab pembantaian,” tutur Sukarman.

Menurut Sukarman, semua pria di atas usia 14 tahun dikumpulkan. Tanpa ampun, prajurit Belanda menembakinya. Hari itu, Selasa, 9 Desember 1947, sebanyak 431 pria Kampung Rawagede tewas di ujung peluru. Penembakan oleh serdadu Belanda berlangsung sejak pukul 04.00 hingga pukul 16.00.

Kapten Lukas sendiri tidak mengetahui terjadi pembantaian di Rawagede. Kapten Lukas, kata Sukarman, berkali-kali memohon maaf terhadap warga karena kedatangannya di Rawagede sudah menyebabkan terjadinya pembantaian itu. “Tapi warga tidak menaruh dendam. Beliau tiba ketika monumen pembantaian Rawagede diresmikan tahun 1995 dan meninggal 8 Januari 1997 dengan pangkat Mayor Jenderal,” ujar Sukarman.

Sumber : Warta Kota