Ceramah Tahun Gres Islam 1 Muharram


اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الأزْمَانِ وَالآنَاءِ، فَلا ابْتِدَاءَ لوجوده ولا انتهاءَ، يستوي بعلمه السرُّ والخفاءُ، القائلِ: (وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا). أشهد أن لا الع إلا الله الكبير المُتَعَالِ، المُنَزَّهُ عن الشبيه والمِثال، الذي يسبِّح بحمده كلُّ شيء في الغُدُوِّ والآصال. وأشهد أن محمدا عبده رسوله الذي حذّرنا من دار الفتون، المُنْزَلُ عليه (إنك ميّتٌ وإنهم ميتون). اللهم صلي الله علي سيدنا محمد خاتم الأنبياء والمرسلين وعلي آله الطيبين وأصحابه الأخيار أجمعين. أما بعد.
Yang saya hormati para alim ulama, para asatidz, para hujjaj, para sesepuh kampung, bapak-bapak, ibu-ibu, dan saudara-saudara sekalian….
Wabil khusus… Al-Alim… guru kita…
Wabil khusus… Bapak Walikota…
Saudara-saudara kaum muslimin rahimakumullah…
Rasanya, dikala kita mengatakan tentang hijrah, perihal Muharram, atau ihwal tahun baru Islam, tidak ada sesuatu yang baru atau menawan bagi kita. Sekilas pandang, kita –seakan– merasa sudah terlalu pandai dalam mengenali bulan Islam yang satu ini. Benarkah demikian? Sudahkah khasanah keilmuan kita, sesuai dan mencukupi selaku seorang muslim yang sejatinya mengenal dengan baik tentang bulan-bulan Islam.
Sejarah mencatat, manusia pertama yang sukses mengkristalisir hijrah nabi sebagai event paling penting dalam penaggalan Islam yaitu Sayidina Umar bin Al Khattab, dikala dia menjabat sebagai Khalifah. Hal ini terjadi pada tahun ke-17 semenjak Hijrahnya Rasulullah Saw dari Makkah ke Madinah.
Namun demikian, Sayidina Umar sendiri tidak ingin memaksakan pendapatnya kepada para sahabat nabi. Sebagaimana biasanya, dia selalu memusyawarahkan setiap problematika umat terhadap para sahabatnya. Masalah yang satu ini pun tak pelak dari diktum diatas. Karenanya, beberapa opsi pun bermunculan. Ada yang menghendaki, tapak tilas sistem penanggalan Islam berpijak pada tahun kelahiran Rasulullah. Ada juga yang merekomendasikan, permulaan diresmikannya (dibangkitkannya) Muhammad Saw sebagai utusannyalah yang merupakan timing waktu paling tepat dalam persyaratan kalenderisasi. Bahkan, ada pula yang melontarkan pandangan baru akan tahun wafatnya Rasulullah Saw, sebagai batas permulaan perkiraan tarikh dalam Islam.
Walaupun demikian, tampaknya Sayidina Umar r.a. lebih condong kepada pertimbangan –sayidina Ali karamallâhu wajhah– yang meng-afdoliah-kan peristiwa hijrah selaku tonggak paling penting daripada event-event yang lain dalam sejarah Islam, pada problem yang satu ini. Relevan dengan klaim beliau: “Kita membuat penaggalan berdasar pada Hijrah Rasulullah Saw, ialah lebih karena hijrah tersebut merupakan pembeda antara yang hak dengan yang batil.
 tidak ada sesuatu yang baru atau menarik bagi kita Ceramah Tahun Baru Islam 1 Muharram
Dalam penulisan tahun Hijriah sendiri, umumditulis dengan huruf hurup (هـ) dalam bahasa Arab, atau (A.H.) singkatan dari Anno Hegirea (setelah hijrah) untuk bahasa-bahasa Eropa. sedangkan untuk bahasa Indonesia umumditulis dengan (H.). Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 1 Muharam, bertepatan dengan 16 Juli 622 M, hari Jumat.
Nampaknya, ada sesuatu yang unik dalam kalenderisasi Islam ini. Ketika sejarah menyampaikan, bahwa hijrah Nabi terjadi pada bulan Rabiul Awal –bukan pada bulan Muharram–, tapi mengapa pada dataran kenyataan, opsi jatuh pada bulan Muharram, bukan pada bulan Rabiul Awal, sebagai pinangan pertama bagi permulaan penanggalan Islam.
Memang, dalam insiden hijrah ini Nabi bertolak dari Mekah menuju Madinah pada hari Kamis terakhir dari bulan Safar, dan keluar dari kawasan persembunyiannya di Gua Tsur pada permulaan bulan Rabiul Awal, tepatnya pada hari Senin tanggal 13 September 622.
Hanya saja, Sayidina Umar beserta sahabat-sahabatnya menginginkan bulan Muharram selaku awal tahun hijriah. Ini lebih alasannya adalah, dia menatap di bulan Muharramlah Nabi berazam untuk berhijrah, padanya Rasulullah Saw selesai menjalankan ibadah haji, juga dikarenakan beliau tergolong salah satu dari empat bulan haram dalam Islam yang dilarang Allah untuk berperang di dalamnya. Sehingga Rasulullah pernah menamakannya dengan “Bulan Allah”. sebagaimana sabdanya: “Sebaik-baik puasa selain dari puasa Ramadhan yaitu puasa di Bulan Allah, yakni bulan Muharram”. ( Hadist ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihya).
Ternyata keunikan awal Hijriah tidak hanya hingga di situ. Biasanya, pada hari kesepuluh dari bulan tersebut, sebagian orang dari kampung kita menciptakan masakan sejenis bubur yang dinamakan bubur Asyura, atau mungkin dalam bentuk lain semacam nasi tumpeng, maupun masakan lain sejenisnya, tergantung budaya masing-masing daerah dalam mengekspresikan rasa bahagianya kepada hari Islam tersebut.
Sepertinya, yang menjadi unik bagi kita –sebagai kaum pandai– yaitu tradisi bubur Asyura tersebut. Adakah keterkaitannya dengan Islam? Asyura itu sendiri terambil dari ucapan “`Asyarah”, yang bermakna sepuluh. Hari Asyura, hari yang ke sepuluh dari bulan Muharram.
Islam memerintahkan umatnya untuk berpuasa sunah dan meluaskan perbelanjaan kepada keluarganya pada hari tersebut.
Kalau kita berusaha untuk menelusuri keterangan dari junjungan kita, Rasulullah Saw, dari hadits sahihnya kita dapati, bahwa dia yakni hari yang bersejarah bagi umat Yahudi, karena pada hari itulah Allah menyelamatkan Nabi Musa a.s. serta para pengikutnya, disaat menenggelamkan Firaun.
Adapun tradisi bubur Asyura –menurut riwayat dhaif–, alasannya pada hari itu Allah mengaruniakan lezat yang besar terhadap para nabi terdahulu, semenjak zaman Nabi Adam As. hingga Nabi kita Muhammad Saw.
Konon, di hari Asyura ini, ketika Nabi Nuh As. dan para pengikutnya turun dari perahu, mereka semuanya merasa lapar dan dahaga, sedangkan perbekalan masing-masing sudah habis. Maka Nabi Nuh As. meminta masing-masing menjinjing satu genggam biji-bijian dari jenis apa saja yang ada pada mereka. Terkumpullah tujuh jenis biji-bijian, seluruhnya dicampurkan menjadi satu, lalu diolah oleh ia untuk dijadikan bubur. Berkat ilham Nabi Nuh As., kenyanglah para pengikutnya pada hari itu. Dari kisah inilah, dibilang sunat menciptakan bubur Asyura dari tujuh jenis biji-bijian untuk dihidangkan kepada fakir miskin pada hari itu.
Menurut hemat penulis, semua pada asalnya boleh-boleh saja, selagi tidak berlawanan dengan kaidah agama yang lain. Terlebih, di dikala tradisi semacam ini mengandung nilai konkret dan seiring (implisit) dengan pemikiran Islam. Hanya saja, yang senantiasa ditekankan oleh junjungan kita, hendaknya manusia selalu mengenang dan mengingat hari saat Allah menurunkan lezat atau azab terhadap insan, agar kita semua dapat bersyukur, sadar dan insaf kepada-Nya. Mungkin sekedar inilah yang ditekankan Rasululullah Saw. berkenaan dengan hari Asyura tersebut.
Sebagaimana gejala lain seringkali kita dapati juga dari masyarakat kita –masyarakat Bekasi atau Betawi–, berkenaan dengan Muharram ini. Semacam tradisi atau bahkan kepercayaan perihal tidak inginmelangsungkan kesepakatan ijab kabul di bulan ini. Fenomena semacam ini, apakah memang ada landasannya dalam Islam, atau cuma sekedar khurafat, bahkan mungkin karena kontaminasi dan pengaruh kultur Islam-Kejawen yang terkadang masih melekat dalam budaya Indonesia.
Muharram dalam perspektif Islam, merupakan salah satu dari empat bulan haram yang ada dalam Islam (Rajab, Zulka’dah, Zulhijjah dan Muharram). Dalam empat bulan ini, kita dilarang melancarkan pertempuran kecuali dalam kondisi darurat yang tidak mampu kita elakan. Firman Allah Swt dalam surah At Taubah ayat 36: “Sesungguhnya jumlah bulan di segi Allah ada dua belas bulan (yang sudah ditetapkan) di dalam kitab Allah dikala membuat langit dan bumi, di antaranya empat bulan yang dihormati. Ketetapan yang demikian itu ialah agama yang lurus, maka janganlah kau menganiaya diri kau dalam bulan-bulan yang dihormati itu (dengan melanggar larangan-Nya).
Berdasarkan ayat ini, segala aktifitas kebaikan tidak ada larangannya untuk dilakukan di bulan Muharram. Demikian juga dengan bulan Rajab, Zulka’dah dan Zulhijjah. Hanya maksiat dan kezaliman saja yang tidak boleh lebih keras oleh Allah Swt pada bulan-bulan tersebut. Adapun aktifitas faktual –semacam ijab kabul–, dalam perspektif Islam yaitu satu aktifitas atau amalan kebajikan, bukan maksiat dan kezaliman. oleh akibatnya, tidak ada larangan dalam Islam untuk melangsungkan program perkawinan di bulan Muharram.
Namun aku lebih melihat, bahwa ketabuan seperti ini, –barangkali– ialah sebagai efek dari doktrin Syiah. Secara kebetulan, Sayidina Hussain terbunuh di Karbala pada bulan Muharram. Karenanya penduduk Syiah menatap bulan Muharram selaku bulan dukacita dan bulan berkabung. Maka mereka menghukumi haram untuk melangsungkan janji dan resepsi pernikahan, atau acara suka-ria yang lain di bulan itu. Pemahaman semacam ini tersebar luas ke negara-negara Islam dan kesudahannya hingga ke negara kita (wallahu a’lam).
Mengingat bahwa kalender hijriah dijumlah menurut rotasi bulan yang berlawanan dengan rotasi matahari, maka menyebabkan semua hari-hari besar Islam mampu terjadi pada isu terkini-animo yang berlawanan. Sebagai teladan, demam isu haji dan Ramadan, bisa terjadi pada musim cuek atau pada trend panas. Dan yang perlu diingat, hari-hari besar Islam tidak akan terjadi persis dengan ekspresi dominan kejadiannya, kecuali sekali dalam 33 tahun.
Kita pun sering menemukan perbedaan di antara beberapa kalender hijriah yang dicetak, perbedaan tersebut terjadi dikarenakan:
Pertama, tidak ada standardisasi internasional wacana cara menyaksikan anak bulan.
Kedua, penggunaan cara penghitungan dan proses menyaksikan bulan yang berlawanan.
Ketiga, kondisi cuaca dan perlengkapan yang dipakai dalam melihat anak bulan.
Dari sini, maka tidak akan ditemukan adanya program penanggalan hijriah yang 100 persen benar, sehingga proses menyaksikan anak bulan (ru’yah) masih tetap relevan –walaupun bergotong-royong dilematis– dalam penentuan hari besar, mirip bulan pahala, Idul Fitri dan Idul Adha.
Menginterpretasikan hijrah selaku the founding of Islamic Community seperti dideskripsikan oleh Fazlur Rahman (guru besar kajian Islam di Universitas Chicago), sepenuhnya benar dan dapat dielaborasi dalam perspektif sejarah.
Hijrah menggambarkan usaha menyelamatkan iktikad, penghargaan atas prestasi kerja, dan optimisme dalam meraih cita-cita. Itulah sebabnya, Fazlur Rahman menyebut peristiwa hijrah sebagai marks of the beginning of Islamic calender and the founding of Islamic Community. Sebagaimana klaim seorang profesor di bidang kultur Indo-Muslim Universitas Harvard, Annemarie Schimmael, menyebut hijrah selaku tahun (kala) menandai dimulainya abad muslim dan periode baru menata komunitas muslim.
Kelahiran Piagam Madinah, yang oleh Montgomery Watt disebut sebagai Konstitusi Madinah dan konstitusi modern yang pertama di dunia, yakni proklamasi ihwal terbentuknya sebuah ummah.
Karena hijrah bukanlah pelarian akibat takut terhadap ajal, alasannya tidak mung-kin Rasulullah takut kepada kematian. Sebab jikalau Rasulullah Saw menjaga keberadaan kaum muslimin di Makkah era itu, ini akan menyusahkan kaum muslimin itu sendiri, yang waktu itu gres berjumlah 100-an orang. Rasulullah berhijrah setelah menyiapkan kondisi psikologis dan sosiologis di kota Madinah dengan menyelenggarakan perjanjian Aqabah I dan Aqabah II di trend haji.
Adapun dalam menyebarkan makna hijrah untuk menawan relevansi kekiniannya, jelas tidak harus memakai parameter sosiologis sejarah jaman Rasulullah. Karena menawan sosiologi sejarah menjadi kemestian yang mesti dilalui itu ialah kemuskilan. Karena Rasulullah telah tiada. Kaprikornus memaknai makna hijrah dikala ini adalah dengan menawan insiden itu sebagai ibrah (pelajaran).
Cita-cita dari hijrah Nabi Saw ialah untuk merealisasikan peradaban Islam yang kosmopolit dalam wujud penduduk yang adil, humanis, egaliter, dan demokratis tercermin dalam keputusan Nabi mengubah nama Yastrib menjadi Madinah, atau Madinatul Munawarah (kota yang bercahaya), yaitu kota par exellence, daerah madaniyah atau tamadun, berperadaban.
Peristiwa hijrah ke Madinah atau yang saat ini kita peringati selaku tahun gres Hijrah (1 Muharram 1419), adalah insiden yang di dalamnya tersimpan suatu akal sejarah (sunnatullah) supaya kita selalu mengambil hikmah, meneladani, dan mentransformasikan nilai-nilai dan anutan Rasulullah saw (sunnatur-rasul). Setidaknya ada tiga hal utama dari serangkaian peristiwa hijrah Rasulullah, yang agaknya amat penting untuk kita transformasikan bagi konteks kontemporer.
Pertama, yaitu transformasi keummatan. Bahwa nilai penting atau missi utama hijrah Rasulullah beserta kaum muslimin ialah untuk evakuasi nasib kemanusiaan. Betapa serangkaian kejadian hijrah itu, senantiasa didahului oleh fenomena penindasan dan kekejaman oleh orang-orang kaya atau penguasa terhadap rakyat kecil. Pada spektrum ini, orientasi keummatan menyelenggarakan suatu transformasi ekonomi dan politik.
Kebijaksanaan hijrah, sebagai sunnatullah dan sunnatur-rasul, di mana masyarakat mengalami ketertindasan, yaitu merupakan suatu keharusan. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, orang yang mampu hijrah namun tidak melaksanakannya disebut sebagai orang yang menganiaya dirinya sendiri (zhalim). sebab luasnya bumi dan melimpahnya rezeki di atasnya, intinya memang ditawarkan oleh Allah untuk keperluan manusia. Karena itulah, jikalau manusia atau masyarakat mengalami ketertindasan, Allah mewajibkan mereka untuk hijrah (QS 4: 97-100).
Tujuan dari hijrah, dalam visi al-Qur’an itu, supaya insan dapat mengenyam ‘keleluasaan’. Kaprikornus tidak semata-mata perpindahan fisik dari satu daerah ke satu daerah lain, apalagi hanya sekadar untuk memperoleh laba ekonomi dan politik belaka, melainkan lebih dari itu melibatkan hijrah mental-spiritual, sehingga mereka memperoleh ‘kesadaran gres’ bagi keutuhan martabatnya. Hijrah Nabi ke Madinah, sudah terbukti bisa mewujudkan suatu kepemimpinan yang di dalamnya berlangsung tatanan masyarakat menurut adab utama (makarimal akhlaq), situasi tentram sarat persaudaraan dalam pluralitas (ukhuwah) dan pengedepanan misi penyejahteraaan rakyat (al-maslahatu al-ra’iyah).
Kedua, yaitu transformasi kebudayaan. Hijrah dalam konteks ini sudah mengentaskan penduduk dari kebudayaan jahili menuju kebudayaan Islami. Jika sebelum hijrah, keleluasaan masyarakat dipasung oleh struktur budaya feodal, otoritarian dan destruktif-permissifistik, maka setelah hijrah hak-hak asasi mereka dijamin secara perundang-seruan (syari’ah). Pelanggaran terhadap syari’ah bagi seorang muslim, pada dasarnya tidak lain yaitu penyangkalan terhadap keimanan atau keislamannya sendiri. Bahkan lebih dari itu, pelanggaran terhadap hak-hak aasasi yang telah dilindungi dan dikelola dalam Islam, akan dikenai hukum yang tujuannya untuk mengembalikan keutuhan adab mereka dan martabat manusia secara universal.
Nilai transformatif kebudayaan berasal dari pedoman hijrah Rasulullah, dengan demikian pada dasarnya ditujukan untuk mengembalikan keutuhan susila dan martabat kemanusiaan secara universal (rahmatan lil-‘alamiin). Mengenai apa saja martabat kemanusiaan atau hak-hak asasi –yang merupakan pundamen utama sebuah kebudayaan– yang dilindungi Islam, al-Qur’an telah menggariskan pokok-pokoknya mirip pinjaman fisik individu dan masyarakat dari tindakan badani di luar hukum, tunjangan keyakinan agama masing-masing tanpa ada paksaan untuk berpindah agama, tunjangan keluarga dan keturunan, pinjaman harta benda dan milik pribadi di luar mekanisme hukum, derma untuk menyatakan usulan dan berserikat dan dukungan untuk menerima persamaan derajat dan kemerdekaan.
Ketiga, yakni transformasi keagamaan. Transformasi inilah, yang dalam konteks hijrah, dapat dibilang sebagai pilar utama keberhasilan dakwah Rasulullah. Persahabatan ia dan persaudaraan kaum Muslimin dengan kaum Yahudi dan Katolik, sebenarnya ialah basis utama dari misi (kerisalahan) yang diemban Rasulullah. Dari sejarah kita mengenali, bantu-membantu yang pertama menawarkan ‘gejala kerasulan’ pada diri Nabi, ialah seorang pendeta Nasrani yang berjumpa tatkala Nabi dan pamannya Abu Thalib berjualan ke Syria. Kemudian pada hijrah pertama dan kedua (ke Abesinia), kaum muslimin ditolong oleh raja Najasy. Dan pada ketika membangun kepemimpinan Madinah, kaum muslimin bersama kaum Yahudi dan Nasrani, bahu-membahu dalam ikatan persaudaraan dan perjanjian. Karena itulah, pada abad kepemimpinan Nabi dan teman, Islam secara tertulis mengeluarkan undang-undang yang melindungi kaum Nasrani dan Yahudi. Wallahu ‘l hâdi ilâ sabîlirrasyâd!
“Dan katakanlah! Beramallah maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan menyaksikan pekerjaanmu itu, dan kau akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui hal yang ghaib dan yang positif, lalu diberitakan-Nya kepada kau apa yang sudah kamu kerjakan.” (QS: At-Taubah:105)
Tidak terasa umur kita bertambah satu tahun lagi. Itu berarti jatah hidup kita berkurang dan semakin mendekatkan kita terhadap rumah era depan, kuburan. Pelajaran yang terbaik dari perjalanan waktu ini ialah menyadari sekaligus mengintrospeksi sepak terjang kita selama ini. Kita punya lima hari yang harus kita isi dengan amal baik. Hari pertama, adalah era kemudian yang sudah kita lewati apakah telah kita isi dengan hal-hal yang mampu menemukan ridho Allah? Hari kedua, yaitu hari yang sedang kita alami kini ini, harus kita pakai untuk yang berfaedah baik dunia maupun darul baka. Hari ketiga, hari yang mau tiba, kita tidak tahu apakah itu milik kita atau bukan. Hari keempat, yaitu hari kita ditarik oleh malaikat pencabut nyawa menyudahi kehidupan yang fana ini, apakah kita sudah siap dengan amal kita? Hari kelima, ialah hari perkiraan yang tiada arti lagi nilai kerja atau amal, apakah kita mendapatkan rapor yang bagus, dimana tempatnya yakni surga, atau menerima rapor dengan tangan kiri kita, yang pertanda nilai jelek tempatnya di neraka. Pada saat itu tidak ada lagi arti penyesalan. Benar sekali kata seorang ulama besar Tabi’in, bernama Hasan Al-Basri, “Wahai manusia sebenarnya engkau yakni kumpulan hari, setiap hari menyusut, bermakna berkurang pula bagaianmu.” Umar bin Khatab berkata, “Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab.” Wallahu a’lam bishshowab…
Saya akhiri,
Billahi taufik wal hidayah…. Hadanallahu wa’iyyakum ajma’in… akhiran… aqulu lakum…
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…