Ceramah Memperingati Isra Mi’raj Nabi Muhammad Saw

Ceramah Memperingati Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW

A. Mukaddimah (prolog)

بسم الله الرحمن الرحيم. السلام عليكم ورحمة الله وبركاته. الحمد لله الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (الإسراء: 1). الحمد لله الملك الوهاب الجبار التواب الذى جعل الصلاة مفتاحا لكل باب. والصلاة والسلام على من نظر الى جماله بلا ستر ولا حجاب وعلى جميع الآل والأصحاب وكل وارث لهم الى يوم المآب. أشهد أن لا اله إلا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله لا نبى بعده. أما بعد
.

Hadirin yang dimuliakan oleh Allah Swt…
Bapak-bapak, Ibu-ibu yang aku hormati.
Remaja-remaji yang aku cintai.
Ade-ade sekalian yang saya kasihi.
Dan rekan-rekan yang saya banggakan.

Hari berganti hari, bulan berubah bulan, dan tahun pun berlalu. Tidak terasa peringatan demi peringatan Isra miraj, sering kita lakukan setiap tahun. Walaupun peristiwa yang sungguh bersejarah ini sudah berulang kali kita peringati, tetapi hal ini tidak pernah menjemukan kita selaku seorang mukmin. Karena dengan adanya peringatan Isra mi’raj ini, sungguh banyak faedah yang akan kita peroleh, baik itu berbentukpelajaran, hikmah bagi kita, maupun sebagai siraman rohani dan pemantapan kepercayaan di dalam dada-dada kita.

Mengapa saya katakan selaku siraman rohani dan pemantapan kepercayaan? Karena Isra dan Mi’raj merupakan peristiwa maha ghaib yang menuntut umat insan, bukan cuma umat Islam, untuk mengimaninya.

 Tidak terasa peringatan demi peringatan Isra miraj Ceramah Memperingati Isra Mi'raj Nabi Muhammad SAW

Sebagaimana kita tahu, Isra dan mi’raj ialah fenomena ilahiyah (atau suatu realita yang sengaja dewa ciptakan) yang sudah timbul semenjak kala permulaan kelahiran Islam itu sendiri, di tengah masyarakat yang mempunyai gaya berpikir sangat primitif dan sederhana, belum mampu menemukan discovery atau inovasi-inovasi ilmu wawasan modern sepeti zaman sekarang ini. Sehingga sangat sulit bagi seseorang di zaman itu untuk percaya kepada kejadian Isra dan mi’raj ini. Oleh akibatnya, bukan sesuatu yang aneh, bila tidak sedikit orang-orang yang telah memeluk Islam, karenanya kembali menjadi kafir, karena peristiwa yang mereka anggap tidak masuk logika ini.

Isra dan mi’raj yakni mu’jizat ilahiyah yang memang tidak mesti terjangkau oleh nalar manusia. Akal manusia sangatlah terbatas untuk bisa menelusuri keberadaan Isra dan miraj itu sendiri, sebab Isra dan miraj yaitu tergolong persoalan ghaib yang tidak mampu diraih oleh sesuatu yang bersifat inderawi (Al hawas). Dalam hal inderawi ini akal cuma ditugaskan untuk meyakini dan tunduk kepada apa saja yang difirmankan oleh Allah swt, dan disabdakan oleh nabi Muhammad saw.

Di sinilah kita bisa menandakan kelemahan logika manusia. Dari mana kita coba buktikan? Contoh…, jikalau kita berandai untuk menenteng akal kita kembali ke zaman dulu, ke zaman dimana belum ditemukan saintis, tekhnologi, dan ilmu‑ilmu pengetahuan modern mirip zaman sekarang ini. Di zaman udik yang kalo kata anak sekarang, “zaman kuda masih gigit besi”.

Kalau pada waktu itu ada orang yang bercerita wacana radio, televisi, komputer, internet. Adanya listrik yang sekali sentuh bisa terang, sekali sentuh mampu gelap dengan seketika. Pastilah dia dikatakan tukang sihir. Kemudian bercerita pula wacana seseorang yang mampu menjelajah angkasa raya, bahkan hingga mendarat di bulan dan sebagainya. Maka mampu kita bayangkan apa yang akan terjadi kepada seseorang yang bercerita seperti ini. Tidak pelak lagi, ia niscaya akan dituduh sebagai seorang pengkhayal, seorang yang abnormal, bahkan dianggap gila. Hal‑hal seperti ini, meskipun masih tergolong ke dalam ruang lingkup alam dunia yang bersifat inderawi, namun kita teramat percaya, pada ketika itu logika manusia tidak akan mampu mendapatkannya. Apalagi dengan hal‑hal yang berbau alam ghaib? Tentunya nalar lebih sulit untuk menganalogikan dan mendapatkannya, kecuali hanya dengan satu hal, “keyakinan!”, bagi orang-orang yang hatinya higienis.

Hal inilah yang dialami oleh baginda Rasulullah Saw saat menyampaikan insiden ini, secara impulsif orang‑orang Qurays mengatakan bahwa dia ialah seorang pembohong, pengkhayal dan bahkan dituduh sebagai seorang yang sudah gila, Sehingga tidak sedikit orang‑orang yang masih tipis imannya menjadi murtad kembali dari agama Islam.

Pada zaman kita sekarang, tentunya sudah tidak ajaib lagi bagi kita, jika seseorang bisa mendeteksi keadaan luar angkasa cuma melalui suatu layar komputer, yang sama sekali tidak mempunyai sambungan kabel ke luar angkasa sana. Betapa banyak ilmu‑ilmu gres yang masih akan didapatkan oleh manusia di era mendatang, yang mungkin pada dikala ini masih kita anggap sebagai sesuatu yang mustahil. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt yang mengatakan:

سنزيهم آيتنا في الآفاق وفي أنفسهم حتي يتبين لهم أنه الحق، أو لم يكف بربك أنه علي كل شيء شهيد

“Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda‑tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri. Sehingga terang bagi mereka, bahwa AI‑Qur’an itu yakni benar. Apakah Tuhanmu tidak cukup bagi kau bahwa bantu-membantu Dia menyaksikan segala sesuatu”. (QS. 41:53).

B. Beberapa Peristiwa Penting Menjelang Isra` dan Mi’raj

Sebagian ulama beropini, bahwa tujuan Isra dan mi’rai yakni merupakan hiburan untuk mengangkat hati Rasulullah Saw yang sebelumnya sudah mengalami aneka macam ujian dan ujian dalam mengemban dakwah Islam. Setidaknya ada tiga ujian besar yang pernah dialami Rasulullah Saw sebelum insiden Isra’ dan Mi’raj ini, adalah: pengasingan sosial yang dilaksanakan kaum Qurays terhadap Bani Abdul Muthalib dan Bani Hasyim, Wafatnya dua orang yang sangat dicintai Rasulullah Saw dan yang selama itu senantiasa menjadi penopang dakwah nabi, ialah pamannya Abu Thalib dan Istrinya Khadijah binti Khuwailid yang selalu setia mendampingi Rasulullah dalam pahit getirnya mengemban risalah dakwah. Sehingga tahun terjadinya ujian ini sering diistilahkan dengan tahun kesedihan (Âm al Huzni), dan soal penolakan masyarakat Thaif kepada dakwah Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Bukan hanya sekedar penolakan, bahkan lebih dari itu, dimana Rasulullah Saw dilempari dengan watu sehingga menjadikan kaki ia bersimbah darah. Selanjutnya akan kita uraikan tiga cobaan itu secara lebih terang.

  • 1). Pengasingan

Pada tahun ketujuh sejak kenabian Muhammad saw, seluruh kabilah musyrikin Qurasy berkumpul dan setuju untuk memboikot Bani Abdul Muthalib dan Bani Hasyim dari acara sosial. Bentuk kesepakatan blokade ini yakni: larangan berafiliasi jual beli, dan berbicara dengan mereka. Menurut janji, pengasingan ini hanya mampu dicabut bila Bani Abdul Muthalib dan Bani Hasyim menyerahkan Muhammad ke tangan mereka untuk dibunuh. Dokumen akad pengasingan ini ditempelkan pada dinding dalam Ka’bah supaya tidak mampu dilihat dan dicabut oleh siapapun.

Dengan ini bermakna Qurasy sudah menginformasikan mulai berlakunya resolusi pengasingan sosial kepada nabi Muhammad Saw dan para pengikutnya, dan yang telah memeluk aliran Islam secara khusus, juga kepada Bani Abdul Muthallib dan Bani Hasyim secara biasa walaupun belum masuk agama Islam. Mereka dihimpun disebuah lembah kering yang jauh dari sumber masakan, yang disebut selaku lembah Abu Thalib. Pengasingan yang tidak berperikemanu­siaan ini berlangsung selama tiga tahun lebih. Dalam jangka waktu sepanjang itu, Bani Abdul Muthallib dan Bani Hasyim tidak diperkenankan memasarkan atau membeli barang apapun di pasar. Sehingga rintihan kelaparan dan tangisan kehausan, selalu terdengar dari kaum tertindas ini. Tidak sedikit diantara mereka yang mengikatkan watu pada perut sekedar untuk menahan rasa lapar yang mereka derita, tak sedikit diantara mereka yang makan dedaunan untuk sekedar menyumpal perut kosong. Sementara Abu Jahal dan para pengikutnya selalu awas dan waspada terhadap siapa saja yang berani melanggar ketentuan resolusi yang sudah disepakati bersama ini. Abu Jahal tidak pernah merasa tersentuh mendengar tangisan bayi dan rintihan orang bau tanah yang sedang menderita kelaparan. Yang paling penting bagi Abu Jahal hanyalah, bagaimana Bani Abdul Muthallib dan Bani Hasyim bersedia menyerahkan nabi Muhammad untuk dibunuh atau mau berhenti dari acara dakwah yang diembannya.

Pada tahun kesepuluh dari kenabian, atas kebesaran Allah Swt, Rasulullah berimajinasi , bahwa dokumen kesepakatan yang terdapat di dalam ka’bah itu telah terhapus disantap rayap, kecuali sedikit goresan pena nama Allah yang masih tersisa di dokumen terlaknat itu. Mimpi ini dia ceritakan terhadap pamannya Abu Thalib, Abu Thalib pun mempercayainya. Akhirnya Abu Thalib mengunjungi kumpulan kafir Qurays dan menceritakan apa yang sudah beliau dengar dari keponakannya. Selanjutnya ia menyampaikan: “Allahlah yang telah menghancurkan dokumen kalian yang biadab dan terlaknat itu. Jika benar apa yang dibilang oleh keponakanku, maka kalian mesti menghentikan pengucilan dan pengasingan yang tak berperikemanusiaan ini, dan bila beliau berbohong maka akan saya serahkan beliau kepada kalian untuk dibunuh”.

Kafir Qurays menerima syarat yang diajukan oleh Abu Thatib itu dengan senang, dan mereka merasa bahwa kemenangan segera akan mereka dapatkan. Karena mereka sungguh yakin, bahwa apa yang dibilang Muharnmad yaitu tidak benar dan tidak mungkin terjadi, alasannya dokumen yang dicap dengan tiga stempel itu selalu berada dalam perut ka’bah dan belum pernah dilihat dan disentuh manusia. Mereka bareng ­-sama pergi ke ka’bah untuk menandakan siapa yang hendak menang. Sesampai mereka di sana, ternyata yang mereka jumpai sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Rasulullah Saw. Akhirnya, dengan perasaan marah mereka terpaksa meniadakan kesepakatan pengasingan itu. Bani Abdul Muthalib dan Bani Hasyim diperbolehkan kembali ke tempat tinggal mereka masing-­masing dan bergaul seperti sedia era.

  • 2). Tahun Kesedihan (‘Âm AI Huzni)

Belum usang Rasulullah mencicipi keleluasaan dari ujian pedih berbentukpengasingan sosial, yang dilakukan oleh kafir Qurays, ujian baru yang tak kalah pedihnya pun menimpa. Yaitu wafatnya Abu Thalib, sang paman dan sekaligus sebagai wali bagi baginda Rasul yang ditinggal ayahnya, Abdullah, semenjak beliau berada dalam kandungan ibunya. Abu Thaliblah yang bertanggung jawab atas keamanan Rasulullah dan senantiasa melindungi dan menjaganya dari usaha pembunuhan kafir Qurays. Selang beberapa hari sehabis wafatnya Abu Thalib, menyusul lagi ujian yang sangat sulit ditanggung Rasululah, yaitu wafatnya sang istri tersayang Khadijah binti Khuwailid. Maka komplitlah telah kesedihan yang dialami oleh Rasulullah. Beliau kehilangan penolong dakwah dengan kematian Abu Thalib, dan kehilangan pendamping setia dengan kematian Khadijah binti Khuwailid. Di kurun hidupnya, Abu Thalib boleh dikatakan sebagai perisai bagi keberhasilan dakwah Rasulullah. Beliau selalu tampil selaku pembela tatkala Rasulullah menghadapi ancaman pembunuhan dan penyiksaan dari kafir Qurays. Sementara Khadijah senantiasa menjadi penyejuk hati saat gundah, dan menjadi penghibur ketika menerima kesulitan.

Dengan kepergian Abu Thalib dan Khadijah, bermakna Rasulullah telah ditimpa oleh dua petaka besar, adalah kehilangan penolong dan kehilangan orang selaku daerah bercerita dan mengembangkan sedih. Pada kurun inilah kesedihan yang dialami Rasulullah hingga pada puncaknya. Sehingga tahun ini dikenal sebagai tahun kesedihan (Âm al Huzni).

Memang suatu kenyataan bahwa kematian Abu Thalib adalah bencana alam besar dalam kehidupan Rasulullah, karena sehabis kepergian ia, kafir Qurays kian leluasa menyiksa dan mewujudkan perjuangan pembunuhan kepada baginda Rasul, yang tidak pernah mampu mereka kerjakan ketika Abu Thalib masih hidup.

Demikian juga halnya dengan kepergian Khadijah, ialah bencana alam yang besar dalam kehidupan dakwah Rasulullah saw. Perasaan murung meliputi dia, tatkala berada di luar rumah tak didapati lagi Abu Thalib sebagai penjaga dari kejahatan kafir Qurays, dan pulang kerumah cuma menemui suatu kekosongan, tidak ditemui lagi sang istri yang senantiasa mengucapkan kata tabah dan senantiasa mendorong untuk tetap bersemangat malanjutkan usaha dakwah. Dimana sekarang hati yang sangat besar itu? Yang bisa menjadi kawasan mengadu tatkala butuh pengaduan, yang bisa menyejukkan perasaan ketika kepanasan. Dimanakah logika yang pandai itu? Yang mampu memperlihatkan penyelesaian dalam banyak sekali kesulitan, yang senantiasa membantu dalam menuntaskan setiap problem yang dihadapi. Dimana jiwa yang wilas asih itu? Yang senantiasa bersedia menanggung penderitaan dan beban berat dalam memperjuangkan kebenaran. Dimana Khadijah sang istri yang setia? Yang menyatakan doktrin tatkala orang‑orang mengingkarinya, yang membenarkan tatkala orang‑orang mendustakannya. Dimana sang senang memberi itu? Yang menginfakkan hartanya untuk kepentingan agama Allah. Dimana suasana kemesraan itu? Yang selalu diliputi rasa cinta dan kasih sayang, yang senantiasa mendorong untuk tetap berjuang dengan tegar dan kekuatan. Semuanya telah pergi, seiring dengan kepergian Khadijah menemui Tuhannya. Alangkah mengharukannya, dikala Khadijah sakit ia melihat Rasulullah dalam kondisi murung, karena membayangkan bagaimana Khadijah yang dulunya hidup mewah dan kaya raya, kini terbaring sakit dengan tidak memiliki apa‑apa. Namun apa yang terucap dari mulut perempuan yang tulus ini? “Wahai Rasulullah, janganlah engkau bersedih, kalaupun ada jalan yang terputus untuk keberhasilan dakwah ini, dan tidak ada papan sebagai jembatannya, saya bersedia menyerahkan badan ini sebagai penggantinya!”. Siapakah kiranya yang tidak akan bersedih ditinggal seorang istri mulia mirip ini? Rasulullah selaku insan biasa (Basyar), juga tidak luput dari perasaan duka bila ditimpa petaka yang amat besar seperti ini.

Penulis buku “Sîrah Nabawiyyah wa Atsar Muhammadiyyah” mengatakan: “Setelah Abu Thalib meninggal, permusuhan kafir Qurays kian menjadi-jadi terhadap Rasulullah. Berbagai penyiksaan diarahkan kepadanya tanpa ada lagi yang membela. Pada suatu hari Rasulullah pulang ke rumahnya dengan kepala sarat dikotori tanah bekas Iemparan kafir Qurays, sehingga salah seorang putrinya membersihkan kepala yang mulia itu sambil menangis. Rasulullah berkata: “Wahai anakku, janganlah engkau menangis! Karena Allahlah yang mau melindungi bapakmu ini”. Sehingga risikonya Rasulullah menyampaikan: “Belum pernah Kafir Qurays melakukan hal mirip ini kepadaku, sampai wafatnya Abu Thalib”.

  • 3). Berdakwah ke Thaif

Dengan diliputi kesedihan yang tiada taranya di kota Mekah, Rasululah tidak pernah merasa putus asa menyebarkan dakwahnya. Setelah lebih kurang sepuluh tahun berdakwah di Mekah, tetapi tidak menerima hasil positif dari kaumnya, ia berfikir untuk berdakwah di luar Mekah. Tempat yang terpikir oleh beliau ialah daerah Thaif, tempat dimana ketika Rasulullah masih bayi pemah disusui oleh Halimatus Sa’diyah. Beliau berharap bila penduduk Thaif mau menerima dakwahnya, sehingga mampu menjadi basis bagi usaha dakwah untuk masa‑kurun mendatang.

Namun antara apa yang dibayangkan dengan realita yang beliau jumpai ternyata sungguh bertolak belakang. Dengan rasa kebencian peminpin Thaif menolak dakwah Rasulullah, seraya menyampaikan: “Keluarlah engkau dari negeri kami ini, cari kawasan lain yang engkau sukai. Kami sungguh takut akan terjadi kekacauan di tengah penduduk dan kerusakan kepada agama mereka”.

  Ceramah Tahun Gres Islam 1 Muharram

Sebagaimana masyarakat Thaif tidak ramah menyambut kedatangan Rasulullah, begitu pula halnya Rasulullah keluar dari Thaif dengan pengusiran dan kekerasan. Pemimpin Thaif mengerahkan masyarakatnya yang kurang pandai‑bodoh beserta anak-anaknya untuk mengusir Rasulullah dengan lemparan watu. Sehingga kedua kaki Rasulullah penuh luka, berlumuran darah.

Rasulullah cuma bisa menadahkan tangannya terhadap Allah saat meninggalkan Thaif, dia adukan semua kekurangan dan ketidak berdayaannya kepada yang Maha Perkasa. Pengaduan Rasulullah ini terabadikan dalam do’anya yang sangat masyhur: “Ya..Allah, saya mengadukan kepada-­Mu wacana kelemahanku.., ketidak berdayaan yang aku miliki.., rendahnya aku di hadapan manusia. Ya..Allah, Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.., Engkau adalah Tuhan orang‑orang yang tertindas.., dan Engkau yakni Tuhanku..terhadap siapa akan Engkau serahkan diriku ini? Apakah kepada orang jauh yang hendak memberengutku..? Ataukah terhadap musuh yang mau menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak marah kepadaku, saya tidak peduli.., akan tetapi ampunan-Mu yang Maha Luas sangat aku inginkan. Aku berlindung dengan cahaya muka-Mu yang menerangi segala kegelapan, Yang dengan itu masalah dunia dan akhirat ini akan menjadi baik, dari kemarahan-Mu kepadaku, dan dari kemurkaan-Mu yang akan Engkau timpakan kepada diriku, serta dari seluruh cela yang aku miliki, sehingga Engkau ridha kepadaku. Tidak ada kekuatan dan daya upaya kecuali cuma milik‑Mu, ya..Allah!’

Maka dari sekian banyak ujian dan cobaan yang dialami baginda Rasul di tahun sepuluh kenabian ini, lalu dinamakan sebagai tahun kepedihan dan kesedihan. Namun Kondisi mirip ini terus berlanjut dengan perjuangan dan pengorbanan Rasulullah yang tak mengenal putus asa. Sementara para lawan Allah, terus saja melancarkan makarnya terhadap Rasulullah Saw.

Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, semua peristiwa diatas terjadi dengan kehendak-Nya. Dan dukungan Allah Swt senantiasa menyertai Nabi Muhammad. Karena itu, Allah menyuruh supaya Rasulullah bersabar, demi memantapkan hati beliau kepada kebenaran kesepakatan‑akad Allah, mirip yang kita jumpai dalam AI‑Qur’an.

Alangkah mulianya seorang da’i yang sudah mengorbankan dirinya untuk kepentingan umat manusia, menahankan aneka macam kepedihan dan penderitaan dari sikaan musuh‑lawan AIlah yang bandit. Sebagai seorang insan, pastinya Rasulullah tidak luput dari rasa duka dan duka bila menemui orang‑orang yang menolak dakwahnya, sementera dia sangat ingin biar mereka menerima hidayah, dan berada dalam keimanan.

Maka telah datang saatnya Rasulullah mendapatkan udara baru, untuk mengurangi kesedihan yang tak terperikan ini, guna menghidupkan kembali kekuatan jiwa dan semangat juang untuk mengembangkan agama Allah di tampang bumi ini.

Maka menginjak tahun sebelas kenabian, sebuah kejadian besar terjadi, peristiwa yang sempat menggemparkan kota Mekah, dan menjadi buah pembicaraan yang tak putus-­putusnya hingga kini. Yaitu perjalanan unik yang dijalankan oleh seorang hamba di wajah bumi pada malam hari, yang dilanjutkan dengan perjalanan ke langit. Itulah peristiwa Isra’ dan Mi’raj nabi besar Muhammad saw, yang selalu diperingati oleh umat Islam setiap tahunnya di seantero dunia.

Perjalanan ini, Allah sendiri yang memilih waktu, kawasan, tujuan, dan tujuannya. Hal ini temaktub dalam firman Allah dalam surat Al‑Isra Ayat 1 yang berbunyi:

سبحان الذي أسري بعبده ليلا من المسجد الحرام الي المسجد الأقصي الذي باركنا حوله لنريه من آياتنا إنه هو السميع البصير

“Maha suci Allah, yang sudah memperjalankan hamba-­Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha, yang Kami berkahi sekelilingnya. Untuk Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda‑tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dialah Tuhan yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. 17: 1).

Waktunya ialah pada malam hari (Lailan). Tempatnya adalah dari Al Masjidil Haram di Mekah ke Al Masjidil Aqsha di Palestina (Minal Masjidil Haram iIaI MasjidiI Aqsha) untuk perjalanan di atas bumi, dan dari Al Masjidil Aqsha ke Sidratul Muntaha untuk perjalan ke langit hingga ke al Mala` al A’la bertemu dengan Allah Swt. Sementara maksudnya yaitu untuk menunjukkan tanda‑tanda kebesaran Allah terhadap nabi Muhammad serta keagungan kekuasaan‑Nya (Linuriyahu min aayaatinaa).

Dari sini jelaslah bagi kita diam-diam dan pesan yang tersirat yang terdapat pada kejadian Isra’ dan Mi’raj ini, bukan hanya sekedar mujizat bagi Rasulullah, akan tetapi juga, ialah penghormatan kepada Rasulullah untuk sampai ke Al ­Mala` AI A’la dan selaku hiburan, serta pelajaran penempaan kepercayaan bagi dia. Lebih dari itu untuk Iebih menenangkan hati baginda Rasul serta lebih memperbesar keyakinannya dengan bisa menyaksikan langsung tanda‑tanda kebesaran Allah, sesuai dengan firman Allah yang menyampaikan: “Linuriyahû min âyyâtinâ” (Agar Kami perlihatkan kepadanya dari tanda­-tanda kebesaran Kami) serta dalam firman‑Nya dalam ayat lainnya “Laqad ra`aa min aayyati rabbihil kubro” (Sungguh dia telah melihat tanda‑tanda kekuasaan Tuhannya yang amat besar).

  • 4). Persiapan fisik dan mental Muhammad SAW

Menjelang keberangkatan Rasul melaksanakan Isra’ dan Mi’raj, beliau dihadiri oleh delegasi Tuhan, yang membedah dada dan membersihkan hati dia dengan air, sebagai persiapan menghadapi perjalanan rabbaniyah yang amat ajaib. Selanjutnya hati yang bersih itu, dipenuhi dengan pesan yang tersirat dan keimanan. Setelah itu barulah Rasulullah diperjalankan ke Baitul Maqdis hingga ke Sidratul Muntaha menemui Allah.

Sebagian pengkaji rasionalis, mengingkari keberadaan insiden pembedahan dada Rasul ini. Padahal bila kita amati pertumbuhan ilmu wawasan di periode teknologi mutakhir sekarang, dimana seorang astronot harus dibekali dengan oksigen atau bekal lain justru memperkuat insiden itu sendiri. Apalagi bagi kita seorang muslim beriman terhadap hadits‑hadits shahih Rasulullah Saw yang berkenaan dengan insiden ini.

Kita menyaksikan kejadian ini, tidak lebih dari suatu keinginanAllah yang ingin memperjalankan hamba‑Nya, dengan aturan‑aturan Allah itu sendiri. Peristiwa ini sendiri hanyalah salah satu mujizat dari sekian banyak mujizat yang diberikan Allah kepada para nabi.

Isra’ dan mi’raj adalah sebuah perjalanan dengan aturan Allah, yang juga berdasarkan sunnatullah tetap membutuhkan persiapan tertentu yang matang, baik dari sisi fisik maupun mental. Sedangkan seorang astronot pada zaman kini, untuk pergi ke bulan saja membutuhkan aneka macam persiapan dan latihan yang sungguh pelik, supaya bisa menghadapi aneka macam keadaan. Maka tidak heran bila Rasulullah yang mau menempuh sebuah perjalan, yang dikelola eksklusif berdasarkan skenario Tuhan, juga memerlukan antisipasi berdasarkan aturan Tuhan pula, yang barangkali sulit dicerna oleh sebagian nalar manusia.

Menurut observasi para mahir hadis, seluruh hadis Nabi yang mengatakan ihwal pembedahan dada nabi ini mampu diterima, sesuai dengan syarat syahnya suatu hadits. Kalaulah demikian halnya, dan mayoritas periwayat hadits setuju membenarkannya, maka gugurlah semua pernyataan orang-­orang yang mengingkari eksistensi kejadian itu.

Menurut para andal sejarah Islam, insiden pembedahan ini sudah terjadi sebanyak empat kali bagi Rasulullah saw, ialah:

Pertama, ketika menginjak umur tiga tahun, yakni sebulan setelah kembali dari rumah Halimatus Sa’diyah, Ibu susuannya. Peristiwa ini terjadi dalam lingkungan perumahan Bani Saad. Kedua, dikala berumur sepuluh tahun, dan insiden ini terjadi di Makkah Al Mukarramah. Ketiga, dikala berumur empat puluh tahun, adalah menjelang mendapatkan wahyu pertama kali, selaku penobatan ia menjadi delegasi Allah. Keempat, saat berumur lima puluh tahun, yaitu pada malam Isra’ dan Mi’raj.

Seluruh kejadian ini, bisa kita jumpai dalam hadits‑hadits nabi yang shahih. Mungkin saja sebagian orang mengajukan pertanyaan, apa hikmah dari berulang kalinya peristiwa pembedahan dada rasul ini? Secara ringkas, di sini dapat penulis kemukakan pendapat ulama ihwal itu:

Dari pembedahan pertama ialah, supaya Rasulullah tumbuh sebagai insan tepat, dan terbebas (ma’shum) dari godaan setan. Dari kejadian kedua adalah, untuk memperbesar kesucian hati nabi memasuki usia cukup umur yang lebih banyak menghadapi tantangan hawa nafsu. Dari pembedahan ketiga, menjelang pertama kali menerima wahyu, hikmahnya yaitu bahwa yang hendak diturunkan Allah kepadanya yaitu Kalam suci, oleh karena itu hendaklah tempat bersemayamnya harus juga suci secara sempurna, yakni hati nabi. Pada insiden keempat, yakni ketika dia akan berangkat Isra’ dan Mi’raj. Hikmahnya ialah supaya dia dalam menghadap dan bertemu Tuhan tidak memiliki sedikit nodapun.

Demikianlah diantara hikmah pembedahan dada nabi, dan tentu saja tidak terbatas pada hal‑hal yang sudah kita sebutkan itu saja.

C. Peristiwa Isra’ dan Mi’raj

Peristiwa Isra’ dan Mi’raj tergolong insiden sejarah yang sungguh banyak mendapat perhatian dan perbincangan para ilmuwan sosial. Diantara hebat sejarah, ada yang sungguh berlebihan dalam memandang kedudukan nabi Muhammad berikut mu’jizatnya, ada pula sebaliknya, mengingkari sama sekali eksistensi mujizat dalam perjalanan sejarah hidup seorang nabi.

Menurut Dr. Muhammad Said Ramadhan Al Buty, dalam bukunya “Fiqhus Sîrah An Nabawiyyah”. Bahwa adanya pandangan yang mengingkari mu’jizat Nabi dalam kejadian Isra’ dan mi’raj ini, berasal dari para orientalis yang turut mengkaji kejadian Isra’ dan Mi’raj tanpa apalagi dahulu didasari keimanan kepada hal‑hal yang ghaib. Sehingga fenomena apapun dalam sejarah, selalu mereka ukur dengan logika nalar yang terbatas. Diantara para orientalis yang memiliki persepsi mirip ini adalah Gustaf Lobon, Ougust Comte, Hume, Gold Ziher dan banyak lagi yang lainnya. Sebagai sebab utama dari persepsi mereka mirip ini adalah, alasannya adalah tiadanya iktikad kepada pencipta mujizat itu sendiri. Karena jikalau iktikad kepada Allah sudah tertanam di dalam jiwa seseorang, maka akan mudah untuk mengimani segala sesuatu yang Iebih gampang dari pada itu.

Sayangnya, anutan seperti ini tidak hanya dimiliki oleh para orientalis kafir saja. Akan tetapi sudah diadopsi juga oleh sebagian pengkaji dari kelompok kaum muslimin sendiri, yang terlalu silau dengan istilah metodologi ilmiyah –padahal subjektif– yang digembar‑gemborkan Eropa. Sehingga karenanya mereka berpandangan bahwa yang melakukan Isra’ dan Mi’raj itu hanyalah ruh nabi, bukan fisiknya (jasadnya). Karena menurut mereka, mustahil tubuh nabi yang material dan terbuka itu mampu menembus lapisan langit dalam waktu yang sungguh terbatas.

Namun persepsi seperti ini sudah banyak disanggah ole para ulama Islam, bahwa kata‑kata ‘abdihi (hamba‑Nya) dalam surat AI‑Isra’ ayat 1 itu adalah terdiri dari bagian ruh dan badan. Karena dalam bahasa Arab, ruh saja tidak cukup untuk bisa dikatakan sebagai hamba, begitu sebaliknya bahwa badan saja tidak mampu dikatakan selaku hamba. Yang dibilang selaku seorang hamba harus berisikan adonan unsur ruh dan badan.

Selanjutnya di bawah ini kita masuk ke dalam pembahasan insiden Isra’ dan mi’raj berdasarkan pandanga ulama Islam.

1). Mulai Perjalanan Isra (Dari Al Masjidil Haram ke Al ­Masjidil Aqsha)

Sumber cerita-dongeng ihwal perjalanan yang sarat misteri itu yakni kata‑kata pada permulaan Surah Al‑isra yang berbunyi:

سبحان الذي أسري بعبده ليلا من المسجد الحرام الي المسجد الأقصي الذي باركنا حوله لنريه من آياتنا إنه هو السميع البصير

“Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba Nya dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang sudah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda‑tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia yakni Tuhan yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.

Dalam kitab sirahnya, Ibnu Ishaq menggambarkan dongeng Isra’ dan mi’raj ini sebagai berikut: Suatu malam Jibril menenteng nabi naik ke atas punggung samawi yang disebut Buraq; lalu Muhammad Saw menyelenggarakan perjalanan bareng Jibril. Dan dalam perjalanan malam ke Yerussalem, Rasulullah diperlihatkan dengan berbagai keajaiban. Dan sesampainya di Masjidil Aqsha, Rasulullah bertemu dengan nabi‑nabi terdahulu, sekaligus mendapatkan penghormatan untuk mengimami shalat bersama mereka.

AI Buroq, dalam bahasa Arab berdasarkan sebagian usulan berasal dari kata “Al Barq” yang bermakna kilat. Boleh ditafsirkan bahwa penggunaan nama ini dalam Al Qur’an ialah untuk menawarkan kecepatan yang tiada tara dari jenis kendaraan ini.

Di dalam buku‑buku hadis, Al buroq ini digambarkan selaku kuda putih yang sangat indah. Oleh sebab itu nalar orang Arab pada zaman Rasulullah Saw tidak mampu mendapatkan peristiwa Isra dan mi’raj yang diceritakan oleh baginda Rasul ini. Karena mereka mengenali bahwa seseorang yang mengendarai kuda pulang pergi dari Mekah ke PaIestina akan menyantap waktu selama lebih kurang dua bulan. Sementara Rasulullah mengatakan terhadap mereka, bahwa ia sudah pergi ke Masjidil Aqsha dan di lanjutkan lagi dengan perjalanan mi’raj ke langit tinggi, hanya dalam waktu satu malam. Sehingga gosip yang disampaikan oleh rasul tersayang ini, menjadi bahan tertawaan dan cemoohan bagi orang‑orang yang mempunyai penyakit dalam hatinya, adalah orang‑orang kafir Qurays yang mengingkari kebenaran aliran Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw.

Lain dengan kita yang hidup pada masa teknologi mutakhir kini ini, dimana para ilmuwan sudah mampu mendapatkan kecepatan suatu teknologi yang melampaui kecepatan cahaya dan suara, yang secara aksiomatis telah pasti akan mengurangi panjangnya masa dalam menempuh sebuah perjalanan, dan secara otomatis manusia pada zaman sekarang dapat memahami bahwa sesuatu perjalanan sejauh manapun mampu dikerjakan dalam waktu yang lebih singkat dari yang terjadi pada era‑periode sebelumnya.

Seandainya saja orang‑orang kafir yang menentang Rasulullah itu masih hidup bareng kita kini ini, pastinya mereka akan melihat kebenaran apa yang disampaikan Rasulullah kepada mereka. Ternyata hal itu bukan merupakan sesuatu yang tidak mungkin dalam kehidupan kita sebagai manusia umumdi zaman ini, apatah lagi kiranya bagi seorang rasul Allah yang diharapkan sendiri oleh Allah sebagai Sang Pencipta.

Dalam waktu yang sungguh singkat, Rasulullah telah hingga di “Al Bait Al Maqdis”. Di sana dia bertemu dengan para nabi terdahulu, dan mengimami shalat. Sesungguhnya Isra’ dan Mi’raj yakni perjalanan yang penuh dengan keberkahan, antara Masjidil Haram yang dibangun ole Nabiyullah Ibrahim dan anaknya Isma’il ‘Alaihimassalam di Mekah dan Masjidil Aqsha yang dibangun oleh Nabiyullah Daud dan Sulaiman ‘AlaihimassalamI di Palestina. Kedua rumah suci ini telah diberkahi oleh Allah swt. Demikian juga dengan apa yan terdapat disekitarnya, demikian yang termaktub dalam firman Allah. Sehingga tempat ini benar‑benar menjadi sentra peribadatan dan pengesaan kepada Allah Swt, dan pada kedua tempat suci inilah wahyu‑wahyu Allah diturunkan kepada para rasul‑Nya.

Dalam perjalanan menuju Masjidil Aqsha, Rasulullah Saw sempat singgah di suatu bukit yang sarat berkah, dimana Nabi Musa As pernah mendapatkan wahyu pribadi dari Allah swt, ialah “Bukit Tursina”, dan rasulullah shalat dua rakaat di kawasan itu. Disamping itu rasulullah juga mampir di tempat kelahiran nabi Isa As, yaitu di suatu bukit mubarakah yan disebut “Betlehem (“baitullhami”, bahasa Arabnya)” dan ia pun shalat dua rakaat. Akhirnya hingga di “Baitul Maqdis”. Di tempat suci inilah, beliau bertemu dengan nabi Ibrahim dan Musa di tengah kumpulan para nabi dan rasul Allah yang lain. Di daerah ini juga Rasulullah Saw shalat selaku imam bagi para nabi. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa malaikat Jibril datang kepada Rasulullah dengan menjinjing dua gelas minuman, satu berisi anggur, dan satu lagi berisi susu. Kemudian Rasulullah menentukan gelas yang berisi susu. Jibril berkata: “Engkau telah menentukan Fithrah”. (HR. Bukhari dan Muslim).

  Ceramah Tahun Gres Islam 1 Muharram

Selanjutnya barulah Rasulullah melanjutkan perjalanan ke langit, yang disebut dengan “mi’raj’. Dalam peristiwa mi’raj inilah rasulullah menyaksikan tanda‑tanda kebesaran Allah yang Maha Agung (min aayaati Rabbihil Kubra).

Firman Allah Swt yang berkenaan dengan kejadian Mi’raj atau naik ke langit ini, mampu kita jumpai dalam Surat An­ Najm Ayat: 7‑18.

وهو بالأفق الأعلي. ثم دني فتدلي فكان قاب قوسين أو أدني. فأوحي الي عبده ما أوحي. ما كذب الفؤاد ما رأي. أفتمارونه علي ما يري. ولقد رءاه نزلة أخري عند سدرة المنتهي . عندها جنة المأوي. إذ يغشي السدرة ما يغشي. ما زاغ البصر وما طغي. لقد رأي من آيات ربه الكبرى.

“Sedang beliau berada di ufuq yang tertinggi. Kemudian beliau mendekat dan bertambah lebih dekat lagi, maka jadilah Dia bersahabat (terhadap Muhammad) sejarak dua ujung busur atau lebih erat lagi. Lalu Dia memberikan kepada hamba‑Nya (Muhammad) apa yang telah Dia wahyukan. Hati Muhammad tidak mendustakan apa yang sudah dilihatnya. Maka apakah kau (musyrikin Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang sudah dilihatnya? Dan bahwasanya Muhammad telah menyaksikan Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, adalah di Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada Sorga daerah tinggal. Muhammad menyaksikan Jibril dikala Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatan Muhammad tidak berpaling dari yang dilihatnya itu, dan tidak pula melampauinya. Sesungguhnya ia sudah melihat sebagian tanda‑tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar”. (QS. 53 : 7 ‑ 18).

Kemudian ayat yang senada mampu pula kita temui dalam Surat At‑Takwir ayat: 19‑24.

إنه لقول رسول كريم. ذي قوة عند ذي العرش مكين. مطاع ثم أمين. وما صاحبكم بمجنون. ولقد رآه بالأفق المبين. وما هو علي الغيب بضنين.

“Sesungguhnya Alqur’an itu benar‑benar firman Allah, yang dibawa oleh utusan mulia (Jibril), yang memiliki kekuatan dan kedudukan tinggi di segi Allah yang mempunyai Arsy, yang ditaati di sana (di alam Malaikat) lagi dipercaya. Dan temanmu (Muhammad) itu bukanlah sekali‑kali orang yang abnormal. Dan bergotong-royong Muhammad itu melihat Jibril di ufuk yang jelas. Dan beliau (Muhammad) bukanlah seorang yang bakhil untuk menandakan yang ghaib”.(QS. 81: 19 ‑ 24).

Secara terang, peristiwa besar ini dapat kita baca dalam hadis‑hadis Rasulullah dan buku‑buku sirah kehidupannya dia.

Ibnu Ishaq, dalam kitab Sirahnya menggambarkan peristiwa tersebut sebagai berikut: “Abu Said meriwayatkan, bahwa ia telah mendengar Rasulullah Bekata: “Setelah aku melakukan apa yang mesti saya lakukan di Yerusalem, saya dibawa ke suatu tangga (mi’raj), dan aku tidak pernah melihat sesuatu yang lebih indah ketimbang itu. Itulah yang menjadi persepsi orang‑orang mati pada hari kebangkitan. Sahabatku Jibril, membuatku dapat memanjat hingga kami meraih salah satu gerbang langit, yang disebut gerbang Garda. Di sana 1200 malaikat bertindak selaku pengawal.”

Di gerbang Garda ini, Isma’il As menanyakan nama Muhammad Saw, dan juga menanyakan apakah dia benar‑benar seorang Rasul. Setelah mendapatkan sebuah balasan yang memuaskan, ia mengijinkan Rasulullah untuk melalui langit‑langit. Di langit yang terendah ia melihat nabi Adam As, di hadapannya jiwa‑jiwa insan berlangsung dalam barisan. Beliau pun diperlihatkan penghukuman kepada orang‑orang berdosa, yang cocok dengan budbahasa kejahatan mereka masing­-masing. Mereka yang sudah menyalahgunakan harta anak yatim, harus menelan api, para lintah darat yang umum mencekik kehidupan ekonomi rakyat lemah, diperlihatkan selaku tubuh jerawat dihalau oleh buaya‑buaya ke dalam api untuk berikutnya diinjak‑injak, dan banyak lagi model­-model siksaan yang lebih menyeramkan disaksikan Rasulullah Saw. Rasulullah melanjutkan perjalanan ke lapisan langit selanjutnya, dan bertemu dengan sebagian nabi sebelum ia. Rasulullah melihat nabi Isa As di langit keempat, nabi Ibrahim As di langit ketujuh, adalah pada tingkat tertinggi yang menunjukkan isyarat kedudukan yang istimewa dan sungguh khusus dalam pandangan umat Islam. Baik posisi dia sebagai nenek moyang para nabi, maupun sebagai yang berjasa mendirikan Ka’bah bareng putranya Isma’il, serta sebagai jagoan spiritual yang telah menghancur‑leburkan berhala-­berhala. Sehingga di simpulan perjalanan tersebut Rasulullah diajak memasuki surga.

Dalam hadis riwayat Bukhari, pada kejadian Isra’ mi’raj inilah ibadah shalat diwajibkan. Dimana pada awalnya Allah menyuruh nabi untuk menyampaikan kewajiban shalat lima puluh kali sehari semalam kepada umatnya. Ketika beliau akan turun ke bumi, nabi Musa As memprotesnya dengan menyampaikan bahwa umatnya tidak akan mampu menunaikan shalat sebanyak itu, dan supaya baginda Rasul kembali lagi untuk memohon terhadap Allah biar jumlah itu dikurangi. Setelah beberapa upaya yang diulang‑ulang, Allah jadinya meminimalisir jumlah itu menjadi lima. Ketika nabi Musa As mengatakan bahwa itu pun masih terlalu banyak, Rasulullah menolak untuk meminta yang lebih ringan lagi, sehingga jumlahnya tetap lima selaku kewajiban bagi kaum muslimin semenjak dikala itu hingga kini.

Menurut Baihaqi dalam bukunya “Dalâ`ilun ­Nubuwwah”, saat Rasulullah kembali, kawasan tidurnya masih hangat, dan tempayan air yang jatuh saat beliau dibawa pergi, sama sekali belum tumpah. Maka perjalanan ke langit itu, ialah suatu perjalanan yang sungguh spiritualistik dan ruhiyah, dimana didalamnya orang mampu hidup dalam satu waktu selama bertahun‑tahun, karena kondisi bahan atau jasmani yang berhubungan dengan ruh selama pengalaman itu, berada diluar rangkaian waktu yang merupakan ciptaan. Oleh alasannya itu, para teolog Islam telah berlawanan pendapat wacana perjalanan baginda Rasul ke langit itu, apakah secara jasmani atau ruhani saja. Menurut pendapat kaum Mu’tazilah (Mu’tazilah adalah salah satu mazhab teologi Islam yang lebih condong mendahulukan logika daripada nash), seluruh peristiwa itu cuma ialah penglihatan hati semata, dan perjalanan itu adalah perjalanan ruhani tanpa jasmani. Namun persepsi ini telah banyak ditentang oleh para ulama terdahulu yang shaleh (As salafus Shaleh), mirip At-Thobari spesialis tafsir populer yang hidup pada awal abad ke‑10 M. Beliau beropini bahwa perjalanan Rasulullah itu benar‑benar terjadi secara jasmani dan rohani, alasannya berdasarkan ia Al-­Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa “Allah sudah memperjalankan hamba‑Nya pada malam hari” (Asraa bi ‘abdihi lailan) dan bukan rûhan atau nafsan yang memiliki arti “jiwa hamba‑Nya”. Dan kenapa Rasulullah harus memerlukan sebuah tunggangan seperti Buraq, jika perjalanan itu semata‑mata cuma pandangan hati dan spiritual?

Masalah kontroversial lainnya yakni, apakah Rasulullah sudah benar‑benar melihat Allah Swt dengan kedua belah matanya, atau cuma dengan hatinya? Masalah ini, sungguh akrab kaitannya dengan anutan ajaran yang dipraktekkan dalam menafsirkan surah ke 53 (An‑Najm) ayat 13 ‑ 17:

ولقد رءاه نزلة أخري عند سدرة المنتهي . عندها جنة المأوي. إذ يغشي السدرة ما يغشي. ما زاغ البصر وما طغي.

“Sesungguhnya beliau (muhammad) sudah melihatnya pada waktu lain, yaitu di Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada surga kawasan tinggal. Ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari apa yang dilihatnya, dan tidak pula melewatinya” (QS. 53: 13‑17).

Surat ini menggambarkan dalam bagian pertamanya sebuah penglihatan Nabi yang “melihatnya di ufuk tertinggi”. Kata ganti “nya” dalam ayat 13 Surat An Najm tersebut dapat dirujukkan terhadap Jibril, selaku pembawa wahyu, dan mampu juga ditafsirkan selaku berhubungan dengan Allah. Memang demikianlah kenyataannya, bahwa surat ini ditafsirkan selaku gambaran dari kejadian perjalanan Nabi ke langit (mi’raj). Sebagian berkata: Dia (Muhammad) melihat Jibril di ufuk tertinggi, sebagian lagi berkata bahwa beliau melihat Allah dengan hatinya, sebagian lagi berkata, bahwa dia menyaksikan Allah dengan kedua belah matanya. Mengenai siapa yang terbenar dari mereka, kita sependapat saja dengan Imam Qastallani dalam kitabnya “Al‑Mawâhib Al‑Laduniyyah”. Bahwa insya Allah semua mereka mengatakan benar, alasannya adalah mereka cuma menyampaikan apa yang sudah mereka dengar. Dan perbedaan ini, boleh dibilang selaku perbedaan dalam penafsiran. Sedang peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu sendiri, sama‑sama diimani dengan penuh iman yang seragam.

Tidak seorang pun mampu membayangkan, betapa dekatnya Nabi dengan apa yang dilihatnya “Qoba qowsaini aw adna” (sejarak dua ujung busur atau lebih dekat). (QS. Al Najm: 9). Istilah ini dijelaskan bukan berkenaan dengan panjangnya dua ujung busur, namun merupakan isyarat yang menandakan betapa dekatnya Nabi ketika menghadap Tuhannya. Dan seperti yang kita sebutkan pada awal kajian ini bahwa kejadian Isra’ dan Mi’raj ini ialah peristiwa yang sarat dengan keyakinan kepada hal‑hal yang ghaib, maka ayat ayat ini juga penuh dengan perumpamaan‑perumpamaan sekitar problem yang ghaib ini. Dimana doktrin terhadap yang ghaib merupakan aspek penting dalam aqidah Islamiyah.

Hal lain yang ialah kelebihan Nabi Muhammad atas semua nabi‑nabi lain, yaitu dalam kedekatan yang sedekat­-dekatnya ini. Dimana matanya tidak menyimpang dan tidak berpaling sedikitpun ketika melihat Allah, “Ma zaaghal ­basharu wa ma thaghaa” (Penglihatannya tidak berpaling dari apa yang dilihatnya itu, dan tidak pula melampauinya). (QS. An ­Najm: 17). Tidakkah Musa As lemah lunglai ketika atribut-­atribut ilahi nampak olehnya lewat gunung yang hancur luluh? Dan dia hanya dapat mendengar suara Tuhannya tanpa mampu menyaksikan. Sebagaimana termaktub dalam firman Allah Swt pada surat AI‑A’raf ayat 143:

ولما جاء موسي لميقاتنا وكلمه ربه قال رب أرني أنظر اليك، قال لن تراني ولكن انظر الي الجبل فان استقر مكانه فسوف تراني، فلما تجلي ربه للجبل جعله دكا وخر موسي صعقا، فلما أفاق قال سبحانك تبت اليك وأنا أول المؤمنين.

“Dan tatkala Musa tiba untuk munajat terhadap Kami pada waktu yang telah Kami pastikan, dan Tuhannya telah berfirman eksklusif kepadanya. Musa berkata: “Ya Tuhanku, nampakkanlah diri‑Mu kepadaku agar saya mampu melihat Engkau. Allah berfirman: “Kamu sekali‑kali tidak akan sanggup menyaksikan‑Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya selaku sedia kala, pasti kau dapat melihat‑Ku”. Tatkala Tuhannya menampakkan kekuasaan-­Nya di gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka sehabis Musa sadar kembali, beliau berkata: “Maha suci Engkau, saya bertaubat kepada‑Mu dan aku orang yang pertama‑tama beriman.” (QS. 7:143).

Sedangkan Nabi Muhammad Saw tanpa mengalihkan matanya, sudah mengalami melihat Allah “fa kaana Qaaba qawsaini aw adnaa” (Maka jadilah Dia dekat kepada Muhammad sejarak dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi). (QS. An‑Najm: 9) Oleh hasilnya, hal ini sangat dikuduskan oleh para penyair sufi dengan hiperbola‑hiperbola yang amat berani dan penggambaran yang amat berlebilian. Barangkali gambaran yang amat ringkas ihwal kejadian ini diberikan oleh Jamali Kanboh, seorang penyair Indo‑Persia kurun ke‑15, yang mengungkapkan misteri ini dalam bait syairnya yang terkenal:

“Musa pingsan periode Sifat‑sifat Allah berubah menjadi,
namun kau tersenyum era menyaksikan dzat‑NYA.”

Suatu hal yang belum banyak kita singgung dalam kejadian mi’raj ini yaitu, hadis‑hadis yang menceritakan wacana kehidupan alam barzakh, baik yang mendapat lezat dan kebahagian, atau pun yang mendapatkan penyiksaan yang amat pedih dan memilukan. Di sana Rasulullah menyaksikan bagaimana tingginya derajat orang‑orang yang taat dan mengamalkan perintah Allah Swt. Di samping itu, Rasulullah pun melihat bagaimana terhinanya orang‑orang yang arogan dan enggan untuk melakukan perintah Allah, serta gemar melaksanakan hal‑hal yang tercela dan diharamkan Allah.

Di sana Rasulullah melihat orang‑orang yang memusuhi agama, orang‑orang kafir, zhalim dan munafik, orang‑orang yang senantiasa mengatakan kebenaran tapi tidak melaksanakan, orang‑orang yang suka mencela, para penzina, pemakan harta anak yatim, pemakan riba, pengkhianat, dan banyak lagi bentuk kejahatan yang mendapat siksaan dari Allah atas kejahatan yang mereka kerjakan.

Di sainping itu, Rasulullah pun menyaksikan sekelompok orang beriman dari setiap kala menerima kenikmatan dan kebahagiaan atas amal kebaikan yang mereka lakukan di dunia. Dimana dalam sebuah perjalanannya itu, Rasulullah menemui amis yang sangat busuk. Kemudian ia mengajukan pertanyaan terhadap Jibril, bacin apakah ini wahai Jibril? Jibril menjawab: “Ini yaitu bau Masyithah (pengasuh anak fir’aun) dan keluarganya.”

Barangkali ada orang yang akan bertanya, bagaimana mungkin seorang yang hidup mampu menyaksikan kehidupan orang‑orang mati? Sebagai tanggapan dari pertanyaan ini, kita menyampaikan, bahwa insiden Isra’ dan mi’raj ini yakni suatu rihlah ilahiyah (perjalanan yang diatur Tuhan) yang khusus untuk nabi Muhammad saw. Dimana tidak akan ada sulitnya bagi Allah Swt untuk merubah sebuah keadaan yang bersifat materi kepada suatu kondisi yang bersifat rohani atau sebaliknya. Sebagaimana mudahnya perpindahan arwah orang mati dari satu kondisi ke keadaan yang lain. Hanya orang yang mempunyai penyakit hatilah yang selalu meragukan perihal kemahakuasaan Allah kepada hal‑hal yang mereka anggap tidak mungkin menurut akal mereka yang sangat terbatas.

3. Di Sidratul Muntaha (MelihatAllah)
Setelah menyaksikan banyak sekali macam peristiwa dalam perjalanan mi’raj ke langit tersebut, risikonya Rasulullah dan malaikat Jibril melampaui langit yang ketujuh dan sampai ke suatu daerah yang berjulukan Sidratul Muntaha. Di sinilah Rasulullah menyaksikan ayat‑ayat ilahiyah yang tidak bisa disifati. Dan di sini juga Rasulullah menyaksikan Jibril berganti bentuk secara datang‑datang. Jibril muncul dalam bentuknya yang asli sebagaimana diciptakan oleh Allah swt.

Di Sidratul Muntaha ini pula Jibril mengatakan terhadap Rasulullah, Wahai Rasulallah, Saya mohon ma’af, karena cuma sampai disini saja aku mampu naik bareng anda. Jika saya naik lebih dari ini vvalaupun selangkah, maka niscaya saya akan terbakar. Masing‑masing dari kita memiliki kekuatan, daerah dan derajat tertentu. Maka dari itu, majulah engkau terus melanjutkan perjalanan Mi’rajmu yang diberkahi ini. Majulah engkau terus dengan cahayamu yang mulia. Rasulullah Saw terus maju, beliau cuma maju sendiri menemui Tuhan, yang risikonya hijab‑hijab penutup semuanya menjadi tersingkap, dan hanya tinggal satu hijab, di sinilah Rasulullah menyaksikan apa yang belum pernah dilihat oleh mata, dan belum pernah terbayang oleh hati manusia. Mata bergairah Rasulullah tidak bisa menahan kekuatan cahaya ilahiyah ini, jadinya Allah membukakan mata hati Rasulullah, untuk melihat keindahan yang tiada berujung ini. Allah mendekatkan Rasulullah ke ‘Arsy‑Nya, hinggalah menjadi “fa kaana qooba qowsaini aw adnaa” Maka jadilah Dia dekat dengan Muhammad sejarak dua ujung busur panah, atau Iebih erat lagi). (QS. 53:9).

  Ceramah Tahun Gres Islam 1 Muharram

Ketika Rasulullah menyaksikan cahaya Tuhannya, ia berucap: “Attahiyyaatu lillaah was sholawaatut thayyibaat” (Segala puji bagi Allah dan penghormatan yang setinggi‑tingginya). Kemudian Allah pun membalas ucapan mulia ini: “Assalaamu ‘alaika ayyuhan Nabiy warahmatullahi wabarakaatuh” (Keselamatan atasmu wahai Nabi, rahmat dan berkat Allah untukmu). Selanjutnya para Malaikat pun berkata: “Assalaamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibaadillaahis shalihin” (Keselamatan atas kita semua dan atas hamba‑hamba Allah yang sholeh).

Rasulullah tak henti‑hentinya memuji Allah dengan segala bentuk pujian dan do’a. Tentang hal ini, Allah Swt berfirman:

ثم دني فتدلي فكان قاب قوسين أو أدني. فأوحي الي عبده ما أوحي.

“Kemudian beliau mendekat, Ialu bertambah akrab lagi. Maka jadilah Dia akrab pada Muhammad sejarak dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi. Lalu Dia menyampaikan terhadap hamba‑Nya (Muhammad) apa yang sudah Dia wahyukan”.(QS: 53: 8 ‑10).

Tentang pertemuan Rasulullah dengan Tuhannya ini, Dr. Abdul Halim Mahmud, dalam bukunya “Dalâilun ­Nubuwwah wa Mu jizâtir Rasur” mengatakan: “Oleh karena Muhammad Saw ialah Rasul yang paling sempurna, maka sewajarnyalah ia menjadi rasul yang paling akrab kepada Allah Swt. Dimana beliau telah menjelajahi bumi dan langit tertinggi, melampaui seluruh alam materi, dan sampai ketempat yang tidak pernah tercapai oleh insan manapun, bahkan ke sebuah kawasan yang tidak bisa di capai oleh Jibril As sekalipun. Beliau sudah melihat tanda‑tanda kebesaran Tuhannya yang Maha Besar. Adapun ihwal bagaimana hakekat kedekatan dan penglihatan Rasulullah kepada Tuhannya ini, tidak ada yang lebih tahu kecuali Allah dan Rasul‑Nya.

4. Kembali ke Mekah
Setelah berakhirnya konferensi antara dua kekasih ini, maka tibalah saatnya bagi Rasul untuk kembali ke bumi. Dan sebagai penghormatan bagi Rasulullah Saw, dia turun ke bumi diiringi oleh para rasul Allah lainnya sampai sampai ke Baitul Maqdis. Selanjutnya dia kembali mengendarai Buroq untuk kembali ke Mekah, dan situasi gelap malam masih meliputi bumi dikala dia sampai di Mekah. Namun, sedikit demi sedikit cahaya fajar pun mulai berkilau, yang balasannya mentari pagi pun mulai menyingsing di ufuk timur, menerangkan sebuah kehidupan mulai bergerak di seluruh penjuru kota Mekah.

Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Ibnu Abbas, Rasulullah mengatakan: “Tatkala malam telah berlalu, pagi pun menjelang, seolah Mekah sungguh terkejut menerima kenyataanku, dan aku pun tahu bahwa penduduknya mendusta­kanku”. Selanjutnya Rasulullah berkata: “Maka datanglah Abu Jahal, dan beliau duduk di sampingku, dengan mengajukan pertanyaan yang bernada mengolok: “Apakah terjadi sesuatu?” Rasulullah menyampaikan: “Ya”. la berkata: “Peristiwa apa itu?” “Allah telah memperjalankanku pada malam ini.” “Kemana?” kata Abu Jahal. “Ke Baitul Maqdis” jawab Rasulullah. “Kemudian engkau berada diantara kami pada pagi ini?” kata Abu Jahal makin mengolok. “Ya”, jawab Rasulullah. “Bagaimana pendapatmu bila saya kumpulkan penduduk Mekah, lalu engkau sampaikan apa yang sudah engkau sampaikan kepadaku?’ kata Abu Jahal dengan perasaan mengejek. “Boleh” jawab Rasulullah dengan hening.

Akhirnya Abu Jahal berkeliling di jalan‑jalan kota Mekah, sambil berteriak mengundang kawan‑kawannya kaum Qurays dengan bunyi lantang: “Wahai seluruh Kaum Qurays!” cepatlah berkumpul untuk menyimak suatu gosip abnormal dari Muhammad pada pagi hari ini.” Kemudian ia mengunjungi para teman Rasul yang sudah beriman Kepada dia, sambil mengejek berkata terhadap mereka: “Wahai kalian yang beriman terhadap Muhammad, yang membenarkan ucapannya, dengarlah apa yang dikatakan oleh sahabat kalian Muhammad pada pagi hari ini. Supaya kalian tahu, bahwa teman kalian itu telah dihinggapi penyakit linglung dan asing!”

Seluruh masyarakatMekah karenanya keluar dari rumah mereka, dan berkumpul di sekitar Abu Jahal. Di antara mereka terdapat teman Rasulullah yang telah beriman. Namun mayoritasnya yaitu kaum musyrikin penyembah berhala, yang ingin tahu apa bergotong-royong yang terjadi dibalik teriakan Abu Jahal ini. Seluruh mata tertuju kepada Abu Jahal, bertanya-­tanya. Kabar aneh apa kiranya yang akan dibilang.

Di tengah kerumunan orang ramai itu, Abu Jahal mulai berteriak kepada mereka: “Berapa lama kira‑kira perjalanan dari negeri kita ini ke Palestiana? Mereka bersamaan menjawab: “Dua bulan!, satu bulan pergi dan satu bulan lagi untuk perjalanan pulang.” Abu Jahal berkata lagi: “Akan namun Muhammad sudah menyampaikan kabar yang sungguh ajaib, pada pagi ini ia memyampaikan kepadaku, bahwa dia telah mengadakan perjalanan dari Mekah ini ke Baitul Maqdis di Palestina tadi malam, dan kembali ke Mekah pada malam ini juga”. Mendengar hal itu, secara impulsif bergemuruh suara-bunyi usikan dari pengikut Abu Jahal, diiringi nada penghinaan yang diselimuti rasa kebencian. Dan tergambar dari wajah‑paras mereka, senyuman sinis kepada para pengikut Rasulullah yang sudah menyatakan iman, seraya menyampaikan: “Bagaimana usulan kalian tantang apa yang telah disampikan oleh teman kalian itu?” Tidak ada yang mampu diperbuat oleh para sahabat Rasul, kecuali terpaku membisu, dan pergi menemui Rasulullah untuk meminta informasi yang bekerjsama.

Buku‑buku sirah nabawiyah (perjalanan hidup Nabi) menyampaikan, bahwa pada hari terjadinya peristiwa ini, ada beberapa orang yang telah menyatakan Islam, akan namun masih mempunyai kepercayaan yang lemah, menjadi murtad dari agama Islam, dan kembali menganut agama berhala. Secara ramai‑ramai masyarakatMekah secepatnya menemui Abu Bakar Ra dan mengatakan kepadanya: “Wahai Abu Bakar, bagaimana pendapatmu perihal apa yang telah disampaikan oleh sahabatmu Muhammad? la menyampaikan bahwa tadi malam beliau pergi ke Baitul Maqdis dan shalat di sana dua rakaat, kemudian kembali ke Mekah ini pada malam yang sama?” Abu Bakar menjawab: “Sungguh kalian membuat kebohongan atas Muhammad! Mereka mengatakan: “Tidak, hal ini benar-­benar telah disampaikannya di hadapan orang ramai”. Abu Bakar kembali menjawab: “Demi Allah! Jika sesungguhnya hal ini memang Muhammad yang menyampaikan, maka hal itu yaitu benar. Dan Demi Allah! Sesungguhnya beliau telah memberikan kepadaku, bahwa beliau sudah menerima wahyu dari langit baik siang maupun malam, lantas aku mempercayainya. Apalagi cuma sekedar informasi yang kalian bawa ini!”

Abu Bakar Ra bareng orang ramai tersebut, pergi ke daerah Rasulullah berada. Beliau mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, orang‑orang ini sudah menceritakan kepadaku bahwa engkau sudah mendatangi Baitul Maqdis pada malam ini”. “Benar!”, jawab Rasulullah.

Sebagian orang musyrik yang sudah berulang kali pergi ke Baitul Maqdis untuk berdagang, ingin menguji kebenaran ucapan Rasulullah Saw, lantas mereka menyampaikan: “Jika engkau benar‑benar sudah menyaksikan Baitul Maqdis itu kemarin, coba gambarkan kepada kami bentuknya? Karena kami ialah orang yang paling tahu ihwal hal itu. Agar Rasulullah bisa menggambarkan bentuk Baitul maqdis itu secara rinci, Allah Swt menaruh gambaran Baitul Maqdis itu di hadapan mata Rasulullah secara jelas, dan citra ini hanya dilihat oleh Rasulullah sendiri.

1). Pelajaran Penting Dari Isra Mi’raj
Diantara pesan tersirat dan pelajaran yang mampu kita petik dari peristiwa Isra dan mi’raj ini, sebagaimana disebutkan oleh Dr. Said Ramadhan Al Buty yaitu:

1. Kedudukan Isra dan Mi’raj:
Rasulullah telah merasakan aneka macam ujian dan penyiksaan dari kafir Qurays selama berdakwah di Mekah, dan penyiksaan terakhir yang dirasakan oleh Rasulullah yaitu dikala dia berdakwah ke Thaif, dimana para orangnya melempari baginda Rasul yang mulia dengan watu, sehingga kedua kaki beliau berlumuran darah. Dengan aneka macam penyiksaan ini, Rasulullah tidak pernah berputus asa dari perjuangan dakwah, dan tidak pernah menyesali perilaku manusia yang menolak dakwahnya. Hanya ada satu hal yang ditakuti Rasulullah di dalarn kehidupannya, yaitu kemurkaan Allah. Hal. ini tergambar dari do’a yang beliau baca dikala itu “In lam yakun bika ghadhabun ‘alayya fala ubaly” (Asalkan Engkau tidak marah kepadaku ya Allah, saya tidak perduli dengan berbagai penyiksaan ini).

Maka kejadian Isra dan Mi’raj yang dialami Rasulullah, merupakan sebuah penghargaan dan kemuliaan tertinggi yang diberikan Allah kepada ia. Disamping juga untuk memperbaharui tekad dan semangat dia di dalam mengemban risalah dakwah. Dan hal ini ialah dalil, bahwa berbagai bencana alam menyedihkan yang dialami Rasulullah selama ini, bukanlah alasannya kemurkaan dan kemarahan Allah kepada dia. Akan namun ialah sunnatullah dan sunnah dakwah sepanjang zaman.

2. Makna yang terkandung dari Isra ke Baitul Maqdis
Waktu Isra Nabi ke Baitul Maqdis yang bersama-sama dengan mi’raj beliau ke langit ialah menerangkan akan kesucian dan keagungan Baitul Maqdis di segi Allah swt. Selain itu juga menawarkan adanya hubungan yang dekat antara risalah yang dibawa oleh Nabi Isa As dan risalah Nabi kita, Muhammad saw.

Perjalanan tersebut juga mengisyaratkan akan kewajiban yang diemban oleh setiap muslim kapan pun juga, untuk memelihara kesucian tanah Isra dan menjaganya dari para intaian musuh yang ingin merampasnya dari tangan ummat Islam dengan tanpa ada rasa rendah diri dalam memperjuangkannya.

Siapa sangka jika kelak dengan Isra mi’raj ini Shalahuddin al Ayyubi berjuang dengan pasukannya untuk membebaskan Al Quds dari tangan Pasukan Salib, dan membentengi tanah suci ini dari serangan akibat mereka.

3. Hikmah Rasulullah menentukan susu, bukan angggur
Rasulullah menentukan susu, saat Jibril menawarkan alternatif antara susu dengan anggur. Hal ini menunjukkan bahwa Islam itu yakni agama fitrah. Yaitu agama yang menetapkan kesesuaian antara kepercayaan dan hukum-­hukumnya dengan fitrah asli insan itu sendiri. Maka tidak akan didapati dalam agama Islam, hal‑hal yang berlawanan dengan fitrah manusia. Andaikan saja fitrah itu ialah materi yang mempunyai ukuran panjang dan Iebar, maka agama Islam ialah busana yang tepat dengan fitrah itu. Inilah barangkali rahasianya mengapa Islam itu mampu menyebar luas dengan segera dipermukaan bumi ini. Sebab, betapa pun tinggi peradaban dan kemajuan insan dalam bidang materi, dia akan selalu mencicipi adanya suatu kelemahan dalam dirinya. Dan Islamlah satu-­satunya yang bisa menjawab dan mengisi kelemahan yang dinikmati oleh umat insan itu, dari kelompok manapun dia berada.

4. Isra dan Mi’raj berlangsung dengan ruh dan jasad
Dalam hal ini secara umum dikuasai (Jumhur) ulama sepakat, baik ulama para pendahulu (salaf) maupun dari era berikutnya (khalaf), bahwa Isra dan Mi’raj telah terjadi dengan jasad dan ruh Nabi Muhammad saw. Adapun usulan yang menyampaikan bahwa Rasulullah pergi Isra dan Mi’raj hanya dengan ruhnya semata, yaitu datang dari para orieritalis barat yang diadopsi oleh sebagian pengkaji Muslim yang silau dengan metode ajaran barat, atau mereka yang mendahulukan rasio ketimbang teks wahyu dan Hadist.

Imam Nawawi dalam Syarah Muslim menyampaikan: “Mayoritas ulama salaf dan khalaf, baik jago fiqih, mahir hadis, jago kalam, jago tafsir maupun Iainnya, setuju bahwa perjalanan Isra dan Mi’raj yang dilaksanakan oleh Rasulullah saw adalah dengan ruh dan jasadnya sekaligus. Karena kalau diteliti ayat‑ayat Al‑Qur’an dan hadist nabi wacana hal ini hanya menunjukkan pemahaman yang demikian, dan tidak bisa ditakwil dengan arti lain. Adapun dalil konkret untuk itu adalah bahwa orang‑orang musyrikin Mekah sangat kagetmendengar kejadian ini, dan langsung mengingkari insiden itu. Kalau saja mereka mendengar dari Muhammad bahwa Isra‑mi’raj itu cuma sekedar perjalanan ruh saja dan hanya dalam mimpi umpamanya, maka tidak akan sebesar itu reaksi dan keterkejutan mereka yang penuh pengingkaran kepada peristiwa ini. Karena kalau hanya terjadi dalam mimpi tentunya boleh‑boleh saja terjadi, bahkan tidak menutup kemunkinan untuk terjadi kepada orang kafir sekalipun. Dan juga jikalau halnya begitu, niscaya mereka tidak akan menanyakan kepada rasulullah perihal bentuk Baitul Maqdis dengan maksud penentangan yang menjatuhkan, atau menguji tentang sebuah kebenaran.

5. Kehidupan para nabi dan syuhada setelah mati
Dari insiden Isra dan Mi’raj ini, mampu kita lihat banyak sekali hadis‑hadis yang memberikan bahwa para nabi terdahulu masih hidup di alam lain. Dimana Rasulullah bertemu dengan nabi Adam, Ibrahim, Musa, Isa dan yang lainnya.

Hal ini bukan cuma dialami para nabi saja, akan namun juga para syuhada, yakni orang yang mati dalam memperju­angkan syiar agama Allah (fi sabilillah). Seperti dinyatakan oleh firman Allah Swt dalam Surat Al‑Baqarah ayat: 154:

ولا تقولوا لمن يقتل في سبيل الله أموات بل أحياء ولكن لا تشعون

“Dan janganlah kau mengatakan tentang orang‑orang yang gugur di jalan Allah –bahwa mereka– itu mati; mereka ialah benar‑benar hidup, namun kau tidak merasakan­nya”. (QS. 2: 154).

Dalam ayat lain Allah Swt berfirman:
“Barang siapa mentaati Allah dan Rasul‑Nya, mereka itu akan bersama‑sama dengan orang‑orang yang dianugerahi lezat Allah, adalah: para nabi, orang‑orang yang benar, para syuhada dan orang‑orang shaleh. Mereka itulah teman yang sebaik‑baiknya”.

E. Penutup
Semoga goresan pena sederhana ini mampu menjadi bahan renungan bagi kita, untuk menyimak kembali kejadian besar yang pernah terjadi dalam perjalanan hidup Nabi Muhammad Saw. Dimana dengan insiden Isra dan Mi’raj inilah, diantaranya Allah Swt memberikan mana orang yang benar‑benar beriman, dan mana pula yang cuma sekedar mengaku beriman, dan menjadi kafir setelah mendapat cobaan dari Allah. Dalam peristiwa ini pula, shalat fardhu lima waktu sehari semalam yang senantiasa kita laksanakan diwajibkan oleh Allah swt. Serta masih banyak lagi berbagai nasihat dan pelajaran yang mampu kita petik dari kejadian Isra dan Mi’raj yang sungguh bersejarah ini.

Demikianlah ceramah singkat perihal Isra dan Mi’raj kali ini, supaya ada faedah dan faidahnya bagi kita bersama. Saya akhiri dengan “wal ‘afwu minkum, Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”. Wallahu a’lam…