Seorang ulama yang berjulukan Sufyan Ats Tsauri pernah berkata, “Sesuatu yang paling sulit bagiku untuk saya luruskan ialah niatku, sebab begitu seringnya beliau berganti-ubah.” Niat yang baik atau keikhlasan ialah sebuah kasus yang sulit untuk dilaksanakan. Hal ini dikarenakan sering berbolak-baliknya hati kita. Terkadang ia lapang dada, di lain waktu tidak. Padahal, sebagaimana yang telah kita pahami bersama, tulus merupakan sebuah hal yang harus ada dalam setiap amal kebaikan kita. Syetan akan senantiasa menarik hati dan merusak amal-amal kebaikan yang dilaksanakan oleh seorang hamba. Seorang hamba akan terus berupaya untuk melawan iblis dan bala tentaranya sampai dia berjumpa dengan Tuhannya kelak dalam keadaan doktrin dan mengikhlaskan seluruh amal perbuatannya. Oleh sebab itu, sangat penting bagi kita untuk mengenali hal-hal apa sajakah yang dapat membantu kita supaya dapat mengikhlaskan seluruh amal tindakan kita kepada Allah semata. Berikut penulis jelaskan Bagimana Cara Menjaga Hati Agar Selalu Ikhlas?, Diantanya;
1). Banyak Berdoa
Di antara yang dapat menolong seorang hamba untuk ikhlas ialah dengan banyak berdoa kepada Allah. Lihatlah Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, di antara doa yang sering ia panjatkan yakni doa:
اَللّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku memohon pinjaman kepada-Mu dari tindakan menyekutukan-Mu sementara aku mengetahuinya, dan akupun memohon ampun terhadap tindakan syirik yang tidak aku ketahui.” (Hadits Shahih riwayat Ahmad)
Nabi kita sering memanjatkan doa supaya terhindar dari kesyirikan padahal ia adalah orang yang paling jauh dari kesyirikan. Inilah dia, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, seorang teman besar dan utama, sahabat terbaik setelah Abu Bakar, di antara doa yang sering ia panjatkan yaitu, “Ya Allah, jadikanlah seluruh amalanku amal yang saleh, jadikanlah seluruh amalanku cuma alasannya adalah tulus mengharap wajahmu, dan jangan jadikan sedikitpun dari amalanku tersebut alasannya adalah orang lain.”
2). Menyembunyikan Amal Kebaikan
Hal lain yang mampu mendorong seseorang semoga lebih lapang dada yakni dengan menyembunyikan amal kebaikannya. Yakni dia menyembunyikan amal-amal kebaikan yang disyariatkan dan lebih utama untuk disembunyikan (seperti shalat sunnah, puasa sunnah, dan lain-lain). Amal kebaikan yang dilakukan tanpa dimengerti orang lain lebih diharapkan amal tersebut ikhlas, alasannya tidak ada yang mendorongnya untuk melaksanakan hal tersebut kecuali hanya alasannya Allah semata. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits, “Tujuh golongan yang hendak Allah naungi pada hari di mana tidak ada naungan selain dari naungan-Nya yaitu pemimpin yang adil, cowok yang berkembang di atas ketaatan terhadap Allah, laki-laki yang hatinya senantiasa terikat dengan mesjid, dua orang yang mencintai alasannya Allah, bertemu dan berpisah alasannya adalah-Nya, seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang anggun dan memiliki kedudukan, namun dia berkata: bahwasanya saya takut terhadap Allah, seseorang yang berinfak dan menyembunyikan sedekahnya tersebut sampai tangan kirinya tidak mengenali apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya dan seseorang yang mengenang Allah di waktu sendiri sampai meneteslah air matanya.” (HR Bukhari Muslim).
Apabila kita amati hadits tersebut, kita dapatkan bahwa di antara sifat orang-orang yang mau Allah naungi kelak di hari akhir zaman yaitu orang-orang yang melakukan kebaikan tanpa dimengerti oleh orang lain. Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda “Sesungguhnya sebaik-baik shalat yang dikerjakan oleh seseorang yakni shalat yang dilakukan di rumahnya kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari Muslim)
Rasulullah menyatakan bahwa sebaik-baik shalat adalah shalat yang dikerjakan di rumah kecuali shalat wajib, alasannya adalah hal ini lebih melatih dan mendorong seseorang untuk ikhlas. Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dalam Syarah Riyadush Sholihin menyatakan, “di antara sebabnya ialah alasannya adalah shalat (sunnah) yang dijalankan di rumah lebih jauh dari riya, alasannya bergotong-royong seseorang yang shalat (sunnah) di mesjid dilihat oleh insan, dan kadang-kadang di hatinya pun timbul riya, sedangkan orang yang shalat (sunnah) di rumahnya maka hal ini lebih erat dengan keikhlasan.” Basyr bin Al Harits berkata, “Janganlah engkau berzakat biar engkau disebut-sebut, sembunyikanlah kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan keburukanmu.”
Seseorang yang dia sungguh-sungguhjujur dalam keikhlasannya, beliau mengasihi untuk menyembunyikan kebaikannya sebagaimana dia menyembunyikan kejelekannya. Maka dari itu wahai saudaraku, marilah kita berupaya untuk membiasakan diri menyembunyikan kebaikan-kebaikan kita, alasannya adalah ketahuilah, hal tersebut lebih dekat dengan keikhlasan.
3). Memandang Rendah Amal Kebaikan
Memandang rendah amal kebaikan yang kita kerjakan mampu mendorong kita agar amal tindakan kita tersebut lebih lapang dada. Di antara tragedi yang dialami seorang hamba yakni dikala beliau merasa ridha dengan amal kebaikan yang dilakukan, di mana hal ini dapat menyeretnya ke dalam tindakan ujub (berbangga diri) yang mengakibatkan rusaknya keikhlasan. Semakin ujub seseorang terhadap amal kebaikan yang dia lakukan, maka akan semakin kecil dan rusak keikhlasan dari amal tersebut, bahkan pahala amal kebaikan tersebut mampu hilang sia-sia. Sa’id bin Jubair berkata, “Ada orang yang masuk surga sebab perbuatan maksiat dan ada orang yang masuk neraka sebab amal kebaikannya”. Ditanyakan kepadanya “Bagaimana hal itu mampu terjadi?”. Beliau menjawab, “seseorang melaksanakan perbuatan maksiat, beliau pun selalu takut terhadap adzab Allah akhir tindakan maksiat tersebut, maka dia pun berjumpa Allah dan Allah pun mengampuni dosanya alasannya adalah rasa takutnya itu, sedangkan ada seseorang yang ia beramal kebaikan, beliau pun selalu bangga terhadap amalnya tersebut, maka dia pun berjumpa Allah dalam kondisi demikian, maka Allah pun memasukkannya ke dalam neraka.”
4). Takut Akan Tidak Diterimanya Amal
Allah berfirman:
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang sudah mereka berikan, dengan hati yang takut, (alasannya adalah mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS. Al Mu’minun: 60)
Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa di antara sifat-sifat orang mukmin yakni mereka yang memperlihatkan suatu pertolongan, namun mereka takut akan tidak diterimanya amal perbuatan mereka tersebut ( Tafsir Ibnu Katsir ).
Hal semakna juga telah diterangkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Aisyah dikala ia bertanya kepada Rasulullah ihwal makna ayat di atas. Ummul Mukminin Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah apakah yang dimaksud dengan ayat, “Dan orang-orang yang menunjukkan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (alasannya adalah mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali terhadap Tuhan mereka” yaitu orang yang mencuri, berzina dan meminum khamr lalu dia takut kepada Allah?. Maka Rasulullah pun menjawab: Tidak wahai putri Abu Bakar Ash Shiddiq, yang dimaksud dengan ayat itu ialah mereka yang shalat, puasa, beramal tetapi mereka takut tidak diterima oleh Allah.” (HR. Tirmidzi dengan sanad shahih )
Ya saudaraku, di antara hal yang dapat menolong kita untuk ikhlas yaitu dikala kita takut akan tidak diterimanya amal kebaikan kita oleh Allah. Karena sebenarnya keikhlasan itu tidak hanya ada saat kita sedang menjalankan amal kebaikan, tetapi keikhlasan harus ada baik sebelum maupun sehabis kita melaksanakan amal kebaikan. Apalah artinya apabila kita ikhlas dikala beramal, tetapi setelah itu kita merasa andal dan besar hati alasannya adalah kita sudah melaksanakan amal tersebut. Bukankah pahala dari amal kebaikan kita tersebut akan hilang dan sia-sia? Bukankah dengan demikian amal kebaikan kita malah tidak akan diterima oleh Allah? Tidakkah kita takut akan munculnya perasaan bangga setelah kita beramal sholeh yang menjadikan tidak diterimanya amal kita tersebut? Dan pada kenyataannya hal ini sering terjadi dalam diri kita. Sungguh amat sungguh merugikan hal yang demikian itu.
5). Tidak Terpengaruh Oleh Perkataan Manusia
Pujian dan perkataan orang lain terhadap seseorang merupakan suatu hal yang kebanyakan disukai oleh insan. Bahkan Rasulullah pernah menyatakan dikala ditanya ihwal seseorang yang bederma kebaikan lalu beliau dipuji oleh manusia akibatnya, ia menjawab, “Itu yaitu kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin.” (HR. Muslim)
Begitu pula sebaliknya, celaan dari orang lain ialah suatu hal yang kebanyakan tidak disenangi insan. Namun saudaraku, janganlah engkau jadikan kebanggaan atau celaan orang lain sebagai alasannya adalah engkau bederma saleh, sebab hal tersebut bukanlah termasuk perbuatan tulus. Seorang mukmin yang ikhlas yakni seorang yang tidak terpengaruh oleh pujian maupun celaan insan dikala beliau berzakat saleh. Ketika dia mengenali bahwa dirinya disanjung alasannya adalah bederma sholeh, maka tidaklah pujian tersebut kecuali cuma akan menciptakan beliau kian tawadhu (rendah diri) terhadap Allah. Ia pun menyadari bahwa kebanggaan tersebut merupakan fitnah (cobaan) baginya, sehingga ia pun berdoa terhadap Allah untuk menyelamatkannya dari fitnah tersebut. Ketahuilah wahai saudaraku, tidak ada pujian yang mampu berfaedah bagimu maupun celaan yang mampu membahayakanmu kecuali bila kesemuanya itu berasal dari Allah. Manakah yang akan kita pilih wahai saudaraku, disanjung insan namun Allah mencela kita ataukah dicela manusia tetapi Allah memuji kita ?
6). Menyadari Bahwa Manusia Bukanlah Pemilik Surga dan Neraka
Sesungguhnya bila seorang hamba menyadari bahwa orang-orang yang beliau jadikan sebagai tujuan amalnya itu (baik karena ingin pujian maupun kedudukan yang tinggi di antara mereka), akan sama-sama dihisab oleh Allah, sama-sama akan bangun di padang mahsyar dalam kondisi takut dan telanjang, sama-sama akan menunggu keputusan untuk dimasukkan ke dalam nirwana atau neraka, maka dia pasti tidak akan meniatkan amal perbuatan itu untuk mereka. Karena tidak satu pun dari mereka yang mampu membantu beliau untuk masuk nirwana ataupun menyelamatkan dia dari neraka. Bahkan saudaraku, seandainya seluruh manusia mulai dari Nabi Adam hingga insan terakhir berdiri di belakangmu, maka mereka tidak akan mampu untuk mendorongmu masuk ke dalam nirwana walaupun hanya satu langkah. Maka saudaraku, mengapa kita bersusah-payah dan bercapek-capek melaksanakan amalan hanya untuk mereka?
Ibnu Rajab dalam kitabnya Jamiul Ulum wal Hikam berkata: “Barang siapa yang berpuasa, shalat, berzikir terhadap Allah, dan ia maksudkan dengan amalan-amalan tersebut untuk menerima dunia, maka tidak ada kebaikan dalam amalan-amalan tersebut sama sekali, amalan-amalan tersebut tidak bermanfaat baginya, bahkan cuma akan menjadikan dia berdosa”. Yaitu amalan-amalannya tersebut tidak bermanfaat baginya, lebih-lebih bagi orang lain.
7). Ingin Dicintai, Namun Dibenci
Saudaraku, sesungguhnya seseorang yang melakukan amalan alasannya adalah ingin dipuji oleh insan tidak akan menerima kebanggaan tersebut dari mereka. Bahkan sebaliknya, manusia akan mencelanya, mereka akan membencinya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang memperlihat-lihatkan amalannya maka Allah akan menampakkan amalan-amalannya “ (HR. Muslim)
Akan tetapi, kalau seseorang melakukan amalan tulus sebab Allah, maka Allah dan para makhluk-Nya akan mencintainya sebagaimana firman Allah ta’ala:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَنُ وُدًّا
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (QS. Maryam: 96)
Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa Dia akan menanamkan dalam hati-hati hamba-hamba-Nya yang saleh kecintaan kepada orang-orang yang melaksanakan amal-amal saleh (ialah amalan-amalan yang dilaksanakan ikhlas alasannya Allah dan sesuai dengan tuntunan Nabi-Nya ). (Tafsir Ibnu Katsir).
Dalam suatu hadits dinyatakan “Sesungguhnya apabila Allah mencintai seorang hamba, maka Dia menyeru Jibril dan berkata: wahai Jibril, sebenarnya Aku mencintai fulan, maka cintailah dia. Maka Jibril pun mencintainya. Kemudian Jibril menyeru kepada masyarakatlangit: bahwasanya Allah mencintai fulan, maka cintailah ia. Maka penduduk langit pun mencintainya. Kemudian ditanamkanlah kecintaan padanya di bumi. Dan bantu-membantu kalau Allah tidak senang seorang hamba, maka Dia menyeru Jibril dan berkata : wahai Jibril, bahwasanya Aku tidak senang fulan, maka bencilah ia. Maka Jibril pun membencinya. Kemudian Jibril menyeru terhadap masyarakatlangit: bantu-membantu Allah tidak suka fulan, maka benciilah ia. Maka penduduk langit pun membencnya. Kemudian ditanamkanlah kebencian padanya di bumi.” (HR. Bukhari Muslim)
Hasan Al Bashri berkata: “Ada seorang pria yang berkata: ‘Demi Allah aku akan beribadah supaya saya disebut-sebut akibatnya’. Maka tidaklah dia dilihat kecuali dia sedang shalat, ia ialah orang yang paling pertama masuk mesjid dan yang paling terakhir keluar darinya. Ia pun melakukan hal tersebut sampai tujuh bulan lamanya. Namun, tidaklah beliau melalui sekelompok orang kecuali mereka berkata: ‘lihatlah orang yang riya ini’. Dia pun menyadari hal ini dan berkata: tidaklah aku disebut-sebut kecuali cuma dengan kejelekan, ’sungguh saya akan melakukan amalan hanya karena Allah’. Dia pun tidak memperbesar amalan kecuali amalan yang dahulu dia lakukan. Setelah itu, kalau beliau melewati sekelompok orang mereka berkata: ’agar Allah merahmatinya kini’. Kemudian Hasan al bashri pun membaca ayat: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan bersedekah saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (Tafsir Ibnu Katsir)