close

Cahaya di Malam Seribu Bulan | Cerpen La Birruni

“Bang Zein….” seru Wina bahagia menyaksikan sang suami dr kejauhan dgn abaya putihnya yg cemerlang mirip dilapisi taburan cahaya. Dengan senyum menawan menyambut kedatangannya.

Dengan berlari kecil, Wina menuju sang suami tercinta yg berdiri di tengah padang rumput yg terlihat bak permadani hijau, di belakang sang suami terhampar permadani merah menuju sebuah rumah, kolam istana megah Ratu Inggris, bahkan menurutnya lebih dr itu. Istana itu bagai berlapis cahaya yg dihiasi mutiara & permata.

Tangan Zein setengah terentang menyambut sang istri ke dlm pelukannya. Dipeluknya bersahabat sang istri tercinta, bagai telah usang tak bersua & tak mau terlepas kembali. Diciumnya sang istri yg tampaksangat elok dgn gamis sutra kuning gading. Rambut panjang sebahunya yg biasa tertutup jilbab, terurai di terpa angin lembut, tercium wangi harum bunga. Bibirnya yg biasa terlihat pucat, kini merah, ranum, & menggair*hkan. Benar-benar mirip bidadari tercantik dr nirwana.

“Umi, abi….” terdengar panggilan riang dr sebuah jendela lantai atas rumah kolam istana itu. Seorang putri kecil cantik kolam bidadari kecil memanggilnya dgn senyum merekah & melambai-lambaikan tangannya. Zein & istrinya yg sedang bermesraan, tersenyum & membalas lambaian putri kecilnya, anak semata wayang mereka.

*****

Akhi… bangkit, sebentar lagi kita shalat lail berjamaah,” bunyi seorang laki-laki sambil menepuk lembut punggungnya.

Zein terbangun, “Astaghfirullah… ya Akhisyukron,” jawabnya sambil mengambil posisi duduk, dilihatnya jam dinding menunjukkan pukul dua dini hari. Sejenak ia terdiam, “Ah… rupanya hanya mimpi….” desahnya. Namun, tasbih, tahmid, takbir terlantun lembut dr bibirnya. ia senang walau cuma sekadar mimpi alasannya mimpi itu masih menyisihkan kebahagiaan yg sudah usang tak dirasakannya.

*****

Umi… bangkit, Mi, sebentar lagi kita shalat lail berjamaah…,” suara & sentuhan lembut seorang perempuan membangunkannya. Wina terbangun, mengambil posisi duduk, mengucek-ngucek matanya, & tersenyum pada wanita yg membangunkannya.

Syukron ya Ukhti…,” jawab Wina sambil tersenyum. Senyum itu terus mengembang hingga shalat lail akan dimulai. Teringat olehnya mimpi singkat yg sangat membahagiakannya & masih tersisa kebahagiaan itu di hatinya yg sudah lama dlm kesedihan. Tasbih, tahmid, & takbir pun terlantun dr bibirnya yg pucat & bergetar.

*****

“Diberitahukan pada seluruh peserta itikaf, santapan sahur mulai hari ini prasmanan. Untuk penerima akhwat, silahkan menuju ruangan sebelah kanan aula di belakang masjid yg bertuliskan ruang Safa, sedangkan untuk ikhwan di sebelah kiri, yg bertuliskan ruang Marwa,” pengumuman dr seorang panitia masjid terdengar terang ke setiap penjuru masjid & sekitarnya.

  Kampung Pelarian | Cerpen Aris Kurniawan

Wina yg mendengar itu menelan ludahnya, dipandangi putri semata wayangnya yg masih tertidur lelap di teras mesjid, kawasan ia & suaminya beriktikaf menginginkan kemuliaan & keberkahan malam seribu bulan di sepuluh terakhir Ramadhan. Di dlm masjid mulai sepi, orang-orang sibuk untuk bersantap sahur. Peserta iktikaf resmi—terdaftar & dikelola oleh sebuah kepanitiaan—sudah menuju ruangan yg tadi diumumkan panitia lewat TOA mesjid. Sedangkan peserta tak resmi sibuk mencari santapan sahur di depan mesjid yg ramai oleh pedagang beraneka makanan & barang-barang peralatan muslim yang lain. Sedangkan Wina kembali terpekur dgn Alquran kantung lusuhnya sambil sesekali mengipasi putrinya dr serbuan nyamuk. ia & suaminya yakni penerima itikaf tak resmi.

*****

Assalamu’alaikum… maaf mengusik… ada yg mau membeli celana ini, Akhi? Bekas memang, namun baru dipakai sekali & asli merek populer,” kata Zein pada sekumpulan ikhwan yg sedang duduk melingkar, bersantap sahur bareng . Dengan agak sungkan Zein menawari celana yg menurutnya dikala ini sangatlah bagus alasannya adalah cuma itu celana bagusnya yg terselamatkan dr kobaran api sebelas hari yg kemudian.

Nggak Bang… makasih, dah bawa celana banyak,” kata salah seorang ikhwan tanpa basa-basi, sedang yg lain mengangkat tangan.

Zein hanya tersenyum & meninggalkan mereka dgn menelan ludah yg terasa olehnya kali ini sungguh pahit. Dadanya sesak. Dipandanginya teras masjid kepingan akhwat dr kejauhan, dilihatnya sang istri masih terpekur dgn Alquran kecilnya. Tak terasa bulir-bulir air matanya jatuh satu per satu. “Maafkan abang, Sayang….” bisik Zein dlm hati.

*****

Sebulan yg lalu, Zein di-PHK dr perusahaannya. Pesangon yg tak seberapa dipakainya untuk modal berjualan abaya dan perlengkapan muslim yang lain. Namun, Allah memiliki rencana lain untuknya. Sebelas hari yg kemudian, rumahnya yg berada di perkampungan padat penduduk di bilangan Senen Jakarta, habis dilalap api dini hari menjelang sahur. Hanya beberapa pakaian pantas pakai yg tersisa untuknya, istri, & anaknya. Karena masih tertinggal dlm ember cucian yg belum terjemur di luar rumah.

Dua hari mengungsi di penampungan, menjelang sepuluh hari terakhir, Zein mengajak istri & anaknya untuk beriktikaf, supaya tak kehilangan momen sepuluh terakhir Ramadhan yg penuh fadhilah, terutama kemuliaan Laitul Qadar. Karena belum pasti mereka akan berjumpa di Ramadhan tahun depan.

Hari ini, memasuki hari kesembilan, Zein bareng keluarganya beriktikaf di salah satu masjid yg dinamakan Masjid Da’wah di Jakarta. Dengan imam & pemberi tausiah dr ulama-ulama yg sangat dikagumi & dihormatinya selama ini. Dan, baru satu kali mereka mencicipi santap sahur, cuma berbuka bukaan gratis yg senantiasa ditawarkan pihak masjid. Mereka cuma menelan ludah serta tumpahnya air mata tatkala selesai shalat tarawih & subuh ditemukannya banyak kotak berisi nasi dgn lauk pauk yg tampaksangat lezat, tersisa di koridor-koridor halaman masjid & daerah sampah.

*****

Zein terus berusaha untuk mendapat sebungkus nasi untuk santap sahur Wina, istri yg sangat dicintainya, & untuk putri kecilnya yg sudah mulai terjangkit flu itu. Dari memperlihatkan celana yg dimilikinya sampai menunjukkan tenaga untuk menjadi kuli, bahkan tenaga basuh piring di kedai sekitar masjid. Namun, tak ada satu pun yg memerlukan tenaganya.

  Odong-Odong | Cerpen Seno Gumira Ajidarma

Waktu memperlihatkan 25 menit lagi memasuki waktu imsak. Ada kepanikan dlm diri Zein. Terpikir olehnya untuk melobi kedai nasi untuk bersedia membarter sebungkus nasi & lauk sekadarnya dgn celana yg baginya merupakan celana terbagus & terbaik. ia menghentikan langkahnya, memandang kedai pecel lele di seberang jalan. Tekadnya lingkaran, ia akan mulai mengiba semoga sang pemilik kedai merasa kasihan & mau membarter sebungkus nasi dgn celana bagus satu-satunya. Dengan langkah ragu, Zein mulai melangkahkan kakinya. “Astaghfirullah al-azhim…, bismillah…,” bisiknya memulai langkah. Tak disadarinya, dr sebelah kanan jalan yg merupakan tikungan, melaju dgn cepat sebuah sepeda motor dan….

Ciiit…. Gubrak!!” Zein tertabrak, ia terjatuh.

Sang pengemudi sepeda motor berhenti sejenak, menolong Zein yg berusaha untuk berdiri. “Afwan AkhiAntum nggak kenapa-napa? Sekali lagi, afwan, ana terburu-buru, ada keperluan mendesak,” kata sang pengemudi motor itu mengajak Zein bersalaman tatkala dilihatnya tak ada luka pada diri Zein, sang pengemudi itu pun pamit & kembali mengendarai sepeda motornya dgn laju.

Sedangkan Zein masih berada dlm keterkejutannya. Berkali-kali ia istighfar, bertasbih, & bertahmid. Namun, kunang-kunang di sekitar kepalanya terasa sangat banyak & makin sering mengelilingi kepalanya. Tubuh Zein gemetar. Dalam kondisi mirip itu, yg diingatnya yaitu bungkusan celana bagusnya yg akan ia tukar dgn sebungkus nasi untuk anak & istrinya. Dicarinya di sekitar jalan, diraba-rabanya tanah di bawah pohon rindang pinggir jalan, pencahayaan jalan yg redup & kepala yg berkunang-kunang menciptakan penglihatannya kian tak jelas. Terus ia mencarinya, sampai ditemukannya bungkusan itu di pinggir comberan, tetapi isinya tak lagi ia peroleh di dalamnya. Dipaksakan olehnya melongok ke dlm comberan & memasukkan tangannya untuk memutuskan apa yg dilihatnya ketika ini. Ya, celana terbaiknya sekarang sudah sarat dgn kotoran comberan & berbau busuk. Tubuh Zein kian gemetar.

  Hidung | Cerpen Ahmadun Yosi Herfanda

Zein berjongkok di bawah pohon besar di pinggir jalan untuk menenangkan diri sejenak dgn berzikir. Namun, sisi kemanusiaannya & rasa kasih sayang pada istri & anaknya menciptakan Zein dihinggapi kepanikan. Dalam kepanikan itu, terlintas olehnya untuk mencuri. Ditepisnya keinginan itu & kian deras zikirnya. Lalu, terlintas olehnya untuk meminta-minta, tetapi secepatnya pula ditepisnya. ia bukanlah tipe mirip itu, bahkan sekadar berkeluh kesah pun tak pernah ia lontarkan pada manusia, selain kepada-Nya. Badannya makin gemetar, kali ini masbodoh menyelimutinya sampai melinukan tulang-tulang, dadanya sesak. Zikir Zein kian deras, dipandanginya langit, dilihatnya hanya satu bintang yg menghiasinya. Dilantunkannya surat al-Qadar. “Sesungguhnya, kami sudah menurunkannya (Alquran) pada malam qadar. Dan tahukah ananda apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dibandingkan dengan seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat & Ruh (Jibril) dgn izin Tuhannya untuk menertibkan semua urusan. Sejahteralah malam itu hingga terbit fajar”. Lalu dirasakan olehnya seolah-olah dihujani cahaya dgn gemerlap bintang-bintang, terasa hangat & menenangkan. “Oh… Lailatul Qadar, Lailahaillallah… Muhammadar rasulullah….” bisiknya lirih, tetapi sarat harap.

Azan subuh berkumandang, Wina membetulkan selimut putri kecilnya untuk mengurangi serbuan nyamuk yg berebut mengigit kulit putih putri kecilnya selama ia mengerjakan shalat berjamaah. Namun, saat ia mencoba berdiri, dirasakannya bumi mulai berputar. Wina memaksakan dirinya berupaya untuk mencapai shaf untuk mampu shalat Subuh berjamaah. Namun, gres beberapa langkah, dirasakannya bumi makin berputar & semburat cahaya dgn taburan bintang-bintang tentang wajahnya. Ada kehangatan dirasakannya dr semburat cahaya itu, menghangatkan tubuhnya yg menggigil kedinginan dr sepertiga malam tadi. Wina tersenyum. “Oh… Lailatul Qadar, Lailaahaillallah… Muhammadar rasulullah….” terlantun dr bibirnya yg kian pucat.

*****

Sehabis shalat Subuh, di pecahan tempat ibadah akhwat heboh dgn ditemukannya mayit perempuan di teras mesjid dgn jenazah seorang anak perempuan dgn badan yg telah membiru.

Dan di saat yg serempak, para pedagang dihebohkan dgn ditemukannya mayit laki-laki yg sedang tersenyum, harum, & bercahaya di bawah pohon yg rindang. Sementara, di koridor mesjid ramai orang-orang memandangi langit, terlihat cerah namun sejuk, serta dihiasi pelangi. (*)