close

Bus yang Melaju Membawa Rindu | Cerpen Hermawan Aksan


Oleh: Hermawan Aksan

Ketika bus merayap keluar dr terminal, jarum jam yg menggantung di atas kaca depan menunjuk angka delapan. Delapan jam gue baru akan mampu menuntaskan rindu di kota yg kutuju. Rindu yg berulang, rindu yg hampir membatu.

Di antara deram mesin & pekik klakson di tengah padatnya jalan raya, bibir sopir kurang jelas menyenandungkan Tembang Kasono—nyanyian rindu. Dari spion di atas kaca depan, paras sang sopir tampak bersih & bersinar. Rambut & kumisnya berhiaskan garis-garis putih. Tapi mata & bibirnya terus tersenyum. Tembang kasono—terhadap siapa ia merindu? Ah, tentu pada istrinya.

Ia pastilah bukan sopir bus malam dlm kisah-kisah rekaan: lelaki yg hatinya gampang singgah di perempuan lain di mana pun bus singgah. Boleh jadi ia berangkat dr rumah berbekal peluk, cium, doa, & cinta sang istri. Mungkin istrinya wanita bagus & setia dlm usia pernikahan yg sudah belasan. Setia menunggu sang suami datang dr perjalanan sehari-semalam.

Sekali bertugas, sopir akan berada di jalan raya setidaknya enam belas jam, ditambah tiga atau empat jam tidur di kota tujuan sebelum kembali ke kota asal. Itu sebabnya sopir tak boleh membawa bus dua kali berturut-turut.

Jika benar ia merindukan sang istri, hati para penumpang tenang & nyaman karena percaya sopir akan melaksanakan bus dgn hati-hati, dgn kecepatan sedang & tak ugal-ugalan.

*****

Aku duduk di baris kedua dr depan di deret kanan. Aku tak suka duduk di baris paling depan lantaran cahaya lampu mobil-mobil dr arah bertentangan selalu mengusik pandangan. Aku ingin tidur pulas di perjalanan, & turun dlm keadaan tubuh segar sesampai di tujuan.

Di sebelahku, duduk merapat jendela seorang laki-laki berusia sekitar 50 tahun. Ah, mampu saja baru 40 atau justru sudah 60 tahun. Cahaya remang senantiasa menabiri usia sebetulnya. Ia tampak sudah terlelap sebelum bus sungguh-sungguh meninggalkan keramaian kemudian lintas kota. Kepalanya menyandar ke belakang & mulutnya terbuka.

Mungkin ia sama denganku: naik bus dgn tujuan menuntaskan rindu. Bisa saja ia bekerja di pabrik atau berjualan bakso, menyusuri gang-gang kota dgn dorongannya, kemudian pulang sepekan, dua minggu, atau sebulan sekali karena istri & anak-anaknya tinggal jauh di luar kota. Tiap pulang ia menjinjing segepok uang & sekeranjang rindu.

  Putu Cangkir | Cerpen Chaery Ma

Di jok di depanku duduk sepasang laki-laki & perempuan, dgn seorang bocah diapit di tengah. Tak banyak yg mereka percakapkan, selain bahwa mereka hendak menuju kota yg sama denganku setelah seminggu menikmati piknik si bocah di kota. “Aku sudah kangen teman-sahabat,” kata si bocah.

Para penumpang asyik dgn pembicaraan mereka sendiri. Suara mereka seperti dengung lebah. Hanya satu hal yg mampu kutangkap dr dengung suara mereka: sama-sama rindu kampong halaman.

*****

Keluar dr hingar bingar kota, bus melaju lebih kencang di jalan yg agak lengang. Kondektur menagih biaya dr arah depan ke belakang. Kepalanya separuh botak, namun kumisnya tebal & hitam. Di bawah cahaya lampu yg temaram, parasnya lebih menunjukkan jenaka daripada seram. Baru saja ia hendak menagih ongkosku, mengalun lagu usang The Mercy’s; Dalam Kerinduan.

Dirogohnya ponsel dr saku bajunya, dilihatnya layarnya, & dgn senyum lebar didekatkannya telepon di telinganya. “Ya, Mah…. Ini baru sampai Cibiru…. Pasti dibawain…. Iya, dong, Papa juga. Dah….”

Si penelepon itu niscaya istrinya, bukan yg lain-lain, & lewat kata “Papa juga” kondektur itu membalas ucapan “I love you”, “Mamah kangen,” atau yg semacam itu. Seorang kondektur pula berhak berpapah-mamah dgn mesra pada istrinya, bukan? Apalagi, berbeda dgn sopir, kondektur boleh bertugas dua hari atau lebih dengan-cara berturut-turut. Jelas alasannya: jika sopir mesti segar sepanjang jalan, kondektur boleh sesekali tidur di perjalanan.

Bukan tak mungkin kondektur ini sudah meninggalkan istri & anak-anaknya seminggu atau lebih. Tahu, kan, bagaimana rasanya memendam kerinduan selama itu?

Seorang laki-laki timbul dr belakang, kemudian bangun di ujung depan lorong, menghadap penumpang. Usianya sekitar 25—dengan toleransi hingga 35 tahun. Dari buntalannya, dirogohnya sesuatu yg kemudian ia perlihatkan pada para penumpang. Wajahnya letih, tapi ia samarkan dgn senyum & suara yg mapan.

“Ini satu paket berisi pulpen, pensil, penggaris, penghapus, & lain-lain, sangat sesuai buat anak sekolah. Kalau Bapak-Bapak & Ibu-Ibu beli ini barang satu-satu, dijamin harganya lebih dr sepuluh rebu. Berhubung langsung ambil dr agen, saya tawarkan satu paketnya cukup lima rebu perak. Maaf, akan saya bagikan satu-satu. Kalau terpesona, silakan. Kalau tidak, barang saya ambil kembali.”

Dibagikannya paket alat tulis itu pada semua penumpang, kecuali penumpang yg tidur & yg pura-pura tidur.

  Nalea | Cerpen Sungging Raga

Setelah membagikan dagangannya, ia kembali ke deret terdepan, mengambil lagi satu per satu paket alat tulisnya. Baik pada yg berbelanja maupun pada yg tidak, ia mengucapkan terima kasih. Bedanya, pada yg berbelanja ia tambahkan ucapan alhamdulillah disertai doa gampang-mudahan menerima limpahan rezeki.

Ia turun dr pintu belakang ketika bus langsam. Aku tak melihatnya, tetapi di luar sana ia akan menanti bus dgn arah sebaliknya, memperlihatkan barangnya pada penumpang bus itu, lalu turun di daerah ia naik bus ini, untuk kemudian naik bus lagi dgn arah yg sama dgn bus ini. Begitu seterusnya hingga ia merasa cukup berdagang malam itu, pulang ke tempat tinggal menemui istri & anaknya yg masih kecil. Ia akan disambut istrinya dgn sarat harap & rindu. Pagi hari berikutnya dapur rumahnya meruapkan aroma masakan sang istri. Bus memang tak ubahnya pasar berjalan.

Seorang perempuan menyelinap sedikit bergegas di lorong bus sambil menenteng ukulele. Tercium kedaluwarsa wewangian bercampur keringat tatkala ia lewat. Disandarkannya punggungnya di tepi sandaran jok depan kiri. Berkaus abu-debu lengan panjang & celana jins biru, dgn rambut sebahu yg disisir ke belakang & tampang berpoles bedak tipis, kutaksir usianya 30-an. Tapi jika ia jenis perempuan yg punya beban hidup berat, mampu saja usianya gres 25.

Ia petik ukulelenya, menghasilkan nada-nada intro yg dinamis. Lalu mengalun dr bibirnya yg berpulas merah, “Kalau hatiku sedang rindu, pada siapa kumengadu, karna hati bertanya senantiasa, berlinanglah air mataku…”

Perlahan celotehan penumpang bus mereda, kemudian lenyap. Yang terdengar kemudian hanya suara jernih sang pengamen & genjrengan ukulelenya. Bahkan sopir mirip sengaja melepaskan injakan gas sehingga deru mesin bus nyaris tak terdengar. Mungkin inilah yg disebut seluruh bus terkena hipnotis nyanyian sang pengamen.

Suaranya sangat merdu untuk ukuran pengamen biasa. Cengkok dangdutnya pas. Lengkingannya jernih, mengingatkan pada vokal Ikke Nurjanah. Apakah ia penyanyi dangdut betulan? Apakah ia mengamen selaku sampingan di tengah sepinya order panggung?

Tak mirip pada pengamen lazimnya , para penumpang memberikan tepuk tangan tatkala pengamen itu merampungkan lagunya, seakan gres saja menonton konser dangdut. Hampir semua memberinya duit—kecuali penumpang yg tak mampu menghargai indahnya nyanyian. Kulesakkan dgn tulus selembar sepuluh ribuan ke dlm bungkus bekas permen yg disodorkan perempuan itu. “Terima kasih, Mas,” desahnya, sambil tersenyum tulus.

  Sarno | Cerpen Lilis Ummi Faiezah

Ia turun di Cileunyi tatkala bus berhenti. Ia menyeberang jalan & pasti menunggu bus ke arah semula. Setelah bolak-balik dua atau tiga kali, ia akan pulang. Mungkin ia mengamen untuk membantu suaminya yg baru kena PHK atau bekerja tapi penghasilannya tak mencukupi. Mungkin pula ia janda dgn seorang bocah yg sedang menunggu di rumahnya. Apapun, ia pulang malam itu dgn penuh rindu & dgn segumpal uang di saku yg cukup buat makan beberapa hari ke depan.

*****

Lepas dr Jatinangor, bus memasuki jalan raya yg menanjak, berliku, & lebih lengang. Sopir masih sesekali menyenandungkan tembang cianjuran, atau kadang degung. Aih, jangan-jangan sopir itu punya pekerjaan sampingan selaku juru kawih.

Namun, senandung sopir itu membuatku, begitu pula penumpang lain, mengantuk. Apakah sopir sengaja membuat penumpang mengantuk & tidur lelap? Beberapa saat sebelum kehilangan kesadaran, yg kudengar hanyalah deru mesin bus & desis samar angin yg menyelinap lewat beling sebelah kanan sopir.

Pastilah tidurku nyenyak hingga dua jam atau lebih. Aku cuma mendengar sayup-sayup bunyi pedagang memberikan tahu Sumedang. Setelah itu gue pula setengah sadar tatkala bus melaju kencang di jalan tol. Sudah melalui Cirebon rupanya. Tak akan sampai lebih dr tiga jam lagi kami akan hingga di kota yg dituju. Masih kurasakan guncangan-guncangan kecil bus & senandung cianjuran dr bibir sopir ketika gue terlelap lagi.

Ketika kubuka mata, kondisi badan terasa segar. Jam di atas kaca bus hampir menunjuk angka empat. Beberapa puluh menit lagi bus akan tiba di tujuan.

Tak ada bunyi lain kecuali deru mesin bus yg melaju di jalan lurus tengah hutan. Gelap sekeliling kecuali sorot lampu jauh bus.

Tunggu, di mana ini? Aku tak pernah mengenal kawasan seperti ini. Selain jalan tol, jalan yg biasa ditempuh yakni jalan berliku. Aku celingukan. Semua penumpang masih lelap.

“Pak sopir, kita sudah sampai mana?” gue bangun.

Tak ada balasan.

“Pak sopir….”

Tak ada siapa saja di bangku sopir.

Mobil melaju kencang sendiri.

Membawa rindu kami entah menuju ke mana. (*)

Hermawan Aksan, menulis sejumlah cerpen, esai, & novel. Bermukim di Bandung.