HARI ini gue memilih ikut abang berbelanja kebutuhan sekolahnya. Libur simpulan pekan tanpa bepergian itu sedikit menjemukan. Ayah sedang di luar kota & ibu mesti mempertahankan adikku yg masih balita.
Juga ada beberapa orang teman kakak ternyata. Mereka ramah-ramah. Tidak ada yg mengabaikanku di tengah aktivitas mereka berbelanja. Mereka senantiasa menawariku untuk membeli sesuatu yg gue suka. Tetapi dr rumah gue sudah berjanji pada abang untuk tak membeli apa-apa.
“Kamu nggak mau beli buku atau kotak pensil baru?” tawar abang. Aku menggeleng.
“Yang usang masih mampu digunakan Kak,” sahutku.
“Adik yg baik,” ujar salah seorang teman kakak sambil mencubit pipiku. Aku memang tak mengharapkan apa-apa. Bagiku, pergi dgn abang hanya untuk menghilangkan kebosanan terus-saluran berada di rumah.
Hari sudah sore, kakak belanjanya belum pula kelar. Memilih buku tulis saja mengkonsumsi waktu hingga belasan menit. Itu masih belum menentukan alat-alat tulis lain. Aku sudah mulai letih & bosan berkeliling-keliling. Kakak menyuruhku istirahat saja. Tetapi gue memilih pulang lebih dulu. Sambil berjalan gontai gue menuju halte terdekat. Teman-sahabat abang memuji keberanianku untuk pulang sendiri. Hehe, katanya gue adik yg mampu berdiri diatas kaki sendiri.
Sore itu halte tidak mengecewakan lengang. Hanya ada gue & seorang anak laki-laki yg duduknya berjauhan dariku. Ia tampakberpakaian sedikit kumal & memiliki wajah yg kusam. Ia menatapku masbodoh & gue berusaha menyingkir dari tatapan itu. Aku merasa sedikit gelisah, namun berupaya hening. Bus risikonya tiba. Tetapi ada yg aneh dgn bus itu. Busnya mengeluarkan bunyi yg sungguh bising, sedikit reot, & mengeluarkan kepulan asap hitam. Dari pada menunggu bus lain, gue menentukan naik saja, toh sudah sangat lelah. Aku duduk di dingklik belakang pak supir. Anak laki-laki kumal itu pula menaiki bus yg sama denganku. Syukurlah ia duduk di dingklik paling belakang.
Di dlm bus begitu sunyi. Tidak ada dialog sama sekali. Bagaimana tidak, cuma beberapa orang yg tak saling kenal berada dlm bus itu. Ada aku, sopir bus, kondektur bus, & seorang anak pria kumal. Pandangan matanya masih tertuju padaku. Dan untunglah dudukku berjauhan dengannya.
Di perjalanan tak ada penumpang lain yg naik. Meski di beberapa halte kulihat beberapa orang duduk-duduk. Tapi mereka tak menyetop bus & malah lengah berbincang-bincang dgn sobat-sobat di sebelahnya.
Bus sampai pula di halte erat rumahku. Aku mengucapkan terima kasih pada kondektur bus yg cuma membalasnya dgn anggukan. Tanpa senyum bahkan tak melihatku. Tatapannya lurus saja. Kulihat bangku belakang sudah kosong. Tak ada anak pria berpakaian kumal itu. Secepat itukah ia turun? Padahal pintu daerah penumpang turun hanya satu. Aku bergidik, ngeri.
“Atikah,” ujar seseorang menegur & membuyarkan lamunanku. Aku menoleh, ternyata Kak Santi, teman sekolah kakakku. Bertemu kak Santi gue menjadi lumayan lega.
“Kamu sedang apa & hendak ke mana?” ia bertanya.
“Aku dr toko alat tulis dekat supermarket Kak. Tadi gue ikut kak Fini. Kakak sendiri sedang apa di sini?” tanyaku kembali.
“Kakak lagi nunggu bus, mau ke tempat nenek,” ucapnya.
“Loh, kenapa kakak nggak naik bus tadi?”
“Bus yg mana Atikah?”
“Bus barusan yg gue tumpangi Kak.”
“Kamu bercanda? Sudah setengah jam kakak menanti, tak ada bus yg melalui,” terperinci Kak Santi membuat bulu kudukku bangun. Lalu apa yg barusan kutumpangi? Dan ke mana perginya anak laki-laki kumal tadi? Itukah bus renta misterius yg pernah diceritakan kak Fini? Aku mendadak ngeri setengah mati.
Setibanya abang di rumah, gue menceritakan hal ngeri yg kujumpai sore tadi. Aku berkata tak berani pulang sendiri lagi.
“Makanya jangan sok berani,” imbuhnya.
“Kaprikornus, apa benar bus bau tanah misterius itu ada kak?” tanyaku ingin tau.
Tiba-tiba, kriiinggg kriiinggg. Bunyi telepon mengagetkan kami berdua. Kak Fini secepatnya mengangkatnya & meninggalkanku begitu saja. Aku mengikutinya karena masih merasa khawatir.
“Adikmu tadi kelihatan ketakutan sekali,” ujar suara di telepon.
“Iya, katanya ia naik bus renta misterius,” jawab Kak Fini.
“Hahaha, mana ada bus tua misterius. Aku menyaksikan dgn mata kepalaku sendiri, ia menaiki bus tua reot, bukan bus bau tanah misterius. Apa ia hingga di rumah dgn selamat?” ucap bunyi di telepon.
“Kenapa memangnya?” tanya Kak Fini.
“Sampaikan maafku padanya, ya? Aku membual & menjadikannya tambah takut.”
Aku & kakak saling tatap. Ngeriku berubah geram melihat kakak menahan tawa.