Buron | Cerpen Adam Yudhistira

Suara ketukan keras itu sudah menghancurkan lelap tidur Sobari. Semula ia mengira suara itu pecahan dr mimpi buruknya. Namun, sehabis sepenuhnya sadar, lelaki itu pribadi menyentakkan selimut. Dilihatnya Ineh & anaknya sedang menggeliat & berupaya bangkit. Sobari cepat-cepat memalangkan telunjuk ke bibir selaku isyarat untuk diam. Sementara itu, bunyi ketukan itu kian usang semakin keras, & mulai berkembang menjadi gedoran tak beraturan.

“Keluar kau, Sobari!” seru seorang pria dgn nada berat sarat kemarahan. “Kami polisi. Kau sudah terkepung!”

Suara bentakan keras itu menciptakan Sobari gemetar & sesaat berpikir untuk mengambil bendo di dapur. Akan namun, suara itu kemudian bermetamorfosis derak engsel patah & pintu yg berdebam. Enam sosok lelaki melangkah ke dlm & mengarahkan senter ke seluruh ruangan.

Ineh terpekik & membekap kepala anaknya ke dada. Secara naluriah, Sobari melompat dr ranjang & meraih gelas yg tergeletak di atas meja & melemparkannya. Gelas itu meluncur deras dlm ruang yg remang-remang, tepat mengenai kepala salah satu dr ke enam pendobrak pintu.

“Anjing kurap! Aku kena!” pemilik suara itu berteriak sambil membungkuk. “Awas, bangsat itu punya senjata!”

Teriakan itu kontan menyebabkan suasana histeris. Sobari mendengar derap sepatu di lantai & bunyi lain yg berteriak-teriak ketakutan. Sesaat sebelum berlari ke arah jendela, Sobari melihat Ineh & anaknya duduk di ranjang, resah & ketakutan. Lelaki itu mendorong mereka dr kasur & menghalaunya ke bawah ranjang. Ia lalu menggaet selembar baju & melompat ke arah jendela.

Rumput-rumput yg tumbuh di halaman belakang rumah itu terasa cuek bagaikan es. Jantung Sobari berdebar keras dikala berlari menjauhinya. Kini sesudah ia memutuskan untuk melarikan diri, tak ada lagi jalan kembali. Jika berhenti, polisi-polisi itu pasti akan menembaknya dr belakang, lalu menaruh senjata di tangannya sebagai bukti bahwa ia melaksanakan perlawanan.

Memikirkan kemungkinan dirinya akan tertangkap atau mati tertembak, menciptakan perut Sobari mual. Sungguh tak setimpal rasanya diburu alasannya perbuatannya seminggu yg lalu. Di luar sana, ada banyak kejahatan yg lebih mengerikan dr tindakan yg membuat gerombolan manusia berpistol itu bergairah memburunya. Sobari mengumpat & terus berlari menembus kepekatan malam.

  Nalea | Cerpen Sungging Raga

Bulan merendam tubuhnya dlm lautan awan kelabu yg semuram mata ikan mati. Di bawah remang-remang cahaya bulan itu, Sobari menyeberangi sungai kotor yg setinggi pinggang. Ia sadar, jalan raya terdekat berjarak sekitar satu kilometer jauhnya. Angin malam yg hambar menerpa, menguarkan aroma sampah busuk, limbah pabrik, & tai insan. Tapi Sobari tak menghentikan langkahnya.

Sesampainya di seberang sungai, Sobari masuk ke sepetak tanah lapang bekas kebun pisang terbengkalai. Di seberang tanah lapang itu, lampu-lampu dr kompleks perumahan elite menyala terang. Permukiman orang-orang kaya itu pastilah memiliki 40 atau 50 rumah seharga miliaran. Dari posisinya sekarang, Sobari menyaksikan bangunan-bangunan megah itu berkilau bak kota terlarang. Pikirnya, jikalau bisa sampai ke sana, polisi-polisi itu tentu tak akan bisa menangkapnya.

Lelaki itu bisa merasakan dirinya berada dlm kepekatan rerumputan tinggi yg basah. Ia berusaha mengira-ngira jalan mana yg paling baik untuk menuju ke kompleks perumahan itu. Tetapi malam terlalu gelap & membatasi penglihatan. Seingatnya, tanah lapang itu menjadi tempat warga menumpuk sampah. Jika mendekam di sana terlalu usang, Sobari khawatir ada orang lain yg akan melihatnya.

Mata Sobari perlahan-lahan mengikuti keadaan. Tampak ban-ban renta, kaca berkilau yg tertimpa cahaya bulan, kaleng biskuit, potongan watu bata, pohon tumbang, & gerumbul semak tinggi yg mirip hantu raksasa. Tiba-tiba semak-semak di belakangnya berdesir & menciptakan jantungnya mirip berhenti berdenyut. Dalam kegelapan itu, Sobari mencicipi kehadiran seseorang.

“Menyerahlah, Sobari. Aku tak akan menembakmu.” Sosok tegap itu menepuk revolver di tangan kanannya, sambil mempertahankan lampu senter tetap terang di tangan kiri. “Kita masih bisa bicara. Kau tak perlu lari.”

  Ceracau Ompu Gabe | Cerpen Hasan Al Banna

Sobari bungkam. Ia mengambil posisi memutar & bersembunyi di belakang sosok yg sudah niscaya salah satu dr gerombolan polisi yg tadi memburunya. Jaraknya & polisi itu berada kurang dr 5 meter jauhnya.

Sobari merunduk di bawah gerumbul semak. Sinar lampu senter itu datang lagi, kali ini menyapu rerumputan & rumpun pisang. Sobari memantau bolak-balik sebongkah watu yg ada di ujung kakinya & belakang kepala polisi itu.

“Siapa yg akan tahu? Mereka tak akan pernah bisa mengambarkan apa pun. Tak akan ada saksi sama sekali. Kau bisa memecahkan kepalanya,” bisik iblis di hati Sobari.

Polisi itu tiba-tiba berbalik. Selama satu detik sarat , ia seolah berhenti & memandang tepat pada Sobari yg membeku mencengkeram watu. Sobari menahan napas, takut degup jantung di dadanya membocorkan keberadaannya. Tetapi polisi itu menatap kosong, senternya hanya 10 sentimeter dr wajah Sobari.

“Hei, Simbolon,” polisi itu menjamah radio di bahunya. “Tolong bantu gue mencari di lapangan ini.”

Perlahan-lahan Sobari sadar, polisi itu betul-betul tak dapat melihatnya.

Entah bagaimana ia menjadi kasat mata mirip angin. Betul-betul keajaiban. Ini adalah kesempatan untuk menghabisinya, membuka peluang untuk melarikan diri. Batu itu tergenggam erat di tangan Sobari. Polisi itu berbalik kembali, memamerkan kepala botaknya sekali lagi sebagai target tak terlindungi. Tapi Sobari tak kunjung bisa melakukannya. Perintah itu berhenti di lengannya.

“Lakukan! Orang ini akan merampas kebebasanmu, & ia akan melakukannya sebentar lagi. Pecahkan kepalanya! Pecahkan!” jerit iblis di hati Sobari.

Sobari menggeleng keras-keras, mengusir bayangan menakutkan itu dr kepalanya. Ia tidak ingin jadi pembunuh. Selagi masih bisa berlari, ia akan berlari. Sobari merayap menjauh, namun lengannya tak sengaja mengenai sekerat bekas kaleng sarden. Polisi itu mendadak berpaling, mulutnya menggeram, menggertakkan rahang. Ia melihat ke semak-semak yg bergoyang, menyadari sepenuhnya kalau buruannya terlepas lagi.

Sobari nyaris tersandung oleh jalinan semak yg merambat. Ia sudah melepaskan satu keping potensi berguna untuk bebas. Lelaki itu menginjak pecahan botol, permukaan tajamnya nyaris menyayat telapak kaki. Ia masih dapat mendengar dengus napas di belakang. Di kepala Sobari, fikiran itu timbul lagi. Ia berbalik & bersiap melakukan perlawanan. Di tangannya kini tergenggam sebatang balok kayu. Tapi polisi itu menghilang. Tidak ada semua orang di sana kecuali dirinya & angin malam yg cuek mencucuk tulang.

  L O P | Cerpen Putu Wijaya

Sobari melangkah ke arah jalan, menghirup angin & bersiap muntah balasan rasa mual yg menyergapnya. Irama napas lelaki itu menghasilkan gumpalan asap hangat yg hilir mudik di depan parasnya. Ia menengadah & menyaksikan cahaya menyorot, berselang-seling dr jarak sekitar 20 meter. Perlahan lahan Sobari terjaga, itu adalah lampu senter seregu polisi yg berlari ke arahnya.

“Bangsat haram jadah! Menyerahlah!”

Dada Sobari mirip meledak. Sepasang kaki telanjangnya lelah menampar-nampar batu jalan. Ia sudah berhasil hingga ke pintu gerbang perumahan elite itu, tapi para polisi sudah berkerumun di depan gardu satpam. Mereka bersamaan mengepungnya. Sobari terkulai di pagar besi, tahu dirinya tinggal mengkalkulasikan detik saja sebelum berakhir di balik jeruji.

Dengan sedih, Sobari menoleh ke belakang. Kini para polisi itu pasti sudah memberi tahu Ineh soal perbuatannya seminggu lalu. Mereka akan menghujaninya dgn surat permintaan & mungkin foto-foto korban. Para polisi itu akan membuat Ineh mengetahui bahwa ia suami pembohong, penjahat, & berbahaya. Ia yakni pencoleng minimarket yg menusuk kasirnya hingga sekarat.

Ketika ia mencoba berpikir perihal bagaimana ia akan menjawab & menjelaskan pada Ineh, bahwa semua itu sebab ia tak tahan mendengar tangis anaknya yg kehabisan susu, rasa pedih hebat menyilet penggalan dlm tubuhnya. Tak ada gunanya terus berlari. Di antara teriakan para polisi & cahaya senter, ia terduduk & mulai menangis. Sejurus kemudian ia menatap langit malam dgn sepasang tangan di atas kepala selaku tanda menyerah. Sobari memilih kalah. (*)