Warga menyebutnya begitu karena dr kejauhan ia mirip wajah orang berduka. Dari jalan kampung, dua butir batu raksasa terlihat seperti biji mata. Di bawahnya, terdapat penggalan botak melengkung ke atas, serupa lisan manusia. Entah siapa yg menamainya demikian. Tapi tanyakanlah pada orang tertua kampung, niscaya ia mengaku sejak kecil mengenal tempat itu selaku Bukit Duka.
Kawasan itu jarang dijamah insan karena dianggap seram. Begitu kabar yg beredar. Saat operasi militer, Bukti Duka semakin mengerikan karena dibangun posko di kaki bukit. Di sana sering terjadi baku tembak antara tentara & gerilyawan. Setelah tembak-menembak berlalu, tentara menggelar razia. Setiap orang yg melintas diperiksa. Semua bawaan digeledah. Bila ada yg mencurigakan, orang itu masuk ke dlm pos untuk diperiksa lebih lanjut. Sudah banyak yg dibawa, diinterogasi, & tak pernah kembali. Jumlahnya tak diketahui niscaya.
Itu sudah menjadi kisah pilu masa lalu yg dikenang dlm dongeng di warung kopi. Kini Bukit Duka menjadi bukit besar hati sesudah warga memperoleh harta karun. Tanah kuning itu mengandung batu biosolar, watu sulaiman, giok lumut, belimbing, solar madu, cempaka madu, indocress, pancawarna, & sebagainya.
Mulanya, para pencari giok berasal dr kampung di bawah kaki Bukit Duka. Pemberitaan yg gencar di media massa menciptakan Bukit Duka ramai didatangi orang. Pemerintah setempat—seperti biasa—lamban bertindak. Setelah nyaris terjadi adu tinju akhir rebutan giok, baru dibangun pos penjagaan di terusan & keluar. Saat itulah muncul sebutan ‘pendatang’ & ‘warga setempat’ untuk membedakan penduduk sekitar kampung Bukit Duka dgn warga luar daerah.
Setelah ribut-ribut, petugas mendata penambang. Kemudian mendata batunya untuk dikenai retribusi. Pendataan insan & giok tak menyebabkan persoalan. Namun, pengutipan retribusi mengakibatkan kericuhan karena dianggap memberatkan. Bukit Duka sempat ditutup & dijaga polisi. Sebulan kemudian, penambang kembali. Kini polisi tak ada lagi di sana.
Sekelompok pendatang diam-membisu menjelajahi tempat lebih dalam. Di sana, di antara ceruk seberang bukit, mereka memperoleh kerikil mulia yg mencuat dr permukaan tanah. Belum diasah, giok itu sudah berkilauan ditimpa sinar matahari yg menerobos melalui sela-sela dedaunan. Mereka pikir, kerikil itu hanya sekepalan orang dewasa. Tapi sehabis dipacul sampai dalam, ternyata batu itu sangat besar. Ujung pacul membentur benda keras.
Mereka menguruk batu giok berwarna madu itu dgn tanah. “Selimuti lagi dgn dedaunan,” seorang di antara mereka berkata sambil meraup dedaunan kering di sekitarnya. ia menutup tanah berair itu dgn daun-daun kering. Empat kawannya mengikuti. Tanah lembap sekarang tak tampaklagi. Mereka mengontrol planning membawa giok itu tanpa keributan.
Malamnya mereka kembali dgn peralatan lebih lengkap. Mereka menciptakan lubang dgn cangkul di samping giok. Semakin dalam, cangkul masih saja membentur benda keras. Setelah menggali sedalam satu meter, mereka belum pula sampai di dasar watu.
“Giok ini besar sekali.”
“Mungkin 20 ton ada, ya?”
“Bisa jadi lebih.”
“Kita akan kaya raya.”
“Huss, jangan mikir itu dahulu. Pikirkan gimana kita bawa giok ini keluar.”
Percakapan berjalan dlm gelap. Mereka sadar, tak mungkin mengangkat giok itu tanpa pinjaman alat berat. Tapi mendatangkan alat berat akan memanggil perhatian. Membawa masuk alat berat sampai ke ceruk bukit ialah pekerjaan paling berat.
“Kita pahat saja kerikil ini sedikit demi sedikit.”
Mereka sepakat. Ujung-ujung pahat yg tajam mereka lekatkan di lekukan kerikil biar gampang terbelah. Untuk meredam suara, mereka menggunakan dedaunan & tanah di dasar batu. Dentuman masih terdengar tatkala godam memukul gagang pahat, tapi tak senyaring tanpa peredam alami.
Mereka pulang dgn beberapa genggam watu giok madu dlm tas masing-masing. Giok raksasa itu ditutupi kembali dgn tanah & dedaunan kering. “Malam besok kita kembali dgn peralatan lebih lengkap.”
“Ya, supaya lebih banyak giok yg bisa kita bawa.”
Selepas magrib, mereka kembali ke ceruk Bukit Duka dgn perlengkapan lengkap & persediaan masakan lebih banyak. Mereka akan melakukan pekerjaan hingga pagi. Tanpa suara mereka membelah hutan belantara dgn memakai senter taktikal bercahaya tajam.
Ceruk di Bukit Duka tak gampang dijangkau alasannya adalah jalurnya menurun dgn pepohonan pinus di sekitarnya. Mereka menjadikan pohon pinus selaku pegangan bahkan sebagai tempat beristirahat dgn menyandarkan badan sembari mengatur napas. Turun ke ceruk Bukit Duka sudah susah, tetapi keluar dr sana jauh lebih susah.
Langkah kelima lelaki itu seketika terhenti. Mereka menatap cahaya terang di atas batu giok yg kini gundukannya terlihat terang. Beberapa orang berjaga di sana dgn bendo, cangkul, lembing, & linggis. Tak ada yg menggali, mereka hanya duduk berbincang-bincang, namun terlihat siaga. Seolah siap perang untuk menjaga harta karun dr rampasan pendatang. Giok raksasa temuan mereka sekarang dijaga warga setempat.
Setelah malam itu, pendatang & warga orisinil berhadapan dgn senjata masing-masing. Pacul di tangan sudah berubah bendo. Jarak mereka hanya sekitar 10 meter & dipisahkan oleh giok yg kini sudah digali separuhnya sehingga terlihat mirip bongkahan emas raksasa.
Lima pendatang setuju memberitahukan penemuan itu pada semua rekannya. Mereka merasa berhak mendapatkan karena mereka yg mendapatkan. “Siapa yg nemu, dialah pemiliknya. Itu aturan yg berlaku selama ini!” teriak mereka.
Warga setempat merasa lebih berhak sebab giok raksasa terletak di kampung mereka. “Kami lahir di sini. Minum dr air di tanah ini. Hidup di tanah ini, mati pun dikuburkan di sini, di bawah watu-kerikil giok ini!”
Pertentangan hampir berbuntut pertumpahan darah. Apalagi beredar isu di bawah giok raksasa itu ada butiran-butiran giok langka yg mahal harganya. Pemerintah yg umumnya lamban, kali ini sigap mengirim polisi & tentara. Selain giok raksasa, pegawanegeri bersenjata lengkap menjadi pemisah antara warga setempat & pendatang.
Pertumpahan darah urung terjadi, tetapi warga masih berada di lokasi dgn senjata masing-masing. Polisi mengimbau warga melepas senjata tajam. Warga berargumentasi itu bukan senjata, melainkan perkakas kerja. Ulama pula meminta warga menahan diri, mengendalikan nafsu amarah alasannya adalah warga lokal & pendatang mirip kaum muhajirin & anshar di masa Rasulullah. Namun, ketegangan tak kunjung reda.
Kedua massa tetap berkeras berhak atas giok. Sepekan berlalu, ketegangan menurun mengikuti fisik & mental warga. Aparat membangun tenda untuk berjaga siang & malam. Dua kelompok warga diputuskan menjauhi kerikil giok 50 meter & mereka terpaksa memenuhi. Tak ada yg berani melawan pegawanegeri bersenjata, selain pemerintah sudah berjanji mencari solusi atas perselisihan tersebut.
Ada yg menganjurkan giok dibelah dua untuk kaum pendatang & warga lokal. Biayanya ditanggung kedua pihak. Pendapat lain menganjurkan hasil pemasaran digunakan membangun masjid di bawah kaki Bukit Duka.
Pemerintah setempat punya planning lain. Giok tak akan diberikan pada warga setempat, apalagi bagi pendatang. Tidak pula dipakai untuk membangun masjid di kaki Bukit Duka yg sunyi tanpa penambang. Hasil giok raksasa sepenuhnya masuk kas tempat & dipakai untuk kemakmuran rakyat. Itu yg akan dibilang pemerintah nanti, sehabis ketegangan berlalu. Rencana itu membutuhkan lebih banyak abdnegara untuk berjaga.
Polisi & tentara merasa sulit bertugas di kampung terpencil. Tatkala terjadi ketegangan antarwarga di permulaan penambangan, komandan meminta mereka meninggalkan tempat lebih singkat sebab ongkos keselamatan sangat kurang. Uang lauk-pauk tak mencukupi. Biaya makan di belantara lebih mahal dibandingkan di kota kecamatan.
Situasinya sekarang tak jauh beda. Mereka hanya menjadi pemadam kebakaran, melerai warga merebut harta, namun mereka tak menerima apa-apa. Kalau jatuh korban, mereka yg disalahkan. Dituding melanggar HAM.
Satu regu tentara & polisi setuju mengambil sedikit upah jaga. Tengah malam, mereka mulai menggali. Penggalian dilakukan lebih dalam, bukan untuk memuat giok raksasa atau menowel serpihan giok. Mereka ingin mengambil batu-kerikil kecil yg kabarnya terkandung di bawah giok raksasa. Giok jenis langka yg lebih mahal harganya.
Sebagai orang terlatih, mereka menggali dgn cepat di segi yg belum tersentuh. Cangkul seorang tentara membentur benda keras, senter-senter di tangan tentara lain segera menyorot. Mereka mengorek tanah dgn hati-hati, menyingkirkan bongkahan tanah yg menghalangi pandangan. Tatkala mata cangkul kembali membentur benda keras, mereka memperoleh sepotong tulang lengan berwarna putih kusam. Berikutnya mereka menerima lebih banyak potongan tulang, sampai seorang polisi berseru alasannya adalah menyaksikan tengkorak manusia.
Penggalian terhenti saat itu juga. Polisi & tentara berpangkat rendah itu berembuk. Kalau ditanya komandan, mereka tak mungkin berterus terang. Paling kondusif yaitu menguburkan tulang-belulang itu kembali ke tempat semula. Toh, nanti ditemukan dikala penggalian dgn alat berat.
Menjelang subuh, mereka bekerja lebih cepat, menutupi bekas galian.Mereka memang sudah lelah & tak menerima giok, tapi sekurang-kurangnyaterhindar dr problem. Kalau menggali lebih dalam, mereka akan mendapatkan puluhan tengkorak manusia tersembunyi di bawah giok raksasa. (*)