HARI itu Senin, tak ada yg spesial. Adi berangkat ke sekolah persis pukul enam pagi sehabis sarapan nasi putih & telur mata sapi. Dasi biru bau tanah sudah rapi membelit lehernya, pun rambut yg baru dicukur kemarin sore masih menyisihkan rasa gatal di tengkuknya.
SENIN itu biasa saja, Adi siap upacara & di saku kanannya, ada tiga lembar uang cuilan lima ribuan. Adi bukan anak orang kaya, bukan anak orang miskin juga. Uang jajannya sehari lima belas ribu rupiah, cukuplah untuk anak kelas dua Sekolah Menengah Pertama yg tiap hari berangkat & pulang naik angkot.
Dalam sehari, Adi menghabiskan separuh duit jajannya untuk ongkos naik angkot, tiga ribu rupiah untuk pergi, empat ribu rupiah untuk pulang; seribu rupiah lebih mahal karena jalannya memutar. Separuh uangnya lagi, ia pergunakan untuk makan siang, bila bersisa, jadi jatah celengan ayamnya yg semakin memberat.
Jarum jam sudah memperlihatkan pukul enam lewat tujuh, Adi menanti angkot di tepi jalan bareng beberapa bocah SD yg wajahnya cemong dgn bedak “bayi”. Seorang ibu gendut yg menenteng tas belanja sarat dgn sayur mayur & ceker ayam pula terlihat menunggu angkot yg sama. Adi sudah hapal betul wajah-muka itu, Senin yg sangat biasa—tidak ada bedanya dgn hari yang lain. Adi sesekali merapikan kerah baju & dasinya. Ingin terlihat keren di hadapan belum dewasa SD cemong itu.
Pukul enam melalui sepuluh, angkot Cimahi-Padalarang yg ditunggu tiba. Bangkunya sudah separuh terisi. Kebanyakan anak sebaya Adi, sama-sama berseragam putih-biru. Tidak perlu dikomando, bocah-bocah cemong itu berebutan masuk ke dlm angkot. Disusul ibu gendut dgn tas besarnya. Adi naik belakangan.
Angkot berwarna oranye itu berjalan perlahan, suaranya menderu-deru, protes dgn beban yg kelewatan. Bapak sopir memutar lagu keroncong sambil sesekali meneriaki orang yg bangun di pinggir jalan, “Plarang, Neng!” & disambut dgn gelengan kepala.
Senin itu betul-betul umumsaja. Adi seangkot dgn muka-muka yg bersahabat dgn kesehariannya, walaupun tak satupun nama yg ia tahu. Siapa pula yg ingin berbincang-bincang di tengah angkot sesak dgn orang asing?
Adi menghabiskan waktu perjalanan sambil bersenandung kecil. Sampai balasannya gerbang sekolah Adi terlihat di ujung jalan. Dengan gesit Adi merogoh saku kanannya, hendak mengambil lembar lima ribuan pertamanya. Adi terkejut bukan main tatkala menyadari yg ia rasakan dlm saku yaitu kulit pahanya sendiri. Adi kaget bukan main, “Sejak kapan?!” rutuknya.
Adi mulai panik & menyusun aneka macam skenario untuk bebas dr jeratan ini.
Skenario pertama: Adi akan memanfaatkan posisinya yg tepat berada di sebelah pintu. Maka ia akan lompat begitu saja tatkala angkot melintas di depan sekolahnya.
Adi akan melompat dgn begitu gesit sehingga tak ada satu insan pun yg menyadari lompatannya. Kemudian, begitu sepatu hitamnya menginjak tanah, Adi akan berlari menuju kerumunan siswa yang lain & mengakibatkan Senin itu kembali mirip biasa.
“Ah, tidak! Terlalu beresiko! Ini Senin pagi, & terlalu banyak orang di gerbang sekolah! Kalau gagal, seluruh insan, bahkan satpam & guru piket akan dgn gampang meringkus & menghukumku!” bisik Adi dlm hati. Maka ia menimbang-nimbang skenario berikutnya.
Skenario kedua: Adi akan melemparkan tetapan kematian pada bocah-bocah SD yg duduk didepannya. Menghentikan obrolan ndeso mereka perihal tokoh kartun yg paling pahlawan, & melancarkan ancaman yg akan menolongnya keluar dr angkot itu. Adi akan meminta masing-masing seribu rupiah pada mereka kemudian mengeluarkan uang angkot mirip biasa.
“Duh, mikir apa sih, Di? Mau malak anak SD?! Apa kate ibumu nanti? Bagaimana bila belum dewasa ini melapor pada guru & orang tua mereka? Kamu lupa belum dewasa ini selalu kautemui diujung gang tiap pagi? Akan sangat gampang bagi mereka untuk melacakmu!” ujar Adi pada dirinya, mengutuk skenario keduanya. Tanpa Adi sadari, gerbang sekolahnya sudah terlewat Adi mempertimbangkan skenario ketiganya, yg tampaknya lebih masuk logika.
Skenario ketiga: Adi akan bermanis pada ibu gendut dgn tas belanjanya. Adi akan berceloteh perihal hujan semalam & betapa cerah pagi ini, kemudian tatkala ibu itu luluh, Adi akan meminta uang pada sang ibu, bilang bahwa saku celananya bolong & ia hampir telat ikut upacara. Ibu itu niscaya akan dgn baik hati memberikannya biaya angkot.
Sial, sebelum Adi sempat menjajal skenarionya, terdengar suara yg tak ia kehendaki.
“Kiri, mang!” seru ibu gendut, Adi terhimpit oleh tas belanjaan si ibu, parasnya tersapu beberapa helai kangkung. Adi kesal bukan kepalang. Terlebih tatkala menyadari sekolahnya telah terlewat cukup jauh.
Tak lama kemudian, tiga bocah cemong itu pula berseru, “kiri!” & berebutan keluar angkot. Tangan-tengan kecil mereka mengulurkan duit biaya. Adi kesal sekali! Bahkan anak Sekolah Dasar saja mempunyai uang lebih banyak darinya!
Sementara penumpang demi penumpang turun & menyisihkan Adi & seorang bapak paruh baya di dlm angkot. Sekolahnya sudah terlewat jauh, & Adi mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk jujur pada bapak di depannya & meminta barang tiga ribu rupiah untuk biaya angkotnya.
“Pak,” gres saja suara parau itu meluncur dr verbal Adi, si bapak sudah mendahului.
“Kiri!” penumpang terakhir di angkot itu turun, Adi tahu betul sehabis belokan di depan, angkot berwarna oranye jelas ini akan mencapai titik terakhir di trayeknya.
Pukul tujuh sempurna, upacara sebaiknya sudah dimulai setengah jam yg kemudian & belokan terakhir sudah terlihat di depan mata.
Sedangkan Adi? Ia mencicit kaku di tempat yg (ia kira) tak mampu dijangkau sopir angkotnya.
Ternyata Senin itu bukan Senin umumbagi Adi. Hari itu spesial. (*)