JAUH-JAUH rumpun ialang, buah para di lengkung papan. Sungguh riang gadis berdendang, cowok tampan di kampung halaman.
Itulah yg dirasai Bunga Raya, putri tunggal seorang duda. Semua bukan tanpa alibi, bujang itu ialah Sakiaki. Beberapa hari belakangan, ia senantiasa dlm pikiran. Di beberapa kesempatan, ia menyelinap dlm perbincangan. Tak hanya oleh kerumunan perawan, namun pula ibu-ibu yg mulai beruban. Ada yg bilang ia titisan Yusuf. Ada yg mengira ia Malaikat yg menyusup.
Bagai selaras dgn wajah yg mengundang simpati, ia pun dikenal berbudi baik. Ia sungguh tekun sembahyang, tegak lurus dgn sifatnya yg penyayang. Bila azan ia kumandangkan, bagai berdenyar pendengaran yg mendengarkan. Bukan sebab sumbang bunyi panggilan, namun merdu nian ia dilagukan. Tak heran bila dlm beberapa putaran, masjid ramai oleh para wanita. Entah bagaimana semua bermula, ini bukan isapan jempol belaka. Imam masjid sempat terperangah, tetapi tak kuasa mencuat tanya. Baginya, kerumunan jamaah di rumah Tuhan, mengambarkan baik bagi kehidupan. Walau akibatnya ia paham, bahwa keberadaan Sakiakilah yg mengakibatkan.
Sang Imam kerap mengingatkan, agar sang bujang tak lupa daratan. Banyak-banyaklah bersyukur pada Tuhan, pesannya dlm sebuah potensi . Jadikanlah kerupawanan, keterampilan, & kesantunan, untuk mempesona sesiapa ke jalan Tuhan. Jangan ada pemilahan! Baik bagi lelaki ataupun wanita. Baik bagi muda maupun bau tanah. Baik bagi belia maupun lanjut usia.
Sebagaimana biasa, tak pernahlah Sakiaki membantah. Baginya setiap nasihat, yaitu laba kehidupan yg berlipat. Takkan kutolak mutiara yg dihadiahkan cuma-cuma, bisik hati kecilnya. Maka, makin rajinlah ia beribadah. Tak pernah alpa karena teledor ataupun letih.
JAUH-JAUH rumpun ilalang, buah para bertangkai lima. Jangan cibir cinta yg tiba, kelak kau akan terperangah.
Sakiaki ialah orang datangan, tukang azan kesayangan imam. Ia mengajar mengaji, tatkala magrib sudah permisi. Banyak anak kampung yg menjadi muridnya, mereka gembira karena sang guru baik hatinya. Sakiaki tak pernah menenteng rotan saat mutaba’ah, mengulang hafalan surat-surat juz amma. Ia jua kerap bercerita, berbagi nasihat pada murid-muridnya:
Jadi bujang bukanlah centeng. Anak gadis janganlah cengeng.
Benarlah komitmen Tuhan, tak ada amal tanpa imbalan. Setiap usaha yg berkat, memanggil kado untuk mendekat. Sakiaki seolah tak perlu mempertimbangkan makan. Ada-ada saja yg tiba menyajikan. Saban pagi, siang, & petang; ibu-ibu bagai bergantian menenteng rantangan. Ia jua tak perlu risau perihal pakaian, tak sedikit wali murid menghadiahinya katun jahitan. Bahkan dlm beberapa waktu yg cerlang, ada-ada saja yg memberinya sejumlah uang.
Ai, alangkah riang si Sakiaki, hatinya bahagia seharian. Senyum merekah pada sesiapa yg ditangkap mata. Salam tak alpa ia ucapkan, untuk mereka yg bersua di jalanan. Sakiaki sungguh cakap membawa diri, sebagaimana pesan orangtuanya di suatu hari:
Di bumi mana pun kau bergantung, di situ langit mesti kaujunjung.
Berbilang masa, Sakikaki masyhur sebab tabiatnya. Ya, bukan cuma karena kemerduan suara kala berazan, tetapi pula kepandaiannya memelihara mitra. Bukan hanya sebab wajah yg rupawan, tetapi pula keramahannya pada orang-orang. Bukan hanya alasannya kedalaman ilmu & wawasannya, tetapi pula kerendahan hati dlm menyembunyikannya.
Seolah mendapat bisikan Tuhan, beginilah yg dilakoni para orangtua—dan dlm kasus ini, ibu-ibulah yg mampu diandali:
Bila hendak mengantar rantangan, mereka selalu didampingi anak perawan.
Entah bagaimana, Sakiaki seolah tak pernah angkuh. Ah, bagaimana ini pantas dibahasakan: Sakiaki menganggap apa-apa yg terlihat di hadapan adalah kode biar ia tak kerap menabur keinginan, atau si ibu yg tak pintar menentukan waktu menjaring menantu, atau Sakiaki yg terlalu dini berbesar hati….
Tentu Sakiaki tak akan meremehkan serangkaian gelagat. Ia cuma berisyarat seolah belum bermaksud kawin cepat-cepat. (Sungguh, bila hendak diperturutkan, sangat ingin Sakiaki menciptakan ikatan. Usianya sudah dua tiga, sangatlah ranum untuk menikah. Apalagi gadis-gadis yg ditangkap pandang, kebanyakan sudah menanti untuk dipinang.)
Tak banyak yg tahu. Hati Sakiaki sudah tertaut, dgn seorang gadis yg bertutur lemah lembut. Gadis itu ia lihat tak sengaja, di suatu pasar yg digelar pagi Selasa. Kala itu, ia bareng ayahnya yg pula petinggi puak, & lenggok bunyi gadis itu menciptakan indera pendengaran & mata sesiapa jadi terbuka. Bila ayahnya memetik gitar, cengkok suaranya membuat hati bergetar. Bila ayahnya melempar sampiran, sang gadis membalas dgn makna yg berikatan. Mereka ialah sepasang pemantun yg santun. Sepasang penampil yg sungguh cekatan. Dan karena semua itu, tekad Sakiaki bertalu-talu. Ia bagai mabuk oleh cinta pertama, cinta yg dulu ia anggap bualan belaka.
Ai, Bunga Raya! Tunggulah! Abang ‘kan datang untuk mengkhitbah!
JAUH-JAUH rumpun ialang, buah para dagingnya lekat. Alangkah malang nasib si bujang, diri sebatang diperangkap budbahasa.
Ai, penting niankah asal ajakan seseorang, hingga ia harus ditimbang dlm pinangan? Maka, berkelitlah serombongan ibu, yg kerap mengirim rantangan ke rumah itu; rumah Sakiaki yg tak paham masalah; kenapa tak pernah lagi anak perawan menyertai mereka. Ibu-ibu memang masih kerap memperhatikannya, namun Bunga Raya mendapati ada yg berbeda. Pernah tak sengaja ia mendapati pergunjingan, Sakiaki & anak-anak gadis mereka dikunyah bagai camilan. Dalam membisu, Bunga Raya kerap bergumam. Ah, ibu-ibu memang senang membuang waktu, untuk kasus yg faedahnya belumlah tentu. Aneh pula Bunga Raya mendengar apa yg mereka ributkan; Sakiaki bukan keturunan Melayu sebagaimana pada umumnya! Dan di pasar ini, bakda berpantun & menyanyi, Bunga Raya kembali merasa ganjil, mendengar pergunjingan di suatu kedai kecil.
“Oi, Mak-mak yg berkumpul di siang kemarau, dengarkan pantun untuk hati yg risau.”
Serombongan perempuan berumur, menyerbu & berbaur.
“Pisau Suang Pisau Pelawan, dipakai untuk menebas mayang. Sungguh malang nasib perawan, meneguk liur mengharap bujang!”
“Ai, Siti Maimunah nan pintar bercakap, tahu nian bila perawan kami tengah meratap.”
“Apakah ada yg bisa bermaklumat, semenjak kapan adab mencekik bujang santun nan memikat?”
“Tak usah kau bertanya bagaimana api ‘kan padam, bila air liur yg kaupakai untuk meredam?”
“Ya, Mak Jamidan, kita cuma merutuki kemalangan. Kau tentu paham ke mana percakapan tertuju: sesiapa akan bangga bila Sakiaki jadi menantu.”
“Dari kabar yg melintang-pukang, ada angin sejuk yg berlabuh di ujung pedang. Keliru nian orang-orang yg bilang, bila Sakiaki bukan Melayu pada umumnya!”
“Apa maksudmu, Cik Kumu?”
Cik Kumu tersenyum sembari melempar pandang. Senang nian ia mendapati orang-orang dililit penasaran.
“Bukankah ayahnya orang pulau seberang?”
“Atau itu hanya kabar sembarang?”
“Jangan terlalu lama racun dijerang. Hari ini sudah siang. Lekas beritahu kami kini!” Seorang ibu mulai berang.
Cik Kumu memberi aba-aba: yg hendak beroleh kabar harap merapat!
Tak ingin melewatkan kesempatan, segeralah Bunga Raya mendekati kerumunan. Tentu tak mungkin ia bergabung; tak lazim anak gadis menyumpil di antara verbal kecubung, demikian mak-mak itu beroleh sebutan. Lamat-lamat Bunga Raya memasang indera pendengaran; sudah kenyang ia dibekap tanda tanya. Ia berharap beroleh kabar gembira, bahwa ada pasal yg mampu memuluskan rencana. Ya, dr lubuk hati terdalam, sebagaimana perawan kebanyakan, sangatlah ingin Bunga Raya disunting si bujang, tukang azan yg tengah diperkarakan. Mulut Bunga Raya komat-kamit, seolah tengah mengirim doa ke langit. Ya, Bunga Raya bagai gres menyadari, banyak yg tertarik pada pujaan hati. Pikirannya tiba-tiba mengembara, pada beberapa karib seusia. Fatimah anak Haji Sukur, gadis ramah berkulit kuning kencur; Malacanang anak Mang Ramang, kakinya jenjang, berambut panjang; atau Saipit Zubaedah binti Wak Mahar, selain kulit sawo muda, tutur katanya sejuk didengar. Ah, setiap anak gadis pasti memesona, termasuk gue yg pintar bernyanyi & merangkai kata, batin Bunga Raya tak mau kalah. Ya, pentasyg digelar Bunga Raya & ayahnya saban Kamis & Selasa, membuat sesiapa tahu jikalau bernyanyi & berpantun adalah kepandaiannya. Bunga Raya benar-benar mewarisi darah sang Ayah, seorang seniman serbabisa.
Apakah Sakiaki menggemari gadis pemantun?
Apakah Sakiaki suka mendengarkan bait-bait lagu dilantun?
Wajah Bunga Raya tiba-tiba merah kembang sepatu, perasaan resah & gembira berpadu menjadi satu. Oh, gampang-mudahan saja Tuhan tengah riang, betapa gue ingin disunting ia seorang.
O o! Bunga Raya tercekat. Bagai terlupa untuk apa ia mendekat. Segera ia lepas khayalan. Tak guna bila semua masih angan-angan. Pendengaran Bunga Raya kembali awas. Ia harap tak ketinggalan kabar nan panas. Tatkala mendapati pergunjingan masih diulur-ulur, ia mengela napas bagai bersyukur. Hmm, Bunga Raya berhikmat di waktu yg mustajab!
“Ayah Sakiaki memang orang pulau seberang, tetapi takkah kalian berpikir hening-damai?”
“Jangan memanjangkan tali kelambu, Cik!”
“Bila masih kaubolak-balik, jangan menyesal bila kamu kami cekik!”
Cik Kumu terperanjat, serta-merta ia teguk liurnya yg sepat (Bunga Raya bersetuju, dgn ancaman perempuan-wanita itu. Ia pula jengah, melihat Cik Kumu masyuk berperilaku). Cik Kumu pun menganggukkkan kepala. Tanpa mukadimah. Tergesa-gesa. Ia utarakan kasus yg dianggapnya rahasia….
JAUH-JAUH rumpun ialang, buah para dlm berangan. Hancur hati para perawan, bujang pujaan digapai jangan….
Alamak jan! Bengaknya kamu, perempuan! Seolah memperlihatkan mutiara, padahal tak lebih hanya sebongkah suasa! Ya, Cik Kumu dirundung cerca.
Wajahnya masai tiada terkira. Perempuan-wanita itu bagai gres tahu, dlm tubuh Cik Kumu tak mengalir darah Melayu. Ai, manalah paham ia tentang budbahasa, manalah tahu ia ihwal syarat yg mengikat! Lagak Cik Kumulah yg membuat mereka naik pitam. Ia seolah memegang diam-diam kerajaan, padahal pengetahuannya umpama air dlm genggaman.
Gila babi nian kamu, Cik Kumu! Walaupun ibu Sakiaki berdarah Melayu, takkan memengaruhi nasab bujang pujaanku! Bunga Raya bermuram durja, kabar yg diharap justru mengirim sekantung kecewa.
Bunga Raya pulang. Perasaannya tak hening. Baru selangkah memasuki kamar, di tepi jendela ia dapati setangkai mawar. Sepucuk surat warna hijau muda, tergeletak tak jauh di dekatnya. Oh, Bunga Raya bagai berimajinasi , mendapati nama Sakiaki diukir dgn dawat merah hati. Baru saja hendak ia hikmati, Ayahnya datang menghampiri. Lekas ia melipat tangan di balik kain. Betapa degup jantungnya kini terasa lain.
Bunga Raya tersenyum cerah. Disapanya sang ayah dgn ceria. Ya, ia tak ingin tertangkap tangan, selaku gadis yg tengah diikat asmara. Ai, merah genteng kini wajahnya, malu nian diolok perasaan yg membuncah. O o, tiba-tiba terbersit di fikiran, Bunga Raya hendak melunaskan kegelisahan.
“Batang pala di tepi jalan, buahnya dipetik untuk manisan. Bila Ayahanda tengah berkenan, bolehkah kulayangkan setangkai pertanyaan?”
“Buah pala untuk manisan, dikonsumsi oleh anak perawan. Bila Ayahanda boleh pastikan, setangkai pertanyaan atau serumpun kegelisahan?”
Bunga Raya bagai menjelma setangkai putri aib, yg bila disentuh daunnya mengatup menjadi satu. Apakah sang ayah menangkap kegelisahannya, ataukah ia hanya sembarang menebak saja. Bunga Raya tak hendak bermain dgn kira-kira. Baru saja hendak ia rangkai sampiran, ayahnya sudah memanjangkan prasangka….
“Sebagaimana kamu, tentu Ayah pun resah.” Kata-kata ayahnya seolah menunjukkan, bahwa ia sudah tahu apa yg Bunga Raya pertimbangkan.
Bunga Raya membisu saja. Berdebar-debar kini dadanya. Menanti-nanti kata berikutnya….
“Galau oleh mak-mak yg bermulut delapan, seolah tak ada kerja selain berbincang-bincang.”
Bunga Raya masih diam. Menebak-nebak ke mana ayahnya menggiring percakapan.
“Namun begitu, sangatlah gue bangga kepadamu. Pun arwah ibumu, akan bersepakat denganku. Ayah tak pernah memberikan tukang azan itu sesuatu, apalagi sampai menjinjing -bawamu ke situ. Dan kini, Ayah bersyukur sepenuh hati. Kau tentu tak mirip mak-mak itu. Kau tak setali tiga uang dgn anak perawan yg seolah kelemahan bujang di kampung halaman, bukan?”
Bunga Raya menunduk. Kegalauannya bersitumpuk.
“Para petinggi puak sudah memufakati beberapa putusan perihal Sakiaki. Selain alasannya adalah bukan peranakan Melayu asli, ia jua sudah meresahkan bujang-bujang & para suami. Anak perawan mereka tak henti membincangkan Sakiaki, sebagaimana sang istri berimajinasi memiliki menantu yg baik hati. Ai, rusaklah panggung adat, bila diturut nafsu keparat!”
Bunga Raya mendongak. Dadanya tiba-tiba terasa sebak.
“Dari beberapa putusan, satu saja yg rasanya perlu kusampaikan….”
Bunga Raya meneguk liur. Perasaannya kian berkesiur.
“Sakiaki mesti pergi dr kampung ini!” Bunga Raya membelalak sertamerta. Apa yg ia dengar sungguh sulit diterima.
“Syukurlah Sakiaki tahu diri. Pagi tadi ia sudah angkat kaki!”
Bunga Raya sungguh-sungguh tercekat. Surat di tangan ia genggam erat-erat. Sungguh, ia belum tahu, apa yg Sakiaki tulis di situ. Ia sungguh berharap, tertera nama sebuah kawasan. Tempat di mana Sakiaki sudah menanti, sebagaimana ia yg sudah siap-siap menyerbu…. (*)