Kehidupan masyarakat jelata dan kelas sosial kebahwa – menegah, pastinya ada pada masyarakat Jawa pengaruh pada pembangunan periode kolonial Belanda pada kurun itu, terperinci bagaimana mereka bertarung dan melawan pada sistem pemerintahan, dan berasmilasi budaya secara seksualitas, dan menciptakan metode pekerjaan mereka sampai dikala ini 1930 – 2000.
Hasil dari seksualitas itu dengan adanya dokter itu dikarenakan hasil buah seksualitas Batak dan Jawa, di Pontianak Kalimantan Barat, dan beralih tidaknya ketidakmaluan mereka kepada aspek kehidupan sosial budaya mereka di periode kemudian, tepatnya pada masa kolonial Belanda, terperinci bagaimana mereka hidup dengan ragam budaya mereka ketika ini, dan tembok gereja.
Apa yang bisa disampaikan dari hasil kontribusi mereka selama di Pontianak, terperinci bagaimana mereka hidup dengan pendidikan yang rendah, kualitas hidup rendah, seksualitas apalagi, dan kebiadaban yang hanya diwarisi oleh seorang Silaban, Pontianak 2000 – 21.
Orang – Orang seperti itu hidup dengan seksualitas budaya dan agama mereka, sesuai dengan keinginan hidup mereka pada pembangunan insan secara moralitas dalam hal ini, berbagai problem sosial budaya di masyarakat di Pontianak, Kalimantan Barat.
Ketika pertentangan sosial tidak lagi tercipta pada kurun kolonial Belanda, maka berlanjut pada revolusi mental ialah, maka yang terang diciptakan penggangu pendidikan dokter dan pendidik dari tata cara budaya mereka (makan orang) Kolonial -1930an ketika itu memungkinkan di penempatan pedesaan, dengan pertentangan dibentuk dan malas melakukan pekerjaan dan perusak ialah karakteristik mereka hidup di banyak sekali daerah.
Hal ini merupakan hasil “ngotot“, dengan keterlibatan asimilasi budaya seksualitas dan kompetisi kelas sosial, status sosial, pada penduduk Tionghoa Bong – Kuh (raja – raja kecil), Batak dan Jawa di Kalimantan Barat, Pontianak 2008 – 21 sudah menerangkan dengan baik keterlibatan asimilasi budaya dan agama itu Protestan Batak.
Menjadi perhatian sejumlah pengetahuan yang berpengaruh pada kualitas sumber daya insan, yang memang berasal dari keadaan seksualitas, sosial, budaya dan politik mereka di penduduk secara khusus. Berbagai hal terkait itu juga, memang berasal dari kehidupan budaya menurut hasil seksualitas mereka secara budaya dan agama.
Tidak mampu disampaikan lebih lanjut mereka hidup sesuai dengan faktor kehidupan budaya mereka dikala ini dengan adanya perbedaan pemikiran , dan sistem ekonomi politik, budaya yang menjelaskan akan keberadaan mereka selama hidup beragama.
Apa yang bisa disampaikan dalam karakteristik mereka dalam meraih berbagai harapan dan impian mereka itu, dengan hasil seksualitas mereka di penduduk , budaya, dan agama yang mampu dijelaskan dari hasil kebringasan mereka sebagai suku Batak – Tionghoa dan Jawa – Dayak di Pontianak Indonesia.
Yaitu kehilangan moralitas dan adab mereka selaku manusia, alasannya adalah adanya duduk perkara seksualitas mereka miliki atau alat kelamin untuk hidup diberbagai kawasan, tergolong di Pontianak Indonesia secara fakta, berkontribusi pada kehidupan pada pekerja, dengan efek seksualitas pada era pemerintahan walikota Sutarmidji 2003 – 2008, terjadi.
Hal ini menerangkan bagaimana mereka hidup dengan keadaan ekonomi politik di masyarakat, ketidakmampuan pada ilmu pengetahuan, dan lainnya menjadi dasar dari kehidupan agama dan budaya malu mereka.
Hingga saat ini secara fakta, apa yang bisa disampaikan dalam hal ini dengan mempergunakan metode pendidikan dari swasta dan negeri untuk mengatur kekuasaan dan pertentangan sosial suatu pengalaman diri sendiri, mencar ilmu di Kota Pontianak terang tempat sekolah Kristen.
Belum tahu bagaimana untuk di Universitas Tanjung pura, dari kendali pendidikan terhadap kekuasaan 2008 – 21 yang telah terjadi, dan para hukum Indonesia yang berlindung pada metode hukum setempat, dan masyarakat adab juga demikian dengan adanya budaya asimilasi Batak – Jawa – Tionghoa terhadap pergeseran sosial dan kesehatan sosial pada medis yang diperlukan.