Aroma tumpukan sampah meruap & menyesakkan dada sesudah hujan turun semalam. Setiap sudut kota terlihat sayu & pucat alasannya hujan. Nyamuk-nyamuk mulai menanamkan telurnya di parit-parit, kaleng-kaleng sisa, & aneka macam tempat lainnya. Lalat beterbangan dgn bebasnya & hinggap ke kawasan-kawasan dgn membawa penyakit. Namun penyakit yg siap kapan saja menjerat manusia ke penderitaan itu seakan-akan dihiraukan. Karena siang sehabis hujan itu terlihat puak-puak insan bergerilya di atas gunung sampah. Mereka seperti sedang mencari sebutir emas di balik limbah yg tak diharapkan itu.
Dipojokan kawasan pembuangan sampah, terlihat seorang bocah terpekur; menyaksikan arakan truk berwarna kuning yg setiap waktu—setiap dikala, menuangkan sampah. Truk-truk itu seperti menuangkan air ke dlm gelas. Sampah-sampah pun bertebaran & gesit diperebutkan oleh para pemulung. Para pemulung itu— di hadapan si bocah—seakan terseret oleh pusaran sampah yg menggunung & menjijikan. Gancu yg mereka gunakan tampak kelaparan. Tongkat-tongkat berbentuk kail itu cepat merayap memporak-porandakan tumpukan sampah yg menumpuk.
Matahari menyingsing di atas ubun-ubun si bocah. Teriknya membuat si bocah letih. Dan alasannya itu si bocah memilih beristirahat di bawah pohon bareng ayahnya—yang pula seorang pemulung—memperhatikan aktivitas para pemulung lain di pusat pembuangan sampah kota.
“Kau tak makan?” Tanya ayah si bocah. “Lekas makan! Tidak saban hari kita bisa makan telur seperti ini.”
Si bocah memantau sudut wajah ayahnya yg sendu. Kerut waktu bersemayam di guratan air mukanya. Kulit ayahnya yg legam tampak begitu renta. Dan sosok itu terlihat semakin kumal alasannya balutan kaos partai berlubang yg dikenakan. Setelah mengamati ayahnya, si bocah menggerakkan tangannya ke aras nasi bungkus. Tetapi bocah itu tak lekas memakan. Ia menimbang-nimbang sesuatu.
“Boleh tanya, Pak?”
“Tentang?” Ayahnya menyahut tanpa melirik.
“Sekolah itu mirip apa?”
Ayahnya terpekur dgn lisan menganga. Pria itu seakan dikagetkan dgn pertanyaan anaknya yg tak biasa. Bahkan tangan si ayah sempat terhenti di udara & menciptakan nasi yg tergenggam tak jadi masuk ke ekspresi. Pria itu memantau anaknya, syahdan menerawang ke kejauhan dgn matanya yg merah. Pria itu mengamati keributan jalanan. Di sana terdengar lengking mirip letupan peluh yg bercampur dgn teriakan dr berbagai kendaraan. Pria itu dr tatapannya—seakan mencari tanggapan. Pria itu menghela napas lalu memandang anaknya.
“Sekolah itu seperti neraka,” kata ayahnya kemudian.
“Neraka?”
“Kamu di sana hanya disiksa dgn berbagai hal yg tak ananda suka.”
“Tetapi kenapa bawah umur yg berangkat sekolah terlihat senang.”
“Itu cuma tipuan saja.”
“Tipuan mirip apa?”
“Mereka semua dicuci otaknya.”
“Jadi sekolah itu daerah pencucian otak, ya?”
“Betul!” Jawab si ayah melihat air wajah lugu anaknya. “Sekolah ialah daerah menakutkan. Apalagi untuk orang-orang tercela seperti kita. Mereka mungkin akan memperabukan kita hidup-hidup.”
“Kenapa kita tercela?”
“Karena kita hanya sampah di negeri ini. Mereka tidak senang kita karena itu & akan membakarnya.”’
Anak itu memanggut samar. Bocah itu tak dapat membayangkan mirip apa bila dirinya masuk sekolah. Ia pun bergidik membayangkan bila dibakar seperti tumpukan sampah yg setiap sore dilihatnya. Namun, ada sesuatu yg masih mengganjal di benak si bocah. Karena tatkala melihat ayahnya bercerita, si bocah mirip merasa ada yg dirahasiakan. Bocah itu tak tahu diam-diam apa itu. Pun si bocah tak berupaya mencari tahu. Ia hanya membuka kemasan kuliner, lantas menyantapnya seraya mengingat senyum bocah-bocah berseragam yg dilihatnya pagi tadi—sebelum berangkat memulung.
Rasa ingin tau itu membuncah di hati si bocah. Ia pun—pagi itu sebelum berangkat memulung—dengan sengaja membuntuti seorang anak seumuran yg akan berangkat sekolah. Ia ingin menjawab kegelisahannya itu walau hal buruk nanti terjadi. Memang tatkala menguntit beberapa kali terbersit perasaan takut membayangkan sekolah. Tetapi untuk sementara ketakutannya ia buang. Menyingkirkan jauh-jauh. Karena pagi itu ia ingin menyaksikan neraka.
*****
Sepanjang perjalanan dikala menguntit, terus saja si bocah dibayangi perihal neraka yg diceritakan oleh ayahnya kemarin: api yg berkobar memperabukan apa pun & penyiksaan yg tak mengenal batas. Bocah itu—di benaknya mengabstraksikan tangisan yg menguara memilukan mirip derai hujan yg bertampias di atap rumahnya bila tornado tiba. Sekali lagi tubuh si bocah bergidik mengartikan kalimat yg dipaparkan ayahnya kemarin.
Namun entah kenapa sepanjang jalan—ia tak melihat kegalauan pada garis wajah bocah yg sedang dibuntutinya. Di wajah bocah berseragam itu malah senantiasa menyembulkan senyum yg renyah: senang. Si bocah pemulung tak habis pikir wacana kebisaan manusia zaman sekarang yg dapat menikmati siksaan dgn senang. Apakah siksaan di zaman kini terasa nikmat? Pikirnya. Si bocah pemulung dgn takzim membuntuti bocah itu hingga sampai di sekolahnya.
Ketika betul-betul hingga, si bocah pemulung terpekur menyaksikan setiap tawa yg berdengung di sudut-sudut sekolah. Di sana anak-anak terlihat senang. Mereka berlari-lari riang memainkan sesuatu. Selain itu pula banyak penjual makan yg acap dilihatnya berkeliling dikala memulung. Si bocah pemulung sama sekali tak menyaksikan neraka yg diceritakan ayahnya; kawasan-daerah penyiksaan yg dikerumuni oleh pekik tangis & kesedihan. Tetapi yg ia lihat adalah taman bermain yg luas. Lonceng secara tiba-tiba berdengung. Si bocah pemulung tergeragap.
“Pasti itu tanda dimulainya penyiksaan,” pekiknya samar. Matanya belingsatan mengitari daerah; mencari-cari sosok malaikat yg bertugas untuk menyiksa bocah-bocah itu. Tetapi si bocah pemulung tak menemukan. Ia malah memperoleh sosok seorang perempuan berpakaian coklat, mengenakan sepatu hitam, & tersenyum kepadanya. Ia berpikir: Malaikat itu telalu anggun untuk menyiksa anak anak!
Setelah lonceng berbunyi, si bocah pemulung menyaksikan anak anak itu melesat seperti anak panah yg dilecut. Anak-anak itu berbaris dgn tertib memasuki sebuah ruangan aneh. Si bocah pemulung dgn bergetar memasuki halaman sekolah yg luas. Namun tak seperti yg dibayangkan sebelumnya. Tempat yg ia kira yaitu ruangan penyiksaan bagi belum dewasa, tak ditemukannya. Tempat itu higienis. Bangku, kursi, & papan tulis tertata rapi. Bocah pemulung itu pula menyaksikan seorang perempuan berseragam coklat yg tak henti-hentinya membersitkan senyum pada bawah umur.
Di mana letak neraka yg dimaksud oleh ayah? Batinnya. Pada setiap inci pandangannya tak ditemui penyiksaan kejam. Bahkan dikala menyaksikan di dlm suasana ruang yg ceria, ia merasa iri pada bawah umur yg duduk dgn senang di kursi & meja yg bersih itu. Ia ingin duduk di sana; menghunus jari; melontarkan pertanyaan seperti mereka. Ia melongo menyaksikan semua itu dr jendela. Sampai kemudian seorang bocah menyentaknya.
“Hai lihat ada pemulung di sana!” Seorang bocah menyahut. Seluruh bocah berpaling menatapnya. Si bocah pemulung pun tersipu seperti maling. Anak-anak itu tertawa serempak sampai wanita berseragam coklat menenangkan.
Gopah-gopoh si bocah pemulung keluar dr sekolah tersebut. Sepanjang jalan ia menekuri setiap perkataan ayahnya kemarin; ihwal neraka yg dijumpai bila ke sekolah. Tetapi neraka itu tak ada di sana & ia malah berpikir kalau ayahnya berbohong. Ombak masih berkecamuk di dlm benaknya. Ia bagai terombang-ambing di dlm kebingungan. Bocah itu melongo dgn wajah murung menatap langit yg mendung.
“Dari mana saja kamu! Seharian kau tak menolong mencari uang! Mau makan apa ananda nanti!” Tegur ayahnya melihat si bocah pemulung baru pulang.
Bocah itu dgn gemetar menatap air paras ayahnya yg berang. Ia kembali mengambil gancu serta karung yg senantiasa menemaninya. Ia beranjak kemudian kembali mengais botol-botol bekas di gunung sampah; mengumpulkannya ke karung goni. Tetapi ia masih merasa ingin tau wacana neraka yg diceritakan oleh ayahnya kemarin. Ia sama sekali tak merasa was was dgn neraka itu. Ia malah ingin duduk di ruang pesakitan itu; menyimak seorang perempuan berpakaian coklat bercerita wacana rentetan angka-angka & ilmu-ilmu lainnya. Ia ingin hidup di dlm neraka itu; menikmati siksaan sembari tertawa-tawa. (*)