Biografi Kunnaila | Cerpen Sungging Raga

Gadis itu bernama Kunnaila, lahir di bawah rembulan, berkembang sepanjang ilalang. Orangtuanya hidup bergelantungan tepat di garis kemiskinan, ibunya sering bersedih jikalau sedang memandangi senja, ayahnya lebih senang duduk termenung & membayangkan dirinya sebagai masinis kereta yg pergi mengunjungi kota demi kota. Mereka tinggal di rumah susun, yg tali jemurannya melintang sampai ke tetangga, yg suara televisinya tembus sampai ke dapur tetangga, yg semua seluk-beluk rumah tangga berhubungan erat dgn tetangga.

Di usia lima belas tahun, Kunnaila sudah bisa mengatakan bahwa hidup ini sarat liku-liku seperti dlm sebuah lagu. Pada suatu pagi, tatkala sedang bermain di stasiun Kertasemaya, seorang masinis kereta api jatuh cinta kepadanya di persepsi pertama. Masinis itu masih cukup muda, belum tiga puluh tiga tahun, baru saja naik pangkat setelah lama jadi tangan kanan. Ia menyaksikan Kunnaila mirip melihat bidadari versi 0.6 beta, diunduh dr langit & dilepaskan di platform bumi yg fana. Saat itu Kunnaila sedang duduk menunggui barang dagangan milik ibunya, yg memang sudah cukup usang menjadi asongan di kereta api Kutojaya, sebuah kereta murah dr Tanah Abang tujuan akhir Kutoarjo & sekitarnya.

Pandangan pertama itu pun mengirimkan pengikutnya. Beberapa bulan kemudian, masinis itu mencari-cari alamat Kunnaila untuk melamarnya, tanya sana-sini, mencoba & menjajal lagi, alhasil ketemulah sebuah rumah susun yg miring seperti menara Pisa di kota Roma. Singkat dongeng, lamaran diterima, ayah Kunnaila sungguh senang karena anaknya dipinang masinis, suatu pekerjaan yg gagal diwujudkannya. Kunnaila kesudahannya menikah di jam, hari, minggu, bulan, tahun, & masa yg sebenarnya tak cukup baik berdasarkan perkiraan weton Jawa, namun Kunnaila tak menisbahkan nasib pada kalender & catatan orang kuno, maka rumah tangga tetap didirikan.

Oleh suaminya, Kunnaila dibawa ke kawasan terpencil di Banyumas, di tepi sungai Serayu. Masa romantisme itu berlalu cepat, berubah hari-hari yg keras perangainya. Kunnaila tinggal di rumah kecil yg asri, ada pekarangan, ayam-ayam tetangga berkeliaran, pula busuk kandang sapi. Kalau suaminya sedang bertugas mengemudikan kereta, Kunnaila suka main ke tempat tinggal tetangga, berkenalan akrab dgn lingkungan, ikut membicarakan isu kelas kampung, namun bila tidak, ia duduk melamun di depan tumbuhan kesayangannya, bernyanyi lagu yg sedang populer di radio. Sebenarnya Kunnaila ingin pula main ke stasiun Kroya, duduk menunggu senja seperti gadis-gadis belia dlm cerita pendek, atau makan pecel kecombrang, atau sekadar melambai pada suaminya yg memberangkatkan kereta sambil menarik tuas klakson semboyan 35, nguoooongngng, “Selamat jalan, sayang, jangan lupa oleh-oleh bawang merah orisinil Brebes….”

  Samsara Samsa | Cerpen Kiki Sulistyo

Namun semua itu tak mungkin dilakukannya. Kunnaila jarang ke stasiun, ia harus betah mendekam di rumah, tak ada memori perjalanan, bahkan Kunnaila lupa bila mereka sebetulnya belum berbulan madu. Hanya pernah sekali suaminya mengajaknya ke Kafe Mercusi, di tepi sungai Serayu, menelusuri jalan setapak di persawahan, menyeberangi jembatan kereta & jalan raya. Kunnaila berharap bahwa itulah ketika paling indah untuk ditulis di buku harian “Biografi Kunnaila” halaman pertama. Meski tanpa bulan madu, hidup Kunnaila bahagia & berkecukupan. Oleh sang suami, ia dibelikan handphone, majalah perempuan, & wewangian beraroma isu terkini semi. Kebahagiaan itu bertambah lengkap satu setengah tahun kemudian, Kunnaila hamil & melahirkan anak laki-laki.

Anaknya lahir dgn sangat sehat berkat bantuan dukun yg tinggal di seberang Serayu, tetapi dukun itu tidak mau dibayar dgn duit, ia hanya minta dibelikan satu tiket kereta administrator Purwojaya jurusan Cilacap-Jakarta, katanya mau jenguk anaknya yg sudah jadi pengusaha. Bayi Kunnaila lucu sekali parasnya, senantiasa nampak tersenyum, senantiasa terbayang bagi Kunnaila bahwa butiran senja bisa terpeleset di pipi bayinya. Kunnaila berangsur bahagia, hidupnya menuju sempurna. Apalagi beberapa tetangga bilang, anak itu kelak akan menjinjing keberuntungan, sebab anak itu jarang menangis.

Namun ternyata, ucapan itu tak menurut ramalan yg valid. Rotasi hidup tiba-tiba memutar Kunnaila seperti jarum jam yg bertabrakan. Suatu malam, pukul dua, Kunnaila mendapatkan telepon, katanya, kereta suaminya mengalami kecelakaan, ukiran. Menabrak apa? Pohon asam? Gardu listrik? Warung makan Tegal? Oh, ternyata menabrak kereta…. Apa? Kereta suaminya sedang berhenti, kemudian datang ditabrak kereta lain dr arah depan? Astaga. Kunnaila bersyukur, suaminya ternyata tak apa-apa, justru masinis kereta yg menabrak lebih tragis, dipanggil Yang Kuasa. Tetapi tampaknya tak semudah itu koreografi petaka melepaskan tengkuk Kunnaila. Setelah malam itu, suaminya belum pulang, ia galau, ingin datang ke lokasi peristiwa tapi tak tahu bagaimana. Akhirnya, sang suami pulang tiga hari kemudian, cuma untuk memberi kabar bahwa suaminya terancam jadi tersangka.

  Rumah Air | Cerpen Anton Kurnia

Setengah tahun kemudian, Kunnaila mulai hidup terlunta, anaknya memang berkembang sehat, tetapi suaminya tak ahli. Pekerjaannya sebagai masinis akibatnya berhenti lantaran ia dituduh bersalah di kasus goresan itu. Apakah orang yg membisu & ditabrak bisa dianggap bersalah? Tanya Kunnaila pada keadilan yg bahu-membahu tak pernah ada. Tetangga bilang, itu lantaran yg menabrak sudah tiada, jadi, segala kesalahan ditimpakan pada yg masih hidup.

Kunnaila ingin menjerit saja rasanya. Suaminya dipecat tanpa pesangon dr perusahaan, & dieksekusi penjara tujuh tahun.

Bayangkan, tujuh tahun! Kunnaila memang sudah umumditinggal melakukan pekerjaan oleh suaminya selama beberapa hari, namun jikalau tahun? Nanti dulu. Kunnaila tidak mempunyai kemampuan melakukan pekerjaan , anaknya makin besar saja, sudah nyaris berhenti menyusu. Kunnaila menjajal untuk menjadi buruh basuh, cuciannya tak higienis, Kunnaila menyapu di kompleks kelurahan, senantiasa saja ada sampah yg tertinggal. Kunnaila menjahit, semua kain bolong tak ada bentuknya. Kunnaila diam, ia lapar. Akhirnya ia ikut menjadi penambang pasir di tepi sungai Serayu, kadang pula pencari kerikil, pokoknya pekerjaan yg tak terlalu menuntut mutu, tetapi mengedepankan tenaga & kuantitas. Kunnaila jadi lebih sering bekerja, ia sudah bosan mendatangi suaminya di penjara, alasannya adalah setiap kunjungan pasti dimintai biaya oleh petugas Lapas.

“Dasar buaya,” begitu Kunnaila mengumpat dlm hatinya.

Maka jadilah ia hidup seolah tanpa siapa-siapa, kecuali anaknya yg senantiasa menangis bila lapar tiba. Walhasil, bukannya menemukan jalan keluar, Kunnaila kian menjerit dlm hati. Ia jadi suka sakit-sakitan, kena darah tinggi, kadang terjatuh tatkala memuat pasir, atau merasa sakit kepala tatkala sedang mempersiapkan masakan. Untung ada tetangga yg baik hati, Watono namanya, lelaki yg sudah lama duda, ditinggal pergi istrinya yg kena guna-guna. Watono sering memberi perhatian pada Kunnaila, kadang membantu menyapu pekarangan, menimba air di sumur, menggendong bayi Kunnaila, bahkan sesungguhnya ingin menggendong Kunnaila juga. Namun Watono telah berjanji bahwa dlm cerita pendek ini ia tak berniat macam-macam pada Kunnaila, ia tak mau memaksakan konflik & jalan kisah sesuai kehendaknya, ia cuma ingin dirinya timbul dlm dongeng pendek ini meski cuma satu paragraf.

  Tragedi Asap | Cerpen Gigih Suroso

Katanya, supaya bisa diceritakan kembali kelak pada anak & cucunya. Hidup memang senantiasa memberikan perpindahan tokoh yg kadang tak disangka . Namun meski ada Watono, Kunnaila tetap merasa tidak berguna. Orangtuanya di Kertasemaya nyaris tak pernah menjenguk. Sementara dlm benak Kunnaila, sosok suaminya cuma tinggal foto 3×4 pada buku nikah, tak ada figura terpajang di ruang depan, tak ada aroma di atas bantal, cuma kasur yg senyap, dgn bekas kotoran tikus & liur entah milik siapa.

Barang-barang mulai dijual, Kunnaila pula seringkali berhutang di warung Engkong Sarap, sementara pendapatan dr kuli batu & pasir tak pula memperlihatkan grafik pergantian signifikan. Kunnaila stres, namun anaknya tidak, cuma menangis kalau lapar kembali tiba. “Menangislah sepuasmu anakku, toh gue tak akan mengutukmu jadi kerikil….”

*****

Wanita itu berjulukan Kunnaila. Hidupnya meliuk mirip ilalang, penderitaannya setebal hujan. Malam ini, Kunnaila seolah mendapatkan jalan pintas untuk mengakhiri semuanya. Ia diberi dua kemasan racun tikus gratis dr warung Engkong Sarap. Satu untuk anaknya, satu untuk dirinya. Ia siapkan gelas & air. Hampir tak ada lagi yg bisa menghalangi Kunnaila dr rencananya ini, bahkan malaikat maut sudah memarkir kudanya di pekarangan, istirahat sebentar memandangi rembulan. Namun di ketika-ketika terakhir Kunnaila tersadar, ini tak menuntaskan duduk perkara, justru akan membuat matinya tak tenang, gentayangan mirip ingatan. Maka Kunnaila secepatnya membuang benda beracun itu jauh-jauh, kemudian ia gendong anaknya masuk kamar, ia timang-timang sarat kasih sayang, ia tidurkan dgn sabar.

Di kamar tak gemerlap itu, Kunnaila menaruh anaknya di kasur, ia usap kening anaknya yg berangsur terlelap dlm busana bayi bermotif bunga, “Besok kamu jadi orang mahir, anakku.” Begitu ia berharap. Dan setelah menghalau malam dr jendela, Kunnaila pun ikut merebahkan diri di samping anaknya, ia menghela napas, merasa lelah dgn semuanya, hingga tak terasa airmatanya terbit begitu saja…. (*)