close

Biografi Bubuk Jafar Al-Mansur, Khalifah Besar Dinasti Abbasiyah

Pemerintahan dinasti Abbasiyah merupakan kekhalifahan abad keemasan bagi umat Islam, karena dimasa itulah kebudayaan peradaban Islam dalam kurun-kurun dipuncak kejayaan. Luasnya wilayah pemerintahan membentang nyaris sepertiga dunia berada dalam naungan pemerintahan Islam. Pencapaian peradaban insan dikala itu sebab pemerintah sungguh mendukung upaya-upaya aneka macam macam penelitian para ilmuwan dalam menggali ilmu-ilmu wawasan yang baru.
Salah satu khalifah yang sungguh mendukung terhadap penggalian aneka macam bidang ilmu wawasan baik biasa maupun keagamaan dialah Abu Jafar Al Mansur, khalifah besar dinasti abbasiyah pendiri kota Baghdad. Siapa bantu-membantu dia? Simaklah penjelasannya berikut ini.
Berikut adalah bahasan wacana mengenal Abu Jafar Al Mansur, Khalifah besar Dinasti Abbasiyah selengkapnya.
Biografi Abu Jafar Al-Mansur
Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad Al-Mansur yakni Khalifah kedua Bani Abbasiyah, putera Muhammad bin Ali bin Abdullah ibn Abbas bin Abdul Muthalib, dilahirkan di Hamimah pada tahun 101 Hijriah. Ibunya bernama Salamahal-Barbariyah, yakni perempuan dari suku Barbar. Al Mansur yakni kerabat Ibrahim Al Imam dan Abul Abbas As Saffah. Al Mansur memiliki kepribadian besar lengan berkuasa, tegas, berani, pandai, dan otak cemerlang. 
Ia dinobatkan sebagai putera mahkota oleh kakaknya, Abul Abbas As-Saffah. Selanjutnya, saat As-Saffah meninggal, Al Mansur dilantik menjadi khalifah, dikala itu usianya 36 tahun. 
Al-Mansur yaitu seorang khalifah yang tegas, bijaksana, alim, berpikiran maju, baik kebijaksanaan, dan pemberani. Ia tampil dengan gagah berani dan terpelajar menuntaskan aneka macam duduk perkara yang tengah melanda pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Al Mansur juga sungguh menyayangi ilmu wawasan. Kecintaannya terhadap ilmu wawasan menjadi pilar bagi pengembangan peradaban Islam di masanya. 
Setelah melakukan pemerintahan selama 22 tahun lebih, pada tanggal 7 Zulhijjah tahun 158 Hijriah/775 Masehi, Al Mansur wafat dalam perjalanan ke Makkah untuk menunaikan ibadah Haji, di suatu daerah berjulukan “Bikru Maunah” dalam usia 57 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Makkah. 

Kebijakan Khalifah Abu Jafar Al-Mansur dalam Pemerintahan

Setelah dilantik menjadi khalifah pada 136 Hijriah/754 Masehi, Al Mansur membenahi manajemen pemerintahan dan kebijakanpolitik. Dia menyebabkan Wazir sebagai koordinator departemen. Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal dari Balk, Persia. Al Mansur juga membentuk lembaga protokoler negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara disamping merapikan angkatan bersenjata. 
Dia menunjuk Muhammad ibn Abd Al-Rahman selaku hakim pada forum kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak periode dinasti Bani Umayyah ditingkatkan peranannya untuk mengumpulkan seluruh isu dari daerah-kawasan, sehingga manajemen kenegaraan berlangsung dengan tanpa kendala sekaligus menjadi sentra berita khalifah untuk mengatur para gubernurnya 
Untuk memperluas jaringan politik, Al Mansur menaklukkan kembali daerah-daerah yang melepaskan diri, dan mengatur keselamatan di kawasan perbatasan. Di antara usaha-perjuangan tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, kawasan Cappadocia, dan Cicilia pada tahun 756-758 Masehi. Ke utara bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosporus. 
Selain itu, Al Mansur membangun relasi diplomatik dengan kawasan-daerah di luar jazirah Arabia. Dia menciptakan perjanjian tenang dengan kaisar Constantine V dan mengadakan genjatan senjata antara tahun 758-765 Masehi. Khalifah Al-Mansur juga mengadakan penyebaran dakwah Islam ke Byzantium dan sukses mengakibatkan kerajaan Bizantium membayar upeti tahunan terhadap Dinasti Abbasiyah. Juga menyelenggarakan kerjasama dengan Raja Pepin dari Prancis. 
Saat itu, kekuasaan Bani Umayyah II di Andalusia dipimpin oleh Abdurrahman Ad Dakhil. Al Mansur juga berhasil menaklukan daerah Afrika Utara itu pada tahun 144 Hijriah, meski kadang kota Kairawan silih berganti bertukar wali. Kadang di kuasai oleh bangsa Arab, di lain waktu jatuh ke tangan Barbar lagi. Baru pada tahun 155 Hijriah barulah kota itu dikuasai penuh oleh Daulat Abbasiyah. 

Mendirikan Kota Baghdad

Pada masa permulaan pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah, ialah di era Abul Abbas As Saffah, pusat pemerintahan Dinasti bani Abbasiyah di kota Anbar, suatu kota kuno di Persia sebelah Timur Sungai Eufrat. Istananya diberi nama Hasyimiyah, dinisbahkan terhadap sang kakek, Hasyim bin Abdi Manaf. 
Pada era Al Mansur, sentra pemerintahan dipindahkan lagi ke Kufah, dan mendirikan istana baru dengan nama Hasyimiyah II. Selanjutnya, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara Al Mansur mencari daerah strategis untuk menjadi ibu kota negara. Pilihan jatuh pada tempat yang kini dinamakan Baghdad, terletak di tepian sungai Tigris dan Eufrat. 
Sejak zaman Persia Kuno, kota ini telah menjadi sentra jual beli yang dikunjungi para saudagar dari banyak sekali penjuru dunia, termasuk para penjualdari Cina dan India. Ada juga cerita rakyat bahwa kawasan ini sebelumnya yaitu tempat peristirahatan Kisra Anusyirwan, Raja Persia yang termasyhur. Baghdad bermakna “taman keadilan”. Taman itu lenyap bareng hancurnya kerajaan Persia dani namanya tetap menjadi ingatan rakyat. 
Dalam membangun kota ini, khalifah mempekerjakan mahir bangunan yang terdiri dari arsitektur-arsitektur, tukang kerikil, tukang kayu, hebat lukis, ahli pahat, dan lain-lain yang didatangkan dari Syria, Mosul, Basrah, dan Kufah yang berjumlah sekitar 100.000 orang. Kota ini berupa bulat. Di sekelilingnya dibangun dinding tembok yang besar dan tinggi. Di sebelah luar dinding tembok, digali parit besar yang berfungsi selaku jalan masuk air sekaligus benteng. 
Ada empat buah pintu gerbang di seputar kota ini, ditawarkan untuk setiap orang yang ingin memasuki kota. Keempat pintu gerbang itu yakni Bab al Kufah, terletak di sebelah Barat Daya, Bab al Syam, terletak di Barat Laut, Bab al-Bashrah, di Tenggara, dan Bab al-Khurasan, di Timur Laut. Diantara masing-masing pintu gerbang ini, dibangun 28 menara selaku daerah pengawal negara bertugas mengawasi kondisi di luar. 
Di atas setiap pintu gerbang dibangun kawasan peristirahatan yang dihiasi dengan goresan-ukiran yang indah dan menggembirakan. Di tengah-tengah kota terletak istana khalifah dengan seni arsitektur Persia. Istana ini dikenal dengan Al Qashr al Zahabi, memiliki arti ‘istana emas’. Istana ini dilengkapi dengan bangunan masjid, kawasan pengawal istana, polisi, dan tempat tinggal putra-putri dan keluarga khalifah. 
Di sekitar istana dibangun pasar kawasan perbelanjaan. Jalan raya menghubungkan empat pintu gerbang. Sejak awal berdirinya, kota ini telah menjadi pusat peradaban dan kebangkitan ilmu wawasan dalam Islam. Itulah sebabnya, Philip K. Hitti, seorang peneliti Sejarah Arab, menyebut Baghdad selaku kota intelektual. Menurutnya, di antara kota-kota di dunia, Baghdad ialah profesor penduduk Islam. Bahkan dalan kisah 1001 malam, Baghdad menjadi kota cita-cita. 
Khalifah Al Mansur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, ialah Baghdad, tahun 762 Masehi. Baghdad, selanjutnya bukan cuma menjadi sentra pemerintahan yang strategis, sekaligus juga menjadi pusat kebudayaan dan peradaban. 

Pengembangan Ilmu Pengetahuan

Khalifah Al Mansur memperlihatkan minat dan perhatian yang besar terhadap pengembangan ilmu wawasan. Penyalinan literatur Iran dan Irak, Grik serta Siryani dikerjakan secara besar-besaran. Dia mendorong perjuangan-usaha menterjemahkan buku-buku wawasan dari kebudayaan aneh ke bahasa Arab, agar dikaji orang-orang Islam. 
Perguruan tinggi ketabiban di Jundishapur yang dibangun oleh Khosru Anushirwan (351-579 Masehi, Kaisar Persia) dihidupkan kembali dengan tenaga-tenaga pengajar dari tabib-tabib Grik dan Roma yang menjadi tawanan perang. 
Khalifah Al Mansur juga mendirikan sebuah perguruan tinggi tinggi selaku gudang wawasan diberi nama “Baitul Hikmah”. Usahanya itu telah menyebabkan kota Baghdad sebagai kiblat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Ia mengajak banyak ulama dan para mahir dari banyak sekali kawasan untuk tiba dan tinggal di Baghdad. 
Ia mendorong pembukuan ilmu agama, seperti fiqh, tafsir, tauhid, Hadits dan ilmu lain seperti bahasa dan ilmu sastra. Pada masanya lahir juga para pujangga, pengarang dan penterjemah yang ahli, tergolong Ibnu Muqaffak yang menterjemahkan buku Khalilah dan Dimnah dari bahasa Parsi.
Itulah bahasan wacana Biografi Abu Jafar Al-Mansur, khalifah besar Dinasti Abbasiyah pendiri kota baghdad yang sampai ketika ini masih harum namanya yang kita identifikasi lewat karya-karyanya.