Bingkisan yang Tertukar Cerpen Silmi Afkarina Hanum

Malam itu, selepas melakukan shalat Maghrib, Rifai memenuhi pangilan kepala sekolah yg memintanya tiba di rumah. Bunda memasak mi ayam. Sapaan bersahabat warga sekolah pada kepala sekolah yaitu Bunda. Iya. Untuk ukuran kepala sekolah, Bunda adalah sosok yg sungguh keibuan untuk bawahannya.

Biasanya Bunda tak menyebut guru-guru selaku bawahan, lebih sering menilai selaku anak. Sekolah ini memang baru berdiri, kurang lebih lima tahun lamanya. Bunda melakukan pekerjaan sejak sekolah itu berdiri, sedangkan Rifai baru dua tahun terakhir melakukan pekerjaan di sekolah swasta ini.

Awalnya Rifai hanya melakukan pekerjaan selaku kuli angkut di pasar. Gaji yg didapat tak seberapa, hanya sekitar Rp 50 ribu-Rp 80 ribu per harinya. Itu pun ia gunakan untuk makan sehari-hari & sisanya ia tabung. Rifai hidup berdikari sejak lulus SMA. Sebagai anak pertama, Rifai memilih merantau & mencari pekerjaan. Keluarganya dr kalangan menengah ke bawah, memiliki tiga adik yg masih kecil & semuanya duduk di bangku sekolah. Duduk di kursi sekolah artinya butuh biaya untuk sekolah. Karena itu, Rifai menetapkan untuk pergi merantau & mencari pekerjaan. Rifai meyakini, selagi bisa perjuangan insya Allah rezeki akan mengikuti.

Sejak hari itu, saban hari Rifai giat bekerja. Tidak ada rasa aib sedikit pun untuk menjadi kuli angkut. Karena kejujuran & kegigihannya dlm bekerja, Rifai diketahui baik oleh orang-orang di pasar. Ia pintar bergaul & sangat santun kepada yg bau tanah. Terlebih, ia dikenal sebagai jago ibadah. Saat azan berkumandang, Rifai selalu bergegas ke mushala untuk shalat. Bagi Rifai, shalat permulaan waktu yaitu kunci lancarnya rezeki.

Dari hari ke hari yg dilewati, ketika Bunda sedang berbelanja, tiba-tiba Bunda terpeleset & jatuh di depan kios sayuran. Memang jalanan hari itu di pasar sedang licin. Rifai yg melihat Bunda terjatuh pribadi menolongnya & membenahi keranjang belanjaan Bunda yg acak-acakan.

“Terima kasih, Nak, bisakah ananda bantu Bunda untuk naik bentor?” ujar Bunda sambil menahan sakit alasannya adalah terjatuh tadi.

Dari raut tampang Bunda, Rifai bisa menyaksikan usianya tak jauh dgn usia ibu kandungnya. Ia langsung teringat dgn sosok sang ibu yg ia rindukan. Walau baru beberapa bulan merantau, Rifai sudah sungguh rindu dgn ibunya.

“Baik, Bu, mari saya bantu carikan bentor,” kata Rifai sambil memegangi Bunda yg menopang di tangannya.

Sampai di bentor, Bunda menyodorkan lembaran uang pada Rifai, tetapi Rifai menolaknya.

“Kalau kau tak ingin mendapatkan duit ini, datanglah besok ke tempat tinggal Bunda. Rumah Bunda di samping Masjid Nurul Haq, cat warna hijau, Bunda tunggu ya, Nak,” ujar Bunda pada Rifai.

  5 Contoh Cerpen Hasan Al Banna

“Baik, Bu, insya Allah saya datang,” jawab Rifai.

Sejak itulah Bunda & Rifai saling mengenal.

Siang itu setelah insiden Bunda terjatuh di depan kios sayuran alasannya adalah jalannya licin & ada sedikit genangan air, Rifai menciptakan peringatan menggunakan papan kecil. Tujuannya agar orang-orang yg melewatinya lebih berhati-hati.

Rifai merasa sosok ibu yg ia tolong tadi adalah ibu kandungnya. Saat itu juga, Rifai bergegas mengirim pesan singkat pada ibunya melalui telepon seluler sederhana miliknya. Bertanya kabar & meminta doa restu, kemudian ia bekerja kembali. Bos kuli senantiasa senang dgn pekerjaan Rifai. Semangatnya gigih, tak pernah mengeluh, serta tekun beribadah.

Esok hari, selepas bekerja di pasar, Rifai pergi ke tempat tinggal Bunda. Benar saja, di rumah Bunda sudah ditawarkan mi ayam spesial untuk Rifai. Bunda merasa berutang akal sebab Rifai sudah menolong Bunda ketika terjatuh di pasar kemarin.

Di rumah, Bunda cuma tinggal bertiga dgn suami & anak bungsunya. Anak Bunda ada tiga, namun keduanya merantau, sekolah di provinsi tetangga. Anaknya seusia Rifai, namun perempuan. Tatkala menyaksikan Rifai, Bunda seperti menyaksikan anak sulungnya.

“Mari, Nak, dimakan. Makanan favorit bawah umur saya adalah mi ayam. Karena mereka sedang tak di sini, jadi saya panggil ananda untuk tiba. Makan yg banyak ya Nak, dihabiskan,” ujar Bunda pada Rifai.

Sepertinya Bunda sedang membayangkan bahwa anaknya di perantauan sedang makan mi ayam pula & berharap gampang-mudahan anaknya sama mirip Rifai, bahagia menolong orang. Sejak hari itu Rifai sering berkunjung ke rumah Bunda, walau cuma untuk berbincang-bincang atau sekedar ngopi dgn suami Bunda.

Enam bulan dilewati Rifai selaku kuli angkut di pasar. Saat tahun anutan gres, Bunda membutuhkan tenaga pendidik untuk di sekolah. Bunda terpikir untuk mengontak Rifai untuk bergabung di sekolah. Selama Bunda mengenal Rifai, Bunda tahu bakat yg dimiliki oleh Rifai. Lebih dr sebagai kuli angkut, Rifai bisa berguru menjadi guru di sekolah. Hari itu, Bunda pribadi mengontak Rifai untuk datang di rumah.

Seperti biasa, sepulang melakukan pekerjaan di pasar, Rifai pergi ke tempat tinggal Bunda. Bunda memberikan maksud untuk menimbulkan Rifai guru honorer di sekolah. Bunda percaya Rifai bisa menyesuaikan diri dgn sekolah walaupun latar belakangnya pernah menjadi kuli angkut. Rifai bahwasanya pintar mendesain, teliti kepada administrasi, & bahagia melakukan pekerjaan dgn tim. Kaprikornus, untuk menjadi guru honorer, Rifai tak menolak. Bukan alasannya gajinya yg lebih besar dibandingkan dengan kuli angkut, melainkan untuk mengasah kemampuan & keahlian yg ia miliki. Sejak tahun anutan gres itu, Rifai mulai melakukan pekerjaan di sekolah & berhenti sebagai kuli angkut.

  Kue Gandus Nenek | Cerpen Guntur Alam

Tahun pertama dilalui Rifai dgn bahagia hati. Ia mau mencar ilmu dr apa yg belum ia pelajari. Rifai sosok yg benar-benar. Pekerjaannya selalu tuntas. Warga sekolah menyukainya. Ia diakui berbakat & cepat menyesuaikan diri. Menjadi seorang guru honorer yakni sebuah hal baru untuk Rifai. Latar belakang keluarganya tak ada yg menjadi guru. Awalnya memang sedikit sukar untuk mengajar, namun usang-kelamaan Rifai sudah biasa. Didukung dgn dasar sekolah Islam, kegiatannya pun banyak diisi dgn acara agama & sosial. Rifai banyak belajar agama sejak kecil, menjadi seorang guru yaitu momen pengaplikasian ilmu agama yg dimilikinya.

Tibalah tahun kedua Rifai melakukan pekerjaan di sekolah swasta ini. Pekerjaan kian hari makin banyak. Rifai dipercaya memegang administrasi sekolah sekaligus guru kelas. Setiap hari Rifai pulang telat, lembur untuk menuntaskan pekerjaannya. Ia tak banyak mengeluh, hanya terkadang bergumam kecapekan. Rifai bersyukur dgn pengalaman hidup yg dilewatinya.

Rifai berencana untuk membuka jasa desain & fotokopi dr hasil pekerjaannya sebagai guru. Sebagian duit yg ia tabung akan ia gunakan untuk berbelanja peralatan & peralatan membuka jasa tersebut. Rifai memang sungguh berbakat soal mendesain. Karena itu, ia ingin menggunakan bakatnya untuk bekerja.

Sudah sering Bunda memanggil Rifai untuk datang di rumahnya. Malam itu Rifai makan dgn Bunda, ayah, & anak bungsunya. Obrolan-obrolan ringan antarmereka berempat senantiasa renyah diselingi canda tawa. Lagi-lagi, Bunda merindukan anak-anaknya di perantauan. Mereka pulang cuma setahun sekali. Sedangkan, Rifai sejak permulaan merantau belum pulang lagi ke kampung halaman. Rifai hanya mengirim surat atau pesan singkat, & beberapa lembar uang dr hasil pekerjaannya.

“Kamu tak niat pulang tahun ini, Nak?” tanya bunda pada Rifai.

“Tahun ini saya bermaksud pulang kampung Bunda, insya Allah,” jawab Rifai. “Saya sudah beli tiket pulang Bunda, kira-kira tanggal 30 Mei saya akan pulang,” lanjut Rifai.

“Kalau begitu sampaikan salam Bunda sekeluarga untuk keluargamu ya, Nak,” jawab Bunda.

“Iya, Mas Fai, bawakan buah tangan yg banyak untuk saya ya!” ujar anak bungsu Bunda dgn semangat.

“Insya Allah Mas bawakan satu dus sebesar kulkas. Mau?” jawab Rifai sambil tertawa. Sebelum pulang Bunda membekali Rifai mi ayam untuk dikonsumsi di kontrakan.

Selepas Rifai pulang, Bunda membereskan meja makan & memasukkan sisa masakan ke dlm kulkas. Bunda terkejut, kantong keresek hitam yg sebaiknya berisi cabe berubah isinya menjadi mi ayam. Bunda gres ingat bahwa di dapur tadi ada dua keresek hitam, satu berisi mi ayam untuk Rifai & satunya lagi berisi cabai hasil belanja dr pasar kemarin. Ah, ternyata bungkusan mi ayam yg dibawa Rifai yaitu cabai punya Bunda. Bunda pribadi menelepon Rifai supaya kembali ke rumahnya untuk menukar bungkusan tertukar itu.

  Kota yang Hendak Dihapuskan | Cerpen Rumadi

Di kontrakan, sebelum menerima telepon dr Bunda, Rifai terkejut dikala membuka keresek. Isinya cabe, bukan mi ayam. Di telepon, keduanya langsung tertawa menyadari bingkisan yg tertukar itu. Bisa-bisanya Bunda lupa, salah ambil keresek untuk Rifai.

Malam itu pula Rifai langsung kembali ke tempat tinggal Bunda mengirim keresek berisi cabai. Bunda meminta maaf.

Rifai menikmati ronde kedua makan mi ayam di kontrakan sendirian berteman angin malam. Sambil tersenyum ia mengingat. Dulu waktu Rifai kelas 3 SD, sepulang sekolah Rifai mengantar makan siang Bapaknya di sawah. Kadang sendiri kadang berdua dgn ibunya.

Suatu hari, Rifai mengantar makan siang Bapaknya di sawah bareng Ibu. Ibu sudah semangat sekali mempersiapkan sajian kuliner kesukaan Bapak, apalagi jika bukan sayur nangka. Ibu menyiapkannya di rantang kemudian dikemas dgn kain batik.

“Fai, ayo masakan bapak sudah siap. Tolong ambil rantangnya di atas meja makan, Ibu sedang mencari arit, mau dibawa ke sawah,” teriak Ibu dr belakang dapur rumah.

“Baik Bu, Fai tunggu di depan rumah,” jawab Rifai dr kamarnya sambil mengubah seragam sekolah.

Angin sepoi-sepoi, bunyi air mengalir, padi-padi yg tumbuh, suasana desa yg asri, jalan tapak yg dilalui terasa sungguh singkat & jadinya hingga di gubuk milik Bapak.

“Bapak, ayo makan siang dahulu!” kata Rifai sambil setengah berteriak. Bapaknya masih menggiling padi hasil panen hari ini. Bapak Rifai menepi & bersiap makan bareng anak & istrinya.

“Hahh, kok makanannya berubah.” Ekspresi kaget dr wajah ibunya tak bisa ditutupi, setengah teriak ibunya pribadi melirik ke arah Rifai. Rifai sontak melihat ke arah ibunya.

“Fai tak tahu Bu, Fai cuma mengambil bingkisan yg ada di meja, bekerjsama Fai resah, kenapa makanannya ringan sekali,” kata Rifai.

“Loh makanannya mana? Kok malah bawa toples kosong semua,” ujar Bapak. Ibu cuma tertawa sendiri, sedangkan Rifai & Bapaknya kebingungan.

“Ibu lupa kasih tahu, jikalau rantangnya masih di dapur belum ibu bawa ke meja makan. Ini toples yg gres dikirim Mbak Eni tadi pagi. Ibu lupa, betul-betul lupa,” ujar Ibu sambil setengah menertawakan dirinya. Rifai lekas pulang ke tempat tinggal untuk mengambil rantang makan siang & bergegas kembali ke sawah.

Rifai mengenang kenangan itu, mirip yg terjadi hari ini. “Ibu, Fai merindukan Ibu, hari ini kejadian bingkisan tertukar terjadi lagi,” gumamnya dlm hati sambil menikmati mi ayam & tersenyum geli.