Jelang pemilihan, banyak bibir berceceran. Di jalan, warung, pasar, kantor lurah, bahkan daerah ibadah. Bibir-bibir itu mengandung umpan & kerap menjerat kaum kere. Bibir-bibir penuh pesona yg menciptakan mereka tergila-ajaib untuk membicarakannya.
“Eh, jangan salah. Sepuh itu yg ampuh. Buktinya yg muda tak bisa berbuat apa-apa.”
“Jangan asal-asalan ngomong, Dir! Itu sama saja kau mencibir Lurah Mingun.”
“Nyatanya, kita pula cuma jadi tukang malen. Tukang ngglondong. Paling mahir jadi tukang lagan di saat hajatan.”
“Kau lupa lima tahun lalu Lurah Mingun akad apa pada kita?”
“Lupa, Dir. Terlalu banyak kesepakatan. Aku lupa menghafalnya.”
“Bukan dihafal. Tapi ditagih.”
“Ha…ha…ha…Memangnya ia utang apa sama kere mirip kita?”
“Loh, ia utang suara pada kita. Kita disuruh nyoblos gambarnya dgn komitmen akan diberi pekerjaan. ia bilang akan menggunakan dana desa untuk mempekerjakan para cowok supaya tetap tinggal di desa. Dana itu akan dialihkan untuk membuat peternakan sapi. Kita pula dijanjikan pembinaan untuk membuka industri rumah tangga. Membuat sale. Membuat keripik singkong. Membuat kerupuk jengkol. Membuat gula semut. Membuat…Ah! pokoknya banyak menciptakan.”
“Membual, barangkali,” kata Saryo sambil tertawa.
“Ah! Kau hanya bisa tertawa.”
“Hidup memang sering kali perlu ditertawakan, Dir. Supaya kita tak ajaib.”
Desa Cikapung memang pantas gembira punya dua cowok mirip Dirto & Saryo. Mereka berdua lulusan sekolah dasar. Usia Dirto & Saryo menjelang dua puluh lima tahun. Namun, mereka belum berpikir untuk berumah tangga mirip cowok sebayanya. Bahkan barangkali tak sebelum lepas dr jeratan kere. Nasib pula menjinjing mereka pada opsi yg sama: tetap tinggal di desa meski kerja seadanya. Dirto & Saryo enggan mengikuti jejak teman-temannya yg bekerja di kota mirip Bandung & Jakarta. Ada yg menjadi kuli bangunan. Ada yg menjadi penjaga toko. Ada pula orang yg sukses berjualan bubur ayam & bakso. Dirto & Saryo tetap menentukan berada di Cikapung. Mereka ingin meraup pengalaman & menjadi saksi setiap perubahan.
Termasuk dlm satu dekade kepemimpinan Lurah Mingun. Kala masih berumur lima belas tahun, Dirto & Naryo harus ikut penyeleksian lurah. Padahal, usia belum mengijinkan. Namun, Lurah Mingun pandai otak-atik gathuk. Umur Dirto & Naryo dituakan dlm kartu tanda penduduk. Tujuannya supaya mereka bisa ikut nyoblos di penyeleksian lurah.
Demi bunyi & akad yg menggiurkan. Dirto & Naryo tentu saja mengiyakan. Lurah Mingun mengincar keduanya alasannya dianggap punya keunggulan. Dirto & Naryo bisa pekerja apa saja. Membuat oyek, merumput, menanam padi, gepyok, gepuk, & yang lain. Yang terang, aneka kerja berangasan mampu dilaksanakan dgn tuntas. Tentu saja Lurah Mingun punya keinginan besar pada mereka. Sebab, meski potongan dr kaum kere, penduduk Desa Cikapung tetap mengelukan keduanya. Bahkan tidak sedikit gadis desa yg meletakkan hati. Namun, Dirto & Naryo tetap membujang. Mereka selalu berargumentasi, apa yg bisa diberikan kere? Adakah wanita yg bersedia jikalau sewaktu-waktu hanya makan nasi campur garam? Tapi, Lurah Mingun memang berakal. Dirto & Naryo selalu menjadi ikon setiap kampanyenya. Ia berjanji bahwa di bawah kepemimpinannya, yg jelata bakal naik martabatnya. Dirto & Naryo pastinya merasa berbunga-bunga. Meski waktu membeberkan berdusta. Mereka tetap saja kere.
Pada penyeleksian lurah kali ini, Eyang Marjo akan bersaing dgn Pamuji Laksana, sarjana kampus biru sekaligus anak kepala sekolah dasar di Desa Cikapung.
“Mentalitas Cikapung harus berganti!” Demikian kata Pamuji Laksana dikala memberi sambutan acara karang taruna.
Tepuk tangan membahana. Eyang Marjo cuma senyam-senyum sambil mengisap Sriwedari. Sementara Lurah Mingun menatap tajam Pamuji Laksana. Ia tampaknya kesengsem dgn kata: pergeseran, mentalitas, etos kerja, spiritualitas, kemiskinan sistemik, & budaya malu yg diucapkan cowok itu.
Hingga sebuah sore, Lurah Mingun tiba-tiba ingin memasuki Masjid Nurul Iman. Lama termenung, ia bergegas masuk masjid bercat kuning itu. Ia mencoba merenung, tetapi telinganya sedikit terganggu kala terdengar tawa dua lelaki. Mereka seperti sedang membahas sesuatu. Lurah Mingun kemudian mendekat ke pintu. Betapa terkejutnya ia menyaksikan dua pemuda yg pernah menjadi bagian penting kampanyenya.
“Pak Lurah?” tanya salah seorang dgn wajah heran.
“Iya, bagaimana kabar kalian?” tanya Lurah Mingun gugup.
“Baik, Pak,” jawab Dirto.
“Tapi masih kere,” sela Naryo sambil tertawa.
“Tumben Pak Lurah ke masjid? Biasanya berjamaah di kantor lurah,” lanjut Dirto sambil melirik Naryo.
“Kantor lurah sedang ramai. Nanti malam Eyang Marjo akan berpidato. Ini kampanye terakhir jelang pemilihan lurah. Kalian mesti tiba. Kalaupun beda opsi, yg penting saling meramaikan. Eyang Marjo sesepuh kita. Mudah-mudahan akan menjinjing Cikapung lebih mujur.”
Dirto & Naryo saling pandang. Mata mereka kemudian beralih pada Lurah Mingun.
“Beruntung atau makin buntung, Pak?” tanya Dirto tiba-tiba.
Lurah Mingun terenyak. Matanya seketika memerah. Namun, ia segera mengalihkan pembicaraan.
“Kalian pemuda yg hebat, tak termakan untuk pergi ke kota. Itu artinya, kalian memang pejuang tanah kelahiran. Saat ini kalian boleh bilang kere. Tapi, gue percaya perjuangan membangun desa tak akan sia-sia. Aku yg lebih tahu. Bagaimanapun, keringat kalian pula menetes di masjid ini. Kelak kalian akan menjadi manusia yg dihormati & dibanggakan.”
“Pak!” sela Dirto.
“Ya,” jawab Lurah Mingun.
“Saya sangat mengagumi ucapan Pak Lurah. Jika sebuah ketika gue berkampanye, gue ingin meminjamnya. Praktis-mudahan ucapan itu sampai di alamat yg sempurna. Praktis-mudahan tak berceceran. Sayang, Pak, jikalau kalimat indah justru menjadi sampah,” kata Dirto dgn wajah masam.
“Dir!” bentak Naryo.
“Tidak apa-apa. Anak muda memang mesti berani. Pantang menjadi pecundang,” kata Lurah Mingun dgn hening meski hatinya bagai dihantam bara.
Malam Minggu kali ini terasa gegap gempita. Lampu-lampu jalan menyala terang. Sudut-sudut gang Desa Cikapung tak lagi temaram. Khusus malam Minggu kali ini, mesti ada cahaya di mana-mana. Terutama sekitar kantor lurah. Malam itu kantor lurah disulap bagai suasana hajatan. Deretan bangku berbalut kain hijau muda mengelilingi podium. Di atas meja terhidang kuliner, minuman, & rokok. Para pemuda berlalu-lalang merencanakan segala kebutuhan. Lima lelaki berseragam hansip pula berjaga-jaga sambil sesekali meneriaki belum dewasa kecil yg mencoba menaiki kursi.
Para pedagang terlihat sibuk melayani pembeli. Sejak pagi, mereka telah mendirikan tenda sebagai tempat memasarkan kuliner. Ada yg berjualan pecel, karedok, bakso, soto, mi ayam, cilok, & aneka penganan . Pedagang mainan belum dewasa pula turut meramaikan. Mereka berkeliling sambil menenteng balon, kendaraan beroda empat-mobilan, & dekorasi rambut anak perempuan.
Hampir semua penduduk tiba ke kantor lurah. Mereka ingin menyaksikan Eyang Marjo berpidato. Selama sepuluh tahun, Eyang Marjo hanya dikenal selaku penasihat Lurah Mingun. Laki-laki sepuh itu yg memberi usulan, proposal, & bahkan larangan. Penduduk menganggap, Eyang Marjo itulah bekerjsama lurah Desa Cikapung. Lurah Mingun cuma numpang pulung.
“Mirip lima tahun kemudian. Saat Lurah Mingun kembali mencalonkan diri,’’ kata Dirto sambil mengalungkan sarungnya.
“Kau berharap Eyang Marjo yg terpilih tahun ini?” tanya Naryo sambil menyulut Gudang Garam.
“Ini opsi yg sulit. Aku tahu luar dlm Eyang Marjo. Tapi sayang, gue tak kenal Pamuji Laksana.”
“Itu artinya kamu bakal golput?”
“Tidak juga. Memilih itu penting.”
“Jadi, kau mau pilih yg sepuh atau yg muda?”
“Apa pun pilihannya, kita tetap saja kere.”
Naryo terkekeh sambil mengisap rokok. Matanya beralih pada Dirto sambil mengatakan, “Kere pula bisa bahagia.” (***)