Berlindung di Bawah Payung yang Robek | Cerpen Ahmadun Yosi Herfanda


GERIMIS menderas. Bu Lurah mengernyitkan dahi di bawah payung yg robek terkena sabetan golok. Di matanya gubuk-gubuk liar yg menjadi “pasar tiban” itu berderet makin panjang di tepi jalan masuk ke kompleks perumahan & jalur utama yg membentuk simpang tiga di ujung jalan itu.

Banyak pula penjual sayur di gubuk-gubuk liar itu yg tak memakai masker, padahal kelurahannya masih berstatus zona merah. Vaksinasi gres menjangkau 30 persen warga. “Akar persoalannya ya gubuk-gubuk liar itu. Kalau tak ada gubuk liar, warga pasti lebih mudah ditertibkan,” pikir Bu Lurah.

Bu Lurah memijat-mijat kepalanya, makin sakit kepala menimbang-nimbang masalah gubuk-gubuk liar yg tak kunjung selesai. Gara-gara terlalu bersemangat hendak menertibkannya, suatu golok seorang pencetus ormas menghantam payungnya.

“Untung tak mengenai kepala saya,” kata Bu Lurah.

“Preman itu memang ngawur. Golok tajam disabetkan ke kepala Bu Lurah,” Sekretaris Desa menimpali.

Seorang Babinsa diam terpaku menyimak percakapan itu. Bu Lurah sedikit lega, curhat kejengkelannya ada yg memperhatikan pas pada saat diperlukan. Ia melirik ke atas memeriksa payungnya. Gerimis masuk ke celah robekan payungnya, menimpa rok bawah busana dinasnya. Ia menawan rok bawahnya setinggi lutut, & memutar payungnya sehingga celah robekan itu berada di belakang kepalanya.

“Sekarang sementara sudah aman, Bu. Tersangkanya sudah kita tangkap. Aparat pula sudah menyegel kantornya,” tutur Babinsa.

“Syukurlah…. Tapi, kita mesti tetap berhati-hati,” timpal Bu Lurah.

“Tentu saja, Bu. Saya & aparat keselamatan akan terus memantau,” jawab Babinsa.

Mulanya Bu Lurah cuma bersitegang dgn para penggagas ormas yg menguasai jalan & menjadi backing warung-warung liar itu. Konon pemilik warung membayar sewa bulanan pada ormas tersebut. Untung saja hari sedang gerimis, sehingga tatkala seorang pencetus ormas mengayunkan golok sempat ia tangkis dgn payung. Kini pelopor ormas itu sudah diringkus oleh abdnegara keselamatan & kantornya yg pula berada di gugusan bangunan liar itu sudah disegel polisi.

*****

Warga kompleks perumahan menuntut Bu Lurah supaya secepatnya menertibkan gubuk-gubuk liar itu, atau memindahkannya ke lahan kosong lima ratus meter di seberang jalan. Warga ingin Bu Lurah memindahkan kekacauan di simpang tiga pojok jalan itu. Lahan kosong yg terletak lima ratus meter di luar kompleks perumahan adalah daerah yg paling mungkin untuk menampung para pedagang di “pasar tiban” itu. Tapi, tak semua pedagang bersedia pindah dgn aneka macam argumentasi.

  Sabda Tuhan di Kepala Orang Gila | Cerpen Ken Hanggara

Mulanya ujung jalan itu higienis & rapi, tak pernah terlihat macet. Mulanya hanya ada pedagang es cendol dgn gerobak dorong di ujung jalan. Melihat dagangannya laris, kemudian penjual kebab mengikutinya, kemudian disertai pedagang martabak, & gorengan. Entah bagaimana ceritanya, di simpang tiga itu kemudian dibangun warung-warung liar, makin lama makin banyak, & salah satunya berbendera ormas. Tatkala ketua RW perumahan menanyakan pada ketua ormas, jawabnya, “Sudah izin Bu Lurah.”

Bu Lurah merasa namanya dicatut, dimanfaatkan dengan-cara tak bertanggung jawab. Tetapi, ia kesulitan untuk menertibkan pasar tiban yg telanjur ramai. Pasar tiban itu makin padat & semrawut, & pada masa pandemi ini banyak yg tak mematuhi protokol kesehatan. Tidak cuma warga perumahan yg terhambat tiap akan keluar kompleks, tapi kendaraan-kendaraan yg melintasi jalur utama pula terganggu oleh banyaknya konsumen pasar & motor yg parkir sembarang pilih di depan warung-warung itu, sehingga simpang tiga itu sering macet total dr semua arah.

Pengurus RT & RW pula sering berkelahi dgn tukang parkir sebab sering menertibkan motor & kendaraan beroda empat asal pilih di jalan masuk ke kompleks itu.

“Pokoknya pasar itu mesti segera dipindah, Bu Lurah,” kata Pak RT, seorang pensiunan tantara, pada suatu rapat di kantor kelurahan.

“Tiap hujan deras sampah-sampah pasar pula pada masuk kompleks. Kotor & amis,” tambah Pak RW. “Saya kira tepat undangan biar pasar itu segera dipindah.”

Kemudian disepakati pasar tiban itu akan dipindah ke tanah kosong di seberang jalan. Tetapi, tampaknya tak praktis. Sampai berbulan-bulan, beberapa tahun, pasar tiban itu tak kunjung dipindah, & simpang tiga itu tetap macet & semrawut. Ada tarik-ulur kepentingan antara warga dgn ormas & pejabat kecamatan yg tak mudah diputuskan.

  Mata, Air, Hujan | Cerpen Sungging Raga

Letak kompleks perumahan itu memang agak masuk ke dalam, sekitar 100 meter. Sebelum pos satpam, di sisi kanan & kiri jalan, ada tanah kosong selebar sekitar dua meter yg semula akan dijadikan taman. Tapi, sebelum pembangunan kompleks selesai 100 persen, perusahaan pengembangnya gulung tikar alasannya krisis moneter 1998, & direkturnya meninggal karena stres berat. Lahan-lahan kompleks yg masih kosong, yg terkesan tak bertuan, jadinya dijarah & dikuasai ormas. Pemda setempat kemudian memang bertindak, tetapi lahan yg terlanjur dikuasai ormas menjadi persoalan yg tak kunjung selesai.

Begitu gubuk-gubuk liar itu dibangun, lahan kosong di kanan-kiri jalan desa yg menjadi kanal utama simpang tiga itu menjadi rebutan para pedagang liar. Tahu banyak pedagang liar berebut lahan, lagi-lagi ormas itu mempergunakan kesempatan dgn menguasai & memberlakukan “pajak gelap” pada para pedagang. Pemerintah desa yg lambat bertindak hanya gigit jari tahu “pajak” itu masuk ke kantong ormas, & Bu Lurah mesti berantem dgn penggagas ormas untuk menertibkan gubuk-gubuk liar itu.

Bu Lurah melipat payung robeknya, alasannya adalah hujan sudah reda & matahari menyembul dr celah awan hitam. Dengan wajah keruh, ia memperhatikan gubuk-gubung liar yg berderet di kanan-kiri jalan itu. Selesai menyegel kantor ormas, & mengamankan “satria bergolok”, polisi pun meninggalkan Bu Lurah sendirian. Sekretaris Desa & Babinsa bersiap minum teh hangat di warung kecil ujung simpang tiga. Tiba-tiba sesosok laki-laki berpakaian hitam-hitam mendekati Bu Lurah. Di pinggangnya terselip sebilah golok. Bu Lurah agak curiga.

“Bu Lurah, apa pedagang itu jadi dipindah?” tanya lelaki bergolok itu.

“Anda siapa?” Bu Lurah balik bertanya.

“Gue Kodari, ketua ormas cabang. Masak kagak kenal gue,” jawab lelaki bergolok itu agak ketus sambil mengelus-elus gagang goloknya yg terselip di pinggang.

“Oh, Pak Kodari. Maaf…. Ya, jadi dipindah ke lahan kosong itu. Sudah disetujui Pak Camat,” jawab Bu Lurah, sambil menenangkan diri.

  Kampung Pelarian | Cerpen Aris Kurniawan

“Gue tadi ketemu Pak Camat. Katanya masih dipertimbangkan. Karena, di lahan kosong itu akan dibangun kompleks ruko.”

“Betul… akan disatukan dgn kompleks ruko itu. Kaprikornus nanti ada pasarnya.”

“Tapi kan masih lama, Bu Lurah. Itu pula baru rencana. Belum tentu jadi. Biarkan mereka berjualan di sini dulu hingga pasarnya jadi.”

“Tidak mampu. Di sini macet. Warga kompleks pada complain ke saya.”

“Warga kompleks yg mana? Paling tiga orang itu, kan?” kata Kodari sambil menunjuk tiga sosok yg berdiri di depan pos satpam

“Dia pengelola RT & RW, mewakili warga…. Nanti pasarnya dipindah dahulu ke sana. Bangun rukonya menyusul belakangan,” terang Bu Lurah.

Kodari tak menanggapi. Hanya petentang-petenteng sambil memegang-megang gagang goloknya, kemudian melangkah ke tengah jalan mirip memamerkan kegagahannya. Tiba-tiba hujan deras datang, mirip dituang dr langit, mengguyur Kodari. Mau tidak mau ia lari mengelak . Tapi, air hujan sudah terlanjur membasahi tubuhnya. Sesaat ia memandang markasnya yg sudah disegel polisi. Mungkin mau masuk. Tetapi, menyadari kantornya sudah disegel & diberi garis kuning, kemudian ia berlari ke jalan utama & menghilang.

Hujan terus menderas. Dengan tubuh setengah lembap, & tampang muram, Bu Lurah membuka kembali payungnya & ia berlindung di bawah payung yg robek terkena sabetan golok itu. Dalam guyuran hujan gubuk-gubuk liar itu terlihat berderet membisu, seakan menagih akad Bu Lurah untuk menertibkannya. Orang-orang yg berteduh di emperan gubuk-gubuk liar itu tampak seperti menggigil kedinginan & lupa atau tak tahu persoalan yg sedang terjadi.

“Haruskah pemerintah kalah dgn ormas?” gumam Bu Lurah. “Negara kok mau diatur oleh preman. Yang bener aja!”

Dengan berlindung di bawah payung yg robek oleh sabetan golok, Bu Lurah melangkah kembali ke kantornya, meninggalkan Sekretaris Desa & Babinsa yg masih asyik menikmati teh hangat sambil sesekali mengepulkan asap rokok bercampur cuilan air hujan. (*)