SEBUAH pengumuman datang dr loudspeaker masjid mengabarkan seseorang gres saja meninggal dunia. Aku mengetahui nama orang itu, tetapi tak kenal sama sekali. Tatkala mendengar berita murung itu, gue menetapkan untuk tak datang di acara tahlilan yg akan digelar di depan rumahku, rumah salah seorang anak almarhum.
Aku merasa tak perlu tiba alasannya selain gue tak mengenalnya, orang itu pula memang tak tinggal di kompleks ini. Namun, istriku memarahiku & memaksaku untuk datang.
“Jangan begitu, Bang. Tidak lezat kalau tetangga tahu Abang di rumah tapi tak tiba,” kata istriku.
“Aku tak merayakan kematian,” kataku.
Sebenarnya, bukan alasannya adalah kepercayaanku gue menetapkan tak datang. Itu hanya alasanku. Aku tidak mau tiba alasannya adalah gue tak suka melaksanakan hal-hal merepotkan mirip berjumpa para tetangga yg nyaris tak pernah bertegur sapa sebelumnya. Aku pula tak suka membahas hal-hal merepotkan selepas mengaji dgn orang-orang yg pada umumnya cuma kenal muka. Apalagi, dikala ini, kerjaanku sedang menumpuk & gue sedang dikejar deadline.
“Tahlilan bukan merayakan orang meninggal, tetapi mendoakannya,” tegas istriku. “Abang mau kalau Abang meninggal tak ada yg mendoakan?”
“Aku justru mau bilang ini ke kamu. Nanti, kalau gue meninggal lebih dahulu, ananda tak perlu melaksanakan program-program begini. Kalau ananda punya duit, masukkan saja uangnya ke pasar modal buat ongkos pendidikan bawah umur. Itu jauh lebih memiliki kegunaan.”
Wajah istriku berubah masam. Aku tahu, bila sudah mirip ini sebaiknya gue tak melanjutkan perdebatan. Ia sudah kukuh dgn pendiriannya, gue pun begitu. Melanjutkan perdebatan cuma akan berujung pada perang dingin & hal itu lagi-lagi sangat merepotkan.
Sebenarnya, ada satu hal lagi yg membuatku malas datang di acara tahlilan yg digelar tetanggaku ini, yakni pandemi yg makin tak terkendali. Meningkatnya data grafik orang-orang terinfeksi Covid-19 tak pula menciptakan tetangga-tetanggaku lebih peduli & mawas diri, seolah ajal puluhan ribu itu bukan apa-apa. Banyak dr mereka pasti datang tak mengenakan masker.
Rupanya, gue benar. Hampir tak ada orang yg memakai masker. Sempat gue berpikir untuk pulang, tetapi mereka pasti sudah telanjur melihatku. Jadi, gue terpaksa masuk.
Begitu masuk, gue pribadi mengambil posisi duduk paling pojok, duduk di sebelah orang yg pernah bersinggungan denganku di masa lalu. Pakde Pur namanya. Laki-laki ini dulu pernah membuka jasa antar-jemput untuk anak-anak sekolah. Aku adalah salah satu anak sekolah yg pernah dikirim olehnya.
Tapi, ia tampaknya tak mengenaliku. Aku sempat berpikir mungkin sebab masker, namun begitu gue membuka masker untuk menghirup udara segar alasannya ruangan ini sungguh pengap, Pakde Pur tetap saja tak mengenaliku. Aku yg tadi hendak menyapanya, mengurungkan niat. Apa mungkin alasannya adalah penampilanku yg memang sudah banyak berganti?
Orang-orang yg hadir sepertinya pula tak ada yg mengenaliku. Aku memang sudah usang meninggalkan kompleks ini. Lebih sepuluh tahun hingga gue kembali lagi ke kompleks ini. Mungkin itu yg menciptakan mereka tak lagi mengenaliku. Atau, memang dr dahulu mereka tak pernah mengenalku sama sekali? Pertanyaan-pertanyaan itu kemudian menyemak-belukar di kepalaku.
Kuperhatikan pula orang-orang yg datang, pada umumnya yakni mereka yg sudah sepuh usia. Mereka ialah orang bau tanah dr sahabat-sahabat kecilku dahulu. Entah di mana sobat-temanku yg dulu. Memang telah banyak dr mereka yg meninggalkan kompleks ini, namun beberapa kutahu masih tinggal di sini. Mengapa tak satu pun dr mereka tiba? Aku tak tahu.
Atau, mungkin tahlilan memang seperti ini, cuma dihadiri oleh mereka yg sedang menunggu tutup usia? Aku tak begitu tahu alasannya gue nyaris tak pernah tiba di tahlilan. Seandainya saja gue tak menikah dgn istriku, sifat cuekku niscaya makin menjadi-jadi. Aku mungkin akan mencetak rekor, hingga mati tak pernah mengunjungi tahlilan.
Kuperhatikan wajah Pakde Pur. Wajahnya tak terlampau banyak berganti dr terakhir gue bertemu dengannya tatkala SMP dahulu. Padahal, sudah 15 tahun berlalu sejak masa itu. Tidak ada yg berganti darinya selain guratan usia senja yg bertambah pada parasnya. Dan, ada sesuatu yg mempesona perhatianku; bibirnya terkesan agak mencong ke kiri. Sepertinya gres-baru ini ia terserang strok.
Aku hendak menyapanya, bertanya kabar, & mungkin membahas dongeng-cerita kemudian. Orang-orang selalu suka membahas kisah lalu, cerita kehidupan mereka sebagai insan yg bersinggunggan dgn manusia lainnya. Rasanya, tak ada orang yg tak suka melakukannya. Apalagi, orang-orang tua, mereka sudah tak pernah lagi berpikir tentang masa depan, toh tak ada lagi selain akhir hayat yg menunggu mereka di depan.
“Pak Pur, ayo ditambah kopinya,” kata tuan tumah yg akrab disapa Abah Mad. Ia yaitu menantu dr almarhum.
“Tidak usah, Bah. Tidak ada sahabat begadang di rumah,” balas Pakde Pur. Raut wajahnya terlihat sedih tatkala mengatakannya.
“Loh dicari sih teman begadangnya,” komentar Pak Sudar. Bapak-bapak yg lain terkekeh mendengarnya, seolah apa yg dibilang Pak Sudar tadi yakni suatu lelucon yg lucu.
Pakde Pur tersenyum kecut. Aku tak memahami arti senyuman itu. Tatkala gue hendak memberanikan diri menyapanya, mataku bersitatap dgn matanya, tetapi ia terlihat tak bereaksi. Matanya seolah memandang kosong ke ruang hampa. Ekor matanya tertuju padaku, tetapi terlihat betul pikirannya tak di sini. Kusapukan tatapan ke kiri & kanan, orang-orang sibuk bercakap dgn orang di sebelahnya. Tidak seorang pun menyapa atau mengajak gue bicara. Hal itu membuatku merasa terasing di negeri antah berantah.
Aku mulai bosan mendengar percakapan yg tak menawan untuk didengar. Kutengok telepon pintarku. Sialan, tak ada paket data. Aku lupa, kalau di rumah gue senantiasa pakai Wi-Fi sehingga tak pernah mengisi paket data.
Kemudian, tatapanku kembali menuju pada Pakde Pur yg masih memandang kosong. Tatkala gue menatap matanya dalam-dalam, gue dibawa pada masa tatkala Sekolah Menengah Pertama dulu. Matanya serupa pintu waktu yg membelahku ke masa lalu. Aku ingat, dahulu setiap pagi, sebelum jam tujuh, ia sudah berkeliling mengitari kompleks menjemput anak-anak yg menjadi langganannya. Kemudian, terakhir ia akan berhenti di depan rumahku sekitar pukul 07.15. Aku masih mengingatnya dgn terang seolah-olah kejadian itu gres terjadi kemarin.
Aku mengaguminya alasannya senantiasa tiba sempurna waktu. Selain itu, ia yakni satu dr sedikit PNS yg tak malas. Kebanyakan PNS yg gue kenal tak begitu. Mereka hanya menghabiskan jam kerja kantor & pulang tanpa ada ketertarikan membuka peluang lain dlm hidup, seperti pencapaian tertingginya selaku insan, ya jadi PNS itu.
Di dikala pada umumnya orang berpuas diri dgn apa yg mereka punyai, Pakde Pur tak begitu. Ia tak berhenti di sana. Pakde Pur membuka layanan jasa antar-jemput hingga sukses memiliki tiga mobil & mempekerjakan dua orang sopir.
“Pak Pur sini gabung. Jangan mojok sendirian di situ. Kayak tak disapa saja.” Kudengar suara seseorang mengundang namanya.
“Iya sini, Pak,” lanjut seorang lainnya.
Aku terkesiap mendengarnya. Bukannya ada gue di sebelahnya? Ternyata bukan cuma tak dikenal, gue pula tak dianggap. Kemudian, kudengar bunyi pengumuman mengudara dr loudspeaker masjid, dibarengi oleh sebuah isu sedih. Lalu, kurasa sesuatu tercerabut dr diriku tatkala mendengar namaku disebut. Kemudian, kudengar kasak-kusuk suara ribut orang-orang berkomentar.
“Innallillahi… siapa lagi yg meninggal, kok bisa serentak gini?”
“Tidak tahu, saya tak kenal.”
“Dia meninggal kenapa?” Pakde Pur yg tadi diam saja kemudian bereaksi.
“Katanya serangan jantung. Meninggal di meja kerjanya,” balas Bapak berkopiah haji. “Pak Pur kenal ia?”
Pikiranku terbang mempertimbangkan anak & istriku. Benarkah gue sudah meninggal?
“Duh, kasihan ya anak-anaknya masih kecil.”
“Iya, istrinya masih muda pula, masih elok,” komentar Pak Sudar yg pribadi menoleh menatap Pakde Pur. Seketika, para tamu menoleh ke arah Pakde Pur. Rahangku mengeras & pipiku terasa panas. Tanpa sadar, gue mengepalkan tangan.
“Lho, Mas Alif kok melongo, ayo disantap kuenya,” kata Abah Mad ramah kepadaku.
Aku kaget bukan main. Apakah gue gres saja berhalusinasi atau cuma salah dengar? Kemudian, tangan Pakde Pur memegang pundakku. “Ayo dimakan kuenya, Mas. Diminum pula kopinya.” (*)