Seperempat malam pertama menjadi waktu paling syahdu bagiku. Juga bagi sobat-sobat sebayaku. Tiga dekade yg lalu. Sebelum ada gadget, sebelum ada HP, bahkan waktu itu listrik belum masuk ke desaku.
Seperempat jam sebelum matahari terbenam, saya sudah siap dgn sarung & kopyah. Tentu saja berbaju, meskipun tak selalu baju koko.
Sebelum adzan terdengar, saya & teman-sobat sudah berlangsung menuju langgar, perumpamaan untuk mushola di desa kami. Kadang dgn mendekap kitab. Lebih sering melenggang begitu saja alasannya adalah kitab kami tinggal di sabung.
Usai jamaah Maghrib, kami mencar ilmu mengeja a-ba-ta hingga membaca Al Alquran dengan-cara talaqqi. Dengan kitab andalan Turutan, yg belakangan saya tahu istilah resminya yaitu Baghdadiyah. Metode klasik sebelum populernya Qiro’ati, Iqro’, Tilawati, Ummi & sebagainya.
Setelah tanpa gangguan juz 30 dgn Turutan, barulah kami boleh mengaji langsung dgn mushaf. Tetap dengan-cara talaqqi pada Ustadz. Hingga khatam alias akhir.
Mengaji di adu, kami tak hanya belajar Al Qur’an. Sejak usia SD kami sudah diajari fiqih dgn kitab Sulam Safinah. Tauhid dgn kitab Aqidatul Awwam. Tajwid dgn Syiaf’ul Jinan. Adab dgn Alala Tanalul ‘Ilma. Sepekan sekali sholawatan.
Beberapa tahun kemudian berdiri Madrasah Diniyah. Selain mengaji di sabung pada malam hari, kami pula mengaji sore hari. Nahwu & Sharaf mulai diajarkan di sini.
Saya dilahirkan di keluarga NU. Pendidikan formal memang selalu sekolah-sekolah negeri. Dan kita semua tahu, Pendidikan Agama Islam di sekolah negeri tak banyak. Namun mujur, Ustadz-Ustadz & Kyai NU mendidik kami sejak dini.
Di kemudian hari saya berguru dr banyak ormas & gerakan Islam. Saat Sekolah Menengah kejuruan, selain berguru dr Ustadz NU, saya mulai berguru Tafsir Al Azhar. Semasa kuliah mengikuti pelatihan di LDK, mencar ilmu di Ma’had Hidayatullah, Ma’had Ukhuwah Islamiyah, sampai kemudian kuliah di Muhammadiyah.
Saya berutang kecerdikan pada semua guru, ustadz, Kyai & ulama dr semua organisasi Islam yg sudah mendidik saya. Dan NU ialah guru pertama yg menanamkan & membentuk kecintaan pada Islam.
Dari NU saya berguru keikhlasan & ketawadhu’an. Mulai dr guru pertama, Ustadz Achmadi yg kami panggil Paklek Madi. Mengajar saban hari lintas bidang studi tanpa mengharap gaji. Hanya mengejar ridha Ilahi. Keinginannya hanya semoga belum dewasa desa mampu mengaji, beriman & berbudi. Saya yakin, ada jutaan guru seperti Ustadz Achmadi. Mendidik umat tanpa pamrih. Di banyak sekali penjuru negeri, lintas generasi.
Dari NU saya berguru perjuangan & kebangsaan. Bukankah dgn resolusi jihad NU, kaum muslimin berdiri menjaga kemerdekaan. Mengusir Inggris & tentara sekutu dgn takbir yg lantang. Bukankah dgn semangat yg sama, NU bersama seluruh umat Islam kembali menyelamatkan negeri dgn menumbangkan PKI.
Dari NU saya pula berguru menyayangi. Mencintai negeri ini. Mencintai umat ini. Mencintai keluarga & anak istri. Apalagi istri saya adalah seorang santriwati. Alumni pesantren NU, murid kesayangan Bu Nyai.
Selamat Hari Lahir Nahdlatul Ulama (NU) ke-95. Semoga istiqomah menyebarkan Aswaja & meneguhkan paham komitmen kebangsaan. []
Penulis: Muchlisin BK
Ketua Bidang Kaderisasi DPD PKS Kabupaten Gresik