Kemunculan istilah hukum etika telah penulis singgung pada goresan pena Sejarah Berlakunya Hukum Adat. Meskipun Prof. Hilman Hadikusuma mengganggap hanya selaku perumpamaan teknis dalam hal penamaan,tetap perlu dijelaskan untuk memudahkan pengertian perihal istilah hukum adat ini. Mengenai definisi dan pengertian perihal perumpamaan hukum dapat dibaca ditulisan Definisi Hukum Menurut Para Ahli Hukum. Dalam tulisan ini akan membahas eksklusif mengenai definisi etika dan hukum adab.
Sama dengan kata “aturan”[1], Kata “akhlak” berasal dari bahasa arab yang mempunyai arti kebiasaan. penggunaan kata “adat” tidak terlepas dari perjalanan sejarah Islam masuk ke kepulauan Nusantara. Islam masuk ke Nusantara juga membawa perangkat pedoman hidup dan peraturan (Al Qur’an, Hadits dan Fiqh : aturan Islam, red.) sedangkan di Nusantara telah ada aturan di penduduk sebelumnya, maka untuk menyebut hukum yang telah hidup di masyarakat nusantara, orang Islam Arab memakai kata “Adat” yang bermakna kebiasaan penduduk .
Meskipun terdapat pertimbangan lain mengenai istilah adab ini, ialah berdasarkan Amura dalam Hilman menerangkan istilah budbahasa ini berasal dari bahasa Sansekerta karena menurutnya perumpamaan ini telah dipergunakan oleh orang Minangkabau kurang lebih 2000 tahun yang lalu. Menurutnya etika berasal dari dua kata, a dan dato.a mempunyai arti tidak dan dato mempunyai arti sesuatu yang bersifat kebendaan.[2]
Seiring itu terjadi hubungan Hukum Islam dan kebiasaan masyarakat Nusantara (adab),pertama hukum Islam dihindari dan masyarakat tetap memakai aturan budpekerti. Kedua, aturan Islam menjadi alternatif pilihan selain hukum adab yang sudah ada. Ketiga, Hukum Islam dipraktekkan berdampingan (osmosis) dengan hukum adab. Keempat, Hukum Islam menjadi opsi utama dan mengesampingkan hukum adab. Setelah Islam masuk ke Nusantara sudah banyak hukum yang dibuat oleh Kerajaan dan Kasultanan di Nusantara[3]. Barulah bangsa Eropa yang mencoba menerapkan hukum dan aturan mereka, hal itu terjadi gres pada masa 18 M.
Dalam Islam, disamping ushul fiqh dan fiqh, meningkat cabang keilmuan lainnya adalah qawaidul fiqh (Kaidah-kaidah fiqh)[4] yang mengenal kaidah Al Adatu Muhakamah. Kaidah ini menerangkan bahwa budbahasa dapat dijadikan pertimbangan dalam penetapan aturan. kaidah fiqh ini juga mempunyai kaidah turunan (furu’), yaitu Laa Yankiru Tagayuyril Ahkami bitagayyuril azman, artinya tidak diingkari bahwa pergantian aturan terjadi karena pergantian zaman. Jadi, fiqh juga mengenal flesibiltas aturan, salah satunya dikarenakan adanya etika atau kebiasaan yang dijadikan rujukan dan pengembangan hukum.
Terdapat istilah lain dalam literatur fiqh, saat menyebut kebiasaan (custom),yakni al ‘urf yang memiliki arti kebiasan. Sebagian ulama menyamakan antara al ‘adat dan al ’urf, sebagian yang lain membedakannya. Di antara perbedaannya adalah bahwa al ‘akhlak lebih lazim ketimbang al ’urf. al ‘budpekerti meliputi kebiasaan baik secara individu maupun secara kolektif, sedangkan al ’urf hanya meliputi kebiasaan kolektif saja. kebiasaan ada yang bagus dan yang buruk, cuma kebiasaan yang bagus (al ’urf al shahih) saja yang mampu dijadikan pertimbangan dalam inovasi aturan (rechtvinding/istinbath).
Penggunaan ungkapan kebiasaan dan adat dalam literatur hukum di Indonesia, terbalik dengan penggunaan ungkapan al ‘budbahasa dan al ’urf di atas. R. Soeroso SH, contohnya menganggap bahwa aturan adat itu termasuk dalam aturan kebiasaan.[5] Utrecht mendefinisikan aturan kebiasaan yaitu himpunan kaidah-kaidah yang tidak ditentukan badan perundang-undangan,tetapi pada kenyataannya (werkelijkheid) ditaati juga oleh masyarakat.
Sedangkan Prof. Sudikno (1986) mendefinisikan kebiasaan selaku tindakan menurut acuan tingkah laris yang tetap, ajeg, lazim, normal atau adab dalam penduduk atau pergaulanhidup tertentu. Tingkah laku yang sudah menjadi kebiasaan dan budbahasa harus berdasarkan “kepatutan”, yakni kepatutan secara kolektif menurut pertimbangan penduduk bukan individu. Karena tingkah laku tersebut patut maka diulang-ulang,kahirnya menjadi kebiasaan atau etika.
Van Vollenhoven menjelaskan bahwa “Hukum adab yakni hukum yang tidak tertulis yang tidak bersumber pada peraturan peraturan yang dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda dulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu.[6] Selanjutnya dia beropini bahwa untuk membedakan antara budpekerti dan hukum budbahasa adalah dilihat dari komponen sanksi, sehingga tidak semua adab merupakan aturan adab. Hanya budbahasa yang bersanksi, yang mampu digolongkan selaku aturan budbahasa.
Pendapat Van Vollenhoven tersebut menemukan tanggapan dari sarjana hukum adat lainnya, utamanya alasannya sanksi sebagai kriteria pembeda antara budbahasa dan aturan etika. Sanksi dalam tata cara hukum barat ialah ciri utama dari hukum, sehingga kalau hukuman dijadikan sebagai satu-satunya ciri untuk membedakan antara ungkapan akhlak dan aturan budbahasa, maka hal tersebut sangatlah sempurna. Permasalahannya, sudah tepatkah tolok ukur sanksi tersebut dijadikan dasar untuk mengerti hukum budbahasa yang bantu-membantu.[7]
Ter Haar, yang menyatakan bahwa hukum budpekerti adalah seluruh peraturan yang dipraktekkan dalam keputusan-keputusan yang penuh wibawa dan dalam kelahirannya dinyatakan mengikat. Pendapat ini terkenal dengan teori keputusan (beslissingenleer). Dengan demikian aturan akhlak lahir dari dan dipelihara oleh keputusan-keputusan para warga penduduk hukum. Lebih dari itu, keputusan-keputusan fungsionaris hukum, bukan hanya yang dihasilkan oleh hakim, tetapi juga tergolong keputusan kepala adat, rapat desa, wali tanah dan petugaspetugas desa lainnya. Keputusan tersebut juga tidak hanya yang merupakan keputusan tentang sengketa resmi, tetapi juga mencakup keputusan yang menurut nilai-nilai hidup yang berlaku dalam alam kemasyarakatan anggota-anggota komplotan.[8]
Hal penting dari apa yang dikemukakan oleh Ter Haar, yang berkait dengan aturan adab ialah adanya keputusan. Latar belakang Ter Haar menyatakan pendapat tersebut alasannya adalah “aturan” yakni sesuatu yang ditentukan oleh pejabat-pejabat penduduk yang bertugas memutuskan dalam bentuk keputusan. Dengan teori tersebut Ter Haar mempositifkan hukum akhlak dan berusaha memperoleh tanggapan secara teoritis tentang kapan timbulnya aturan akhlak tersebut. Pendapat Ter Haar tersebut dipengaruhi oleh pendapat John Chipman Gray, yang populer dengan teorinya “all the law is judge made law” (semua hukum adalah aturan keputusan) sebagaimana yang dianut oleh negara-negara Anglo Saxon. Logemann tidak sependapat dengan Ter Haar, alasannya adalah aturan tidak bergantung terhadap keputusan. Logemann juga tidak sependapat jikalau budbahasa akan menjadi aturan adab apabila telah diputuskan oleh hakim.[9]
Dua definisi di atas setidaknya menunjukkan citra dua pemahaman tata cara hukum yang berlainan. Van Vollenhoven lebih berpandangan dengan dasar tata cara hukum eropa kontinental. Sedangkan Ter Haar lebih condong menurut metode common law atau anglo saxon. Dua pandangan ini juga menghipnotis beberapa pakar hukum di Indonesia dalam mendefinisikan hukum budbahasa. Selain itu, dalam mendefinisikan aturan budbahasa juga dipengaruhi oleh aliran aturan apa atau mana yang dipakai dalam merekonstruksi definisi aturan budbahasa.
Aliran legisme di Eropa berpendapat bahwa satu-satunya sumber aturan yaitu undang-undang. Dalam perkembangkannya muncul ajaran Freie Rechtslehre (hukum bebas) yang beropini di luar Undang-undang terdapat aturan. kemudian muncul pedoman Recthvinding, yang beropini bahwa undang-undang tidak lengkap dan hukum peradilan (judge man law) dan aturan kebiasaan/akhlak melengkapi Undang-undang. Kebiasaan hukumperadilan sering disebut dengan ungkapan Yurisprudensi yang bermakna pengetahuan aturan (rechtsgeleerdheid).Sedangkan negara yang menganut tata cara common law, sudah terbiasa dengan hukum kebiasaan/akhlak sebagai sumber hukum.
Pemahaman perumpamaan aturan budbahasa itu berasal dari Snouck, sejatinya itu tidak benar, alasannya istilah itu telah ada dan di kenal Islam, bahkan sebelum Snouck mencar ilmu Islam di Makkah. Mungkin Snouck pada waktu itu mencar ilmu juga Qawadul Fiqhiyyah dan berjumpa dengan kaidah Al Adatu Muhakamah di atas, kemudian diinfiltrasikan menjadi perumpamaan baru “adatrecht”. Sudah selayaknya mahasiswa aturan merekontruksi sejarah aturan di Indonesia dan membuatkan lebih baik ke depannya.
[1] Kata padanan selain aturan dalam Islam terdapat beberapa kata yang dipakai antara lain syariah, fiqih dan qanun. Sedangkan yang berasal dari bahasa latin, ialah Recht berasal dari kata “rectum” yang mempunyai arti panduan, tuntunan atau pemerintahan. Ius yang berasal dari kata “lubere” maknanya mengatur atau memerintah. Kata Lex berasal dari kata “Lesere” memiliki arti mengumpulkan yang dimaksud mengumpulkan orang untuk diberi perintah.
[2] Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 14
[3] Diantaranya Kitab Siratal Mustaqim, Karya Nuruddin ArRaniri. Kitab Mir’atut Thulab Fii Tasyil Ma’rifatil Ahkamisy Syar’iyyah Karya Abdul Rauf As Sinkili yang dipakai Kasultanan Aceh Tahun 1663 M. Kitab Sabilil Muhtadin fii tafaqquhi Amrid din, karya Syekh Arsyad al Banjari (1710-1812 M) yang dipakai untuk menuntaskan maslaah di Kasultanan Banjar, kitab ini merupakan klarifikasi dari Kitab Siratal Mustaqim.
[4] Keilmuan Qawaidul Fiqhiyyah mengalami perkembangan dari Abad ke 4 – 9 H, dan mencapai puncaknya dengan hadirnya kitab Al Asybah wan Nazhair Karangan Jalaluddin Aburrahman al suyuti (w.911 H). hingga sekarang kitab ini masih dikaji di Pondok Pesantren Indonesia.
[5] Lihat : Pengantar Ilmu Hukum, R.Soeroso SH, h. 157.
[6] Van Vollenhoven, Penemuan Hukum Adat, Jakarta : Djambatan 1987, hal. 6
[7] Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat,, hlm.15
[8] Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat,, hlm.19
[9] Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat (Bandung: Mandar Maju, 1992), hlm. 15