Benih Padi Terakhir Cerpen Abdul Rahim

Malam hendak menyapa, rumah reot di pinggiran desa menjorok ke dlm hutan itu menjadi ramai. Suara tangis beberapa anak kecil makin terperinci terdengar menyayat hati. Sesekali terdengar suara wanita dgn lembut berupaya menenangkan tangisan itu. Sebentar reda tangis yg satu, lalu kembali lagi terdengar tangis yg yang lain. Dendangan dr wanita itu pula mulai terdengar.

“Pait-pait rasan nasi’, anggun-manis buaqara.”*)
“Tidur anakku sayang, besok kita akan petik buah ara yg banyak di bawah tebing, supaya kamu tak lapar lagi.”

“Mak, untuk apa padi yg digantung itu? Beberapa bagian telah banyak yg rontok.”

“Bapakmu telah berpesan, padi itu nanti akan kita tanam jikalau demam isu hujan, & ….” Ia tak melanjutkan ucapannya.

“Dan apa, Mak?”

“Sudahlah, Nak, ananda tidur pula ya, malam makin larut. Kita harus mematikan lampu ini untuk meminimalisir minyak.”

“Tapi Mak, bapak kan…” Terdengar tiupan dr bibir ibunya, gelap menyelimuti. Hanya suara napas dr bawah umur yg kecapekan menangis sedari malam belum gelap.

Mereka pun larut dlm dengkuran, damai malam menyelimuti lima manusia di gubuk reot itu. Perempuan tua itu mendekap perut-perut lapar yg belum mengerti perihal apa yg mereka hadapi. Mereka cuma tahu supaya tak lagi menangis alasannya lapar. Pun senantiasa bergembira tatkala wanita renta itu menyuguhkan kuliner kesukaan mereka.

Bulir-bulir padi yg didapat dr tumpukan jerami sisa panen, diaduk biji jagung yg pula disusuri dr pohon-pohonnya yg lupa dipetik tatkala panen. Itulah yg diurap dgn parutan kelapa, jikalau wanita renta itu mujur mendapatkan ada yg hanyut di parit-parit yg melingkari sawah tempatnya mengais bulir-bulir padi.

Namun, malangnya, tak ada lagi tumpukan jerami yg bisa dikais.

***

Pundak legam yg menyembulkan tulang itu dihinggapi pikulan yg bebannya hampir menutupi semua tubuhnya. Ikatan-ikatan padi yg belum dirontokkan dgn gesit ia pikul ke pinggir jalan, ditumpuk sebelum diangkut ke tempat tinggal pemilik sawah. Beberapa yg yang lain sibuk menghantam batang-batang padi ke papan perontok.

Sejak Subuh ia menolong panen itu, disuruh oleh Haji Dahmur menyabit batang-batang padi, tetapi tak untuk merontokkannya. Buruh lain yg lebih sigap diminta untuk merontokkan padi. Hampir dua petak selesai ia potong, mereka diminta berhenti untuk menikmati sarapan yg dibawakan anak pemilik sawah. Para buruh makan bareng , pemilik sawah masih tetap berdiri di kejauhan menanti mereka selesai menyantap.

Ia teringat perut-perut keroncongan yg ia lewati masih lelap sebelum Subuh tadi. Ia cuma memakan sedikit, kemudian bergegas mencari daun pisang untuk membungkus bagiannya & digantung di atas bale-bale tengah sawah itu. Sementara yg lain tetap dgn lahapnya menghabiskan potongan mereka.

  Perihal Orang Miskin yang Bahagia | Cerpen Agus Noor

Ia pun kembali melanjutkan menyabit batang-batang padi untuk genap dua petak yg harus segera ia tuntaskan. Buruh yg lain tengah asyik mengepulkan asap dr pilinan tembakau. Hal yg telah usang tak ia nikmati semenjak tak banyak yg panen & tak banyak pula yg mengupah dgn uang.

Hari beranjak sore, ia & para buruh lainnya sudah menyelesaikan peran masing-masing di sawah Haji Dahmur. Bulir-bulir telah dimasukkan ke dlm karung. Timbangan pikulan telah disiapkan. Anak pemilik sawah bersiap selaku tukang catat. Ia pun diminta menjadi pemanggul timbangan di sisi yg lain.

Karung-karung besar sarat bulir padi itu dipikul berdua, kaitan timbangan disusupkan ke tali yg melingkari karung. Buruh yg yang lain bertugas menyesuaikan watu pemberat di tongkat timbangan. Selesai itu, ia diberi dua ikat padi oleh pemilik sawah.

Matanya berbinar, mengucap terima kasih pada pemilik sawah atas upah padi tersebut. Ia pun bergegas ke bale-bale tempat bungkusan daun pisangnya tergantung. Semut begitu ramainya, menciptakan kesal hatinya. Ia pun membuka bungkusan daun pisang itu, menyingkirkan semut-semut yg masih berkerubung, kemudian menggantinya dgn daun pisang yg lain. Isinya sudah tercium agak berlawanan, ia tak peduli. Bungkusan itu pun digantung di pikulan antara dua ikat padi upahnya hari itu.

Sepanjang perjalanan pulang ia bayangkan tawa bangga perut-perut keroncongan yg ia tinggalkan Subuh tadi tatkala nantinya ia berikan bungkusan itu. Mungkin siangnya mereka telah memakan seadanya yg bisa disuguhkan oleh permpuan tua, istrinya. Biasanya siang harinya istrinya mengajak keempat anaknya keluar mengais kolam-kolam sampah di desa. Tak jarang ada orang baik yg menunjukkan mereka makanan, meski itu makanan beberapa hari kemudian yg tak habis disantap oleh pemiliknya.

Kali kesekian perempuan tua itu turun ke desa memulung bersama anak-anaknya. Tak banyak warga yg ia peroleh. Semua berdiam di dlm rumah. Di pintu masuk ujung desa mereka dicegat beberapa anak muda yg meminta kembali ke tempat tinggal & tak berkeliaran. Ucapan beberapa anak muda itu tentang wabah yg sedang menjangkiti bisa berakibat ajal mereka dengarkan tak lebih hanya angin kemudian sebelum mereka hingga di rumah.

Di rumah ternyata laki-laki bau tanah, suaminya, sudah menanti dgn dua ikat padi tergeletak di depan pintu serta bungkusan daun pisang yg menggantung di pikulan itu. Anak-anak mereka eksklusif menuju bungkusan itu, persis riang yg dibayangkan tatkala laki-laki bau tanah itu beranjak dr sawah. Anak-anaknya memakan itu dgn lahap, menyebarkan di antara empat perut lapar itu. Tak membuat kenyang malam itu.

  Supri dan Tamu yang Menjengkelkan | Cerpen Pasini

“Kita sekarang punya benih padi, nanti akan kita tanam kalau ada yg memerintahkan kita untuk menggarap tanahnya.”

“Tapi, Pak, siapa yg akan menyuruh kita menggarap tanahnya di tengah hujan belum pernah turun juga?”

“Kita tunggu saja. Satu ikat ini untuk kita makan & sisanya untuk kita tanam.”

Perempuan renta itu tak membantah lagi. Karena hari telah gelap tak mungkin mereka menumbuk padi dlm kelam itu.

Tangis-tangis perut lapar itu mulai meronta, menyayat hati siapa saja yg mendengar tak terkecuali kedua orang tua di gubuk reot itu. Perempuan bau tanah mulai berdendang, menenangkan tangis-tangis itu biar larut dlm kantuk. Lelaki renta yg tak tega dgn itu beranjak dr tempatnya, dgn meraba-raba meraih sesuatu di dinding bambu itu.

“Pak, mau ke mana?”

“Tersayat hatiku, tak kuasa setiap malam mendengar tangisan yg takkan lagi kubiarkan sekarang.”

“Tidak apa, Pak, mereka dalam waktu dekat terlelap.”

Namun, suaminya tak menghiraukan, melangkah keluar mencari apa yg bisa ia jadikan untuk menghentikan tangis itu. Ia pun berlangsung menyusuri ladang yg berbatasan dgn desa. Cahaya bulan yg agak temaram mengarahkan matanya ke batang-batang yg telah meninggi di balik pagar itu. Ia menerobos masuk dr celah yg agak longgar, kemudian menentukan batang yg agak besar berharap banyak isi yg tertanam di bawahnya.

Dari balik ilalang di bawah pagar itu datang-tiba terdengar suara menyalak sebab merasa terusik dgn kehadirannya. Semakin keras anjing itu menyalak, ia tak beringsut dr tempatnya berdiri. Entah beberapa detik kemudian ia baru berlari sekuat tenaga dgn anjing yg menyalak berupaya meraihnya di belakang.

Pagar di sisi yg lain sudah terlihat, agak rapat, namun ia berupaya untuk keluar dr situ. Tatkala menyelipkan badan di pagar ia tak sadar apa yg menariknya begitu besar lengan berkuasa, menggetarkan badannya hingga tak mampu beranjak. Anjing itu pun terasa menjangkau kakinya, namun badannya yg bergetar justru tak merasakan itu. Sejenak ia pun tak bisa lagi merasakan apa-apa di sekelilingnya, semuan ya gelap. Getaran itu pun semakin melemahkannya hingga tetap menempel di pagar itu.

Beberapa orang yg tergesa-gesa mengetuk pintu rumah perempuan renta itu. Hari sudah agak terang sementara anak-anaknya masih tergeletak di lantai tanah beralaskan tikar pandan yg sudah bolong beberapa bagiannya.

“Mak Tinah, Wak Genem ditemukan meninggal kesetrum di pagar ladang Haji Jamah, ayo cepat ke sana.”

Tubuh wanita renta itu lunglai, sedetik kemudian pribadi histeris dgn tangis, membangunkan seisi rumah itu. Anak-anak yg polos menyaksikan wanita tua itu menangis ikut pula menangis memperbesar riuh rumah itu. Mereka semua beranjak ke ladang itu, menyaksikan tubuh ayah mereka melekat di kawat pagar itu dgn asisten masih menggenggam erat batang ubi jalar yg penuh isi.

  Kyai Sepuh | Cerpen Seno Gumira Ajidarma

Semuanya menjadi gelap, wanita bau tanah itu tak sadarkan diri. Tatkala bangkit ia sudah dikelilingi tangis anak-anaknya di gubuk reot itu. Beberapa warga yg membantu pemakaman suaminya sudah mulai beranjak. Tinggal ia & keempat anaknya menyesali keadaan. Lapar tak tertahankan memaksa ia mesti beranjak, beruntung ada beberapa warga yg menjinjing kuliner siang tadi. Malam itu tak ada tangis alasannya adalah lapar.

***

Mereka sedang mengais-ngais sisa kuliner & mencari plastik di bak sampah. Mata mereka tertuju pada cowok yg sedang mengirimkan bungkusan-bungkusan berisi beras & materi makanan lainnya. Mereka cuma memandang tajam, tanpa berani mendekat, berpikir niscaya akan diusir. Terbayang seikat padi yg tersisa di rumah, satu ikatnya telah lama habis.

Perempuan bau tanah itu menangis dlm hati. Penduduk desa dgn rumah besar pun tetap dibagi pula bungkusan. Supaya mereka berdiam di rumah untuk menghindari wabah. Alasan itu yg sayup-sayup ia dengar dr obrolan pemuda. Anak-anaknya yg kelaparan menelan ludah melihat bungkusan-bungkusan yg dibagikan.

Di rumah masih tersisa seikat padi. Namun, perkataan suaminya masih terbayang, itu dijadikan benih tatkala ada yg akan memerintahkan mereka menggarap tanahnya nanti. Beruntung di tengah jalan pulang mereka memperoleh pepaya yg tersisa bekas gigitan binatang-hewan malam.

“Mak, kenapa tak kita tumbuk saja padi itu, lalu dimasak untuk meredakan tangis mereka?”

“Ingat pesan bapakmu, Nak, nanti kita jadikan benih supaya kita punya persediaan beras yg banyak.”

“Tapi, Mak, Bapak kan sudah meninggal, tak ada yg akan memerintahkan untuk menggarap tanahnya.”

“Kita harus mempertahankan pesan bapakmu, Nak.”

Seperti sebelumnya, tangis tatkala malam hendak menyapa kembali terdengar. Pun dendang dr wanita renta itu kembali disenandungkan. Tangis-tangis perut keroncongan itu seolah telah menjadi nyanyian malam di gubuk reot itu.

Keesokan harinya, alangkah terkejutnya wanita renta itu. Seikat padi tergantung kini acak-acakan di lantai tanah. Bulir-bulirnya tersisa tinggal sedikit saja di tangkai-tangkai itu. Air matanya meleleh, kekecewaannya tak bertuan.

Namun, dendam tampaknya cukup berargumentasi ia arahkan pada makhluk-makhluk pengerat yg bergerilya di malam hari menghamburkan benihnya. Benih padi terakhir, yg ia pun tak sanggup untuk membuatnya menjadi pereda tangis anak-anaknya di malam tadi. (*)

*) Pahit-pahit rasa nasi, elok-elok buah ara (dendangan yg umumdilagukan untuk belum dewasa tatkala masa-masa kelaparan melanda dulu).