Belajar Pendidikan Aksara Dari Thomas Lickona


Pendidikan aksara adalah tentang menjadi sekolah karakter, kawasan terbaik untuk menanamkan huruf.1
Thomas Lickona
    Effective character education is not adding a program or set of programs to a school.
Rather it is a transformation of the culture and life of the school.
Marvin Berkowitz
1. Pentingnya Karakter
“Kesejahteraan suatu bangsa bermula dari huruf berpengaruh warganya”.2 Kata-kata itu diungkapkan Marcus Tulius Cicero (106-43 SM), cendekiawan Republik Roma, untuk mengingatkan semua warga kekaisaran Roma perihal faedah mudah kebajikan (Yunani: arete)3 dalam kehidupan nyata. Sejarah peradaban di aneka macam penjuru dunia menandakan kebenaran perumpamaan itu.
Kita pahami, bangsa-bangsa yang mempunyai huruf tangguh lazimnya tumbuh berkembang kian maju dan makmur. Contoh terkini, antara lain India, Cina, Brazil,dan dan Rusia. Sebaliknya, bangsa-bangsa yang lemah aksara umumnya justru semakin terpuruk, misalnya, Yunani kontemporer serta sejumlah negara di Afrika dan Asia. Mereka menjadi bangsa yang hampir tak punya kontribusi mempunyai arti pada pertumbuhan dunia, bahkan menjadi negara gagal. Mengenai hal ini, sejarawan terkemuka, Arnold Toynbee, pernah mengungkapkan, “Dari dua puluh satu peradaban dunia yang mampu dicatat, sembilan belas hancur bukan karena penaklukan dari luar, melainkan karena pembusukan budbahasa dari dalam”4 alias karena lemahnya abjad.
Demikianlah, abjad itu amat penting. Karakter lebih tinggi nilainya daripada intelektualitas.5 Stabilitas kehidupan kita tergantung pada aksara kita. Karena, abjad menciptakan orang bisa bertahan, mempunyai stamina untuk tetap berjuang, dan sanggup menangani ketidakberuntungannya secara memiliki arti.6
Para genius pendiri negara-bangsa Indonesia pun amat menyadari hal itu. Perhatikan, contohnya syair lagu kebangsaan Indonesia Raya. Di dalam lirik lagu tersebut apalagi dahulu ditandaskan perintah: “bangunlah jiwanya”, barulah lalu “bangunlah badannya”. Perintah itu menusukkan pesan bahwa membangun jiwa mesti lebih diutamakan dibandingkan dengan membangun badan; membangun huruf harus lebih diamati ketimbang sekadar membangun hal-hal fisik semata. Itulah kunci biar Indonesia berjaya.
(Celakanya, sekian usang bangsa kita condong mengabaikan tugas maha penting itu. Alih-alih membangun karakter, bangsa kita justru asyik melaksanakan model pembangunan yang lebih memprioritaskan hal-hal fisik, seperti perkantoran mewah untuk para kepala kawasan, pemukiman mahal, pusat-pusat bisnis, gedung-gedung bertingkat nan megah, jalan tol, sentra-sentra perbelanjaan, dan khususnya mini market di seluruh penjuru negeri.7 Tugas membangun huruf cenderung terabaikan.
Akibatnya, perlahan namun niscaya, semua lini kehidupan bangsa kita pun mengalami kerusakan parah. Korupsi dan aneka macam macam kejahatan merajalela. Berita utama harian kompas pernah mengungkapkan kondisi kontemporer kita, berikut petikannya: “Kerusakan etika bangsa telah dalam tahap sungguh mencemaskan alasannya terjadi di nyaris semua lini, baik di birokrasi pemerintahan, aparat penegak aturan, maupun masyarakat lazim. Jika keadaan ini dibiarkan, negara bisa menuju ke arah kehancuran…”.8
Karena itu, kinilah saatnya kita berupaya membangun huruf secara benar-benar. Pendidikan mesti kita fugsikan sebagaimana mestinya, sebagai sarana terbaik untuk memicu kebangkitan dan menggerakkan zaman.9 Sekolah di seluruh penjuru negeri harus bersama-sama menimbulkan dirinya: sekolah aksara, daerah terbaik untuk menumbuh-kembangkan karakter.
2. Pengertian Karakter
Apa itu huruf? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Istilah ‘huruf’ memiliki arti ‘sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau kecerdikan pekerti yang membedakan seseorang dari lainnya; sopan santun; budbahasa’. 10
Bila dilihat dari asal katanya, perumpamaan ‘aksara’ berasal dari bahasa Yunani karasso, yang mempunyai arti ‘cetak biru’, ‘format dasar’ atau ‘sidik’ seperti dalam sidik jari.11 Pendapat lain menyatakan bahwa ungkapan ‘karakter’ berasal dari bahasa Yunani charassein, yang berarti ‘membuat tajam’ atau ‘membuat dalam’.12
Secara konseptual, lazimnya, istilah ‘aksara’ dipahami dalam dua kubu pemahaman. Pengertian pertama, bersifat deterministik. Di sini abjad diketahui selaku sekumpulan keadaan rohaniah pada diri kita yang telah teranugerahi atau ada dari sononya (given).n Dengan demikian, beliau ialah kondisi yang kita terima begitu saja, tak bisa kita ubah. Ia ialah watak seseorang yang bersifat tetap, menjadi tanda khusus yang membedakan orang yang satu dengan lainnya.
Pengertian kedua, bersifat non deterministik atau dinamis. Di sini aksara diketahui sebagai tingkat kekuatan atau keperkasaan seseorang dalam upaya mengatasi keadaan rohaniah yang telah given. Ia ialah proses yang dikehendaki oleh seseorang (willed) untuk menyempurnakan kemanusiaan nya.14
Bertolak dari tegangan (dialektika) dua pengertian itu, muncullah pengertian yang lebih kongkret dan utuh perihal huruf. Ia diketahui selaku keadaan rohaniah yang belum simpulan. Ia mampu diubah dan dikembangkan mutunya, tapi bisa pula diterlantarkan sehingga tak ada peningkatan kualitas atau bahkan kian terpuruk.
Berdasarkan pengertian itu, maka orang yang bersikap pasrah pada kondisi-keadaan diri yang telah ada, disebut berkarakter lemah. Di segi lain, mereka yang tidak ingin begitu saja menerima kondisi-keadaan diri yang sudah ada, melainkan berusaha mengatasinya, disebut berkarakter berpengaruh atau handal. Mereka selalu berupaya menyempurnakan diri, walaupun menghadapi tekanan dari luar dan godaan dari dalam.15
Wacana kekinian di dunia pendidikan cenderung mengetahui abjad secara kongkret, utuh, dan optimis.
Maksudnya, karakter (yang lemah sekali pun) sesungguhnya bisa diubah dan diperbaiki sehingga menjadi lebih kuat. Diyakini, bahwa semua orang, utamanya kaum muda, melalui proses mencar ilmu yang terarah dan masuk akal,16 bisa (dan mesti terus-menerus berusaha untuk bisa) membentuk diri (dan dibentuk) sedemikian rupa sehingga memiliki karakter yang makin besar lengan berkuasa dan handal.17
Karena itu, kita tak perlu merasa risi dan gelisah terhadap persepsi yang menyatakan bahwa orang-orang Indonesia ditakdirkan selaku bangsa berkarakter lemah.18 Pandangan deterministik itu ialah peninggalan zaman kolonial. Anehnya, hingga sekarang pandangan itu masih sering dirujuk (bahkan dipercaya) banyak orang.
Tentu saja, pandangan itu tidak benar. Yang benar, tidak ada satu bangsa pun yang ditakdirkan berkarakter lemah, termasuk kita, bangsa Indonesia, juga tidak ditakdirkan menjadi bangsa berkarakter lemah.
Tapi memang benar, bahwa banyak di antara warga bangsa kita (masih) berkarakter lemah. Menurut Koentjaraningrat dan Mochtar Lubis, inilah sejumlah huruf lemah kita, yakni: meremehkan mutu, suka menerabas, tidak percaya diri sendiri, tidak berdisiplin, mengabaikan tanggung jawab, hipokrit, lemah kreativitas, etos kerja jelek, suka feodalisme, dan tak memiliki malu.19
Sekali lagi, sepuluh abjad lemah itu bukan takdir. Karakter lemah itu semua mampu kita ubah. Founding fathers kita sudah membuktikannya, contohnya Soekarno, Hatta, Syahrir, dan Tan Malaka. Mereka orang Indonesia, tetapi mampu memiliki huruf handal. Dunia mengakuinya. Begitu pula Warga penduduk biasa mirip Ibu Siami, yang hidup sezaman dengan kita, juga mampu memiliki aksara tangguh.20 Maka, kita pun pasti bisa mempunyai aksara yang semakin tangguh.
3. Karakter yang Baik
Seperti apakah citra orang yang mempunyai abjad handal? Mereka yaitu siapa pun yang memiliki karakter yang baik (good character). Cirinya, mereka tahu hal yang bagus (knowing the good), menghendaki hal yang baik (desiring the good), dan melakukan hal yang baik (doing the good).21
Karakter terlihat dalam kebiasaan (habitus).22 Karena itu, seseorang dibilang berkarakter baik manakala dalam kehidupan positif sehari-hari mempunyai tiga kebiasaan, ialah: memikirkan hal yang baik (habits of mind), menghendaki hal yang baik (habits of heart), dan melakukan hal yang baik (habits of action).23
Lantas, apa isi (substansi) dari abjad yang baik itu? Isi huruf yang baik adalah kebajikan (virtue).24 Kebajikan yakni kecenderungan untuk melaksanakan tindakan yang bagus menurut sudut pandang susila universal.25 Misalnya, memperlakukan siapa saja secara adil. Tindakan macam itu biasanyadilakukan oleh orang yang mempunyai kualitas-mutu yang secara objektif maupun secara intrinsik baik.
Secara objektif baik, tujuannya bahwa kualitas-mutu itu diakui dan dijunjung tinggi oleh agama-agama dan masyarakat beradab di segenap penjuru dunia.26 Secara intrinsik baik, maksudnya mutu-mutu itu ialah tuntutan dari hati nurani manusia beradab.27 Karena itu, mutu-mutu itu dianggap mengatasi ruang dan waktu. Ia berlaku di mana pun dan kapan pun (meskipun bentuk mulut konkretnya mampu jadi berlawanan-beda antara kawasan yang satu dengan yang lain, demikian pula antara zaman dulu, kini serta kala depan).
Sebagai teladan: keadilan, kejujuran, dan kerendahan hati adalah kebajikan. Sebab, secara objektif, ketiganya diakui sebagai hal yang baik oleh masyarakat beradab dan agama-agama di segenap penjuru dunia. Juga, secara intrinsik, ketiganya diakui sebagai hal yang baik karena menjadi permintaan hati nurani insan beradab. Demikianlah, keadilan, kejujuran, dan kerendahan hati diakui sebagai hal yang bagus di berbagai penjuru dunia, pada zaman dulu, sekarang, dan di era depan.
Menurut Lickona, bertolak dari standar objektif dan Intrinsik di atas, ada dua kebajikan fundamental yang dibutuhkan untuk membentuk karakter yang baik, yaitu rasa hormat (respect) dan tanggung jawab (responsibility).28 Kedua kebajikan itu ialah nilai akhlak mendasar yang mesti diajarkan dalam pendidikan abjad.29
Rasa hormat mempunyai arti mengungkapkan penghargaan terhadap seseorang atau sesuatu. Hal itu terwujud dalam tiga bentuk, adalah rasa hormat kepada: diri sendiri, orang lain, dan segala bentuk kehidupan beserta dengan lingkungan yang mendukung keberlangsungannya (misal, rasa hormat terhadap milik dan rasa hormat kepada otoritas). Demi rasa hormat, maka kita dihentikan menyakiti orang lain. Kaprikornus, rasa hormat merupakan penunaian kewajiban mengenai hal yang dilarang dijalankan oleh seseorang (keharusan negatif).
Sedangkan tanggung jawab adalah perluasan dari rasa hormat. Ia ialah langkah-langkah aktif untuk menyikapi secara aktual keperluan pihak lain. Sebab, tidaklah mencukupi manakala orang cuma, misalnya, tidak menyakiti orang lain (sebagai verbal rasa hormat). Lebih positif dari itu, beliau harus membantu orang lain. Jadi, tanggung jawab ialah pemenuhan keharusan mengenai hal yang mesti dilaksanakan oleh seseorang (keharusan kasatmata).
Selain dua kebajikan mendasar itu, ada sepuluh Kebajikan esensial yang diharapkan untuk membentuk huruf yang baik. Kesepuluh kebajikan esensial itu yaitu: kebijaksanaan (wisdom), keadilan (justice), ketekunan (fortitude), pengendalian-diri (self-control), kasih (love), perilaku aktual (positive attitude), kerja keras (hard work), integritas (integrity), penuh syukur (gratitude), dan kerendahan hati (humility)30 (periksa Apendiks-1).
Tentu saja, dalam pendidikan karakter, kita bisa menyertakan kualitas-mutu lain. Hal itu mampu dilakukan sejauh mutu-kualitas itu tidak cuma baik berdasarkan kita sendiri (maupun kalangan kita), melainkan sungguh-sungguh ‘secara objektif baik’. Konkretnya, mutu-mutu itu harus memenuhi beberapa patokan etis-universal berikut ini: (a) makin memanusiawikan seseorang, (b) mempromosikan kebahagiaan otentik, (c) melayani kebaikan bareng , dan (d) menyanggupi prinsip ‘timbal balik’ (apakah Anda suka diperlakukan demikian?) dan prinsip ‘mampu diperluas’ (apakah Anda ingin agar siapa pun bertindak dengan cara demikian dalam suasana yang sama?). 31
Atau, secara lebih operasional, prinsipnya adalah: mutu-kualitas itu dibutuhkan demi: perkembangan diri yang lebih sehat, memelihara relasi interpersonal, terwujudnya masyarakat yang lebih manusiawi dan demokratis, serta terwujudnya dunia yang lebih adil dan damai.52
Demikianlah, selain dua kebajikan mendasar dan sepuluh kebajikan esensial, sekolah mampu menyertakan kebajikan lain dalam pendidikan aksara. Dalam hal ini, contohnya, kebajikan sebagaimana terkandung dalam Pancasila, seperti: menghargai kebinekaan, toleransi, proeksistensi damai, keugaharian atau perilaku moderat, perikemanusiaan, keberadaban, kesetaraan, gotong royong, musyawarah, akal, adil, solidaritas sosial, dan kesederhanaan. Kebajikan-kebajikan itu terbukti memenuhi keempat syarat di atas.33
Jadi, dengan tetap mengamati kebajikan fundamental dan kebajikan esensial, sekolah mampu menyusun sendiri daftar tentang nilai-nilai yang ingin ditumbuhkembangkan melalui pendidikan aksara.34 Justru dengan cara demikian, pendidikan karakter itu akan berkaitan dan bermanfaat alasannya adalah benar-benar menjawab kebutuhan positif para pemercaya sekolah dan masyarakat yang menjadi konteks di mana sekolah berada. Itulah pendidikan huruf yang kontekstual.
4. Pendidikan Karakter
Pendidikan huruf yaitu upaya yang dikerjakan dengan Sengaja untuk mengembangkan abjad yang bagus (good character) berlandaskan kebajikan-kebajikan inti (core virtues) yang secara objektif baik bagi individu maupun penduduk .35 Kebajikan-kebajikan inti di sini merujuk pada dua kebajikan fundamental dan sepuluh kebajikan esensial sebagaimana telah diuraikan di atas.
Dalam paradigma usang, keluarga dipandang selaku tulang punggung pendidikan karakter.36 Hal ini mampu diketahui, karena pada era lalu, biasanyakeluarga-keluarga mampu berfungsi sebagai tempat terbaik bagi anak-anak untuk mengenal dan mempraktikkan berbagai kebajikan. Para orang tua biasanya memiliki potensi memadai serta mampu memanfaatkan tradisi yang ada untuk mengenalkan secara eksklusif berbagai kebajikan kepada anak-anak lewat pola, petuah, dongeng/cerita, dan kebiasaan saban hari secara intensif. Demikianlah, keluarga-keluarga pada masa lalu lazimnya dapat mengemban amanah selaku tulang punggung pendidikan abjad.
Akan namun, proses modernisasi membuat banyak keluarga mengalami pergeseran mendasar.37 Karena tuntutan pekerjaan, kini banyak keluarga yang cuma mempunyai sungguh sedikit waktu bagi berlangsungnya perjumpaan yang erat antara ayah, ibu, dan anak. Bahkan, semakin banyak keluarga yang, alasannya adalah tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup, memilih untuk tidak tinggal dalam satu rumah, melainkan saling berjauhan tempat tinggal antara ayah, ibu, dan anak. Belum lagi, kian banyak keluarga bermasalah: tidak harmonis, terjadi berbagai kekerasan dalam rumah tangga, bahkan perceraian.
Singkat kata, sekarang kian banyak keluarga yang tidak bisa berfungsi selaku daerah terbaik bagi belum dewasa untuk menperoleh pendidikan karakter.38 Itulah sebabnya amat baik jikalau sekolah mengadakan pendidikan karakter. Bahkan, sekolah perlu terus berupaya mengakibatkan dirinya sebagai kawasan terbaik bagi kaum muda untuk mendapatkan pendidikan huruf.
Sedikitnya, ada empat argumentasi mendasar mengapa sekolah pada era sekarang perlu lebih tekun menjadikan dirinya daerah terbaik bagi pendidikan huruf. Keempat argumentasi itu yaitu:
(a)    Karena banyak keluarga (tradisional maupun non tradisional) yang tidak melaksanakan pendidikan huruf;
(b)    Sekolah tidak cuma bermaksud membentuk anak yang pintar, tetapi juga anak yang bagus;
(c)     Kecerdasan seorang anak cuma berarti manakala dilandasi dengan kebaikan;
(d)   Karena membentuk anak latih biar berkarakter handal bukan sekadar peran aksesori bagi guru, melainkan tanggung jawab yang melekat pada perannya sebagai seorang guru.39
Secara historis, pendidikan karakter di sekolah memiliki sejarah amat panjang. Hal itu telah dipraktikkan semenjak zaman Yunani kuno, yaitu zaman Homeros.40 Di berbagai kawasan, pendidikan huruf di sekolah mengalami periode pasang dan surut.41 Hal itu terjadi seirama dengan pergulatan aktual penduduk di mana pendidikan itu berlangsung. Yang terperinci, pendidikan huruf menerima perhatian besar terutama dalam masyarakat yang mengalami (dan berupaya bangun dari) kebangkrutan budbahasa.42
Sebagai acuan, di Amerika Serikat. Munculnya gerakan nasional pendidikan abjad sejak tahun 1990-an, tak lepas dari kesadaran aneka macam pihak terhadap gejala keruntuhan akhlak penduduk kebanyakan dan (utamanya) adab kaum muda.43 Ketika itu, mereka sangat prihatin terhadap meningkatnya kejahatan, bunuh diri di kelompok dewasa, perceraian, aborsi, kebiasaan menjiplak di golongan siswa, kebiasaan mencuri barang di toko di golongan cukup umur, dan lain-lain. Di sisi lain, banyak orang meyakini bahwa tanpa kebajikan-kebajikan yang membentuk karakter yang haik, orang tak akan mampu betul-betul hidup senang dan penduduk tak akan dapat berfungsi secara efektif.44
Hal serupa kini terjadi di Indonesia. Berbagai pihak menyuarakan wacana pentingnya pendidikan aksara (di sekolah). Pendidikan karakter dianggap selaku salah satu cara penting untuk menanggulangi kerusakan sopan santun masyarakat yang telah berada pada tahap sangat mencemaskan.
Tentu, pendidikan aksara amat penting bagi kaum muda. Kita tahu, kondisi kehidupan budbahasa kaum muda kita makin mengkhawatirkan. Terutama, berkaitan dengan meluasnya sikap menyimpang di kelompok kaum muda, mirip: menjiplak, memakan narkoba, tindakan kekerasan, pornografi, seks bebas, tak acuh pada etika, dan lain-lain.
Makara, rasanya jelas, mengapa sekarang banyak orang menghendaki agar sekolah semakin peduli pada pendidikan karakter. Itu alasannya pendidikan karakter ibarat sauh yang menciptakan kita semua punya argumentasi berpengaruh untuk tetap mempunyai harapan dan sikap optimis bahwa masyarakat yang lebih baik akan terwujud kelak di kemudian hari.
Maka, sungguh sayang manakala ada sekolah yang mengabaikan atau bersikap setengah hati dalam menanggapi keinginan penduduk itu. Sekolah yang berdedikasi, pastilah akan menerima dengan bersemangat tanggung jawab sosial yang cukup menantang itu.
Manakala sekolah akan melakukan pendidikan karakter, pertama-tama perlu memperhatikan prinsip-prinsip pendidikan abjad. Ada sebelas prinsip pendidikan aksara, meliputi:45
(a) Sekolah mesti berkomitmen pada nilai-nilai etis inti; (h) Karakter mesti dimengerti secara utuh, mencakup pengetahuan atau fatwa, perasaan, dan langkah-langkah;
(c)     Sekolah harus bersikap proaktif dan bertindak sistematis dalam pembelajaran karakter dan tidak sekadar menunggu hadirnya kesempatan;
(d)   Sekolah mesti membangun suasana saling mengamati satu sama lain dan menjadi dunia kecil (mikrokosmos) perihal penduduk yang saling peduli;
(e)    Kesempatan untuk mempraktikkan langkah-langkah tabiat mesti bermacam-macam dan tersedia bagi semua;
(f)      Studi akademis harus menjadi hal utama;
(g)    Sekolah perlu mengembangkan cara-cara memajukan motivasi intrinsik siswa yang meliputi nilai-nilai inti;
(h)  Sekolah perlu melakukan pekerjaan bersama dan mendialogkan norma
perihal pendidikan aksara;
(i)   Guru dan siswa harus berbagi dalam kepemimpinan
etika sekolah;
(j)  Orang renta dan masyarakat mesti menjadi rekan kerja
dalam pendidikan abjad di sekolah; (k) Harus dijalankan evaluasi mengenai efektivitas pendidikan
aksara di sekolah, utamanya kepada guru dan karyawan,
serta siswa.
5. Desain Komprehensif
Sebagaimana sudah disinggung dalam prinsip kedua di atas, bahwa pendidikan karakter yang utuh, mengolah tiga faktor sekaligus, yaitu pengetahuan budbahasa (adab knowing), perasaan susila (budbahasa feeling), dan tindakan etika (budpekerti action).46
Patut diingat, bahwa ketiga aspek karakter itu saling terkait satu sama lain. Pengetahuan moral, perasaan susila, dan tindakan etika tidak berfungsi secara terpisah, melainkan satu sama lain saling merasuki dan saling mempengaruhi dalam segala hal. Ketiganya melakukan pekerjaan sama secara kompleks dan simultan sedemikian rupa, sehingga ada kemungkinan kita tidak menyadarinya.
Yang terang, dalam praktik pendidikan karakter, ketiga aspek itu perlu diterjemahkan ke dalam desain komprehensif. Tentu, hal itu dilaksanakan dengan memikirkan banyak sekali pengertian konseptual perihal pendidikan huruf, sebagaimana sudah dikemukakan di muka.
Adapun garis besar desain komprehensif praktik pendidikan huruf itu, mencakup dua belas taktik.47 Sembilan seni manajemen pertama adalah tuntutan kepada guru untuk:
(a)    Bertindak sebagai sosok yang peduli, versi, dan mentor. Dalam hal ini, guru memperlakukan siswa dengan kasih dan hormat, memberikan teladan yang baik, mendorong sikap sosial, dan memperbaiki perilaku yang merusak.
(b)   Menciptakan komunitas watak di kelas. Guru menolong siswa untuk saling mengenal satu sama lain, hormat dan saling memperhatikan satu sama lain, serta merasa dihargai selaku anggota golongan.
(c)    Mempraktikkan disiplin adab. Guru menciptakan dan menegakkan aturan sebagai kesempatan untuk menolong pengembangan alasan-alasan susila, kendali diri, dan penghargaan kepada orang lain pada umumnya.
(d)   Menciptakan lingkungan kelas yang demokratis. Guru melibatkan siswa dalam pengerjaan keputusan dan membagi tanggung jawab dalam menyebabkan kelas selaku tempat yang baik untuk meningkat dan mencar ilmu.
(e)    Mengajarkan nilai-nilai lewat kurikulum. Guru menggunakan mata pelajaran akademis selaku sarana untuk mempelajari gosip-berita etis.
(f)     Menggunakan pembelajaran kooperatif. Guru mengajar siswa tentang perilaku dan berbagai keterampilan untuk saling membantu satu sama lain dan melakukan pekerjaan sama.
(g)   Membangun “kepekaan nurani”. Guru membantu siswa menyebarkan tanggung jawab akademis dan menghargai pentingnya berguru dan bekerja.
(h)  Mendorong refleksi etika, melalui membaca, menulis,
berdiskusi, berlatih menciptakan keputusan, dan berdebat.
(i)   Mengajarkan resolusi pertentangan, sehingga murid memiliki
kapasitas dan akad untuk menyelesaikan pertentangan
secara adil dan wajar, dengan cara-cara tanpa kekerasan.
Sedangkan tiga strategi selebihnya mengharapkan sekolah untuk:
(a)    Mengembangkan perilaku peduli yang tidak cuma sebatas acara di kelas. Hal ini dijalankan lewat model-versi tugas dan potensi -peluang yang inspiratif dengan melayani sekolah dan penduduk . Intinya, siswa diajak untuk berguru bersikap peduli dengan cara bertindak peduli.
(b)   Menciptakan budaya budbahasa yang faktual di sekolah. Ini berarti menyebarkan seluruh lingkungan sekolah (lewat kepemimpinan kepala sekolah, disiplin sekolah, rasa kekeluargaan sekolah, keterlibatan siswa secara demokratis, komunitas susila di antara guru dan karyawan, serta waktu untuk membahas keprihatinan sopan santun) yang membantu dan memperkuat pembelajaran nilai-nilai yang berjalan di kelas.
(c)     Melibatkan orang tua siswa dan masyarakat sebagai partner dalam pendidikan karakter. Dalam hal ini, sekolah membantu para orang tua bertindak sebagai guru adab pertama bagi anak; mendorong orang bau tanah agar membantu sekolah dalam berdaya upaya mengembangkan nilai-nilai yang bagus; dan mencari dukungan dari penduduk (misalnya: agamawan, kalangan bisnis, dan praktisi media) dalam memperkuat nilai-nilai yang sedang diupayakan atau diajarkan oleh sekolah.
Pengalaman menawarkan, strategi komprehensif itu perlu ditopang oleh empat ‘kunci keberhasilan’. Keempat kunci keberhasilan pendidikan karakter itu yaitu: (a) keterlibatan guru dan karyawan sekolah, (b) keterlibatan siswa, (c) keterlibatan orang renta siswa, dan (d) keterlibatan komunitas karakter.48
Tiga yang pertama bersifat memilih keberhasilan sekolah huruf. Sedangkan yang keempat, adalah keterlibatan komunitas karakter, bersifat mendukung keberhasilan itu. Sekolah yang berkomitmen menjadikan dirinya sekolah aksara selalu mesti berfokus pada upaya menumbuhkan, memelihara, dan memaksimalkan keterlibatan keempat pihak itu.
6. Menggerakkan Orang Dalam
Keterlibatan ‘orang-orang dalam’ sekolah, yakni guru dan karyawan serta siswa amatlah penting. Sekolah mesti bisa menggerakkan mereka untuk terlibat secara optimal dalam merealisasikan sekolah huruf.
Ada sejumlah langkah simpel untuk melibatkan guru dan karyawan serta siswa. Langkah praktis ini didasarkan pada studi kepada sekolah-sekolah yang telah menerima penghargaan selaku sekolah aksara. Adapun beberapa langkah mudah penting untuk melibatkan guru dan karyawan itu antara lain, selaku berikut49:
(a) Buatlah kesepakatan yang mengungkapkan nilai-nilai dan aspirasi bersama dari semua anggota komunitas sekolah. Janji itu berisi pernyataan perihal “Siapa Kami”. Pernyataan itu contohnya demikian: Di Sekolah Sekolah Dasar Insan Mulia, kami selalu memilih tindakan terpuji /Kami benar-benar peduli pada diri sendiri, orang lain, dan sekolah kami/Kami memperlihatkan penghargaan dengan kata-kata dan langkah-langkah yang santun, mendengarkan dengan sarat perhatian, menepati kesepakatan kami, dan senantiasa bertanggung jawab atas sikap dan prestasi mencar ilmu kami/Seperti itulah kami, walaupun tak seorang pun mengawasi kami.
(b)    Miliki semboyan berbasis abjad. Semboyan ini perlu untuk memudahkan guru, karyawan, dan siswa mengingat esensi kesepakatan sekolah serta esensi budaya sekolah. Misalnya, semboyan itu yaitu: “Kami selalu menentukan tindakan terpuji”.
(c)     Dapatkan perlindungan dari kepala sekolah untuk memprioritaskan karakter. Hal ini penting alasannya prioritas kepala sekolah akan menjadi prioritas warga sekolah.
(d)   Bentuklah tim-tim kepemimpinan. Dalam hal ini masing-masing tim mempunyai tugas khusus, contohnya: penyedia bahan kurikulum, poster-poster tentang karakter, penghargaan terhadap siswa, pelayanan terhadap penduduk , kegiatan ekstrakurikuler, dan lain-lain. Sebaiknya tim-tim itu mewakili semua golongan yang ada: guru, administrasi, staf pendukung (staf biasa , petugas bar, sampai satpam), siswa, dan orang tua siswa.
(e)    Bentuklah “pusat pengetahuan”. Divisi ini berfungsi selaku penyedia berbagai materi yang diharapkan oleh berbagai tim tersebut di atas. Bahan itu dikumpulkan dari berbagai macam sumber, seperti: situs Internet, buku-buku, kunjungan ke sekolah lain yang sudah melakukan pendidikan karakter, dan lain-lain.
(f)      Kenalkan acara pendidikan huruf terhadap setiap guru dan karyawan. Momen ini penting untuk mengajak semua guru dan karyawan ambil tugas selaku versi tentang aksara yang bagus bagi siswa. Dalam lembaga ini perlu dikemukakan empat hal mendasar, yakni: (i) apa sasaran-target pendidikan huruf; (ii) apa yang diharapkan agar dikerjakan guru dan karyawan dalam pekerjaannya; (iii) akan menjadi mirip apakah keadaan sekolah jikalau guru dan karyawan melakukannya; (iv) apa laba yang diperoleh sekolah bila guru dan karyawan melakukannya.
(g)  Analisislah budaya budbahasa dan intelektual di sekolah.
Caranya dengan melakukan analisis terhadap empat
hal, adalah: (i)
pengalaman nyata (pengalaman pendidikan
huruf macam apa yang selalu diberikan terhadap siswa?)
(ii)
kelalaian (pengalaman penting macam apa yang
tidak/belum diberikan dengan baik?) (iii)
titik persoalan
(sikap buruk apa saja yang dikerjakan siswa, guru dan
karyawan yang tidak ditangani secara memadai?) (iv)
inkonsistensi (tindakan sekolah macam apa sajakah yang
berlawanan dengan mutu aksara yang baik dan
hendak dikembangkan sekolah?)
(h)  Pilihlah dua prioritas untuk perbaikan budaya sekolah.
Caranya, kerjakan survei dengan mengedarkan daftar
sejumlah budaya sekolah yang perlu diperbaiki. Mintalah
guru, karyawan, siswa, dan orang renta siswa memilih dua
prioritas utama. Pilihan terbanyak, itulah yang dijadikan
prioritas (periksa Apendiks-2).
(i)   Susun rencana program pendidikan abjad bermutu.
Rencana ini ialah substansi dari acara pendidikan
abjad (periksa Apendiks-3).
(j) Pilihlah seni manajemen pengorganisasian untuk mengkampanyekan berbagai kebajikan (periksa Apendiks-4).
(k) Buatlah evaluasi sebagai bagian dari penyusunan rencana.
(1) Bangunlah komunitas kaum akil balig cukup akal yang besar lengan berkuasa. Hal ini penting, alasannya kualitas pendidikan huruf sungguh tergantung pada kualitas komunitas kaum dewasa di sekolah (kepala sekolah, guru, dan karyawan).
(m) Memperkaya dan memperdalam aksara. Hal ini dikerjakan dengan menyediakan waktu secara periodik untuk saling menyebarkan dan mencar ilmu bersama berbagai buku berkualitas mengenai abjad. Misalnya buku: Thomas Lickona, Educating for Character; William J. Bennet, Book of Virtue; Steven Covey, 7 Kebiasaan Yang Paling Efektif; Victor Frankl, Man’s Search for Meaning, dan lain-lain.
Sedangkan langkah mudah untuk melibatkan siswa secara maksimal dalam pelaksanaan pendidikan aksara ialah selaku berikut50:
(a)    Libatkan siswa dalam menyiapkan dan melaksanakan program pendidikan aksara. Misalnya, libatkan mereka dalam memilih tema abjad bulanan, menciptakan poster-poster, merencanakan bentuk-bentuk aktivitas, dan lain-lain.
(b)    Gunakan diskusi kelas sebagai fasilitas bagi siswa untuk mengungkapkan aspirasi dan mencar ilmu bertanggung jawab. Intinya, dalam diskusi kelas interaktif ini, siswa diajak untuk mendiskusikan aneka macam ide dan inisiatif untuk membuat kelas dan sekolah menjadi lebih baik.
(c)     Libatkan siswa dalam pembuatan kebijakan pengelolaan sekolah secara partisipatif. Intinya, memberikan potensi bagi siswa untuk membangun norma yang bisa menunjukkan pengaruh aktual kepada sahabat sebaya mereka. Sebab, aneka macam perilaku menyimpang siswa, hakikatnya ialah “budaya sahabat sebaya”. Hal itu tidak bisa dituntaskan dengan semata-mata mengacu pada pola pikir orang dewasa. Keterlibatan siswa untuk mengatasinya, amat penting artinya.
(d)   Berikan potensi informal kepada siswa untuk menawarkan masukan demi perbaikan sekolah. Misalnya, melalui aktivitas istirahat di kantin, siswa diminta untuk menuliskan jawaban pada suatu papan/kertas tentang pertanyaan berikut: (i) apa satu hal yang paling kalian suka dari sekolah kita?; (ii) apa satu hal yang mau menciptakan sekolah kita lebih baik lagi? Pertanyaan sederhana ini akan mampu menawarkan efek lain pada situasi sekolah.
(e)    Beri tantangan kepada siswa untuk mengkampanyekan perbaikan sikap tertentu ke seluruh warga sekolah. Misalnya, mengkampanyekan untuk selalu berpakaian rapi, bertegur sapa dengan santun, dan lain-lain. Intinya, kampanye itu diarahkan untuk merespons apa yang menjadi keprihatinan sekolah.
(f)     Mantapkan tata cara mentoring. Di sini, siswa yang lebih senior (abang kelas) bertugas menjadi mentor dari siswa yang lebih anabawang (adik kelas). Tentunya, siswa yang lebih senior telah dilatih oleh guru mengenai banyak sekali kompetensi yang dibutuhkan untuk menjadi mentor yang baik.
(g)   Bentuk dan perkuat golongan abjad. Dalam hal ini, di kelompok siswa dibuat golongan-kelompok minat perihal kegiatan tertentu. Masing-masing kalangan memiliki misi berlainan-beda. Misalnya, kelompok minat perihal mediasi konflik, golongan minat tentang kampanye kesadaran kebinekaan, dan lain-lain.
(h) Hargai kepemimpinan siswa. Di sini, sekolah memberikan
penghargaan terhadap siswa atau golongan siswa yang
dinilai memiliki bantuan penting dalam perbaikan
budaya sekolah.
7. Menggerakkan Pihak Luar
Kunci keberhasilan pelaksanaan pendidikan abjad tidak cuma diputuskan oleh keterlibatan orang-orang dalam. Melainkan, dia juga ditentukan oleh adanya keterlibatan ‘orang-orang luar’ sekolah. Mereka yaitu orang bau tanah siswa dan komunitas aksara. Sekolah perlu menggerakkan mereka supaya terlibat secara optimal dalam mewujudkan sekolah karakter.
Adapun langkah mudah untuk melibatkan orang renta siswa, antara lain sebagai berikut51:
(a) Tegaskan bahwa keluarga ialah pendidik aksara utama. Dalam hal ini, sekolah mengambil posisi bahwa: (i) keluarga yakni yang utama dan mempunyai pengaruh paling penting dalam pembentukan abjad anak; (ii) tugas sekolah ialah memperkuat nilai-nilai huruf yang konkret yang diajarkan di rumah. Kaprikornus, keluarga yang meletakkan dasarnya, lalu sekolah membangun di atas dasar itu.
(b)    Mintalah orang bau tanah siswa untuk ikut serta. Dalam hal ini, ajak sebanyak mungkin orang renta untuk ambil bab dengan menjadi sukarelawan dalam pendidikan huruf di sekolah.
(c)     Berikan insentif untuk keterlibatan orang bau tanah siswa. Misalnya, insentif diberikan dalam bentuk: cuma orang tua yang datang menyanggupi usul konferensi-pertemuan dengan sekolah yang mampu menerima rapor siswa.
(d)   Selenggarakan program tutorial orang renta siswa (parenting). Tentunya, program ini harus memiliki keterkaitan yang terang dengan acara pendidikan abjad di sekolah.
(e)    Kirimkan program terhadap orang renta siswa. Program tutorial orang bau tanah siswa lazimnya cuma diikuti oleh sebagian kecil orang bau tanah siswa. Bila ini terjadi, maka sekolah justru perlu bersikap proaktif dengan mengirimkan acara sekolah kepada orang tua siswa. Misalnya, mengantarkan tema huruf bulanan/mingguan (pola: perihal ketabahan), usulan-nasehat mengenai kegiatan siswa bersama keluarga di rumah, saran buku bacaan bagi orang tua, tugas yang perlu diberikan orang bau tanah terhadap anaknya untuk mendukung program pendidikan aksara di sekolah, dan lain-lain.
(f)      Berikan PR keluarga. Dalam hal ini, sekolah memperlihatkan pekerjaan rumah yang terkait dengan huruf bagi siswa untuk dilaksanakan bersama dengan orang renta mereka.
(g)    Libatkan orang renta dalam perencanaan program pendidikan aksara di sekolah. Dalam hal ini, beri mereka potensi untuk memperlihatkan masukan. Misalnya, sekolah mengantarkan daftar berisi belasan kualitas karakter terhadap orang bau tanah siswa. Minta mereka menandai tiga kualitas huruf yang paling penting untuk dikembangkan di sekolah.
(h)  Ciptakan forum konferensi berkelanjutan bagi orang bau tanah
siswa. Forum ini dimaksudkan untuk menggali masukan
orang tua secara berkelanjutan. Suasana forum ini
diupayakan bersifat terbuka, saling percaya, dan saling
mendengar.
(i)   Susunlah bimbingan watak ringkas bareng dengan orang
renta siswa. Panduan ini penting untuk menghindarkan
adanya salah paham dikala siswa melakukan kesalahan
di sekolah. Juga, ini penting untuk memperjelas nilai-
nilai yang perlu dikembangkan bareng oleh sekolah
dan orang bau tanah siswa. Panduan ini perlu diperbaharui secara
terpola, dikembangkan ke dalam berbagai bentuk disiplin
positif di sekolah, serta dikembangkan untuk melawan
dampak media di rumah siswa.
(j) Bersikaplah tanggap kepada masukan orang bau tanah siswa. Daya tanggap sekolah akan memperkokoh keterlibatan orang renta siswa. Adalah bijak manakala secara terjadwal, sekolah melakukan survei, berisi dua hal berikut: (i) Apakah putra Anda merasa nyaman di sekolah?; (ii) Deskripsikan setiap pengalaman yang menimbulkan anak Anda merasa tidak nyaman atau diperlakukan tidak baik di sekolah!
(k) Tingkatkan komunikasi kasatmata antara sekolah dan orang tua siswa. Misalnya, dengan mengantarkan daftar acara bulanan sekolah. Dengan demikian, mereka mengetahui kegiatan yang akan dilaksanakan oleh sekolah.
(I) Beritahukan terhadap orang bau tanah siswa aktivitas-acara apa saja yang dibutuhkan dijalankan oleh siswa dan kirimkan laporan bersiklus kepada mereka. Hal ini akan menolong para orang renta siswa dalam mendorong anak-anak mereka untuk bertanggungjawab terhadap kegiatan sekolah.
Sedangkan beberapa langkah simpel untuk melibatkan penduduk luas dalam pendidikan abjad yang dijalankan oleh sekolah, misalnya selaku berikut52:
(a)    Perkuat kerja sama sekolah dengan berbagai komunitas. Dalam hal ini, terutama kolaborasi dengan berbagai pihak yang peduli pada pengembangan pendidikan dan pengembangan adab kaum muda.
(b)   Perkuat keluarga-keluarga siswa. Karena basis komunitas huruf yang berpengaruh yaitu keluarga yang besar lengan berkuasa, maka sekolah perlu berpartisipasi membantu terwujudnya keluarga yang besar lengan berkuasa (keluarga orang tua siswa). Dalam arti, membantu mereka menjadi keluarga yang semakin peduli kepada pengembangan pendidikan dan pengembangan adab anak-anaknya.
(c)     Berkomitmen membentuk komunitas huruf.
Sekolah berperan serta dalam mendorong kolaborasi dengan aneka macam pihak untuk gotong royong menyebarkan komunitas karakter di daerah di mana sekolah itu berada.
(d)   Libatkan dunia bisnis. Dunia bisnis mempunyai potensi besar dalam pendidikan abjad. Terutama, mereka yang peduli pada pengembangan nilai-nilai profesionalisme di dunia kerja. Sekolah mampu melibatkan mereka untuk ikut berkontribusi dalam pendidikan huruf disekolah.
(e)    Kampanyekan kesadaran huruf terhadap masyarakat. Salah satu tantangan penting dalam membangun komunitas aksara yakni upaya menawan perhatian masyarakat. Sekolah mampu menggunakan berbagai cara untuk mempromosikan pentingnya membangun komunitas aksara. Misalnya, lewat media lokal, Internet, spanduk, even tertentu, dan lain-lain.
(f)      Ciptakan peran khusus untuk polisi. Polisi mempunyai banyak isu berharga mengenai perkembangan mutakhir perilaku kaum muda. Secara berkala, sekolah mampu bertukar info dengan pihak kepolisian mengenai hal itu.
(g)  Beri belum dewasa tugas kepemimpinan. Sekolah,
melakukan pekerjaan sama dengan banyak sekali pihak, mampu mendorong
terwujudnya kalangan-golongan aktivitas konkret bagi
kaum muda di daerah di mana sekolah berada. Peran-peran
kepemimpinan yang aktual dalam kelompok-kelompok itu,
akan sungguh mempunyai arti bagi pendidikan abjad.
(h)  Hargai abjad yang bagus. Sekolah bisa melakukan pekerjaan sama
dengan pihak-pihak tertentu di kawasan di mana sekolah
berada, secara bersiklus memberi penghargaan terhadap
individu/kelompok penduduk yang berkontribusi penting
dalam membangun huruf yang bagus.
(i)   Libatkan sukarelawan penduduk untuk
mengajar abjad di sekolah.
Sukarelawan bisa
sangat berkesan bagi siswa. Karena itu, akan sangat baik
manakala sekolah bisa merekrut sukarelawan untuk secara
terencana mengajarkan karakter kepada siswa. Sukarelawan
itu mampu semua orang, terutama kaum akil balig cukup akal atau pensiunan,
yang suka mengembangkan kebiasaan yang bagus dengan kaum muda.
Sampai di sini, terlihat terang bahwa pendidikan aksara yang berhasil ialah buah dari kerja sama yang bagus antara pihak keluarga, sekolah, dan penduduk . Karakter yang bagus yang telah diajarkan kepada anak di rumah dan di sekolah, membutuhkan peneguhan dalam penduduk . Itulah sebabnya, sekolah aksara yang efektif yakni mereka yang tidak cuma melakukan pekerjaan sendirian (pribadi), melainkan mereka yang bersedia bekerja sama secara maksimal dengan orang bau tanah siswa dan aneka macam komunitas huruf (inklusif) (periksa Apendiks-5).
Kinilah saatnya sekolah di seluruh penjuru negeri ini berusaha menjadikan dirinya sekolah karakter yang efektif: tempat terbaik untuk menumbuhkembangkan karakter.***
Catatan:
* Thomas Lickona yakni tokoh pendidikan huruf. Ia mempunyai dampak luas di dunia akademis dan sekolah-sekolah di aneka macam negara. Pakar psikologi pertumbuhan ini ialah guru besar pendidikan di State University of New York di Cortland; akseptor Sandy Lifetime Achievement Award dari the Character Education Partnership. Bukunya Educating for Character dan Character Matters (referensi utama bab ini) oleh banyak sekali kelompok dianggap sebagai “kitab suci gerakan pendidikan huruf”. Buku lain yang ditulisnya, adalah: Moral Development and Behavior: Theory, Research and Social Issues (editor); Raising Good Children; Character Development ‘m School and Beyond (editor); ,sex, Love & You: Making Right Decision; dan Character Quotations: Activities That Build Character and Community.
Endnotes:
1         Thomas Lickona.2004.Character Matters. New York: Somon & Schuster, p. 221.
2         Lickona 2004: 4.
3         Para Sofis (450-380 SM), tergolong Cicero, mengungkapkan pandangan baru mengenai kebajikan (Arete). Sebelumnya, saat itu, arete dimengerti sebagai hal yang cuma mampu diperoleh seseorang karena keturunan (seseorang terlahir dalam keluarga bangsawan). Namun, berdasarkan para Sofis, arete mampu dipelajari dan diajarkan lewat retorika. Retorika tidak dimengerti sebagai tata cara berbicara di depan publik, melainkan jalan filosofis untuk menggali kebijaksanaan sehingga orang bisa membangun visi kebajikan dan membumikannya menjadi aksi aktual. Periksa Ronnie Lessem.1992.Total Quality Learning: Building A Learning Organization. Oxford: Blackwell.
4         Lickona 2004: 4.
5         Kata-kata Ralph Waldo Emerson, cendekiawan dan pengajar Harvard University, dalam Lickona 2004.
6         Kata-kata Frank Pittman, psikiater, dalam Lickona 2004.
7         Contoh paling dramatis-ironis mengenai hal ini ialah perilaku ngotot hebat yang pernah ditunjukkan oleh para anggota DPR untuk membangun gedung gres DPR. Padahal, produktivitas kerja DPR amat rendah, lagi pula banyak anggota dewan perwakilan rakyat yang integritasnya dipertanyakan oleh publik. Untunglah, niat DPR untuk membangun gedung gres itu hasilnya urung diwujudkan berkat adanya tekanan yang sedemikian kuat dari penduduk untuk mengurungkannya. H    “Kerusakan Moral Mencemaskan” Kompas, 20 Juni 2011, halaman 1.
8         Hal ini tampak terperinci dalam sejarah Indonesia terbaru, khususnya pada awal era XX. Bandingkan misalnya M.C. Riclefs.2001. A History of Modern Indonesia Since c. 1200. Hampshire: Palgrave.; R.E. Elson.2008. The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan. Jakarta: Serambi.
9         Depdiknas.2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, p. 623.
10     Doni Koesoema A.2007. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo.
11     Lorens Bagus.1996. Kamus Filsafat.Jakarta: Gramedia, p. 392.
12     Bandingkan dengan istilah karasso, yang bermakna ‘cetak biru’, ‘format dasar’ atau ‘sidik’.
13     Bandingkan dengan istilah charassein, yang memiliki arti “menciptakan tajam” atau “menciptakan dalam”.
14     Thomas Lickona.1991. Educating for Character. New York: Bantam Books, p. 51.
15     Mengubah aksara menjadi lebih handal tak mampu dilaksanakan secara instant. Ia cuma bisa dilaksanakan lewat proses berguru dalam rentang waktu yang memadai. Inti dari proses berguru itu yakni membangun tiga macam kebiasaan, yakni: kebiasaan memikirkan hal yang baik (habits of mind), kebiasaan mengingini hal yang baik (habits of heart) dan kebiasaan melaksanakan hal yang bagus (habits of action).
16     Lickona 1991, 2004;
17     Orang Indonesia (inlander) digambarkan sebagai sosok yang tidak memiliki kekuatan watak, lekas murka, dungu, dan tidak pernah konkret. Hal ini contohnya dapat dibaca dalam buku Inleiding tot de Volkenkunde van Nederlandsch Indie, yang ditulis oleh guru besar Universitas Amsterdam dan Direktur Koloniaal Institute te Amsterdam yaitu Pof. J.C. van Eerde (Haarlem, 1920).
19    Koentjaraningrat.1974. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.; Mochtar Lubis.1991. Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
20    Jaleswari Pramodhawardani.”Kejujuran Itu Bernama Siami”.
Kompas, Kamis 16 Juni 2011, halaman 6. Siami dan putranya mengungkapkan contekan massal Ujian Nasional di Sekolah Dasar Gadel II/577, Tandes, Surabaya.
21     Lickona 1991:51.
22     Lickona 2004:36, 44-46.
23     Lickona 1991: 51; Akin et al 1995:2.
24     Lickona 2004:7.
25     Thomas Lickona membedakan nilai-nilai susila menjadi dua macam. Yaitu, nilai-nilai etika universal dan nilai-nilai watak non-universal. Nilai budpekerti universal membawa serta keharusan moral universal, ialah kewajiban yang mengikat semua orang di manapun mereka berada untuk menghargai martabat kemanusiaan fundamental setiap orang. Sedangkan nilai susila non-universal tidak membawa serta kewajiban etika universal, melainkan kewajiban adab individual. Misalnya kewajiban etika yang timbul dari nilai-nilai agama (berdoa, bersembahyang, dll). Karakter lebih terkait dengan nilai-nilai akhlak universal yang tentunya menenteng serta kewajiban budpekerti universal.
26     Lickona 2004:7.
27     Lickona 2004:7.
28     Lickona 1991:43.
29     Lickona 1991:45.
30     Lickona 2004:8-11.
31     Lickona 2004:7.
32     Lickona 1991:43.
33     Periksa, Yudi Latif.2011. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia.
34     Lickona 1991:47,421-424; 2004:225-228.
35     Lickona 1991; Marvin W. Berkowitz & Melinda C Bier. 2005. What Works In Character Education: A research-driven guide for educators. Washington DC: Character Education Partnership, p. 2.
36     Lickona 1991:31; Lickona 2004:35; Terri Akin, Garry Dune, Susanna Palomares, dan Dianne Schiling.l995.Character Education in Amerka’s School. California: Innerchoice Publishing, p. 1,
37     Lickona 1991:31.
38     Bandingkan dengan Basis, 05-06, Tahun ke- 52, Mei-Juni 2003 Edisi “Keluarga: Bahtera Yang Sudah Karam”.
39)   Akin et al 1995:1-2. Bandingkan dengan Lickona 1991:20-22,
dan 29. 40.   Koesoema 2007:13.
41.   Thomas Lickona. “The Return of Character Education”.
Educational Leadership, Vol. 51 Number 3, p. 6-11, Nov 1993. 42.   Lickona 1991; Berkowitz & Bier 2005. 43.     Lickona 1991:12-19; Lickona 2004:12-14. 44.   Lickona 2004:12.
45. Thomas Lickona.1996. “Eleven principles of effective character education”. Journal of Moral Education, 25 (1), 93-100. Sebagai­mana diangkut dalam James Arthur “Traditional Approaches to Character Education in Britain and America” dalam Larry P.Nucci & Darcia Narvaez [Ed].2008. Handbook of Moral and Character Education. New York: Routledge, p.94.
lu Lickona 1991: 53. Dimensi wawasan budpekerti meliputi: kesadaran budbahasa, wawasan nilai-nilai adab, sudut pandang budbahasa, argumen budbahasa, pengerjaan keputusan dan pemahaman diri. Adapun dimensi perasaan adab mencakup: hati nurani, iktikad diri, perilaku empati, cinta kebaikan, pengendalian diri, dan kerendahan hati. Sedangkan dimensi langkah-langkah etika mencakup: kecakapan, kemauan, dan kebiasaan.
47.   Lickona 1991:69-70.
48.   Lickona 2004:220, 261.
49. Lickona 2004, terutama Chapter 11 “Make Your School a School of Character”.
50   Lickona 2004, khususnya Chapter 12 “Involve Students in Creating
a School of Character”. 51.   Lickona 2004, terutama Chapter 3 “Build a Strong Home-School
Partnership”
52. Lickona 2004, utamanya Chapter 13 “Involve The Whole Community in Building Good Character