Bekerjanya Hukum Dalam Penduduk

Basis bekerjanya hukum yakni penduduk , maka hukum akan dipengaruhi oleh aspek-aspek atau kekuatan sosial mulai dari tahap pengerjaan sampai dengan pemberlakuan. Kekuatan sosial akan berusaha masuk dalam setiap proses legislasi secara efektif dan efesien. Peraturan dikeluarkan diharapkan sesuai dengan impian, namun efek dari perturan tersebut tergantung dari kekuatan sosial seperti budaya hukumnya baik, maka aturan akan bekerja dengan baik pula, tetapi sebaliknya bila kekuatannya berkurang atau tidak ada maka aturan tidak akan mampu berjalan. Karena masyarakat sebagai basis bekerjanya hukum.

Lawrence M.Friedman dalam bukunya yang berjudul The Legal System A Social Science Perspective, 1975; menyebutkan bahwa metode hukum terdiri atas perangkat struktur hukum (berupa lembaga aturan), substansi aturan (peraturan perundang-ajakan) dan kultur aturan atau budaya aturan.

Ketiga bagian ini mendukung berjalannya tata cara aturan di suatu negara. Secara realitas sosial, eksistensi sistem aturan yang terdapat dalam penduduk mengalami pergantian-pergeseran selaku balasan dampak, apa yang disebut dengan modernisasi atau globalisasi baik itu secara evolusi maupun revolusi.

Pendekatan model Seidman bertumpu pada fungsinya aturan, berada dalam keadaan sebanding. Artinya aturan akan dapat bekerja dengan baik dan efektif dalam masyarakat yang diaturnya. Diharapkan ketiga unsur tersebut mesti berfungsi maksimal. Memandang efektifitas hukum dan bekerjanya aturan dalam penduduk perlu mengamati hal-hal sebagai berikut.

Pertama, forum pembuat peraturan; apakah forum ini ialah kewenangan maupun legitimasi dalam menciptakan hukum atau undang-undang. Berkaitan dengan kualitas bahan normatifnya, apakah telah memenuhi syarat dan jelas perumusannya. Kedua, pentingnya penerap peraturan; pelaksana harus tegas melakukan perintah undang-undang tanpa diskriminasi atau equal justice under law. Ketiga, pemangku tugas; diperlukan mentaati hukum, idealnya dengan mutu internalization. Perilaku dan reaksi pemangku tugas merupakan umpan balik kepada lembaga pembuat peraturan maupun pelaksanan peraturan. Apakah kedua komponen tersebut telah melakukan fungsinya dengan maksimal.

Bekerjanya aturan tidak cukup hanya dilihat dari tiga komponen yang telah diuraikan di atas, perlu didukung lagi dengan model hukum yang dikemukakan dalam proposisi-proposisi Robert B. Seidman, sebagai berikut.

Pertama, every rule of law prescribe how a role occupant is expected to act. (Setiap peraturan hukum menurut aturan-aturan, dan menyuruh pemangku peran sebaiknya bertindak dan bertingkah laku);

Kedua, how a role occupant will act in respons to norm of law is function of the rules laid down, their sanctions, the activity of enforcement institutions, and the inhere complex of social, political, and other forces affecting him. (Respon dan langkah-langkah yang dikerjakan oleh pemangku peran merupakan umpan balik dari fungsi sebuah peraturan yang berlaku. Termasuk hukuman-hukuman yaitu kinerja dan kebijakan lembaga pelaksana/penetap peraturan dan lingkungan strategis (lingstra) yang mempengaruhinya);

Ketiga, how the enforcement institution, will act in respons to norm of law is a function of the rule laid down their sanctions, the inhere complex of social, political, and other process affecting them, and the feedbacks from role occupants. (Tindakan-tindakan yang diambil oleh forum-lembaga pelaksana peraturan selaku respon kepada peraturan hukum ialah fungsi dari peraturan aturan yang berlaku beserta hukuman-sangksinya dan seluruh kekuatan dalam lingkungan taktik (lingstra) yang mempengaruhi dirinya, secara umpan balik selaku respon dari pemangku tugas atau yang dikenai peraturan aturan); dan

Keempat, how the law maker will act is a function of the rules laid down for their behavior their sanction, the inhere complex of social, political, ideological, and other forces affecting them, and the feedbacks from role occupants and bureaucracy. (Tindakan apa yang diambil oleh pembuat undang-undang, juga ialah fungsi peraturan aturan yang berlaku, termasuk sanksi-sanksinya dan efek seluruh kekuatan strategis (ipoleksosbud hankam) terhadap dirinya, serta umpan balik yang hadirnya dari para pemangku peran, pelaksana, dan penerap peraturan).

  Pemahaman Good Governance Dan Karakteristiknya

Empat proposisi di atas, secara terang menggambarkan bagaimana bekerjanya sebuah peraturan hukum dalam masyarakat. Teori Seidman ini mampu digunakan untuk mengkaji peraturan aturan yang dibuat oleh para elite negara, dan apakah bekerjanya aturan berfungsi sebagaimana mestinya dan efektif berlakunya dalam masyarakat, atau justru sebaliknya tidak efektif bekerjanya.

Hukum mampu melakukan pekerjaan dan berfungsi tidak sekedar apa yang diperlukan oleh pembuat peraturan hukum, namun perlu diteliti pada bagian unsur yang tidak melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya. Maksudnya tidak melakukan pekerjaan itu, bisa datangnya dari pembuat peraturan hukum, atau dari para penerap peraturan/pelaksana, ataukah dari pemangku peran. Selain itu mampu dikaji hambatan-hambatan eksternal global yang menimbulkan hukum tidak mampu dijalankan sebagaimana mestinya. Seperti ada tekanan-tekanan dari pihak luar negeri yang tergabung dalam organisiasi internasional.

Dari sketsa tersebut mampu diterangkan :

  • · Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seorang pemegang peranan (role occupant) itu dibutuhkan bertindak. Bagaimana seorang itu akan bertindak selaku respons kepada peraturan hukum merupakan fungsi-peraturan-peraturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, acara dari forum-lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks sosial, politik dan lain-yang lain mengenai dirinya.
  • · Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik dan lain-yang lain yang perihal diri mereka serta umpan balik yang tiba dari pemegang peranan.
  • · Bagaimana para pembuat undang-undang itu akan bertindak ialah fungsi peraturan-peraturan yang mengendalikan tingkah laris mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik, ideologis dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan balik yang tiba dari pemegang tugas serta birokrasi.

A. Proses Pembentukan Hukum

Hukum tidak akan mungkin bekerja dalam ruang hampa. Itulah sebabnya hukum dalam realitasnya berfungsi sebagai aspek pengintegrasian penduduk . Sebagai pengatur sosial, hukum mesti menjalani suatu proses yang panjang dan melibatkan berbagai aktivitas dengan kualitas yang berbeda-beda dalam proses pengerjaan hukum dan proses implementasi aturan. Proses pembuatan hukum itu bergotong-royong mengandung pengertian yang sama dengan istilah proses pengerjaan UU.

Pembuatan aturan merupakan awal dari bergulirnya proses pengaturan teladan pembentukan hukum untuk menertibkan tatanan kehidupan social. Dalam masyarakat demokratis yang modern, badan legislative berdaulat dalam menciptakan kebijakan pembuatan hokum untuk menyalurkan aspirasi masyarakat. Pada prinsipnya proses pembuatan hukum tersebut berjalan dalam tiga tahapan besar, adalah :

(1) Tahap Inisiasi

Lahirnya pemikiran dalam penduduk perlunya pengaturan suatu hal lewat hokum yang masih murni ialah kegiatan sosiologis. Sebagai bentuk reaksi kepada sebuah fenomena sosial yang diprediksikan mampu mengusik keteraturan dan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Di sinilah letak betapa pentingnya kajian-kajian sosiologis dalam menunjukkan pemberian info yang mencukupi untuk memperkuat gagasan ihwal perlunya pengaturan sesuatu hal dalam tatanan hukum.

(2) Tahap Sosio-Politis & Tahap Juridis

Sosio-politis ini dimulai dengan mengolah, membahas, mengkritisi, menjaga ide awal penduduk melalui pertukaran pendapat berbagai kalangan dan kekuatan dalam penduduk . Gagasan akan mengalami ujian, apakah dia bisa terus berlangsung untuk berproses menjadi suatu produk hukum ataukah berhenti di tengah jalan. Apabila gagasan tersebut gagal dalam cobaan dengan sendirinya akan hilang dan tidak dipermasalahkan di dalam penduduk . Apabila gagasan tersebut sukses untuk diajlankan terus, maka format dan substansinya mengalami pergeseran yang menjadikan bentuk dan isi ide tersebut makin luas dan dipertajam.

(3) Tahap Penyebarluasan atau Desiminasi

Gagasan dirumuskan lebih lanjut secara lebih teknis menjadi hukum, termasuk memutuskan saksi hukumnya yang melibatkan aktivitas intelektual yang bersifat murni dan tidak terlibat konlik kepentingan (conflict of interest) politik, yang tentunya dikerjakan oleh tenaga-tenaga yang khusus berpendidikan hukum. Merumuskan materi aturan menurut bahasa hukum dan memeriksa meneliti kontek sistem hukum yang ada sehingga tidak menjadikan gangguan selaku satu kesatuan metode. Tahap terakhir yakni tahap desiminasi (penyebarluasan) yang menjadi tahap sosialisasi produk aturan. Sosialisasi ini besar lengan berkuasa terhadap bekerjanya aturan di penduduk . Sebagus apapun substansial hukum jika tidak disosialisasikan dengan baik, maka aturan tersebut tidak dapat dipraktekkan dengan baik di masysarakat.

Pembuatan hukum di sini cuma merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang disepakati dan dipertahankan oleh warga masyarakat. Langkah pengerjaan hukum dimungkinkan adanya pertentangan-konflik atau tegangan secara internal. Dimana nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan yang bertentangan dapat tanpa mengusik kehidupan masyarakat. Padahal pembuatan aturan memiliki arti yang sangat penting dalam merubah perilaku warga masyarakat. Hukum baru memiliki  makna setelah ditegakkan alasannya tanpa  penegakanhukum bukan apa-apa. Namun saat berlawanan dengan keadaan dimasyarakat maka akan sia-sia juga kelahiran aturan tersebut.

Dalam penegakan aturan, faktor hukum (subtance), pegawanegeri penegak hukum, fasilitas atau akomodasi pendukung penegakan hukum, penduduk , dan budaya menawarkan dampak implementasinya dilapangan. Proses penegakan aturan (tahapan pembuatan hukumnya, pemberlakuan dan penegakannya) harus dijalankan dengan baik tanpa pengaruh kepentingan individu dan kelompok. Hukum kemudian diberlakukan dan ditegakkan selaku sarana untuk mewujudkan kepentingan dan tujuan serta untuk melindungi kepenting­an individu, masyarakat, serta bangsa dan negara.

Secara juridis dan ideologis, instansi penegak aturan dan aparat penegak aturan di Indonesia ialah suatu kesatuan sistem yang terintegrasi dalam membangun satu misi penegakan aturan. Meskipun penegakan aturan secara prinsip yakni satu, tetapi secara substantif penegakan aturan, penyelesaian kasus akan melibatkan seluruh in­tegritas kepribadian para pegawapemerintah penegak hukum yang terlibat di dalamya. Keberhasilan atau kegagalan para penegak aturan dalam melaksanakan tugasnya bahwasanya telah dimulai sejak peraturan aturan dikerjakan itu dibentuk.

Norma aturan dibilang berlaku secara filosofis jika norma hukum itu memang bersesuaian dengan nilai-nilai filosofis yang dianut oleh sebuah negara. Nilai filosofis negara Republik Indonesia terkandung dalam Pancasila sebagai ”staats­fundamentalnorm”. Dalam rumusan kelima sila Pancasila terkandung nilai-nilai religiusitas Ketuhanan Yang Maha Esa, humanitas kemanusiaan yang adil dan beradab, nasionalitas kebangsaan dalam ikatan berbhineka-tunggal-ikaan, soverenitas kerakyatan, dan sosialitas keadilan bagi segenap rakyat Indonesia. Dari kelima nilai-nilai filosofis tersebut tidak satupun yang boleh diabaikan atau malah ditentang oleh norma hukum yang terdapat dalam banyak sekali kemungkinan bentuk peraturan perundang-seruan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Norma hukum dengan daya ikatnya untuk lazim dari pendapatbersifat teknis juridis berlaku jika norma aturan sendiri memang ditetapkan sebagai norma hukum berdasarkan norma aturan yang lebih tinggi. Mengikat atau berlaku karena menawarkan relasi kewajiban antara sebuah keadaan dengan jadinya. Ditetapkan selaku norma aturan berdasarkan prosedur pembentukan hukum yang berlaku dan ditetapkan sebagai norma aturan oleh lembaga yang memang berwewenang untuk itu. Maka norma hukum yang bersangkutan mampu dibilang memang berlaku secara juridis.

  Pemahaman Wawasan Tentang Politik Seksualitas ?

Norma hokum berlaku secara politis apabila pemberlakuannya itu memang disokong oleh aspek-faktor kekuatan politik yang kasatmata. Keberlakuan politik ini berkaitan dengan teori kekuasaan (power theory) yang menawarkan legitimasi pada keberlakuan sebuah norma aturan semata-mata dari sudut pandang kekuasaan. Apapun wujudnya dan bagaimanapun proses pengambilan keputusan politik tersebut dicapainya sudah cukup untuk menjadi dasar legitimasi bagi keberlakuan norma hukum yang bersangkutan dari segi politik.

Norma hukum berlaku memprioritaskan pendekatan yang em­piris dengan memprioritaskan beberapa opsi criteria legalisasi (recognition theory), penerimaan (reception theory), faktisitas hukum. Hal itu memberikan, bahwa keadilan tidak cuma dapat diperoleh di pengadilan, tetapi lebih jauh dari itu. Karena keadilan yang sebenarnya muncul janji-kesepakatan yang dikerjakan oleh para pihak yang bersengketa.

B. Implementasi dan Penegakan Hukum

Hukum bukan ialah sebuah karya seni yang adanya cuma untuk dicicipi oleh orang-orang yang mengamatinya. Ia juga bukan sebuah hasil kebudayaan yang adanya cuma untuk menjadi bahan pengkajian secara logis-rasional. Hukum diciptakan untuk dijalankan. “hukum yang tidak pernah dilakukan, pada hakikatnya sudah berhenti menjadi aturan”, demikian berdasarkan Scholten.

Kemudian aturan bukanlah suatu hasil karya pabrik yang begitu keluar dari bengkelnya langsung akan mampu melakukan pekerjaan . Kalau hukum mengatakan bahwa jual-beli tanah harus dikerjakan di hadapan pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan pencatatannya, tidak memiliki arti, bahwa semenjak dikala itu orang yang melakukan jual-beli itu akan mendapatkan pelayanan mirip ditentukan adanya beberapa langkah yang memungkinkan ketentuan tersebut dilaksanakan.

Pertama, harus ada pengangkatan pejabat sebagaimana diputuskan di dalam peraturan hukum tersebut. Kedua, harus ada orang-orang yang melaksanakan perbuatan jual-beli tanah. Ketiga, orang-orang tersebut mengenali adanya peraturan ihwal kewajiban bagi mereka untuk menghadapi pegawai yang telah diputuskan untuk mencatatkan insiden tersebut. Keempat, bahwa orang-orang itu bersedia pula untuk berbuat demikian.

Dengan perkataan lain mampu dikatakan, bahwa hukum itu cuma akan dapat berlangsung melalui insan. Manusialah yang membuat hukum, namun juga untuk pelaksanaan dari pada aturan yang sudah dibuat itu masih diharapkan campur tangan insan pula.

Di dalam membicarakan penerapan aturan pada penduduk -penduduk yang kompleks (menurut Chambliss & Seidman untuk penduduk modern) mereka menyampaikan, bahwa ciri pokok yang membedakan masyarakat primitip dan transisional dengan penduduk kompleks ialah birokrasi. Masyarakat terbaru bekerja lewat organisasi-organisasi yang disusun secara formal dan birokratis dengan maksud untuk mencapai rasionalitas secara maksimal dalam pengambilan keputusan serta efisiensi kerja yang berjalan secara otomatis[.

Menurut Schuyt, tujuan hukum yang lalu mesti diwujudkan oleh organ-organ pelaksananya itu ialah sangat biasa dan kabur sifatnya, beliau menunjuk pada nilai-nilai keadilan, keserasian dan kepastian hukum. Sebagai tujuan-tujuan yang harus diwujudkan oleh hukum dalam kehidupan sehari-hari. Oleh alasannya adalah kekaburan dalam tujuan yang akan dikerjakan oleh hukum inilah, maka sekalipun organisasi-organisasi yang dibuat itu bermaksud untuk merealisasikan apa yang menjadi tujuan hukum, organ-organ ini dipakai untuk mengembangkan pendapatnya/penafsirannya sendiri mengenai tujuan hukum itu. Dengan demikian maka organisasi-organisasi ini, seperti Pengadilan, kepolisian, legislatif dsb, melayani kehidupannya sendiri, serta mengajar, tujuan-tujuannya sendiri pula. Melalui proses ini terbentuklah sebuah kultur, yang berikutnya akan menawarkan pengarahan pada tingkah laku organisasi-organisasi serta pejabatnya sehari-hari itu.

S. Maronie

sebagai materi kuliah Sosiologi Hukum