Bekal Makan Siang | Cerpen Muhajir Arrosyid

Jika saja ia tak terbakar nafsu, keluarganya tak akan terkena efek begini. Mulanya hidupnya baik-baik saja. Apotek, bisnis yg ia jalankan bareng istrinya berlangsung tanpa hambatan memberi pendapatan tetap. Ia memiliki keluarga yg layak. Punya rumah, punya kendaraan beroda empat keluarga, setiap ahad mampu makan ke luar. Pengeluaran & pemasukan seimbang. Bahkan, ia masih bisa menabung.


Hingga musim pemilu tiba menarik hati. Ia tertantang untuk mengikuti. Sahabat-sahabatnya meyakinkan. “Bos, ananda punya modal Bos. Eman-eman kalau tak dipakai. Dalam perebutan kekuasaan begini, tak hanya modal duit yg diperlukan, tapi pula popularitas & mesin pelopor. Kamu punya itu. Kamu mantan ketua organisasi kepemudaan tingkat provinsi. Punya anak buah di setiap kabupaten. Anak buahmu itu tinggal dioperasikan, jadi. Tidak semua calon punya modal seperti kamu. Banyak yg cuma modal nekat,” rayu temannya yg nanti menjadi ketua tim sukses.


Memang, hidupnya kini monoton. Ia hanya bergumul dgn anak-istri, mengevaluasi toko, begitu-begitu saja. Hanya sesekali junior di organisasinya dahulu datang meminta anjuran atau mengajak diskusi tentang politik. Kadang-kadang memintanya menjadi pembicara pendidikan politik dasar.

Itu berbeda dgn ketika ia menjabat sebagai ketua organisasi kepemudaan. Ia dulu sibuk luar biasa. Ia keliling provinsi membuka & menutup program, melantik pengurus tingkat kabupaten, koordinasi ke pusat, audiensi dgn pemerintah, & segala kegiatan lain. Berpolitik pernah ia jalani, bukan politik praktis, ya politik merebut bangku ketua itu. Penuh tantangan & persaingan. Ada lobi-lobi, konsolidasi, bahkan duit pula bergerak. Politik ialah dunianya. Teman-temannya banyak yg sudah melangkah ke jalur ini.


Setelah menimbang-nimbang, ia menetapkan mengikuti anjuran sobat-temanya untuk melangkah ke pertandingan memperebutkan satu kursi anggota dewan di tingkat provinsi.
Ia hubungi kolega-koleganya. Ia bentuk tim pemenangan hingga tingkat kecamatan. Ia ambil utang dgn tanah sebagai jaminan. Ia pesan kaus, ia pasang iklan, ia bagi uang.
Setiap malam orang tiba ke rumah. Memuji-mujinya, melaporkan keadaan di lapangan & prediksi-prediksi mereka. Mereka memberikan santunan masuk ke dlm tim & ujung-ujungnya minta uang. Kepalang tanggung. Hingga alhasil waktu penyeleksian telah tiba. Orang-orang memberikan suaranya, penghitungan bunyi dimulai. Ia mendapat bunyi banyak, tetapi belum cukup untuk mendudukkannya di bangku dewan. Orang-orang yg tadinya mendekat, mulai menyingkir. Orang-orang yg tadinya memanggilnya bos, hilang entah ke mana.
Yang datang justru orang-orang yg menagih bayaran ongkos cetak alat kampanye, kaus, hingga masakan. Hartanya ludes. Tanah berikut tokonya terpaksa ia jual untuk menutup semua utang itu. Ia ditawari tetap tinggal di partai sebagai pengelola, tetapi ia menolaknya, ia ingin hidup mirip sediakala.
*****


Sudah lima tahun insiden itu, tatkala pemilu mau menjelang lagi, keadaan ekonominya belum pulih. Ia kini melakukan pekerjaan di sebuah perusahaan sebagai pegawai manajemen. Gaji yg tak seberapa itu ia gunakan menghidupi keluarga & berusaha menabung bertahap untuk menciptakan usaha lagi. Ia sudah ke sana-ke mari meminta pinjaman untuk membangun perjuangan lagi, namun tak ada yg memberi. Bahkan, keluarganya sendiri tak memberi. Utangnya yg kemarin belum terbayar, mungkin itu alasannya adalah. Istrinya terpukul dgn keadaan itu, namun menerima. Itu yg menjadikannya tetap berpengaruh.

Betapa pun hidup harus dilanjutkan. Anak-anak mesti tetap makan, sekolah, & hidup layak. Anak-anak ikut menerima konsekuensi. Kualitas makan di keluarganya turun, mutu pakaiannya pula begitu. Jika dulu makan ke luar, jalan-jalan sore menggunakan mobil, saat ini membawa sepeda motor. Saat hujan turun harus ngiyup.

Saat linglung begitu ia mengaji. Saat mengaji itu ia ingat guru ngajinya saat kecil dulu. Tiba-tiba ia ingin bertemu. Ia berkunjung ke sana sendirian. Ia masuk ruangan, tempat ia dulu belajar mengaji bareng teman-sahabat kecilnya. Di sini ia mencar ilmu mengenal abjad-huruf hijaiyah, menghafalkan doa-doa, belajar salat, & wiridan. Wiridan adalah melafalkan kalimah-kalimah baik, asma Allah, dengan-cara berulang-ulang. Guru ngajinya melakukan pengajaran tanpa dibayar. ia tulus menyayangi murid-murid. Ia duduk di ruangan itu menanti, mengenakan sarung kotak-kotak, baju warna putih.


“Eh Gus Lana, pripun kabare. Kok kadingaren kemari.” Gurunya memang unik, memanggil murid dgn panggilan Gus.

Injih Yai. Nyuwun ngapunten. Mohon maaf ndalem baru bisa silaturahim.”

“Eh denger-denger kemarin nyalon ya?”

Injih Yai, namun tak jadi.”

“Iya, kalau jadi mana mungkin sampai sini.” Sang guru tertawa terbahak-bahak. Lana merunduk. Ia merasa bersalah. Tatkala mencalonkan diri tak memohon restu, & ketika kalah baru mendekat.

“Mohon maaf, Yai. Mohon isyarat .”

“Begini Lana. Kamu harus prasangkai baik kejadian ini. Coba cari segi baiknya untukmu atas peristiwa ini. Kamu masih ingat hadis Qudsi ini; Aku dlm praduga hamba-Ku, pada-Ku. Itu artinya kenyataan ditentukan oleh dugaan kita sendiri. Pokoknya ananda mesti berprasangka baik atas peristiwa ini, atas kekalahanmu. Setelahnya ananda jalani hidup mirip biasa. Kamu jalani hidupmu selaku makhluk, selaku umat Muhammad. Itu saja cukup.”

Sepulang dr rumah gurunya, hatinya tenang. Ia pula tak lagi menghujat-maki, menyalahkan orang lain. Kata gurunya, duduk perkara yg menimpa kita itu dr Allah. Alangkah tak sopan mengeluhkan Allah pada insan. Keluhkanlah yg dr Allah itu pada Allah.
*****


Sebelumnya Lana makan di kantin, tetapi sudah beberapa bulan ini Lana tak makan siang. Ia kuat menahan lapar demi menyisihkan uang. Anaknya sudah mulai besar membutuhkan biaya sekolah yg cukup. Ia pula ingin secepatnya punya duit untuk modal, mengawali perjuangan lagi. Saat waktu istirahat tiba ia melangkah menuju masjid ikut salat berjemaah. Setelahnya ia istirahat di masjid sampai waktu istirahat habis.

Mulai hari ini Lana menenteng bekal dr istrinya, namun ia resah mau makan di mana. Jika ia memakan bekal di meja kerja, ia tak yummy dgn sobat-temannya. Orang-orang mungkin berpikir kalau ia terlalu berhemat. Perutnya sudah mengundang, menyuruhnya untuk membuka tepak bekal dr istrinya. Tangannya sudah mengelus-elus. Tapi ia tak sampai hati membukanya. Ia ingat sayur kluwih yang diolah istrinya berbumbu petai beraroma tajam. Ini akan tercium oleh sahabat-temannya. Bisa mengusik fokus kerja. Apalagi gereh goreng itu. 

  Ibu Pergi ke Gunung | Cerpen Mashdar Zainal

Duh. Ia ingin bawa bekal itu ke lantai atas, & memakannya di sana, tetapi ia takut kepergok satpam atau petugas kebersihan. Tentu ia sangat aib jikalau tertangkap basah makan sembunyi-sembunyi. Kabar itu mampu menjadi obrolan orang sekantor. Sampai bel pulang berbunyi, bekal dr istrinya masih terbukus. Ia tidak punya nyali untuk membuka. Gengsi. Ia memilih menahan lapar ketimbang aib.


Ia bawa bekal itu kembali pulang. Tetapi hatinya pula berkecamuk. Andai tahu ia tak memakan bekalnya, istrinya niscaya sakit hati. Ia resah. Ia mencari tempat memakan bekal itu. Ia berencana makan bekal itu di pom bensin.

Baru berhenti & mau membuka jok, ada juniornya di organisasi kepemudaan menghampiri. “Eh Mas, apa kabar? Setelah berbasa-basi, ia berjalan lagi & berhenti di taman kota. Di taman, lagi-lagi ia kepergok sahabat.

Akhirnya, ia memantapkan niat untuk mengkonsumsi bekal di serambi masjid. Ia sudah tak peduli ada orang menyaksikan. Ia akan katakan bekal itu ialah tanda cinta istrinya.
Ia sikat bekal itu dgn cepat. Ia masukan nasi & lauk ke dlm ekspresi dgn sendokan besar. Tandas sudah. Tepak yg kosong itu akan ia tunjukkan pada istrinya. Itu lah cara membahagiakan istri.


Tepak kosong yg sudah dibungkus plastik ia gantungkan di sepeda motor. Ia membangkitkan sepeda motor. Pada ketika ia akan menjalankan sepeda motor, ada seorang bapak mendekatinya. Seorang bapak berparas memelas mengatakan sesuatu. “Apa Pak?” Lana meminta mengulangi.

Bapak yg tampaknya seusia bapaknya itu mengulang, “Mas, minta uang seikhlasnya buat beli bensin.” Lana membuka dompet & menyampaikan uang Rp20 ribu. Bapak itu mendapatkan, “Semoga rezeki mas lancar ya?”

Ia menggerakkan motor, bapak itu juga. Terbersit di pikirannya, mungkinkah si bapak menipu dirinya? Namun, anggapan itu secepatnya tertindih pesan gurunya tentang dugaan baik. “Jika gue tak menjinjing bekal & makan di kantin, gue tak bisa menyisakan uang & membantu bapak itu membeli bensin. Alhamdulillah.”

Lana melanjutkan perjalanan pulang, ia melewati baliho-baliho kampanye di kanan & kiri jalan. Minggu depan pemilu, akan secepatnya ada orang-orang yg bernasib sama dengannya atau mungkin lebih jelek. (*)