SATU hari, setelah di rumah diadakan walimatus safar, Haji Maskud tiba ke tempat tinggal. Ia menyerahkan tiga butir batu. Tak ada yg istimewa atau abnormal dgn benda yg diserahkan suami Hajah Susilowati itu. Batu-kerikil tersebut tak berbeda dgn kerikil-batu yg berserakan di depan rumah.
“Tolong, barang-barang ini Bapak bawa kalau akan berangkat haji. Batu-batu ini untuk melontar jumrah,” katanya.
“Makara, untuk melontar jumrah kita harus menjinjing kerikil sendiri dr rumah?” tanya saya tak memahami.
Haji Maskud membisu. Ia terlihat galau menerima pertanyaan saya. Saya pula merasa janggal setelah Haji Maskud menyerahkan kerikil itu & memerintahkan saya membawanya ke Tanah Suci. Sebab, sepengetahuan saya, untuk melontar jumrah, calon haji tak perlu menenteng batu dr rumah. Lalu, kenapa Haji Maskud membawa watu kemari? tanya saya dlm batin.
Memang, sepuluh hari lagi saya akan berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan rukun Islam yg kelima. Dari semua kegiatan pelaksanaan ibadah tersebut, salah satunya yaitu melontar jumrah. Dan, melontar jumrah dijalankan dgn menggunakan batu. Bukan dgn benda lain—bukan dgn logam atau kayu.
“Apakah untuk melontar jumrah kita mesti menenteng batu sendiri dr rumah?” Saya mengulangi pertanyaan sesudah Haji Maskud termenung cukup lama.
“Bukan begitu maksud saya, Pak,” jawab Haji Maskud.
“Lantas?” tanya saya.
“Batu-kerikil itu saya ambil dr sana. Maksudnya untuk melontar jumrah.”
Saya diam. Sengaja memberi peluang pada Haji Maskud untuk menjelaskan tujuannya. Sebab, semenjak pertama menyerahkan watu-batu itu, ia terlihat gundah. Apalagi setelah saya melontarkan pertanyaan tolol. Saya katakan demikian lantaran semua orang tahu bahwa untuk melontar jumrah, calon haji tak perlu menjinjing watu dr rumah. Namun, tanpa pernah saya persiapkan sebelumnya, tiba-tiba verbal saya mengajukan pertanyaan konyol tersebut. Bahkan, sempat mengulanginya. Mempertegas pertanyaan sebelumnya.
“Silakan minum, Pak Haji.” Saya mempersilakan sang tamu.
Haji Maskud menyeruput teh yg masih hangat. “Begini maksud saya, Pak Budi,” kata Haji Maskud setelah menaruh cangkir di atas meja. “Saya mau minta tolong Pak Budi untuk mengembalikan watu-kerikil ini ke tempatnya.”
Saya membisu.
“Ya, letakkan saja kerikil-kerikil ini di sana,” tambah Haji Maskud. “Atau, nanti Bapak menggunakannya untuk melontar jumrah.”
Selanjutnya, Haji Maskud mengatakan, sejak kerikil-kerikil itu terbawa ke rumahnya, ia merasa tersiksa. Betapa tidak, batu-batu itu senantiasa saja ribut di tempatnya. Memang, ia tak menyadari bahwa kerikil-batu tersebut terbawa olehnya.
Setelah selesai melaksanakan rukun Islam yg kelima, Haji Maskud tak segera mengeluarkan barang-barangnya yg ada di koper. Tak sempat. Lantaran, tak henti-hentinya tamu yg datang. Hingga ia & istrinya merasa kurang tidur. Namun, ia tak mungkin mengusir tamu yg bertandang ke rumahnya.
Malam kedua tatkala hendak tidur, Haji Maskud mirip mendengar ada sesuatu yg mengetuk-ngetuk kopernya yg berada di kamar tidurnya. Semula, ia pikir bunyi itu yaitu Cicak yg sukses menangkap serangga yg agak besar. Memang, reptil ini, apabila sukses menangkap mangsa yg tak pribadi mampu ditelannya, ia akan membanting-banting mangsa yg ada di mulutnya. Bila Cicak tersebut berada di permukaan kayu, melekat di lemari, contohnya, lemari itu akan mengeluarkan bunyi-bunyian. Seperti ada jari yg mengetuk piranti yg terbuat dr kayu tersebut. Namun, bila Cicak tersebut berada di dinding, tak ada bunyi-bunyian yg dikeluarkan saat reptil kecil itu berupaya melumpuhkan mangsa yg ada di mulutnya. Itulah sebabnya Haji Maskud tak secepatnya bangkit. Namun, sehabis agak usang, suara tersebut tak berhenti. Akhirnya, Haji Maskud berdiri. Ia memeriksa kopernya yg masih belum dibuka.
Haji Maskud merasa heran sesudah memindah kopernya. Lantaran, suara ketukan-ketukan itu masih terdengar. Kali ini, Haji Maskud percaya bunyi itu bukan berasal dr Cicak yg sedang melumpuhkan mangsa. Bagaimanapun, jikalau benar bunyi tersebut dr Cicak, dapat ditentukan suara itu akan terhenti. Sebab, Cicak akan langsung lari cemas jika tempatnya berpijak bergeser.
Setelah dicermatinya, ternyata bunyi itu berasal dr dlm koper. Haji Maskud membuka daerah itu. Alangkah terkejutnya ia sesudah membukanya. Betapa tidak, ia melihat tiga butir kerikil di sana.
“Mengapa batu-kerikil ini ada di dlm koper saya?” tanyanya dlm batin sesudah melihat ada tiga butir batu di dlm koper. “Siapa yang….”
Tiba-tiba, kerikil-batu itu meloncat dr dlm koper. Menghentikan pikirannya. Barangkali, jikalau ia kurang gesit menghindar, batu-batu tersebut akan tentang mukanya. Sebab, ia tak pernah menduga sebelumnya bila benda itu akan meloncat. Keluar dr koper.
Beberapa saat lamanya, Haji Maskud sempat tercenung. Memikirkan watu-watu yg sudah tergeletak di lantai kamarnya. Batu-watu itu berjejer satu sama lain setelah melompat dr dlm koper. Padahal, jikalau mengamati bagaimana batu-watu itu terlempar dr koper, seharusnya mereka tak jatuh di kawasan yg sama. Paling tidak, ada jarak di antara ketiga kerikil tersebut. Kenyataannya tak demikian.
Sejurus kemudian, lelaki yg belum sepekan tiba di Tanah Air itu pun ingat. Tatkala mengambil batu untuk melontar jumrah, jumlahnya lebih banyak dr yg seharusnya digunakan. Maksudnya, andaikata batu-batu yg akan dipakai untuk melontar jumrah terjatuh sebelum dipakai, ia tak perlu memungut watu lagi.
Ia tak ingat bagaimana watu-watu tersebut terbawa ke dlm koper meski sudah berpikir keras untuk mengingatnya. Yang diingatnya, ia memang mengambil batu-batu tersebut lebih banyak dr yg semestinya. Pun, ia lupa berapa keunggulan kerikil yg dipungutnya tersebut. Karena merasa benda itu bukan sembarang batu, ia menyimpan kerikil-watu tersebut di laci yg ada di dlm lemari pakaian.
Esoknya, tatkala hendak menyimpan liontin berupa Ka’bah yg dibelinya di Tanah Suci, Hajah Susilowati memperoleh watu-batu di laci. Tanpa mengajukan pertanyaan pada suaminya apalagi dahulu, Hajah Susilowati mengambil watu-batu ada di dlm laci kawasan menyimpan barang-barang berharga. Lalu, ia membuangnya di halaman depan rumah. Perempuan ini sama sekali tak pernah tahu bahwa batu yg dibuang tersebut bukan sembarang watu.
Haji Maskud merasa gres saja memejamkan mata tatkala dibangunkan istrinya.
“Pak! Bangun, Pak!” Hajah Susilowati membangunkan suaminya setengah berbisik. “Pak, ada yg mengetuk pintu rumah kita, Pak.”
Agak malas, Haji Maskud membuka mata. Lalu, katanya, “Ya, tak mungkinlah. Memangnya, pintu pagar tak digembok?”
“Ssttt! Coba Bapak dengar baik-baik,” Hajah Susilowati menaruh telunjuknya di depan bibir.
Benar. Setengah sadar & tidak, Haji Maskud mendengar bunyi pintu rumahnya mirip diketuk. Setelah yakin ia mendengar suara ketukan pintu, laki-laki itu bangkit. Keluar dr kamar. Ia hendak menyaksikan siapa yg mengetuk pintu rumahnya pada tengah malam.
“Hati-hati, Pak!” Hajah Susilowati mengingatkan. Ia mengikuti sang suami yg berjalan mengendap-endap. Menuju pintu.
Di depan pintu, Haji Maskud berhenti. Ia tak langsung membuka pintu. Bukan lantaran perlu berhati-hati, siapa tahu yg mengetuk pintu rumahnya orang yg berencana jahat. Suara ketukan itu tak di tengah pintu, namun di bawah. Dekat lantai.
Sebelum bertindak lebih jauh, Haji Maskud menyibak gorden di pinggir pintu untuk menegaskan sesuatu yg telah membuat ia & istrinya terbangun. Ternyata, tak ada siapa-siapa yg berdiri di balik pintu. Namun, bunyi ketukan itu tak pula berhenti. Setelah yakin tak ada orang di sana, lelaki berbadan tambun itu membuka pintu.
Alangkah terkejutnya Haji Maskud tatkala menyaksikan tiga butir batu tergeletak di balik pintu. Ia pun memungut ketiga watu tersebut. “Ibu menyingkirkan kerikil yg ada di laci?” tanyanya pada sang istri sehabis ia mengamati benda-benda tersebut.
Hajah Susilowati mengangguk. “Ya, tadi siang batu-watu itu saya….”
“Ini bukan watu biasa, Bu.” Haji Maskud memangkas kalimat istrinya. “Coba Ibu amati, apakah watu-batu ini yg tadi dikeluarkan dr laci?”
Hajah Susilowati diam. Ia memperhatikan dgn saksama bentuk watu yg ada di telapak tangan suaminya. Benar. Bentuk serta ukuran watu itu sama persis mirip yg dilemparkannya ke halaman rumah tadi siang.
“Batu ini kerikil yg kita gunakan untuk melontar jumrah,” lanjut Haji Maskud sesudah agak lama istrinya melamun. Lalu, ia menjelaskan sebabnya watu itu disimpan di laci.
Malamnya, suami-istri tersebut menetapkan menyimpan kerikil itu ke dlm laci di lemari pakaian bareng barang berharga yang lain.
Sepuluh hari kemudian—setiap malam—pasangan suami-istri yg sudah menikah selama lima belas tahun, tetapi belum memiliki anak itu, selalu mendengar bunyi gludak-gluduk dr laci yg terdapat di tengah lemari. Suara itu baru terdengar sesudah melalui tengah malam. Sekitar pukul dua dini hari. Anehnya, sehabis mereka berdiri, tiba-tiba bunyi gludak-gluduk itu lenyap. Seolah-olah bunyi-bunyian itu cuma untuk mengusik ketenangan tidur mereka.
Karena merasa terusik oleh ulah benda-benda itu, Haji Maskud menceritakan hal ini pada Kiai Said. Ia pun ingin tahu apa yg sebaiknya dilakukan kepada benda-benda yg terbawa dr Tanah Suci itu.
“Mengapa mesti terusik?” Kiai Said balik mengajukan pertanyaan setelah Haji Maskud memaparkan ceritanya. “Justru mestinya kita bersyukur. Mengapa demikian? Karena, dgn begitu, Bapak bisa berdiri setiap malam untuk menjalankan qiyamul lail. Iya, kan?”
Haji Maskud menganggukkan kepalanya berulang kali. Benar pula kata Pak Kiai, batin Haji Maskud. Mengapa tak kami manfaatkan untuk shalat malam kalau dibangunkan kerikil-watu itu?
“Nah, soal batu yg terbawa itu, tunggu saja nanti kalau ada kenalan Bapak yg mau umrah atau naik haji. Titipkan saja sama ia,” tambah Kiai Said.
“Itulah sebabnya watu-kerikil ini saya bawa kemari. Karena, saya sudah yakin jika Bapak akan segera berangkat ke Tanah Suci pada musim haji kini ini,” lanjut Haji Maskud sesudah menceritakan ulah benda-benda itu.
Saya mirip tak percaya dgn pengalaman Haji Maskud yg diceritakan itu. Saya anggap kisah dr laki-laki yg meninggalkan tiga buah watu terlalu mengada-ada. Namun, sehabis benda-benda yg ditinggalkan Haji Maskud berada di rumah, saya gres percaya bahwa cerita Haji Maskud tak mengada-ada. Sebab, gres semalam benda itu tersimpan di rumah, mereka sudah melaksanakan hal yg sama di koper saya. Mereka seolah-olah ingin secepatnya dikembalikan ke tanah asalnya.