Kau tahu, gue lupa berapa kali sudah mengajukan kata “kenapa” pada pria itu, pria paruh baya yg kusebut Bapak. Belasan? Puluhan? Ah, tidak! Pasti sudah ratusan. Bahkan gue pun merasa, kali pertama yg kuucapkan ketika keluar dr rahim ibuku yaitu kata itu. Kenapa?
“Pak, kenapa Bapak menatapku seperti itu?” ujarku sore itu.
Ia terkekeh renyah mirip biasa. “Karena matamu indah, Mbak,” ucap Bapak sambil terkekeh.
Kubiarkan saja. Luweh, batinku. Ya, cuma dlm batin. Mana berani gue menyampaikan langsung pada Bapak. Bisa-bisa nanti ia kutuk jadi batu.
Aku memang sudah biasa diam, bicara seperlunya jikalau Bapak enteng menjawab kata “kenapa”. Dari ratusan orang yg kukenal, bapakkulah yg paling hebat menjawab pertanyaan dr siapa saja, tanpa takut & kehabisan kata-kata. Bahkan gue berani bertaruh, ia bisa menjawab pertanyaan rektor dgn enteng & tanpa beban. Padahal, rektor paling ditakuti oleh orang sekampus kawasan ia mengajar sebagai dosen hebat.
Tentu saja, kalau tak begitu, mana mungkin Bapak mampu mengenal banyak orang dr banyak sekali kelompok. Jika bukan begitu, mana mungkin temannya di Facebook mencapai 4.562—yang mungkin mampu bertambah lagi. Orang yg ingin berteman, tak bisa mengajukan seruan pertemanan. Berbeda jika Bapak yg meminta lebih dahulu.
Bapak kembali menyeruput kopi. Begitu keras seruputan itu, hingga terdengar jelas di telingaku. Ia memang sungguh menggemari air hitam pekat itu. Huek! Aku hingga malas membayangkan berapa liter air hitam yg tergenang di lambung Bapak. Mungkin cacing di perut Bapak salah mengolah kuliner pokok. Bukan nasi, melainkan kopi. Ya, saking banyak kopi yg Bapak minum saban hari. Atau, mampu saja cacing-cacing itu telah berganti menghitam karena terlalu sering berenang di kubangan kopi.
Sudahlah, namanya kesukaan. Siapa pula mampu melarang? Apa anak perempuan semacamku mempunyai daya melarang seorang laki-laki yg jauh lebih tua? Belum selesai gue menasihati, pasti sudah Bapak beri pesan tersirat sepuluh kali lipat lebih dahulu. Bukankah betapa pun Bapak memiliki pengalaman hidup jauh lebih banyak daripada gue yg baru 13 tahun menghirup udara di bumi? Walau itu sebenarnya tak ada korelasi dgn bahaya terlalu sering meminum kopi.
Alasan terkuatku kenapa malas berdebat, alasannya Bapak jago berdebat. Sebagai penulis, mana mungkin ia kesusahan merangkai kata-kata. Meski, contohnya, hanya berdebat kasus sepele.
“Teman-sobat Bapak yg gres saja tiba menanyakan soal yg sama lagi lo, Mbak,” ucap Bapak tiba-tiba.
“Menapa, Pak?” tanyaku. Anggap saja itu pertanyaan formal. Ya, gue paham betul apa yg akan ia katakan.
Jemari keriputnya menjangkau suatu buku. Itulah salah satu buku karya Bapak yg sudah katam kubaca. Bapak membuka buku itu & menunjuk satu baris kalimat di daftar isi. Tepat pada judul cerpen kelima.
“Mereka bersemangat menanyakan kebenaran ‘Tamu dr Masa Lalu’.”
“Ya… & Bapak niscaya menjawab dgn balasan yg sama bukan? Macam waktu kutanya kali pertama,” sahutku. “Macam sewaktu kakak kelasku menanyakan soal itu pada Bapak pas menjemput Mbak kan?”
“Lalu Mbak mau Bapak jawab apalagi?”
Aku hanya mengangkat kedua pundak.
“Tidak ada!” jawabku dlm hati. “Karena, Bapak memang pembohong ulung.”
Bapak memang pembohong, benar-benar pembohong. ia punya banyak hal selaku objek kebohongan. Cerpen itu cuma satu di antara puluhan, bahkan ratusan, goresan pena Bapak yg merupakan kebohongan. Memang banyak pula kebenaran ia katakan, ia wujudkan, tanpa kebohongan.
Bapak, misalnya, berkata akan menutup kedai kopi. Dan ia memang melakukannya. Berani mengambil risiko, walau kedai itu merupakan salah satu kedai yg cukup ramai di lingkungan ini. Lingkungan kami tinggal, lingkungan kampus tempat Bapak mengajar. Tak jarang pula tamu-tamu jauh dr kota atau luar kota berdatangan untuk merasakan secangkir atau bahkan hanya seteguk kopi di sana.
Seteguk? Ya, banyak orang tiba ke kedai alih-alih berbelanja kopi, sebetulnya bermaksud utama tak lain menemui Bapak. Itulah salah satu efek dr ulah Bapak sebagai pembohong besar.
Namun gue sangat mencintai Bapak.
Bapak menutup kedai alasannya adalah pertanyaanku tempo hari. “Kenapa Bapak tak memiliki banyak waktu untukku & Adik?”
Hanya alasannya pertanyaan itu, kedai kopi fenomenal Bapak harus berganti menjadi kios buah tak beraturan. Namun layaknya tsunami, meski telah usai melanda, meski kawasan yg terkena telah diperbaiki, momen tsunami itu masih begitu terikat dlm memori orang yg menyaksikan. Persis ulah Bapak, sang pembohong. Betapapun telah menutup kedai, Bapak tetap memperoleh ratusan tamu yg menjadi korban. Setiap hari selalu ada orang tiba, meski sekadar mampir.
“Masih menerka cerpen-cerpen Bapak kebohongan, Mbak?”
“Iyalah, Pak.”
“Mbak kan tahu, penulis tak bisa menciptakan karya dr kebohongan? Semua itu dr fakta.”
“Fakta dgn kebenaran yg Bapak semukan!” sangkalku dlm hati.
“Mbak ingat coretan Bapak ihwal bak kamar mandi?”
Ah, mana mungkin gue lupa. Itu berlebihan & tak membuatku heran setengah mati. Waktu itu, memang kolam kamar mandi kami bocor. Dan Bapak enjoy saja membuat coretan kecil soal bak kamar mandi yg bocor itu. Heran!
“Becik ketitik ala ketara, Pak.”
Bapak tersenyum kembali. Entah menahan gemas atau cuma meledek atas pendapatku yg menurut usulan ia merupakan wujud ketidaktahuan.
Semua orang menyampaikan Bapak hebat. Penulis! Ibu yg dahulu kuliah di jurusan bahasa menjadi korban Bapak setiap hari. Namun berbeda dariku, Ibu menanggapi Bapak dengan-cara biasa-umumsaja. Malah Ibu kadang kala menolong Bapak. Membantu menyikapi dengan-cara kritis karya Bapak.
Kau pasti bisa membayangkan bukan bagaimana gue dibesarkan dlm lingkungan luar biasa ini? Lingkungan kawasan Bapak & Ibu begitu kompak melakukan hal-hal semu & artifisial. Namun jangan salah. Ibuku beda. ia lebih suka jadi penikmat.
Hampir sama dgn coretan Bapak yg kubaca siang tadi. Coretan yg bahu-membahu ingin kupertanyakan ketika ini. Di sana tertulis kisah cinta mereka. Bapak menulis tentang pengejaran cintanya pada Ibu. Dulu, berkali-kali Bapak tiba ke tempat tinggal Ibu. Namun Ibu hirau tak acuh. Sering pula Bapak meninggalkan secarik kertas berisi puisi cinta. Romantis memang.
Namun menyaksikan Bapak yg sekarang, dgn rangkaian ribuan kalimat yg hebat, gue merasa Bapak jujur ketika menulis kisah itu.
“Tumben tak mencar ilmu di kamar, Mbak?”
Suara Ibu tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Ah, kebetulan Ibu datang! Kuinterogasi saja. Kurasa Ibu lebih mampu menjadi sumber tepercaya daripada sumber yg satu.
“Ingin menginterogasi seseorang.”
Ibu & Bapak saling lirik. Aku meraih sebendel kertas, kuluruskan lipatan-lipatannya & kuletakkan di meja sempurna di hadapan mereka.
“Bu, benar dulu Ibu jual mahal waktu Bapak berkali-kali ke tempat tinggal?”
“Tidak.”
“Benar Bapak sering menulis puisi cinta & Ibu menikmatinya?”
“Puisi cinta? Tidak!”
Aku mendengus lirih, “Terakhir, Bu. Benar Ibu jatuh cinta lebih dahulu pada Bapak & alasannya itulah Ibu menunggu Bapak sekian lama?”
“Mana mungkin! Ibu menerima Bapak berawal dr kegeraman & rasa kasihan, Mbak.”
Bapak yg sedang meneguk kopi tiba-tiba tersedak.
“Geram?”
“Karena Bapak mengganggu Ibu & tak pernah bersikap romantis.”
“Kasihan?”
“Karena Bapak tak laris-laris.”
Aku mendengus lagi. “Mbak tiba-tiba ngantuk.”
Aku berlangsung ke kamar. Benar kan? Lagi-lagi kutemukan kebohongan Bapak. Padahal, nyaris saja gue percaya. Sudah kuduga, bapakku memang pembohong. Kenapa?. (*)