Bapak Ingin Jadi Halimun | Cerpen Cerpen Pangerang P. Muda

TANAH pemakaman itu sudah usang Bapak siapkan. Luasnya sekitar 4 ha, di atas perbukitan. Bapak tak mau bila areal pekuburannya terkesan seram, yg membuat anak-cucunya buru-buru pulang alih-alih khusyuk berziarah. Bapak ingin areal kuburannya menjadi tempat tetirah anak-cucunya. Makanya di situ dibangun pula suatu Villa, tempat kami berkumpul di ujung pekan setiap selesai bulan.

Sejak Villa selesai dibangun, sudah tiga kali kami berkumpul di situ. Empat anak sudah memberi Bapak sembilan cucu, membuat acara kumpul kami cukup riuh. Namun, kesan keriuhan yg penuh ceria itu buyar berganti murung begitu Bapak meninggal.

Duka itu sedang menyelimuti keluarga kami tatkala duduk perkara lain timbul. Lubang kubur yg disiapkan untuk Bapak terisi air. Dan itu ialah lubang ketiga yg digali. Dua lubang sebelumnya, sehabis selesai digali, dasar tanah eksklusif merembeskan air. Rembesan air itu gres berhenti saat permukaannya merendam pinggang penggali.

Rembesan air itu mematikan akalku. Ini musim kemarau, & areal tempat menyiapkan lubang kubur ada di ketinggian. Dari mana rembesan air sebanyak itu? Tiga lubang keadaannya sama. Sekop & perejang bergeletakan di depan tujuh orang penggali yg berselonjor capek di atas tanah berumput. Tidak terpikir lagi menggali lubang gres. Kuduga hasilnva akan serupa. Dan sangat miris membayangkan jikalau seluruh permukaan tanah di sini kami penuhi dgn lubang-lubang pemakaman yg serupa bak penampung air.

Kuperintahkan ajun Bapak mencari pompa air. Hanya penyelesaian itu yg sempat melintas di pikiranku. Dua pompa kemudian digenjot penuh, menggerung-gerung mengoyak kesenyapan kawasan perbukitan.

Entah keajaiban apa lagi yg datang menggenapi antisipasi penguburan Bapak! Setiap volume air tersedot keluar melewati pipa, memancar kemudian mengalur membuat anak-anak sungai ke dasar bukit, setiap itu pula di dlm lubang kubur timbul lagi rembesan air menggantikannya. Kejadian itu berulang pada lubang kedua & ketiga! Kutaksir volume air yg berhasil disedot pompa, tergantikan kembali rembesan air baru dr dasar lubang dgn volume yg sama. Ketinggian air di dlm lubang kembali setinggi pinggang.

  Pasukan Gajah | Cerpen A Zakky Zulhazmi

Opsi memindahkan tempat menguburkan Bapak tak akan kupilih. Bapak sudah menerakan wasiatnva, “Inilah tanah pemakamanku. Kelak, kalau waktunva tiba, kuburkan jasadku di lereng bukit itu.” Baik Ibu, Nenek, maupun adik-adikku kala itu ikut takzim mendengar & mengiyakan.

*****

PERJALANAN keberhasilan Bapak yaitu suatu sejarah. Dari seorang pegawai rendah, Bapak meniti karier puluhan tahun hingga tiba di puncak karier sebagai pejabat tinggi. Jenjang kariernya menyerupai undakan yg ia tapaki setahap demi setahap, sampai menjejak di puncak seperti sekarang. Bagi kami anak-anaknya, itu ialah kebanggaan, sedang bagi orang-orang yg mengenal & mengaguminya, itu yaitu ketakjuban.

Bapak pula jeli menimbang-nimbang masa tuanya. Ia tak lupa merencanakan pula unit-unit perjuangan sampingan. Unit perjuangan itu sebagian bahkan bermetamorfosis menjadi perusahaan yg berkembang. Itulah antisipasi kegiatan Bapak jika kelak sudah pensiun.

Setelah Bapak tuntas menyekolahkan kami anak-anaknya, masing-masing dr kami dibuatkan pula rumah. Soal pilihan pekerjaan, Bapak amat demokratis: jika di antara kami ada yg kepincutmengurusi perusahaan, membesarkan perjuangan warisannya, Bapak amat bahagia. Namun,bila ingin berkarier di tempat lain, Bapak pun menyilakan.

Kian bangga gue pada Bapak tatkala suatu hari ia malah mencetuskan keinginannya: “Rasanya saya ingin moksa, atau menjelma jadi halimun saja.” Itu kumaknai sebagai perilaku mulia. Bapak pasti bukan ingin menghilang, terbang ke langit, atau jadi kabut, namun gue percaya cuma ingin mundur dr urusan-urusan dunia. Ia pasti merasa sudah khatam dengan urusan duniawi & ingin beraktivitas di urusan akhirat saja.

Usia pensiunnya memang tak sampai setahun lagi. Di waktu yg tersisa itu, Bapak agaknya tidak ingin lagi menimbang-nimbang urusan mengumpulkan harta. Tentu ia merasa yg didapatnya selama ini sudah lebih dr cukup.

*****

YANG kami tahu, kesehatan Bapak baik-baik saja. Makanya gue terkesiap dikala mengenali kesehatannya mendadak merosot. Menurunnya kondisi kesehatan itu diwartakan adik bungsuku yg tinggal serumah dengannya. Pantauan adikku, itu dikeluhkan seusai Bapak bertemu dgn beberapa tamu.

“Tamu-tamu itu berkumpul di ruang atas. Pembicaraan mereka sepertinya sangat rahasia. Bahkan Ibu pun tidak boleh naik,” ujar adikku. “Setelahnya, Bapak terus bengong. Wajahnya murung & kelihatan senantiasa sukar menawan napas.”

  Contoh Cerpen Cukup Umur

Dalam persuaanku dgn Bapak kemudian, Bapak mengakui dewasa ini memang kerap merasa pusing, jantungnya berdebar-debar dengan-cara secara tiba-tiba, bahkan mulai sering mencicipi dada kirinya nyeri seperti ada yg menekan. Belum seminggu setelahnya, gue mendengar berita Bapak ditetapkan sebagai tersangka perkara korupsi.

Bapak dikenal selaku pejabat yg santun berkata-kata, dgn intonasi suara yg tersadar, & tak sekali pun membuat orang tersinggung. Bila berbicara, parasnya yg higienis & cerah senantiasa mengulum senyum. Kerap pula dimediakan sebagai orang yg ringan hati menyumbang & membantu lembaga-forum sosial. Makanya, rebak informasi tuduhan korupsi itu eksklusif kutampik. Ini fitnah! Pasti ada pihak-pihak yg tak bahagia dgn keberhasian Bapak. Serupa pohon yg tinggi, dgn cabang & dahan-dahan yg merimbun, memang akan selalu digoyang embusan angin ribut.

Belakangan gue tahu, tamu-tamu yg pernah berkumpul di rumah Bapak itu yakni kolega-kolega kepercayaannya. Merekalah penyampai keterangan awal bahwa Bapak menjadi tersangka perkara korupsi. Mereka kemudian kerap berembuk bersiasat mengatur taktik meloloskan Bapak dr jerat tersangka. Kejadian itu meluluhkan keyakinanku, melesapkan kebanggaanku pada Bapak.

Dan di suatu sore yg muram, gempar gosip Bapak dijemput petugas pemberantasan korupsi membuatku bergegas meluncur ke rumah Bapak. Kelok takdir ternyata lain: Bapak malah dilarikan ke tempat tinggal sakit sebab serangan jantung. Sebelas jam kemudian, Bapak menghembuskan napas terakhirnya.

*****

HASIL rembuk dgn adik-adikku menyetujui lubang kubur untuk Bapak yg berada paling atas. Dua lubang lainnya ditimbun kembali. Otakku betul-betul sudah beku, tak mampu lagi memikirkan cara lain, kala memerintahkan mencemplungkan jasad Bapak ke dlm genangan air di dlm lubang pemakamannya.

Dengan hati-hati & amat pelan, petugas pemakaman membaringkan jasad Bapak di dasar lubang, dlm genangan air. Papan penutup ditekan berpengaruh, bahkan ditindih watu, lalu berlekas menimbun tanah ke dlm genangan air. Kami saling kejar dgn kegalauan rembesan air akan bertambah & menderas, yg bisa mendorong jasad Bapak keluar dr lubang kubumya.

  Kami Naik Kereta Uap | Cerpen Yetti A. KA

Dalam bisik lirih, dgn sendat tertahan, kupaksakan menghibur adik-adikku, “Wasiat Bapak dimakamkan di sini sudah kita laksanakan.”

*****

PENGUBURAN selesai. Kami berkumpul di ruang tengah Villa. Riung oceh cucu-cucu Bapak kemudian, makin menoreh pedih perasaanku.

“Kasihan Kakek, bisa kelelap di dlm lubang itu.”

“Gimana Kakek bisa bernapas? Kakek menyelam, dong.”

“Kenapa, sih, Kakek dibikin kelelap begitu?”

Kuperam pedih perasaanku. Aku berharap cucu-cucu Bapak yg masih kanak ini belum paham kelakuan kakek kebanggaannya.

Percakapan terakhirku dgn Bapak, tatkala isu ia sudah menjadi tersangka korupsi makin marak terdengar, ikut menyusup ke dlm ingatanku.

“Bapak pernah bilang ingin moksa,” gugatku tatkala itu.

“Bapak bilang ingin bermetamorfosis jadi halimun saja.”

“Karena, serasa saya ingin menghilang … atau terbang, tanpa ada yg mampu melihat…,” bilang Bapak.

Bapak menjungkirkan anggapanku selama ini! Niat Bapak yg semula kuduga mulia itu ternyata hanya mau berdalih, cita-cita menghilang dr depan publik, kala tindakan korupnya yg selama ini rapi terlipat mulai terkuak. Kudapati kemudian diriku serupa bawah umur yg menemukan mainan istana pasir yg dibangunnya runtuh tatkala kaki-kaki orang menginjak-injaknya. Aku masygul & sangat kecewa. Bapak berhasil membuat kami anak-anaknya gembira, sukses pula mempermalukan kami.

Aku menyingkir ke lantai atas, kemudian keluar bertelekan pada pagar balkon. Dari jauh kutatap kuburan Bapak yg berada di leher bukit. Nisannya terpacak sekitar sepuluh langkah sebelum puncak. Entah kenapa tiba-tiba saya merasa melihat nisan itu mengapung; seakan terdorong oleh tekanan air dr dlm lubang kubur, lalu mempesona jasad Bapak terbang, sebelum jatuh menggelinding di lereng bukit.

Kukerjapkan mata. Tangis yg sejak tadi kukulum kini pecah berderai.

Parepare, Des. 2017-Mar. 2018

Pangerang P. Muda guru SMK di Parepare & menulis cerpen di beberapa media. Di samping buku kumpulan cerpennya Menghimpun Butir Waktu (2017) yg sudah terbit, beberapa cerpennya pula ikut dlm buku antologi cerpen.