Banyak yang bilang senang itu sederhana. Barangkali sesederhana menyaksikan sungging senyum seseorang yang kita bribik–ketika kita menyapanya dalam sebuah perjumpaan tanpa sengaja, atau mungkin dengan sengaja kita mengendap-endap mengawasinya dikala ia berlangsung entah dari dan hendak ke mana, dengan segera kita memutar jalan agar pada satu titik bisa berpapasan, bertatap muka, menyapa dengan kata atau senyuman dengan warna pink mulai menghiasi pipi, dan ia membalas sapaan itu dengan bibir mulai merekah menyunggingkan senyum penuh makna. Perjumpaan yang hanya sepersekian detik, bisa jadi ditafsir lebih panjang dari sekali duduk menghabiskan secangkir kopi.
Atau sesederhana ketika duduk bareng di atas lincak, di bawah temaram lampu kampung, ngobrol ngalor-ngidul ihwal apa saja tanpa gadget–terlebih saat telah dimiringkan, menyesap segelas kopi secara bergantian, dengan cemilan kue sisa pengajian.
Bahagia itu kerja hati. Tak semudah kata-kata mutiara para motivator, tak segampang membalikkan telapak tangan. Ada harga yang harus dibayar, ada waktu yang harus disenggangkan untuk mewujudkannya di sela-sela kegiatan rutin yang jikalau terus dituruti tak akan pernah ada habisnya. Namun ia kerja hati, maka beliau tak melulu soal hitungan matematis untung-rugi.
Senyum. Barangkali merupakan satu dari sekian banyak indikasi seseorang bisa dikata bahagia. Namun, masih terlalu banyak senyum hambar menyimpan getir kehidupan. Mereka sembunyikan pahitnya hidup dengan seberkas senyuman atau mereka sembunyikan itu semua dibalik kata-kata bijak para cerdik berilmu. Tujuannya satu, agar terlihat senang.
Bahagia itu tak sederhana. Namun barangkali hal-hal yang memantik kebahagian itulah yang acapkali sederhana.
_______________
Beringin, 27/05/16