close

BABK: Anak Berkesulitan Belajar

A.      ANAK BERKESULITAN BELAJAR (LEARNING DISABILITY)
Anak berkesulitan mencar ilmu yakni anak yg mempunyai gangguan satu atau lebih Dari proses dasar yg mencakup pemahan penggunaan bahasa lisan atau goresan pena, gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dlm bentuk kemampuan yg tak tepat dlm mendengarkan, berfikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja atau menjumlah. Batasan tersebut meliputi kondisi-kondisi mirip gangguan perceptual, luka pada otak, diseleksia & afasia perkembangan. Dalam kegiatan pembelajaran disekolah, kita dihadapkan pada sejumlah karakteristik siswa yg bervariasi. Ada siswa yg dapat menempuh kegiatan belajarnya dengan-cara lancar & sukses tanpa adanya kesusahan, namun disisi lain tidak sedikit pula siswa yg justru dlm belajarnya mengalami berbagai kesulitan. Kesulitan mencar ilmu siswa ditunjukkan oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil berguru & dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada kesudahannya dlm mengakibatkan prestasi belajar yg dicapainya berada dibawah sebaiknya. Kesulitan berguru siswa mencangkup pengertian yg luas, diantaranya: (a) learning disorder, (b) learning disfunction, (c) under achiever, (d) slow learner, (e) learning disabilities.
Dibawah ini akan diuraikan dr masing-masing pengertian tersebut.
1.         Learning Disorder atau kekacauan belajar
Adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggung karena timbulnya tanggapanyg bertetangan. Pada dasarnya, yg mengalami kekacauan mencar ilmu, potensi dasarnya tak dirugikan, akan tetapi belajarnya terusik atau terhambat oleh adanya respon-respon yg bertentangan, sehingga hasil mencar ilmu yg dihasilnya lebih rendah dr potensi yg dimilikinya. Contoh, siswa sudah sudah biasa dgn olah raga keras seperti karate, tinju & sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan dlm belajar menari yg menuntut gerakan lemah gemulai.
2.         Learning Disfunction
Merupakan tanda-tanda dimana proses mencar ilmu yg dikerjakan siswa tak berfungsi dgn baik, walaupun sesungguhnya siswa tersebut tak memperlihatkan adanya sub normalitas mental atau gangguan psikologis yang lain. Contoh, siswa yg mempunyai postur tubuh yg tinggi atletis & sangat cocok menjadi atlet bola voly, namun lantaran tak pernah dilatih bermain bola voly, maka ia tak mampu menguasai permainan voly dgn baik.
3.         Under Achiever
Mengacu pada siswa yg sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yg tergolong diatas normal, tetapi prestasi tergolong rendah. Contoh, siswa yg sudah dites kecerdasannya & menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sungguh unggul (IQ = 130 – 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah sangat minim.
4.         Slow Learner atau lambat belajar
Adalah siswa yg lambat dlm proses belajar, sehingga ia memerlukan waktu yg lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yg mempunyai taraf potensi intelektual yg sama.
5.         Learning Disabilities
Mengacu pada gejala dimana siswa tak mampu belajar atau menyingkir dari belajar, sehingga mencar ilmu dibawah potensi intelektualnya . Siswa yg mengalami kesulitan belajar mirip tergolong dlm pengertian diatas akan tampak dr banyak sekali gejala & dimanifestasikan dlm prilakunya, baik aspek psikomotorik, kognitif, maupun afektif.
Beberapa prilaku yg merupakan manifestasi tanda-tanda kesusahan belajar, antara lain: (a) menunjukkan hasil berguru yg rendah dibawah rata-rata nilai yg dicapai oleh kelompoknya atau dibawah potensi yg dimilikinya, (b) hasil yg diraih tak seimbang dgn uasah yg telah dilakukan. Mungkin ada siswa yg sudah berupaya giat mencar ilmu, tetapi nilai yg diperolehya senantiasa rendah, (c) lambat dlm melaksanakan tugas-tugas kegiatan belajarnya & senantiasa tertinggal dr mitra-kawannya dr waktu yg disediakan, (d) memperlihatkan sikap-sikap yg tak masuk akal, seperti: hirau tak hirau, menentang, berpura-pura, dusta & sebagainya, (e) memperlihatkan prilaku yg berkelainan, mirip membolos, tiba telat, tak menjalankan PR, menggangu didalam ataupun diluar kelas, tidak ingin mencatat pelajaran, tak teratur dlm kegiatan pembelajaran & sebagainya, (f) memperlihatkan tanda-tanda emosional yg kurang masuk akal seperti, pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tak atau kurang gembira dlm menghadapi situasi tertentu. Misalnya dlm menghadapi nilai rendah, tak memperlihatkan perasaan sedih atau menyesal & sebagainya.
Sementara itu, berdasarkan Abin Syamsuddin (2003) mengidentifikasi siswa yg diduga mengalami kesulian mencar ilmu, yg ditunjukkan oleh adanya kegagalan siswa dlm mencapai tujuan-tujuan belajar. Menurut Abin Syamsuddin (2003) bahwa siswa dikatakan gagal dlm berguru apabila:
1.         Dalam deadline tertentu yg bersangkutan tak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan materi minimal dlm pembelajaran tertentu yg sudah ditetapkan oleh guru.
2.         Tidak mampu mengerjakan atau mencapai prestasi semestinya, dilihat menurut tingkat kemampuan, talenta, atau kecerdasan yg dimilikinya. Siswa ini mampu digolongkan kedalam under achiever
3.         Tidak berhasil tingkat penguasaan materi yg diperlukan selaku prasyarat bagi kelanjutan tingkat pelajaran berikutnya. Siswa ini dapat digolongkan kedalam slow learner atau belum matang, sehingga mesti menjadi pengulang. Untuk mampu memutuskan gejala kesulitan mencar ilmu & menandai siswa yg mnegalami kesusahan mencar ilmu, maka diperlukan criteria selaku batas atau standar, sehingga dgn criteria ini mampu ditetapkan batas dimana siswa dapat diperkirakan mengalami kesulitan berguru. Terdapat empat ukuran dapat memilih kegagalan atau kemajuan belajar siswa, (a) tujuan pendidikan, (b) kedudukan dlm golongan, (c) tingkat pencapain hasil mencar ilmu dibandingkan dgn potensi dan, (d) kepribadian.
Di Indonesia memang belum ada definisi yg baku mengenai berkesulitan berguru & klasifikasi seperti yg diterangkan di atas. Meskipun demikian dlm penerapan di lapangan Balitbang Dikbud (1997) merumuskan anak berkesulitan belajar mampu didefinisikan sebagai berikut.
“Anak berkesulitan mencar ilmu ialah anak yg dengan-cara konkret mengalami kesusahan dlm peran-peran akademik khusus maupun biasa , baik disebabkan oleh adanya pun disfungsi neurologis, proses psikologis dasar maupun alasannya-karena lain sehingga prestasi belajarnya rendah & anak tersebut berisiko tinggi tinggal kelas”.
Berdasarkan hasil observasi yg dijalankan oleh Balitbang Dikbud (1996/1997) dimengerti bahwa kesulitan mencar ilmu yg dialami anak kebanyakan tak cuma satu jenis saja. Hal ini dapat dijelaskan lantaran kalau anak mengalami kesulitan berguru pada salah satu dr kemampuan akademik utama, yaitu membaca, menulis atau berhitung & kesusahan tersebut kalau tak segera teratasi, maka anak tersebut akan mengalami kesulitan dlm bidang yg lain.
B.        KLASIFIKASI ANAK BERKESULITAN BELAJAR
Mengenal anak berkesulitan berguru spesifik (specific learning disability), pula mampu dibagi menjadi dua jenis, ialah kesusahan berguru praakademik & kesusahan mencar ilmu akademik.
1.   Kesulitan Belajar Praakademik
Kesulitan belajar praakademik sering disebut pula selaku kesusahan mencar ilmu developmental. Ada tiga jenis anak dgn kesulitan berguru developmental yakni selaku berikut.
a.   Gangguan Motorik & Persepsi
Gangguan perkembangan motorik disebut dispraksia, mencakup gangguan pada motorik bergairah, penghayatan tubuh, & motorik halus. Gangguan persepsi mencakup persepsi penglihatan atau pandangan visual, persepsi telinga atau persepsi auditoris, persepsi heptik, & intelegensi system persepsual. Dispraksia atau sering disebut ‘clumsy’ ialah kondisi selaku akibat adanya gangguan dlm intelegensi auditori-motor. Manifestasinya dapat berbentukdisfasia verbal (berbicara) & non verbal (menulis, bahasa isyarat, & pantomim).
Ada beberapa macam dispraksia, yaitu selaku berikut.
1)  Dispraksia ideomotoris: ditandai kurangnya kesanggupan dlm melaksanakan gerakan simpel sederhana, seperti menggunting, menggosok gigi, atau memakai sendok makan. Dispraksia ini sering merupakan hambatan bagi perkembangan bicara.
2)  Dispraksia ideosional: anak dapat melakukan gerakan kompleks tetapi tak mampu menyelesaikan dengan-cara keseluruhan khususnya dlm kondisi lingkungan yg tak hening. Anak sering resah mengawali suatu acara.
3)  Dispraksia konstruksional: anak mengalami kesusahan dlm melaksanakan gerakan-gerakan kompleks yg berkaitan dgn bentuk, seperti menyusun balok & menggambar. Kondisi ini dapat mensugesti gangguan menulis (disgrafia).
4)  Dispraksia oral: sering didapatkan pada anak yg mengalami disfasia perkembangan. Anak mempunyai gangguan dalan bicara karena adanya gangguan dlm desain gerakan motorik di dlm verbal.
b.   Kesulitan Belajar Kognitif
Pengertian kognitif mencakup aneka macam faktor struktur intelek yg dipergunakan untuk mengenali sesuatu. Dengan demikian, kognitif merupakan fungsi mental yg meliputi persepsi, asumsi, simbolisasi, pikiran sehat, & pemecahan masalah. Perwujudan fungsi kognitif dapat dilihat dr kemampuan anak dlm penggunaan bahasa & solusi soal-soal matematika. Gangguan kognitif hendaknya ditangani semenjak anak masih berada pada usia prasekolah.
c.   Gangguan Perkembangan Bahasa (disfasia)
Disfasia ialah ketidakmampuan atau kekurangan kesanggupan anak untuk memakai symbol linguistik dlm rangka berkomunikasi verbal. Gangguan pada anak yg terjadi pada frase perkembangan tatkala anak berguru berbicara disebut selaku disfasia perkembangan (development dysphasia).
Disfasia ada dua jenis, yakni disfasia reseptif  dan disfasia ekspresif. Pada disfasia reseptif anak mengalami gangguan pemahaman dlm penerimaan bahasa. Anak mampu mendengar kata-kata yg diucapkan, tetapi tak mengerti apa yg didengar lantaran mengalami gangguan dlm memproses stimulus yg masuk. Pada disfasia ekspresif, anak tak mengalami gangguan pengertian bahasa, tetapi ia sulit mengekspresikan kata dengan-cara verbal.
d.   Kesulitan dlm Penyesuaian Perilaku Sosial
Ada anak yg perilakunya tak dapat diterima oleh lingkungan sosialnya, ia ditolak  lantaran sering mengusik, tak sopan, tak tahu aturan, atau berbagai perilaku negatif lainnya. Jika kesusahan penyesuaian perilaku sosial ini tak secepatnya dikerjakan maka tak cuma mengakibatkan kerugian bagi anak itu sendiri, tetapi pula bagi lingkungannya.
2.   Kesulitan Belajar Akademik
Meskipun sekolah mengajarkan aneka macam mata pelajaran atau bidang studi, klasifikasi mencar ilmu akademik tak dikaitkan dgn semua mata pelajaran atau bidang studi tersebut. Berbagai literatur yg mengkaji kesulitan mencar ilmu hanya menyebutkan tiga jenis kesusahan berguru akademik selaku berikut.
a.   Kesulitan Belajar Membaca (Disleksisa)
Kesulitan mencar ilmu membaca sering disebut disleksia. Kesulitan belajar membaca yg berat dinamakan aleksia. Ada dua jenis pelajaran membaca, membaca permulaan atau membaca lisan & membaca pengertian. Mengingat pentingnya kemampuan membaca bagi kehidupan, kesusahan mencar ilmu membaca hendaknya dikerjakan sedini mungkin. Ada dua tipe disleksia, yaitu disleksia auditoris & disleksia visual.
Gejala-gejala disleksia auditoris selaku berikut.
1)     Kesulitan dlm diskriminasi auditoris & persepsi sehingga mengalami kesusahan dlm analisis fonetik.
Contoh: anak tak dapat membedakan kata ‘kakak, katak, kapak’.
2)     Kesulitan analisis & sintesis auditoris.
Contoh: ‘ibu’ tak dapat diuraikan menjadi ‘I – bu’ atau problem sintesa ‘p – I – ta’ menjadi ‘pita’. Gangguan ini mampu menimbulkan kesusahan membaca & mengeja.
3)     Kesulitan re-auditoris suara atau kata. Jika diberi huruf tak dapat mengingat suara huruf atau kata tersebut, atau kalau melihat kata tak mampu mengungkapkannya walaupun mengerti kata tersebut.
4)     Membaca dlm hati lebih baik dr membaca lisan.
5)     Kadang-kadang diikuti gangguan urutan auditoris.
6)     Anak cenderung melaksanakan kegiatan visual.
Gejala-gejala disleksia visual selaku berikut.
1)     Tendensi terbalik: contohnya b dibaca d, p menjadi g, u menjadi n, & sebagainya.
2)     Kesulitan diskriminasi, mengacaukan huruf atau kata yg menyerupai.
3)     Kesulitan mengikuti & mengingat urutan visual.
4)     Memori visual terusik.
5)     Kecepatan persepsi lambat.
6)     Kesulitan analisis & sintesis visual.
7)     Hasil tes membaca jelek.
8)     Biasanya lebih baik dlm kemampuan kegiatan auditorik.
b.      Kesulitan Belajar Menulis (Disgrafia)
Kesulitan belajar menulis disebut pula disgrafia. Kesulitan belajar menulis yg berat disebut agrafia. Ada tiga jenis pelajaran menulis, yakni (1) menulis permulaan, (b) mengeja atau dikte, & (c) menulis ekspresif. Kegunaan kemampuan menulis bagi seorang anak ialah untuk menyalin, mencatat, & melakukan sebagian besar tugas sekolah.
c.      Kesulitan Belajar Berhitung (Diskalkulia)
Kesulitan berguru berhitung disebut pula diskalkulia. Kesulitan berhitung yg berat disebut akalkulia. Ada tiga elemen pelajaran berhitung yg harus dikuasai oleh anak. Ketiga elemen tersebut yakni (1) rancangan, (2) komputasi, & (3) pemecahan persoalan. Kesulitan berhitung hendaknya dideteksi & dikerjakan semenjak dini semoga tak menimbulkan kesulitan bagi anak dlm mempelajari banyak sekali mata pelajaran lain di sekolah.
C.       IDENTIFIKASI ANAK BERKESULITAN BELAJAR
Keragaman definisi kesulitan mencar ilmu menenteng keragaman pula dlm orientasi filosofis wacana identifikasi & pengajaran bagi anak berkesulitan mencar ilmu. Jika kita percaya bahwa karakteristik utama kesulitan mencar ilmu itu ialah hiperaktif & persoalan perseptual motorik maka mekanisme identifikasi akan diarahkan ke sana. Jika kita percaya bahwa problem bahasa itu merupakan sentral utama maka identifikasi kesulitan mencar ilmu akan difokuskan pada pengukuran keterampilan berbahasa. Dengan demikian identifikasi anak berkesulitan belajar akan sangat bergantung pada definisi, orientasi, & prosedur penilaian yg digunakan. Akibatnya banyak mekanisme identifikasi & tata cara pengajaran yg digunakan untuk anak berkesulitan mencar ilmu.
Kendati pun demikian prinsip-prinsip dasar penilaian bagi seluruh anak berkesulitan berguru perlu diketahui & dipahami. Prinsip-prinsip dasar tersebut merupakan:
1.   Tes atau teknik penilaian lain harus diberikan dlm bahasa anak, mampu dipahami oleh anak.
2.   Evaluasi harus dikerjakan oleh tim dr banyak sekali disiplin, setidak-tidaknya terdiri atas seorang guru atau andal lain yg mengetahui duduk perkara kesulitan belajar.
3.   Kriteria penetapan kesulitan berguru hendaknya mempertimbangkan hal-hal berikut:
a.    Seorang anak dibilang mengalami kesulitan mencar ilmu bila anak tak bisa mencapai prestasi sesuai dgn usia & tingkat kecakapan dlm satu atau lebih bidang:
1)  Ekspresi lisan.
2)  Mendengarkan pengertian.
3)  Ekspresi goresan pena.
4)  Keterampilan membaca dasar.
5)  Membaca pemahaman.
6)  Perhitungan matematis.
7)  Berpikir matematis.
b.   Seorang anak tak diidentifikasi selaku anak yg mengalami kesusahan berguru jika kesenjangan antara kecakapan & prestasi disebabkan oleh:
1)  Hambatan visual, indera pendengaran atau motorik.
2)  Keterbelakangan mental.
3)  Gangguan emosional.
4)  Ketidakberuntungan lingkungan, budaya, atau ekonomi.
4.   Pelaporan hasil identifikasi hendaknya menyatakan hal-hal selaku berikut.
a.    Kesulitan berguru khusus apa yg dialami anak.
b.   Dasar yg dipakai untuk memilih jenis kesusahan.
c.    Perilaku-sikap yg berkaitan yg tercatat selama dikerjakan observasi.
d.   Hubungan antara perilakuk tersebut dgn keberfungsian akademik anak.
e.    Temuan-temuan medis yg berkaitan dgn pendidikan.
f.     Kesenjangan antara prestasi & kecakapan yg tak dapat diatasi tanpa pendidikan & layanan khusus.
g.    Pertimbangan perihal efek ketakberuntungan lingkungan, budaya, & ekonomi.
D.       ANAK DENGAN TARAF INTELEGENSI TINGGI
Anak dgn taraf intelegensi tinggi atau kesanggupan & kecerdasan tinggi di atas rata-rata hingga jenius bukan mempunyai arti tak ada problem dlm belajar. Justru lantaran potensinya yg hebat, jika potensi tersebut tak diberikan potensi untuk dikembangkan dengan-cara optimal akan menjadi problema tersendiri sendiri dlm mencar ilmu bagi anak yg bersangkutan.
Anak-anak dgn kesanggupan intelektual unggul & bahkan istimewa (ungkapan lain dr “Gifted and Talented”) disebut sebagai anak yg mempunyai kesanggupan & kecerdasan hebat (UU No. 2/1989 Ps 8:2). Mereka yaitu aset bangsa yg apabila menerima perhatian & pelayanan yg sesuai dgn bakat & kemampuannya akan sungguh diperlukan untuk pembangunan bangsa & negara di masa yg akan datang.
Renzuli & Hartman (1971) menyaksikan keberbakatan dapat diketahui dr sisi karakteristik tingkah laris yg mencolokpada diri yg bersangkutan dibandingkan dgn kelompok sebayanya. Mereka membuatkan skala penilaian karakteristik tingkah laris anak berbakat menurut 4 kategori, yaitu karakteristik belajar, karakteristik motivasi, karakteristik kreativitas, & karakteristik kepemimpinan. Masing-masing klasifikasi mempunyai ciri tingkah laku yg lebih mencolokdibandingkan belum dewasa yg tak berbakat.
a.    Karakteristik yg mencolokdlm berguru contohnya menguasai jumlah kosakata yg hebat, mempunyai wawasan yg luas, cepat mengerti hubungan karena akibat, mudah menangkap isi pelajaran, banyak membaca sendiri, & sebagainya.
b.   Karakteristik yg menonjol dlm motivasi antara lain terlihat serius menghadapi topik tertentu, mudah bosan dgn peran rutin, bersungguh-sungguh, ulet, tahan lama dlm menghadapi tugas, selalu berupaya meraih prestasi tinggi.
c.    Karakteristik kepemimpinan yg menonjol ialah gampang bekerja sama dgn orang lain, rasa tanggung jawab yg besar, dapat mensugesti sobat-temannya, gampang beradaptasi sehingga dipilih untuk memimpin kegiatan & sebagainya.
d.   Karakteristik kreativitas yg menonjol yaitu banyak mengemukakan gagasan, gampang menyesuaikan gagasan dgn kondisi yg ada serta sering mempunyai ide yg baru & orisinil.
Anak-anak yg mempunyai kemampuan & kecerdasan luar biasa yg tak menerima pelayanan pendidikan yg sesuai, dapat menyebabkan prestasi belajarnya berada di bawah potensinya atau sering disebut under achiever. Untuk memilih seseorang tergolong under achiever atau bukan, mampu dilakukan dengan-cara profesional atau sekedar memperhatikan ciri-ciri atau tanda-tanda yg tampak.
Menurut para andal (Shaw, 1986; Turner, 1977; Achir, 1990), ada tiga pendekatan/versi untuk memilih under achiever dengan-cara profesional yakni sebagai berikut.
a.    Pendekatan/model discrepancy
Pendekatan ini memakai perhitungan kesenjangan berguru antara skor yg diperoleh dari  tes prestasi mencar ilmu dgn skor yg diperoleh melalui tes intelegensi. Jika terjadi kesenjangan antara hasil tes intelegensi & hasil tes prestasi belajar seperti hasil tes intelegensi lebih tinggi ketimbang hasil tes prestasi belajar maka disebut under achiever.
b.   Pendekatan/model regression
Pendekatan ini menjumlah korelasi antara intelegensi & hasil belajar. Disebut under achiever jika terdapat hubungan yg rendah antara skor prestasi berguru dgn skor intelegensi.
c.    Pendekatan/model Indeks Prestasi
Pendekatan ini dikerjakan dgn cara menetapkan sebuah indeks atau batas tertentu untuk dapat disebut under achiever.
Cara lain yg lebih sederhana (yang mampu dijalankan oleh guru) adalah dgn mengamati tanda-tanda sikap atau sikap tertentu pada anak dlm kehidupan sehari-hari, kemudian dicocokan dgn hasil berguru. Dengan memperhatikan gejala-gejala mirip itu anak yg bersangkutan dapat dikategorikan sebagai berindikasi under achiever.
E.       ANAK DENGAN TARAF INTELEGENSI RENDAH
Anak dgn intelegensi rendah dimengerti lewat tes intelegensi. Seseorang yg mempunyai IQ di bawah 70 (untuk skala Wechsler) disebut tunagrahita. Menurut Grossman seperti dikutip Kirk & Gallagher (1979) berdasarkan hasil tes IQ (skala Wechsler) tunagrahita atau keterbelakangan mental dapat dibagi menjadi 4 yakni sebagai berikut.
a.    Keterbelakangan mental ringan (IQ = 55-69)
b.   Keterbelakangan mental sedang (IQ = 40-54)
c.    Keterbelakangan mental berat (IQ = 25-39)
d.   Keterbelakangan sungguh berat (IQ = 24 ke bawah)
Di samping itu masih ada anak yg ber-IQ antara 70-90, mereka termasuk kategori “border line” (garis batas) yg dengan-cara pendidikan disebut “slow learner” (lamban berguru). Gejala yg tampak pada anak mirip ini anatar lain prestasi berguru sebagian besar atau seluruh mata pelajaran lazimnya rendah, sering tak naik kelas, sulit menangkap pelajaran, & sebagainya. Akibat lebih jauh dr kondisi ini yakni putus sekolah.  
F.        FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TARAF INTELEGENSI
Menurut Bayley, faktor-faktor yg mensugesti kemampuan intelektual individu ialah sebagai berikut.
1.   Keturunan
Studi hubungan nilai-nilai tes intelegensi diantara anak & orang renta, atau dgn kakek-neneknya memperlihatkan adanya efek factor keturunan terhadap tingkat kemampuan mental seseorang hingga pada tingkat tertentu.
2.   Latar belakang sosial ekonomi
Pendapatan keluarga, pekerjaan orang bau tanah & faktor-faktor sosial ekonomi yang lain berkorelasi positif & cukup tinggi dgn taraf kecerdasan individu mulai 3 tahun sampai dgn sampaumur.
3.   Lingkungan hidup
Lingkungan yg kurang baik akan menciptakan kesanggupan intelektual yg kurang baik pula. Lingkungan yg dinilai paling jelek bagi perkembangan intelegensi ialah panti-panti asuhan serta institusi yang lain, terutama bila anak ditempatkan di sana sejak awal kehidupannya.
4.   Kondisi fisik
Keadaan gizi yg kurang baik, kesehatan yg buruk, perkembangan fisik yg lambat, mengakibatkan tingkat kemampuan mental yg rendah.
5.   Iklim emosi
Iklim emosi dimana individu dibesarkan menghipnotis perkembangan mental individu yg bersangkutan.
Sebagaimana sudah diuraikan di atas, terdapat banyak factor yg mempengaruhi taraf intelegensi seseorang. Maka sebagai seorang guru, salah satu peran serta keharusan yg mesti dipenuhi yaitu membantu mempengaruhi kemampuan intelektual siswa biar dapat berfungsi dengan-cara maksimal & menjajal melengkapi acara pengajaran yg ditujukan bagi mereka yg lambat dlm mencar ilmu.
Adapun cara yg dapat dikerjakan oleh guru yakni dgn memperhatikan kondisi kesehatan fisik siswa, membantu pengembangan sifat-sifat positif pada diri siswa, memperbaiki kondisi motivasi siswa, membuat potensi berguru yg lebih baik bagi siswa. Dalam membantu mengembangkan sifat-sifat positif pada diri siswa mirip percaya diri, perasaan diri dihargai, guru mampu melakukan dgn cara menaruh respect kepada pertanyaan-pertanyaan serta gagasan-ide yg diajukan siswa sehingga mampu menolong meningkatkan keyakinan diri siswa serta perasaan bahwa dirinya dihargai. Selain itu agar perasaan-perasaan cemas, rendah diri, tegang, konflik atau salah paham dapat disingkirkan oleh siswa. Sedangkan untuk memperbaiki kondisi motivasi siswa, guru mampu melakukannya dgn menawarkan insentif atas keberhasilan yg diraih siswa yakni dapat berupa kebanggaan atau nilai yg baik. Selain itu guru pula mampu menawarkan peluang melaksanakan tugas-peran yg berkaitan, seperti di dlm golongan diskusi, di depan kelas, pembuatan karya tulis, & lain-lain untuk membuat potensi mencar ilmu yg lebih baik bagi siswa.