Babi Ngepet | Cerpen Endang S Sulistiya

“SUAMINYA di-PHK sejak setahun lalu. Namun ia tak mengajukan pinjaman & tak pernah kredit,” ujar Nunik menjabarkan alasan atas orang yg dicurigainya. Badim mengerutkan kening. ia tidak ingin lalai yakin pada gosip. Apalagi yg keluar dr lisan istrinya.

“Ya, mungkin ia bukan tipe orang yg suka menumpuk utang,” kata Badim setengah menyindir.

“Dua anaknya sengaja dikurung di rumah. Dilarang bergaul dgn bawah umur di perumahan ini. Aneh, bukan?”

“Itu bukan dikurung tetapi mematuhi peraturan untuk tak keluar rumah. Tahu sendiri masih Pandemi.”

“Kenapa Bapak dr tadi belain keluarga itu terus terutama pada Bu Risma? Suka, ya?”

“Bu Risma itu istri orang, mana mungkin gue suka. Kalau takjub mungkin iya. ia ibu rumah tangga mahir. Rumahnya senantiasa rapi & bersih. ia tak pernah terlibat kerumunan ibu-ibu doyan gunjingan. Pula ia mendidik kedua anaknya dgn baik,” jelas Badim. Kian deras menggelontorkan sindiran.

“Fix keluarga itu main babi ngepet & ada benih-benih pelakor. Awas saja kalau sampai Bapak tertarik!” seru Nunik marah. Kepalanya mengepul, dadanya panas, parasnya merah.

Berulang gelengan kepala mengiringi kepergian Badim. Sudah jenuh ia mendengar argumentasi istrinya yg kian tak berdasar.

Masuk kamar. Badim membuka gembok laci meja. Dikeluarkannya cepuk bekas wadah minyak rambut. Sesaat membukanya, mata Badim membulat. Buru-buru Badim menghitungnya. Dan benar, uangnya hilang dua ratus ribu.

Tidak ada yg pegang kunci gembok laci selain dirinya. Pula istri & anak-anaknya mana berani mendekat setelah ancamannya yg tegas. Namun Badim kali ini menentukan diam. ia tak berkeinginan kisah ke istrinya. Khawatir istrinya itu justru mendapat materi gres untuk bergosip.

  Cerpen: Parjo Salah Memaknai Kebangkitan Nasional

Badim berangkat ke pos ronda. Sempat beberapa bulan aktivitas ronda berhenti sebab Pandemi. Baru sebulan ini ronda digiatkan kembali sesudah banyaknya aduan kehilangan.

Lalu sepekan terakhir, isu babi ngepet mencuat. Mulanya Yon yg mengaku menyaksikan sekelebat bayangan babi hitam keluar dr kontrakannya. Setelah menyelidiki rumah, tabungan nikahnya tinggal setengah. Padahal beberapa tahun Yon mengumpulkan uang dr penghasilannya selaku tukang kunci.

Selepas pengakuan dr Yon, bergiliran warga lain menyatakan kehilangan. Memang mereka tak menyampaikan melihat bayangan babi hitam sebagaimana Yon. Akan namun berita ihwal babi ngepet tak surut melainkan menjadi-jadi.

Sesampai di pos ronda, Badim seolah mendapat durian runtuh kala melihat Yon. ia memang belum mendengar penuturan langsung dr Yon. Selama ini ia hanya mendapat kisah dr penuturan kaset perekam. Siapa lagi bila bukan istrinya.

“Lho, Yon, bukannya malam ini bukan acara rondamu?” sapa Badim basa-busuk.

“Saya ikut ronda tiap malam, Pak Dim. Saya bertekad mau menangkap babi ngepet itu. Sakit hati saya, simpanan nikah dicuri. Mana pacar saya mengancam putus kalau tak menikah tahun ini.”

Di pos ronda sekarang berkumpul 4 orang piket ditambah Yon sebagai sukarelawan & total menjadi 6 orang dgn kehadiran Badim.

“Tinggal bawa ke KUA ini apa susahnya, Yon,” tukas Pak Mul, menyela.

“Perempuan mana yg sudi dinikahi cukup di kantor KUA jikalau bukan alasannya hamil duluan, Pak Mul!” sungut Yon, kesal.

“Istriku tak neko-neko. Sepulang nikah di KUA, cukup mampir ke rumah makan bareng kedua pihak keluarga. Tidak ada resepsi-resepsian,” timpal Pak Har.

“Dulu Pak Guntur & Bu Risma pula begitu,” kenang Pak Mus. ia bisa dibilang tetua di perumahan itu.

  Musnahnya Hutan Larangan | Cerpen Bahagia

“Mengenai Pak Guntur & Bu Risma apa sudah usang tinggal di perumahan ini, Pak Mus?” sela Yon tiba-tiba.

“Sudah lama. Sejak cluster-cluster baru mulai dibangun. Bahkan tatkala deretan rumah Pak Badim dahulunya masih kebun pisang,” jawab Pak Mus.

“Dua tahun tinggal di sini, anak sulungnya sakit secara tiba-tiba lalu meninggal. Mungkin alasannya syok, mereka pindah ke tempat tinggal lain. Beberapa kali mereka renovasi rumah hingga jadi semegah sekarang,” imbuh Pak Husni yg sama seniornya mirip Pak Mus.

“Anak pertamanya meninggal, Pak?” Badim refleks mengajukan pertanyaan. Di perjalanan ke pos ronda tadi, ia sempat browsing tentang ciri keluarga yg menggunakan pesugihan babi ngepet. Disebutkan bahwa lazimnya pesugihan jenis itu meminta tumbal anak kesayangan. Pikiran Badim mulai tergiring.

“Waduh, jangan-jangan benar kasak-kusuk itu!” Yon sepertinya menangkap sesuatu yg pula telah ditangkap Badim.

“Kasak-kusuk apa?” Pak Mus & Pak Husni saling berpandangan.

“Paling soal babi ngepet. Iya, bukan?” tanya Pak Mul memastikan. Yon mengangguk.

“Sejak timbul cluster gres & beberapa rumah dikontrakkan, pencurian kerap terjadi. Anehnya, baru kali ini ada berita babi ngepet. Banyak yg yakin pula,” tutur Pak Har yg menjabat sebagai Ketua RW kesal.

“Saya hari ini kehilangan uang juga, Pak. Tidak banyak memang. Hanya 200 ribu,” gue Badim.

“Coba diselidiki dahulu lebih seksama. Nanti pula pencurinya bakal ketemu. Alih-alih babi ngepet, umumnya pencuri asli justru orang yg tak disangka,” nasihat Pak Mus pada Badim.

Maka tatkala Badim mendapat giliran keliling patroli, ia diam-membisu mampir ke rumahnya. ia mengintai kamar tidurnya dr tirai jendela. Istrinya tampak kelimpungan di kamar tidur. Selang menit kemudian, istrinya merogoh kunci dr daster. Beranjak ke laci, membukanya dgn kunci, & mengambil uang dr cepuk.

  Pembuat Peta dan Penenun Kain | Cerpen Diani Savitri

Keterkejutan Badim tak hingga di situ. Istrinya melaksanakan panggilan video dgn Yon.

“Dapat berapa malam ini? Jangan lupa komisi untukku atau kubongkor sandiwara babi ngepetmu!” ancam Nunik pada Yon.

“Aku tak takut dgn ancamanmu lagi. Berani kamu bongkar sandiwaraku, gue akan membongkar sandiwaramu! Aku tahu, kunci cadangan yg kau pesan itu kau pakai untuk apa!” tegas Yon membalikkan kondisi. Merasa menang.

Badim menggeretakkan giginya dlm persembuyian. Geram. (*)