B A N U N | Cerpen Damhuri Muhammad

Bila ada yg mengajukan pertanyaan, siapa makhluk paling kikir di kampung itu, tak akan ada yg menyanggah bahwa perempuan rapuh yg punggungnya sudah melengkung serupa sabut kelapa itulah jawabannya. Semula ia hanya dipanggil Banun. Namun, karena sifat kikirnya dr tahun ke tahun makin mengakar, pada suatu pergunjingan yg penuh dgn kedengkian, seseorang menambahkan kata “kikir” di belakang nama ringkas itu, hingga ia ternobat sebagai Banun Kikir. Konon, hingga riwayat ini disiarkan, belum ada yg sanggup menumbangkan rekor kekikiran Banun.

Ada banyak Banun di perkampungan lereng bukit yg semenjak dahulu tanahnya subur hingga tersohor sebagai tempat penghasil padi kwalitet nomor satu itu. Pertama, Banun dukun patah-tulang yg dangau usangnya kerap dihadiri pria pekerja keras bila pinggang atau pangkal lengannya terkilir balasan terlampau bernafsu mengayun cangkul. Disebut-sebut, kesanggupan bebuyutan Banun ini tak cuma ampuh mengobati patah-tulang orang-orang tani, tetapi pula bisa mempertautkan kembali lutut kuda yg retak akibat bendi yg dihelanya terguling karena sarat muatan. Kedua, Banun dukun beranak yg kehandalannya lebih dipercayai dibandingkan dengan bidan desa yg belum apa-apa sudah angkat tangan, lalu menyarankan pasien buntingnya bersalin di rumah sakit kabupaten. Sedemikian mumpuninya kesanggupan Banun kedua ini, bidan desa merasa lebih banyak menimba pengalaman dr dukun itu ketimbang dr buku-buku semasa di akademi. Ketiga, Banun tukang lemang yg hanya akan tampak sibuk pada hari Selasa & Sabtu, hari berburu yg nyaris tak sekali pun dilewatkan oleh para penggila buru babi dr aneka macam pelosok. Di hutan mana para pemburu melepas anjing, disana pasti tegak lapak lemang-tapai milik Banun. Berburu seolah tak afdol tanpa lemang-tapai bikinan Banun, yg hingga kini belum terungkap rahasianya.

Tapi, cuma ada satu Banun Kikir yg karena riwayat kekikirannya begitu menakjubkan, tanpa meminimalkan rasa hormat pada Banun-banun yg lain, sepatutnyalah ia menjadi lakon dlm cerita ini.

*****

Di sepanjang usianya, Banun Kikir tak pernah berbelanja minyak tanah untuk mengasapi dapur keluarganya. Perempuan itu menanak nasi dgn cara menyorongkan seikat daun kelapa kering ke dlm tungku, & sehabis api menyala, lekas disorongkannya pula beberapa keping kayu bakar yg senantiasa tersedia di bawah lumbungnya. Saban petang, selepas bergelimang lumpur sawah, daun-daun kelapa kering itu dipikulnya dr kebun yg sejak lama sudah digarapnya. Mungkin sudah tak terhitung berapa jumlah tabungan Banun selama ia menahan diri untuk tak membeli minyak tanah guna menyalakan tungku. Sebab, daun-daun kelapa kering dikebunnya tiada bakal pernah berhenti berjatuhan.

  15 Hari Bulan | Cerpen Hasan Al Banna

“Hasil sawah yg tak seberapa itu hendak dibawa mati, Mak?” tanya Rimah suatu di saat. Kuping anak gadis Banun itu panas karena gunjing wacana Banun Kikir tiada kunjung reda.

“Mak tak hanya kikir pada orang lain, namun pula kikir pada perut sendiri,” gerutu Nami, anak kedua Banun.

“Tak usah hiraukan gosip orang! Kalau benar apa yg mereka tuduhkan, kalian tak bakal mengenyam dingklik sekolah, & seumur-umur akan jadi orang tani,” hardik Banun.

“Sebagai anak yg lahir dr rahim orang tani, seharusnya kalian paham bagaimana tabiat petani sejati.”

Sejak itulah Banun menyingkapkan belakang layar hidupnya pada anak-anaknya, tergolong pada Rimah, anak bungsunya itu. Ia menjelaskan kata “tani” selaku penyempitan dr “tahani”, yg bila diterjemahkan ke dlm bahasa orang kini mempunyai arti: “menahan diri”. Menahan diri untuk tak membeli segala sesuatu yg dapat diperoleh dgn cara bercocok tanam. Sebutlah misalnya, sayur-mayur, cabe, bawang, seledri, kunyit, lengkuas, jahe. Di sepanjang riwayatnya dlm menyelenggarakan hidup, orang tani cuma akan membeli garam. Minyak goreng sekalipun, sedapat-dapatnya dibikin sendiri. Begitu ajaran mendiang suami Banun, yg meninggalkan perempuan itu tatkala anak-anaknya belum bisa mengelap ingus sendiri. Semakin banyak yg mampu “ditahani” Banun, makin kokoh ia berdiri selaku orang tani.

Maka, selepas kesibukannya menanam, menyiangi, & menuai padi di sawah milik sendiri, dgn segenap tenaga yg tersisa, Banun menghijaukan pekarangan dgn bermacam-ragam sayuran, cabai, seledri, bawang, lengkuas, jahe, kunyit, gardamunggu, jeruk nipis, hingga semua kebutuhannya untuk mengolah masakan tersedia hanya beberapa jengkal dr sudut dapurnya. Bila semua kebutuhan mengolah makanan mesti dibeli Banun dgn penghasilannya selaku petani padi, pasti akan jauh dr mencukupi. Bagi Banun, segala sesuatu yg mampu berkembang di atas tanahnya, lagi pula apa yg tak bisa tumbuh di tanah kampung itu, akan ditanamnya, semoga ia senantiasa terhindar dr keharusan membeli. 


Dengan begitu, penghasilan dr panen padi, kelak bakal terkumpul, guna berbelanja lahan sawah yg lebih luas lagi. Dan, sehabis bertahun-tahun menjadi orang tani, tengoklah keluarga Banun sekarang. Hampir separuh dr lahan sawah yg terhampar di wilayah kampung tempat ia lahir & dibesarkan, sudah jatuh ke tangannya. Orang-orang menyebutnya tuan tanah, yg seolah tak pernah kekurangan duit guna meladeni mereka yg terdesak keperluan ongkos sekolah anak-anak. Tak jarang pula untuk biaya keberangkatan anak-anak gadis mereka ke mancanegara, untuk menjadi TKW, kemudian menggadai, bahkan memasarkan lahan sawah. Empat orang anak Banun telah disarjanakan dgn kucuran peluhnya selama menjadi orang tani.

*****

Sesungguhnya Banun tak lupa pada orang yg pertama kali menjulukinya Banun Kikir hingga nama buruk itu menempel sampai umurnya nyaris berkepala tujuh. Orang itu tak lain ialah Palar, laki-laki ahli waris tunggal kekayaan ibu-bapaknya. Namun, karena tak terbiasa berkubang lumpur sawah, Palar tak pernah sanggup melakukan lelaku orang tani. Untuk sekebat sayur kangkung pun, Zubaidah (istri Palar), mesti berbelanja ke pasar. 


Pekarangan rumahnya gersang. Kolamnya kering. Bahkan sebatang pohon Singkong pun menjadi tanaman langka. Selama masih tersedia di pasar, kenapa mesti ditanam? Begitu kira-kira prinsip hidup Palar. Baginya, bercocok tanam aneka tanaman untuk keperluan makan sehari-hari, hanya akan menciptakan pekerjaan di sawah jadi terbengkalai. Lagi pula, bukankah ada tauke yang senantiasa berkenan memberi pemberian, selama orang tani masih mau menyemai benih? Namun, tauke-tauke yg selalu bermurah-hati itu, bahkan sebelum sawah digarap, akan mematok harga jual padi seenak perutnya, & para petani tak berkutik dibuatnya. Perangai lintah darat itu sudah merajalela, bahkan sejak Banun belum mahir menyemai benih. Palar salah satu korbannya. Dua pertiga lahan sawah yg diwarisinya telah berpindah tangan pada seorang tauke, lantaran dr trend ke ekspresi dominan hasil panennya merosot. Palar pula terpaksa melego beberapa petak sawah guna membiayai kuliah Rustam, anak pria satu-satunya, yg kelak bakal menyandang gelar insinyur pertanian. Dalam belitan hutang yg entah kapan bakal terlunasi, Palar mendatangi rumah Banun, hendak meminang Rimah untuk Rustam.

  Kenangan Kemerdekaan | Cerpen Junaidi Khab

“Karena kita sama-sama orang tani, bagaimana jika Rimah kita nikahkan dgn Rustam?” bujuk Palar masa itu.

“Pinanganmu terlambat. Rimah sudah punya calon suami,” balas Banun dgn sorot mata sinis.

“Keluargamu beruntung bila mendapatkan Rustam. Ia akan menjadi satu-satunya insinyur pertanian di kampung ini, & hendak menerapkan cara bertani zaman sekarang, hingga orang-orang tani tak lagi terpuruk dlm kesulitan,” ungkap Palar sebelum meninggalkan rumah Banun.

“Maafkan saya, Palar.”

Rupanya penolakan Banun sudah menyinggung perasaan Palar. Lelaki itu merasa terhina. Mentang-mentang sudah kaya, Banun mentah-mentah menolak pinangannya. Dan, yg lebih menyakitkan, ini bukan penolakan yg pertama. Tiga bulan sehabis suami Banun meninggal, Palar menyampaikan niatnya hendak mempersunting janda kembang itu. Tapi, Banun bertekad akan membesarkan anak-anaknya tanpa suami gres. Itu sebabnya Palar menggunakan segala siasat & tipu daya semoga Banun termaklumatkan sebagai wanita paling kikir di kampung itu. Palar hendak membuat Banun menanggung malu, bila perlu hingga maut tiba menjemputnya.

*****

Meski kini sudah zaman gas elpiji, Banun masih mengasapi dapur dgn daun kelapa kering & kayu bakar, hingga ia masih menyandang julukan si Banun Kikir. “Nasi tak terasa sebagai nasi bila dimasak dgn elpiji,” kilah Banun ketika menolak usulan Rimah yg hendak membelikannya kompor gas. Rimah sudah hidup berkecukupan bersama suaminya yg bekerja sebagai guru di ibu kota kabupaten. Begitu pula dgn Nami & dua anak Banun yg lain. Sejak menikah, mereka tinggal di rumah masing-masing. Setiap Jumat, Banun tiba berkunjung, menjenguk cucu, dengan-cara bergiliran.

“Kalau Mak menerima pinangan Rustam, tentu julukan buruk itu tak pernah ada,” sesal Rimah suatu hari.

  Jalan Asu | Cerpen Joko Pinurbo

“Masa itu kenapa Mak menyampaikan bahwa gue sudah punya kandidat suami, padahal belum, bukan?”

“Bukankah calon menantu Mak kandidat insinyur?”

“Tak usah kamu ungkit-ungkit lagi dongeng lama. Mungkin Rustam bukan jodohmu!” sela Banun.

“Tapi seandainya kami berjodoh, Mak tak akan dinamai Banun Kikir!”

Sesaat Banun membisu. Tanya-tanya cerewet Rimah mengingatkan ia pada Palar yg begitu bangga punya anak bertitel insinyur pertanian, yg katanya dapat melipatgandakan hasil panen dgn mengajarkan teori-teori pertanian. Tapi, bagaimana mungkin Rustam akan memberi acuan cara bertani terbaru, sementara sawahnya sudah ludes terjual? Kalau memang benar Palar orang tani yg bantu-membantu, ia tak akan gampang memasarkan lahan sawah, meski untuk mencetak insinyur pertanian yg dibanggakannya itu. Apalah guna insinyur pertanian bila tak mengamalkan laris orang tani? Banun menolak pinangan itu bukan karena Palar sedang terbelit hutang, tak pula karena ia sudah jadi tuan tanah, tetapi karena perangai jelek Palar yg dianggapnya sebagai penghinaan pada jalan hidup orang tani. (*)