close

Azan Terakhir | Cerpen Ahmad Faisal


Oleh: Ahmad Faisal


Habil berlari sambil membawa air matanya. Ibunya yg sedang menampih beras di teras berdiri menyambut anak semata wayangnya itu. Dipeluknya anak itu dgn sarat kasih sayang. Di seka lembut air mata sang anak yg masih mengucur deras. Dibelai cantik rambutnya yg ikal itu. Perlahan tangisnya mereda. Dengan sesenggukan Habil mengadu, merengek tak karuan.

Umi … masa gue diejek temanku, Mi. Mereka meneriakiku ‘anak tukang azan’ berkali-kali sambil tertawa tanpa henti. Habil anak tukang azan … Habil anak tukang azan,” katanya menirukan ejekan teman-temannya.

Loh, memangnya kenapa jikalau anak tukang azan?” kata ibunya memprotes.

Malu, Umi. Aku malu.

Mengapa mesti aib?

Habisnya mereka bilang, tukang azan itu pengangguran. Tidak punya pekerjaan.” Habil meminta pembenaran.

Siapa bilang tak memiliki pekerjaan? Abimu kan mengajar ngaji juga.

Tapi, kata temanku ngajar ngaji nggak bisa dapat uang. Beda sama ayah temanku yg jadi dokter & tentara.

Rezeki di tangan Tuhan, Nak. Pekerjaan apa pun baik, asalkan halal.

Pokoknya gue aib, Mi. Kenapa sih Abi dulu tak menjadi dokter aja? Mengapa sih malah jadi tukang azan?” Habil melepas pelukan ibunya. Cukup lama ibunya termenung, tak mampu menjawab pertanyaan bertubi-tubi dr anak kesayangannya itu.

Sudah, begitu saja nangis. Jangan aib lagi, ya,” jawab ibunya sekenanya.

Yang diejek kan saya, Mi, bukan Umi. Yang aib saya.” Tangis Habil pecah lagi.

Tapi, Nak!

Belum sempat ibunya menjawab, Habil sudah berlari ke kamar & menutup pintu rapat-rapat. Kini tangis ibunya yg pecah. Terngiang sosok suaminya yg tepat di matanya. Seorang lelaki saleh yg sangat mencintainya. Seorang muazin dgn bunyi indah. Seorang guru ngaji nan tabah & penuh kasih sayang. Namun, kini suaminya sudah tiada.

Habil sudah lama menjadi yatim. Ayahnya mengidap kanker dikala Habil berusia enam tahun & wafat setahun kemudian. Kini ia cuma hidup berdua dgn ibunya. Sang ibu kini menjadi guru ngaji menggantikan suaminya. Ibunya mendapatkan pinjaman warga dengan-cara sukarela. Meskipun, tak jarang pertolongan itu hanya ucapan terima kasih. Setiap pagi ia berdagang nasi uduk sebagai penghidupan keluarganya.

*****


Habil tumbuh menjadi anak yg saleh. Ia senantiasa shalat tepat waktu. Setiap Maghrib ia membaca Quran dipantau eksklusif oleh ibunya. Tapi, ada satu kebaikan yg belum pernah dilakukannya. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tak mengumandangkan azan. Ia tak ingin diolok-olok temannya lagi. Janji itu dipegang hingga kini, hingga ia berusia 11 tahun.

  Jelaga di Langit Jingga | Cerpen Ecep Yuli Sukmara

Berkali-kali Habil diminta azan oleh warga, berkali-kali pula ia menolaknya. Pernah sekali ia ditanya kenapa tak pernah mau azan. Habil hanya menjawabnya dgn senyum sarat makna & mempersilakan jamaah yang lain untuk azan. Hal ini pun sudah diketahui sang ibu.

Umi Habil sungguh kecewa atas sikap anak satu-satunya itu. Padahal, ia tahu bahwa suara anaknya begitu merdu & fasih saat membaca Quran. Terbersit dlm ingatannya, suaminya yg sungguh ingin Habil menjadi muazin.

Aku ingin nanti Habil suka azan di masjid meskipun tak menjadi muazin. Aku ingin suaranya menyerukan panggilan Allah.

Ya, gampang-mudahan anak kita menjadi anak yg saleh. Mengapa harus suka azan, Bi?” kata Umi Habil menimpali.

Seorang muazin akan diberi ampunan sejauh suaranya terdengar serta dibenarkan oleh orang yg mendengarkannya, baik yg masih berair maupun yg sudah kering. Baginya pahala mirip pahala orang yg mengerjakan shalat dengannya,” kata suaminya mengutip sebuah hadis.

Namun, sang ibu tak mau melukai perasaan anaknya. Ia tak mau Habil aib lantaran diolok-olok temannya lagi. Ia pun membiarkan Habil dgn janjinya itu.

*****

Umi Habil mendadak sakit. Ia terkena demam berdarah, namun tak segera berobat.

Umi, jangan tinggalin Habil. Habil nggak mau sendirian.

Sabar, Nak. Sabar. Ajal sudah mengundang Umi, Bil.

Ambil surat ini & bacalah dikala Umi dikuburkan.

Apa ini, Umi?

Ibunya tak lagi menjawab, hanya tersenyum lemah pada anaknya. Beberapa dikala dibacakannya syahadat dgn suara berbisik.

Umiiiiiiiii!

Tangis Habil tumpah. Diguncangkan tubuh ibunya. Diciuminya dgn air mata kesedihan. Habil pingsan.

*****

Duka Habil belum habis. Matanya sayu karena kurang tidur. Suaranya pun serak seakan sedang flu berat. Tak henti-hentinya ia membaca surah Yaasin hingga azan Subuh berkumandang. Sehabis shalat Subuh ia tertidur hingga ibunya sudah dimandikan & dikemas kafan.

  Mata di Bibir Subuh | Cerpen Artie Ahmad

Diciuminya kening ibunya untuk terakhir kalinya. Teringat kembali ketika-dikala ibunya merawatnya dr kecil: menyuapinya, menggendongnya, mengajarkan membaca Alquran, menasihatinya. Terekam pula kebahagiaan Habil bareng Abi & Uminya. Namun, kali ini Habil tak menangis, barangkali habis air matanya.

Jenazah ibunya dibawa iring-iringan keluarga ke masjid erat rumahnya. Habil pergi mengambil wudhu. Pada ketika bersama-sama azan Zhuhur berkumandang. Gerakan wudhunya datang-tiba terhenti. Habil teringat kembali Abinya yg dahulu seorang muazin. Betapa ia benci dgn pekerjaan ayahnya itu. Sampai-sampai Habil berjanji untuk tak azan dlm hidupnya.

Suara muazin kala itu begitu merdu sehingga hati Habil tergetar. Habil teringat dikala-saat diejek sobat-sobat SD-nya. Saat-ketika di mana ia begitu dipermalukan sebagai anak seorang muazin.

Teringat pula ia akan surat yg diberikan ibunya sesaat sebelum meninggal. Namun, ia lupa di mana menaruh surat tersebut. Pikirannya pun tertuju pada surat itu. Sebab, ibunya berpesan untuk membuka surat itu ketika akan dimakamkan. Habil pun mulai merogoh kantong-kantongnya. Tidak ada.

Habil ketakutan alasannya surat itulah satu-satunya wasiat yg diberikan kepadanya. Ia kemudian mengajukan pertanyaan pada salah seorang sepupunya wacana surat wasiat itu. Ternyata surat itu sudah disimpan oleh keluarganya itu saat ibu Habil meninggal.

*****

Matahari cerah, namun gerimis turun dgn rintik yg sangat kecil. Iring-iringan mayat begitu ramai. Maklum, nyaris semua warga anaknya pernah diajari ngaji oleh Abi & Umi Habil. Terlihat oleh Habil liang lahat yg akan menjadi tempat peristirahatan ibunya itu. Di sisi kanan kirinya tertumpuk tanah merah yg siap membenamkan jasad sang ibu. Begitu pun penggali kubur. Mereka siap dgn paculnya masing-masing. Keluarga, sobat, & warga setempat tumpah ruah di permakaman itu. Beberapa ulama pun turut menemani.

Habil terlihat lebih tegar. Tidak terlihat lagi air mata yg keluar. Bahkan, beberapa kali ia melempar senyum sebagai tanda terima kasih. Ia mengenakan koko & peci dgn warna putih senada. Yang dipikirkannya cuma satu: apa isi dr surat tersebut. Ia pun bertanya-tanya dlm hati, kenapa ibunya meminta surat itu dibuka pada ketika akan dikuburkan. Jawaban atas pertanyaan itu pun akan ia dapatkan sekarang.

Sepupunya menawarkan surat itu ke pada Habil saat mayat akan diletakkan di liang lahat. Perlahan Habil membuka surat itu, yg ternyata berisi secarik kertas kecil berbunyi:

  Si Pengarang Muda | Cerpen Sungging Raga

Azani Umi dgn bunyi indahmu.

Habil gemetar. Kakinya goyah. Wajahnya kosong. Masih belum yakin ia dgn wasiat ibunya itu. Sesaat kemudian seorang ulama membaca pula wasiat itu & menyadarkan Habil.

Sudah, ayo azani, Bil. Jangan lupa baca bismillah,” kata ulama itu singkat. Habil tak menjawab, namun tanpa sadar sudah turun perlahan ke liang lahat.

Bismillahirahmanirahim,” ucap Habil lemah.

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar.” Habil memulai azan dgn suara lantang. Begitu merdu suaranya sehingga situasi menjadi tenang & khidmat.

Asyhadu an la ilaha illallah. Asyhadu an la ilaha illallah.

Asyhadu anna Muhammadarrasulullah. Asyhadu anna Muham madarrasulullah.

Suaranya Habil semakin berat, seakan memendam kedukaan yg mendalam.

Hayya alash-shalah… Hayy ‘bantalan….” Habil mendadak berhenti. Ia pandangi wajah ibunya yg sudah tergeletak, terbungkus kafan. Tak sanggup ia mengeluarkan suaranya, kalah dr rasa pedihnya. Tumpah ruah segala kenangan indah Habil bareng Abi & Uminya.

Kenangan saat shalat berjamaah bareng , makan bersama, berbuka puasa bareng , berpuasa bareng . Timbul penyesalan andal dlm hatinya dikarenakan telah aib berayah seorang muazin. Menyesal pula dikarenakan telah berjanji tak azan hanya karena malu. Air mata membajiri wajahnya, pula suaranya. Hadirin pun turut menangis, seakan-akan yg meninggal saudara sendiri. Habil sesenggukan & melanjutkan azannya:

Hayya ‘alasshalah…

Hayya alal falah. Hayya ‘alal falah…

Suara Habil menderu keras bercampur pedih seakan mengingatkan hadirin akan akhir hayat.

Allahu Akbar. Allahu Akbar.

Suara Habil kembali lantang.

La ilaha illallah.

Tanah berair. Wajah pengunjung lembap. Pun muka Habil. Penggali kubur menjalankan tugasnya. Beberapa ketika kemudian liang tadi berubah menjadi kuburan. Ulama membacakan doa untuk terakhir kalinya & diamini hadirin. Pemakaman pun usai. Hadirin pun berangsur pulang. Hari itu Habil tak cuma mengumandangkan azan terakhir untuk ibunya, tapi pula azan awal dlm hidupnya. (*)

Ahmad Faisal. Editor bahasa Republika ini mulai terpesona dgn sastra sejak duduk di dingklik kuliah. Selain aktif di media tersebut, ia kini pula sibuk menggeluti penulisan cerpen.