Kedai kopi bermunculan di mana-mana, namun warung kopi Bu Trinil tetap menjadi favorit saya. Kopi buatan Bu Trinil tetap paling jos rasanya; saya sudah mencicipi khasiatnya bagi kesehatan jiwa saya.
Di warung Bu Trinil saya mampu berkenalan & berbincang-bincang dgn banyak sekali macam orang. Petang itu, contohnya, saya berkenalan dgn seorang pria berbaju batik biru, namanya Marbangun. “Panggil saja Bang Bangun,” ungkapnya.
Marbangun bercerita, ketika ini ia sedang menata hidupnya. Sudah beberapa tahun ia mencari peruntungan di dunia politik, tetapi belum pula membuahkan hasil. ia pernah dua kali nekat ikut mencalonkan diri selaku anggota badan legislatif di kotanya & kedua-duanya gagal.
“Semoga sampean tak terjerumus ke dlm kancah politik. Politik itu keras, penuh akal kancil. Orang lugu seperti sampean akan celaka,” katanya.
Untuk menuruti ambisinya, banyak harta benda yg telah ia korbankan. ia sudah menjual tanah & sapi di kampung, kendaraan beroda empat, piranti furnitur, & barang-barang berharga lainnya. Bahkan, katanya, “Seandainya saya punya kucing, mungkin saya akan jual kucing juga.”
Setelah didera aneka macam kegagalan, Marbangun menetapkan untuk berserah pada Tuhan, menjauhkan diri dr godaan duniawi. ia ingin ikut membangun masyarakat yg bertakwa & berakhlak mulia.
“Tak ada lagi yg bisa saya jual,” katanya. “Satu-satunya yg masih bisa saya jual merupakan…”
Dengan agak terburu-buru Marbangun beranjak dr duduknya, membayar jajanannya, kemudian pamit pergi; katanya ia akan menengok & mendoakan temannya yg sakit. Pada saat bersamaan merebak bau kentut yg menyengat. Saya & beberapa orang saling menatap curiga, seperti saling menyelidik siapa yg telah melepaskan kentut tanpa bunyi itu. Sambil memencet hidungnya, Bu Trinil mengarahkan telunjuknya pada Marbangun yg sedang melangkah pergi. “Orang itu memang suka kentut sembarang pilih,” cetusnya.
Sepulang dr warung Bu Trinil, saya bersiap menyambut kedatangan Paman Yusi, senior saya. Saya & sahabat-sahabat menyebutnya “paman” karena sifat kebapakan & dedikasinya yg besar selaku guru & penasihat spiritual penulis-penulis muda.
Paman Yusi gres saja pulang dr Amerika. Seusai menjalani residensi selama enam bulan di sana, ia berhasil merampungkan suatu novel yg telah beberapa tahun di kerjakannya—suatu novel yg tebalnya melampaui Injil, yg untuk membacanya dgn khidmat & meresapkannya ke dlm kalbu diharapkan retret sekurang-kurangnyasebulan.
Paman Yusi mengajak beberapa teman merayakan rezeki dgn pesta puisi & kopi di kos saya. Tentu saja Paman Yusi yg bertanggung jawab atas ketersediaan kopi, rokok, kacang rebus, singkong, & pisang goreng.
Kegiatan iseng yg diprakarsai Paman Yusi ini menarik perhatian beberapa remaja lokal. Mereka bergabung dgn kami & kami oke-oke saja.
Para cukup umur itu tampaknya ikut terjangkit virus puisi. Mereka jadi hafal baris puisi saya: Kurang atau lebih, setiap rezeki perlu dirayakan dgn secangkir kopi. Entah siapa di antara mereka yg mengubahnya menjadi Rayakanlah setiap rezeki dgn ngopi supaya senang hidupmu nanti. Kata-kata ini mereka kumandangkan & dendangkan di mana-mana. Kami gembira sebab usaha kami menghaluskan jiwa lewat sastra di golongan bawah umur muda mulai membuahkan Hasil.
Paman Yusi kembali menyelenggarakan pesta kopi & puisi di kos saya tatkala novelnya yg lebih tebal dr Alkitab itu terbit. Berbeda dgn sebelumnya, kali ini tak ada dewasa setempat yg datang & bergabung. Mereka pasti sedang sibuk mencar ilmu untuk menghadapi cobaan sekolah.
Di tengah kegembiraan kami merayakan rezeki Paman Yusi, serombongan perjaka lokal tiba-tiba mengunjungi kami sambil menyerukan kata-kata bernada ancaman. Ternyata mereka mau menemui & meringkus saya. Saya dianggap & dituduh telah berbagi ajaran sesat.
Saya bingung, ajaran sesat mana yg saya sebarkan. Komandan cowok setempat memperlihatkan sesobek kertas bertuliskan Rayakanlah setiap rezeki dgn ngopi biar bahagia hidupmu nanti.
“Oh, itu puisi, kak, bukan aliran,” saya menerangkan.
Komandan perjaka setempat: “Pokoknya, gara-gara ayat yg anda sebarkan ini, belum dewasa di sini jadi rusak kerohaniannya.”
“Puisi itu menghaluskan jiwa, kak, bukan merusak,” timpal saya.
“Menghaluskan jiwa bagaimana? Karena terpengaruh oleh ayat ini, orang-orang di sini jadi keranjingan kopi. Dikit-dikit ngopi. Anak-anak jadi betah melek semalaman, kemudian bangun kesiangan. Kita jadi sukar ngebangunin mereka buat sekolah. Dikasih duit buat bayar sekolah malah dipake buat ngopi-ngopi.”
Paman Yusi melirik ke arah saya sambil pura-pura batuk-batuk, entah maksudnya apa.
Yang renta-renta ikutan keranjingan juga. Suami-suami habis gajian sibuk ngopi. Istri-istri dikasih uang belanja malah dipake ngopi. Rusaklah pokoknya.”
Subagus, sobat kami yg sering berperan selaku “seksi keamanan”, mendengarkandgn tegang. Untung ia menggunakan kacamata gelap sehingga kegalauan matanya tak kelihatan.
“Kalau dapat rezeki, mestinya kan berdoa & bersyukur pada Tuhan, bukan malah ngopi-ngopi. Yang bisa kasih kebahagiaan kan cuma Tuhan, bukan kopi.”
Saya tak tahu lagi harus bilang apa.
“Intinya kami minta pertanggungjawaban. Bisa jadi urusan polisi nih.”
Mendengar “urusan polisi”, hati saya terguncang. Saya membayangkan hal-hal jelek akan menimpa saya.
Paman Yusi memperlihatkan kode pada Subagus semoga secepatnya menangani komandan perjaka lokal
Subagus bangkit, mengajak komandan pemuda setempat bicara empat mata. Oleh komandan cowok lokal, Subagus dibimbing untuk menemui pemimpin gerakan yg menanti di seberang sana, di bawah pohon mangga. Ya ampun, ternyata itu Marbangun, laki-laki tampan berbaju batik biru itu.
Saya tak tahu perundingan macam apa yg mereka kerjakan. Saya hanya melihat Subagus berbicara dgn pemimpin gerakan & komandan perjaka setempat sambil memiringkan telunjuk di jidatnya. Pasti ia bilang saya ini sinting, tak waras. Saya pula sempat melihat ia merogoh saku celananya.
Setelah melalui negosiasi yg cukup alot, pemimpin gerakan memerintah komandan pemuda setempat membubarkan rombongan.
Mungkin alasannya dianggap sinting, sehabis itu saya dicuekin orang-orang. Hanya beberapa cukup umur yg tetap segan pada saya. Saya sempat bertanya, benarkah orang-orang jadi keranjingan kopi gara-gara puisi saya. Mereka bilang tak tahu.
Ketika suatu sore saya keluar untuk cari angin & beli rokok, saya menyaksikan Marbangun sedang duduk manis menyeruput kopi & melahap pisang goreng di warung Bu Trinil.
Pada suatu kangen, sesudah berhari-hari pergi melakukan proyek penulisan naskah film dokumenter, saya singgah ngopi di warung Bu Trinil. Bu Trinil senang saya timbul lagi. ia menyangka saya pergi untuk tak kembali.
Bu Trinil bercerita bahwa selama saya pergi telah terjadi sesuatu yg menggemparkan.
“Ada sosok laki-laki enggak pake celana timbul di gardu ronda. Ngeri deh. Kelaminnya luka, berdarah. ia merintih Sakit, Jenderal! Sakit, Jenderal!”
“Oh, eltece,” saya menyela.
“Eltece?”
“Iya, itu namanya eltece, lelaki tanpa celana.”
Bu Trinil tertawa mantap.
“Saat mau ditangkap, hantu itu lari ke gang, dikejar, dikepung, tapi lolos.”
Saya menyeruput kopi.
“Malam selanjutnya ia nongol di rumah Marbangun. Marbangun teriak-teriak panik, ia malah ketawa-ketawa.”
Eltece konon menghadang Marbangun malam-malam dlm perjalanan ke kamar mandi. Marbangun digertak: Piye kabare? Ngeri zamanku to? Eltece kemudian mencubit-cubit pipinya sambil berseru Beri gue kopi! Beri gue kopi!
Saya tak kagetmendengar dongeng Bu Trinil.
Pada suatu malam, ketika sedang bermain ketoprak, ayah saya dijemput oleh beberapa orang tak diketahui & semenjak itu saya tak pernah lagi melihatnya. Waktu itu sedang berlangsung gerakan pembersihan kepada orang-orang yg dianggap kiri. Di kemudian hari saya mendengar kisah ihwal para seniman & penggagas yg diculik, disiksa, bahkan ada yg dikerat kem*l*annya. Ayah ikut diciduk atas rekomendasi seorang temannya yg merasa punya kasus pribadi dgn Ayah. Sesungguhnya Ayah hanyalah orang lugu yg punya kegemaran bermain ketoprak.
Saya pernah dihadang eltece—dengan darah mengental di ujung kelaminnya—saat mau menyepi di kamar mandi menjelang dinihari. ia merintih Sakit, Jenderal! Saya tatap wajahnya yg memelas. Ia memandang saya dgn heran. Saya membungkuk & mengucapkan kalimat, Kita ialah cinta yg berjihad melawan trauma. Setelah itu ia menghilang.
Sosok eltece tampaknya betul-betul menghantui Marbangun sehingga ia sulit tidur & tak berani ke kamar mandi sendirian. Atas usulan Bu Trinil, dengan-cara membisu-membisu ia menemui saya. ia menerka, kemunculan eltece di rumahnya ada hubungannya dgn saya.
“Hantu itu teriak Beri gue kopi! Beri gue kopi! Saya lantas teringat ayat kopi yg sampean bikin & disebarkan anak-anak cukup umur itu.”
Marbangun bertanya, apakah saya tahu cara menghalau hantu eltece.
“Wah, Bang Bangun salah alamat. Masak orang sinting mirip saya ngerti cara menghalau hantu.”
“Sudahlah. Yang bilang sinting itu kan bukan saya.”
Ya sudah, saya katakan saja pada Marbangun, “Kalau eltece timbul lagi, sambutlah dgn ramah, kasih hormat, lalu bikinkan kopi. Setelah itu, berjanji akan bertakwa dengan-cara benar, mencari rezeki dengan-cara halal, & tak kentut sembarang pilih.”
Marbangun terdiam.
Saya pikir, sehabis Marbangun menemui saya, persoalannya dgn eltece tamat. Ternyata ada kelanjutannya.
Malam itu orang-orang di warung Bu Trinil ricuh menyaksikan Marbangun berlari kencang sambil berteriak-teriak minta tolong mirip sedang diburuseseorang. Katanya ia mau ditangkap eltece. Orang-orang gundah karena tak menyaksikan sosok yg memburunya.
Marbangun terus berlari menuju kos saya. ia minta pertolongan. ia sembunyi di kamar saya. Sesaat kemudian Eltece datang: “Mana Marbangun? Marbangun mana?” Saya terima ia dgn baik. Saya tanya, kenapa ia mau menangkap Marbangun. Ternyata ia cuma mau menawarkan dompet Marbangun yg ia temukan di depan ATM. Saya terima dompet Marbangun dr eltece seraya mengucapkan banyak terima kasih. Setelah itu, ia pergi sambil tertawa.
Marbangun terkesima sembari menenangkan jantungnya. Saat itulah ia merasa mantap untuk menempuh jalan kerohanian yg higienis & mewartakan hal-hal baik pada sesama. Saya mendukung niat sucinya.
Niat suci Marbangun mulai kelihatan tatkala keesokan harinya ia mengajak saya ngopi di warung Bu Trinil. Bu Trinil heran melihat saya tiba berdua dgn Marbangun. Namun, membisu-diam saya tetap berhati-hati. Siapa tahu kebaikannya cuma modus.
Sikap saya untuk tetap berhati-hati terbukti tepat. Di tengah kenikmatan kami—para pengunjung warung Bu Trinil—minum kopi & memakan pisang goreng, tiba-tiba merebak anyir kentut yg menyengat. Meskipun aromanya agak berbeda, saya sudah yakin itu niscaya kelakuan Marbangun. Seketika itu pula saya kehilangan respek lagi terhadapnya. Orang semacam itu memang sulit berubah.
Sewaktu saya bergegas pergi, Bu Trinil dgn cepat menggamit lengan saya & berkata pelan, “Aduh, maaf ya tadi. Saya sudah enggak berpengaruh nahan. Perut saya kembung. Untung enggak bunyi.” (*)