Ayak Asal-Ajakan Dan Penyebarannya Di Bumi Borneo Barat(1)

Usul dan Penyebarannya di Bumi Borneo Barat AYAK ASAL-USUL DAN PENYEBARANNYA DI BUMI BORNEO BARAT(1) 

 

 

 

 


DAYAK ASAL-USUL DAN PENYEBARANNYA DI BUMI

BORNEO BARAT(1)

Oleh : HAMID DARMADI*)
ABSTRAK
Tulisan ini berjudul “Keseharian Suku Dayak Asal-Usul dan Penyebarannya di Bumi Borneo Barat”. Kehadiran goresan pena ini bermaksud mengungkapkan asal usul dan budaya Dayak selaku salah satu suku “Asli Borneo” yang mendiami Pulau Borneo (Kalimantan) pada umumnya dan Borneo Barat terutama. Borneo (Kalimantan) terbagi berdasarkan daerah Administratif yang mengatur wilayahnya masing-masing berisikan: Kalimantan Timur ibu kotanya Samarinda, Kalimantan Selatan dengan ibu kotanya Banjarmasin, Kalimantan Tengah ibu kotanya Palangka Raya, dan Kalimantan Barat ibu kotanya Pontianak, Kalimantan Utara Ibu kotanya Tanjung Selor.  Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam 405 sub-sub suku (J.U.Lontaan, 1974). Masing-masing sub suku Dayak memiliki adab istiadat dan budaya yang mirip, sesuai dengan sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan budpekerti istiadat, budaya, dan bahasa yang khas pada masing-masing sub suku tersebut, baik Dayak di Indonesia maupun Dayak di Sabah dan Sarawak Malaysia.  Etnis Dayak berisikan enam rumpun besar, yakni Kenyah-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Murut, Klemantan dan Punan. Keenam rumpun ini terbagi dalam 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh daerah pedalaman Borneo (Kalimantan). Nama “Dayak” atau “Daya” ialah nama “eksonim”  dan “endonim”. Kata Dayak berasal dari kata Daya” yang artinya hulu, untuk menyebutkan penduduk yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat terutama.   Meskipun terbagi terhadap ratusan sub suku, golongan suku Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya yang khas Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu salah suatu sub suku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak Ciri-ciri tersebut ialah “Rumah Betang” (rumah panjang), hasil budaya material mirip tembikar, mandau, sumpit beliong (kapak Dayak) pandangan kepada alam, mata penelusuran (tata cara perladangan) dan berbagai seni tergolong seni tari.   Agama orisinil suku Dayak yaitu Kaharingan, yang merupakan agama asli yang lahir dari budaya setempat sebelum bangsa Indonesia mengenal agama pertama ialah Hindu. Karena Hindu telah meyebar luas di dunia utamanya Indonesia dan lebih diketahui luas, bila ketimbang agama suku Dayak, maka Agama Kaharingan dikategorikan cabang agama Hindu.  Provinsi Kalimantan Barat memiliki keunikan tersendiri dalam proses alkurturasi cultural atau perpindahan sebuah culture religius penduduk lokal. Dalam hal ini proses tersebut sungguh berkaitan akrab dengan tiga suku terbesar di Kalimantan Barat yakni Tionghua (Cina), Dayak, Melayu . (TIDAYU).  Sebagian Masyarakat Dayak masih memegang teguh akidah akan adanya benda-benda gaib pada daerah-tempat tertentu benda-benda tertentu mirip watu-watu, pohon-pohon besar, danau, lubuk (air sungai yang dalam) dan lain-lainnya ada penguasanya, yang mereka sebut: Jubata, Petara, Ala Taala, Penompa dan lain-lain. Masyarakat Dayak juga mempunyai seni budaya seperti busana adab, tari-tarian, penyembahan dan ritual-ritual berperang ritual-ritual berladang, sperti ketika akan dembuka lahan untuk berladang mereka mengakan ritual terhadap Puyang Gana (penguasa tanah), Raja Juata (penguasa Air), Kama” Baba (penguasa Darat), Jobata, Apet Kuyangh dan lain-lain.  Disi lain juga ada upacara Tiwah merupakan satu acara budpekerti suku Dayak. Tiwah ialah ritual yang dilakukan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang telah di disiapkan sebelumnya. Sandung adalah tempat semacam rumah kecil yang memang dibentuk khusus untuk menyimpan tulang belulang orang yang sudah meninggal.
Kata Kunci: Dayak, Asal-Usul, Penyebaran dan Borneo (Kalimantan)
ABSTRACT
This article titled “Daily Dayak Origin and Spread in West Borneo Earth”. The presence of this paper aims to reveal the origin and culture as one of the Dayak tribe “First Borneo” that inhabit the island of Borneo (Kalimantan) in general and in particular the West Borneo. Borneo (Kalimantan) divided by region Administrative governing each region consisting of: the East Kalimantan capital Samarinda, South Kalimantan capital Banjarmasin, Central Kalimantan capital of Palangkaraya, and West Kalimantan capital Pontianak, North Kalimantan capital city of Tanjung Selor , Dayak groups, divided into 405 sub-sub-tribe (J.U.Lontaan, 1974). Each sub Dayak customs and cultures have similar, according to sociology kemasyarakatannya and differences in customs, culture, and language typical of each of the sub-tribe, either Dayak Dayak in Indonesia as well as in Sabah and Sarawak in Malaysia. Dayak consists of six large clumps, the Kenyah-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Murut, Klemantan and Punan. Sixth clump is divided into 405 small sub-tribes, which spread across the hinterlands of Borneo (Kalimantan). The name “Dayak” or “Power” is the “eksonim” and “endonim”. The word comes from the word Dayak Power “which means upstream, to mention the people who live in rural or inland generally Kalimantan and West Kalimantan in particular. Although it divides into hundreds of sub-tribe, Dayak ethnic group have the same cultural traits are typical characteristics of such a deciding factor one of a sub-tribe in Borneo can be put into groups Dayak These characteristics are “betang” (longhouse) , the results of material culture such as pottery, saber, chopsticks beliong (ax Dayak) view of nature, livelihood (farming system) and a variety of arts, including dance. Dayak indigenous religion is Kaharingan, which is the original religion born of the local culture before the Indonesian people to know first the Hindu religion. Because Hindus have meyebar widely in the world, especially Indonesia and more widely known, when compared with the Dayak religion, the Religion Kaharingan categorized branch of Hinduism. West Kalimantan province has its own uniqueness in the process alkurturasi cultural or religious culture movement of a local community. In this case the process is closely related to the three largest tribes in West Kalimantan is a Chinese (China), Dayak, Malay. (TIDAYU). Most Dayak still adhere to the belief in the existence of things unseen in certain places certain objects such as rocks, big trees, lakes, pools (river water in) and others there are rulers, they call: Jubata, Petara, Ala Taala, Penompa and others. The Dayak also have art and culture such as traditional clothes, dance, worship and rituals war rituals farming, just as when it will dembuka land for farming them mengakan ritual to Puyang Gana (ruler of the land), King Juata (ruler Air), Kama “Baba (ruler Army), Jobata, Apet Kuyangh and others. Other Disi also Tiwah ceremony is a traditional event Dayak tribe. Tiwah is a ritual performed for delivery of the bones of the dead to Sandung that has been previously prepared. Sandung is a sort of a small house that is made specifically for storing bones of the dead.
Keywords: Dayak, Origins, Spread and Borneo (Kalimantan)
PENDAHULUAN
Dayak ialah sebutan bagi penduduk asli pulau Kalimantan. Pulau Kalimantan terbagi berdasarkan wilayah Administratif yang mengendalikan daerahnya masing-masing berisikan: Kalimantan Timur ibu kotanya Samarinda, Kalimantan Selatan dengan ibu kotanya Banjarmasin, Kalimantan Tengah ibu kotanya Palangka Raya, dan Kalimantan Barat ibu kotanya Pontianak, Kalimantan Utara Ibu kotanya Tanjung Selor.
Kelompok Suku Dayak, terbagi lagi dalam 405 sub-sub suku (J.U.Lontaan, 1974). Masing-masing sub suku Dayak mempunyai akhlak istiadat dan budaya yang seperti, sesuai dengan sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan etika istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas pada masing-masing sub suku tersebut, baik Dayak di Indonesia maupun Dayak di Sabah dan Sarawak Malaysia.
Etnis Dayak Kalimantan berdasarkan J.U. Lontaan, 19745 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat menyebutkan, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh tempat pedalaman Kalimantan. Mereka menyebut dirinya dengan golongan yang berasal dari sebuah tempat menurut nama sungai, nama jagoan, nama alam dan sebagainya. Misalnya suku Iban asal katanya dari ivan (dalam bahasa kayan, ivan = pengembara) demikian juga berdasarkan sumber yang lainnya bahwa mereka menyebut dirinya dengan nama suku Batang Lupar, sebab berasal dari sungai Batang Lupar, daerah perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak, Malaysia. Suku Mualang, diambil dari nama seorang tokoh yang disegani (Manok Sabung/algojo) di Tampun Juah dan nama tersebut diabadikan menjadi suatu nama anak sungai Ketungau di kawasan Kabupaten Sintang (alasannya adalah suatu peristiwa) dan kemudian dijadikan nama suku Dayak Mualang. Dayak Bukit (Kanayatn/Ahe) berasal dari Bukit/gunung Bawang. Demikian juga asal seruan Dayak Kayan, Kantuk, Tamambaloh, Kenyah, Benuag, Ngaju, Desa dan lain-lain, yang mempunyai latar belakang sejarahnya sendiri-sendiri.
Nama “Dayak” atau “Daya” ialah nama eksonim (nama yang bukan diberikan oleh mayarakat itu sendiri) dan bukan nama endonim (nama yang diberikan oleh penduduk itu sendiri). Kata Dayak berasal dari kata Daya” yang artinya hulu, untuk menyebutkan penduduk yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat khususnya, (meskipun sekarang banyak masyarakat Dayak yang sudah berdomisili di kota kabupaten dan provinsi) yang memiliki kemiripan akhlak istiadat dan budaya dan masih memegang teguh tradisi nenek moyang mereka.
Pada tahun (1077-1078) dikala itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bab nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang kini disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan masyarakatKalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka tiba, semakin lama mereka kian menghindarke kawasan pedalaman. Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit.
Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh daerah pedalaman Kalimantan dalam jangka waktu yang lama, mereka hidup menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan lalu mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda. Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi ekspresi Dayak, sering disebut “Nansarunai Usak Jawa”, ialah sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk tempat pedalaman. Arus besar selanjutnya terjadi pada saat imbas Islam yang berasala dari kerajaan Demak bareng masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).
Sebagian besar suku Dayak yang memeluk agama Islam tidak lagi mengakui dirinya selaku orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang tidak memeluk agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan, bertempat tinggal di tempat-kawasan Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus masuk rimba. Orang Dayak yang memeluk agama Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal yaitu Lambung Mangkurat yakni seorang Dayak Maanyan atau Ot Danum. (Sejarah Asal Usul Suku Dayak Kalimantan) namanya di abadikan selaku   nama Universitas Lambung Mangkurat di Banjarmasin.
Tidak cuma dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada kurun Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi yaitu Banjarmasin. Tetapi masih belum terang apakah bangsa Tionghoa datang pada kala Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di kala Islam. Kedatangan bangsa Tionghoa tidak menjadikan perpindahan masyarakatDayak dan tidak memiliki imbas pribadi alasannya adalah mereka hanya berjualan, khususnya dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak mirip piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal era V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada kurun XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (tergolong Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, sehabis sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut menjinjing juga barang barang jualan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963).
Dibawah ini ada beberapa budpekerti istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga sekarang, dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman kini yang masih besar lengan berkuasa sampai kini. Adat istiadat ini ialah salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, sebab pada awal awalnya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan. Upacara Tiwah. Upacara  Tiwah merupakan acara etika suku Dayak. Tiwah ialah upacara yang dikerjakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung yakni kawasan yang semacam rumah kecil yang memang dibentuk khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia.
Upacara Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada program Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang telah meninggaltersebut di antar dan ditaruh ke tempatnya (sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, bunyi gong maupun hiburan lain. Sampai kesudahannya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).
 Jika kita kilas balik kebelakang berdasarkan asal katanya, Dayak berasal dari kata “Daya” yang artinya hulu. Kata ini untuk menyebut penduduk yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan umumnya dan Kalimantan Barat khususnya. Ada pelbagai usulan tentang asal-usul orang Dayak, tetapi setakat ini belum ada yang signifikan secara validitas dan reliabilitas. Namun usulan familiar yang berlaku umum meenyebutkan bahwa orang Dayak ialah salah satu kalangan asli paling besar dan tertua yang mendiami pulau Kalimantan (Tjilik Riwut 1993: 231) Gagasan wacana penduduk asli ini didasarkan pada teori migrasi masyarakatke Kalimantan Berdasarkan pertimbangan tersebut dapat mengemban amanah bahawa nenek moyang orang Dayak berasal dari China Selatan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Mikhail Coomans (1987: 3):
Semua suku bangsa Dayak tergolong pada golongan yang bermigrasi secara besar-besaran dari daratan Asia. Suku bangsa Dayak merupakan keturunan ketimbang imigran yang berasal dari kawasan yang sekarang disebut Yunnan di Cina Selatan. Dari daerah itulah kelompok kecil mengembara lewat Indo China ke jazirah Malaysia yang menjadi loncatan untuk memasuki pulau-pulau di Indonesia, disamping itu, mungkin ada golongan yang memilih watu loncatan lain, adalah melalui Hainan, Taiwan dan Filipina. Perpindahan itu tidak begitu sulit, kerana pada zaman glazial (zaman es) permukaan bahari sungguh turun (surut), sehingga dengan perahu-perahu kecil sekalipun mereka mampu menyeberangi perairan yang memisahkan pulau-pulau tersebut.
            Orang-orang Dayak yaitu masyarakatpulau Kalimantan yang sejati. Tidak ada orang Dayak di pulau lain selain Kalimantan, dahulu mereka ini mendiami pulau Kalimantan, baik di pantai-pantai maupun dibagian daratan Akan tetapi tatkala orang Melayu dari Sumatera dan Tanah Semenanjung Melaka tiba orang Dayak menyingkir usang kelamaan bertambah jauh ke tempat pedalaman Kalimantan disatu sisi. Disisi lain masyarakat Dayak mempunyai tradisi berladang berpindah. Dari tahun ketahun mereka mencari hutan yang dinilai subur untuk berladang dan befrcodok tanam sebagai mata pencaharian demikian seterusnya. Akhirnya tahun berganti tahun, puluhan tahun, ratusan tahun dan bahkan puluh ribuan tahun kesannya hampir seluruh tempat pelosok pedalaman Kalimantan tidak ada yang lepas dari residensial orang dayak. 
Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, iaitu Kenyah-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Murut, Klemantan dan Punan Keenam rumpun ini terbagi lagi kepada lebih kurang 405 sub suku. Meskipun terbagi kepada ratusan sub suku, kelompok suku Dayak mempunyai kesamaan ciri-ciri budaya yang khas Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu salah sebuah sub suku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam golongan Dayak Ciri-ciri tersebut yakni rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit beliong (kapak Dayak) pandangan kepada alam, mata penelusuran (metode perladangan) dan seni tari.
Kalimantan ialah salah satu dari 5 pulau besar yang ada di Indonesia. Sebenarnya pulau ini tidak hanya ialah “tempat asal” orang Dayak semata sebab di sana ada orang Banjar (Kalimantan Selatan) dan orang Melayu. Dan, di golongan orang Dayak sendiri satu dengan lainnya menumbuh-kembangkan kebudayaan tersendiri. Dengan perkataan lain, kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan oleh Dayak-Iban tidak sama persis dengan kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan Dayak-Punan dan seterusnya. Namun demikian, satu dengan lainnya mengenal atau mempunyai senjata khas Dayak yang disebut sebagai mandau. Dalam kehidupan sehari-hari senjata ini tidak lepas dari pemiliknya. Artinya, kemanapun dia pergi mandau senantiasa dibawanya sebab mandau juga berfungsi sebagai simbol seseorang (kehormatan dan jatidiri orang Dayak).
Sebagai catatan, dahulu mandau dianggap memiliki bagian magis dan hanya digunakan dalam program ritual tertentu mirip: perang, pengayauan, perlengkapan tarian adat, dan peralatan upacara. Mandau dipercayai memiliki tingkat-tingkat kampuhan atau kesaktian. Kekuatan saktinya itu tidak cuma diperoleh dari proses pembuatannya yang lewat ritual-ritual tertentu, namun juga dalam tradisi pengayauan (pemenggalan kepala lawan). Ketika itu (sebelum abad ke-20) kian banyak orang yang sukses di-kayau, maka mandau yang digunakannya makin sakti. Biasanya sebagian rambutnya sebagian digunakan untuk mempercantik gagangnya. Mereka percaya bahwa orang yang mati alasannya di-kayau, maka rohnya akan mendiami mandau sehingga mandau tersebut menjadi sakti. Namun, dikala ini fungsi mandau telah berubah, adalah selaku benda seni dan budaya, cinderamata, barang koleksi serta senjata untuk berburu, memotong semak belukar dan bertani.
Etnisitas dan Keberagamaan Masyarakat Dayak
Kalimantan Tengah memiliki etnisitas yang relatif berlawanan di bandingkan dengan Kalimantan Barat dan kawasan yang lain. Mayoritas ethnis yang mendiami Kalimantan Tengah adalah ethnis suku Dayak Ngaju, Ot Danum, Maanyan, Dusun, dan lain sebagainya. Sedangkan agama yang mereka anut sangat variatif. Dayak yang beragama Islam di Kalimantan Tengah, tetap mempertahankan ethnisnya sebagai orang Dayak, demikian juga bagi Dayak yang beragama Nasrani. Agama asli suku Dayak di Kalimantan Tengah yakni Kaharingan, yang ialah agama orisinil yang lahir dari budaya lokal sebelum bangsa Indonesia mengenal agama pertama yaitu Hindu. Karena Hindu sudah meyebar luas di dunia terutama Indonesia dan lebih dikenal luas, kalau ketimbang agama suku Dayak, maka Agama Kaharingan dikategorikan cabang agama Hindu.
Provinsi Kalimantan Barat memiliki keunikan tersendiri kepada proses alkurturasi cultural atau perpindahan suatu culture religius bagi masyarakat setempat. Dalam hal ini proses tersebut sungguh berhubungan bersahabat dengan tiga suku terbesar di Kalimantan Barat yaitu Tionghua (Cina), Dayak, Melayu . (TIDAYU). Ada batik TIDAYU da nada tarian TIDAYU. Pada awalnya orang Dayak mendiami daerah pesisir Kalimantan Barat, hidup dengan tradisi dan budayanya masing-masing, kemudian tiba penjualdari gujarab beragama Islam (Arab Melayu) dengan tujuan jual-beli barang-barang dari dan terhadap masyarakat Dayak, lalu alasannya seringnya mereka berinteraksi, bolak-balik mengambil dan mengirim barang-barang barang jualan dari dan ke Selat Malaka (ialah sentral jualan di kurun kemudian), menimbulkan mereka berhasrat menetap di daerah baru yang memiliki potensi jualan yang besar bagi manfaatnya. (sejarah asal ajakan suku Dayak).
            Hal tersebut menjadi pesona tersendiri bagi masyarakat Dayak saat bersinggungan dengan pendatang yang menjinjing wawasan baru yang gila ke daerahnya. Karena sering terjadinya proses transaksi perdagangan barang kebutuhan, dan interaksi cultural, menimbulkan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, di datangi masyarakat setempat (Dayak) dan penjualArab Melayu dari Selat Malaka. Di era itu system religi masyarakat Dayak mulai terpengaruh dan dipengaruhi oleh para penjualMelayu yang sudah lebih dahulu mengenal pengetahuan, pendidikan dan agama Islam dari luar Kalimantan. Karena hubungan yang serasi terjalin baik, maka masyarakat lokal, ada yang menaruh simpati kepada penjualGujarat tersebut yang lambat laun terpengaruh, maka agama Islam diterima dan diketahui pada tahun 1550 M di Kerajaan Tanjung Pura pada kurun penerintahan Giri Kusuma yang ialah kerajan melayu yang kemudian mulai menyebar di seluruh daerah Kalimantan Barat.
Dayak Muslim
Masyarakat Dayak yang masuk Islam dan yang sudah menikah dengan pendatang Melayu disebut dengan ”Senganan”, atau masuk senganan/masuk Laut, dan kini mereka mengklaim dirinya dengan istilah orang Melayu. Mereka mengangkat salah satu tokoh yang mereka segani baik dari ethnisnya maupun pendatang yang seagama dan memiliki karismatik di kalangannya, sebagai pemimpin kampungnya atau pemimpin kawasan yang mereka segani. Seiring dengan kemajuan social penduduk dan kemajuan wawasan, masyarakat Dayak yang beragama islam menyebut dirinya ungkapan “Dayak Muslim”. Hal ini patut diberikan apresiasi yang tinggi. Ini artinya mereka sudah kembali kefitrahnya ialah “orang Dayak”. Agama boleh berlawanan, etnis boleh tidak sama tetapi asal undangan dihentikan dilupakan sebagai manifestasi dari berlainan-beda namun tetap satu “Bhinneka Tunggal Ika” itulah Indonesia raya.
Seni Budaya
1.    Ciri-Ciri Tari Dayak Berdasarkan Wilayah Penyebarannya 
Orang Dayak di Kalimantan Barat terbagi atas sub-sub ethnik yang tersebar diseluruh kabupaten di Kalimantan Barat. Berdasarkan Ethno Linguistik dan cirri cultural gerak tari Dayak di Kalimantan Barat dibagi menjadi empat (4) kalangan besar, dan satu (1) kalangan kecil selaku berikut:
1.    Kendayan/Kanayatn Grop : Dayak Bukit (ahe), Banyuke, Lara, Darit, Belangin, Bakati” dll. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Pontianak, Kabupaten Landak, Kabupaten Bengkayang, Sambas dan sekitarnya. memiliki gerak tari, enerjik, stakato, keras.
2.    Ribunic/Jangkang Group/Bidoih/Bidayuh : Dayak Ribun, Pandu, Pompakng, Lintang, Pangkodatn,Jangkang, Kembayan, Simpakng, dll. Wilayah penyebarannya  di Kabupaten Sanggau Kapuas, memiliki ciri gerak tangan membuka, tidak agresif dan halus.
3.    Iban/Ibanic Group:Dayak Iban dan sub-sub kecil yang lain, Mualang, Ketungau, Kantuk, Sebaruk, Banyur, Tabun, Bugau, Undup, Saribas, Desa, Seberuang, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Sambas (perbatasan), Kabupaten Sanggau/malenggang dan sekitarnya (perbatasan) Kabupaten Sekadau (Belitang Hilir, Tengah, Hulu) Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Serawak, Sabah (Malaysia) dan Brunai Darusalam. mempunyai ciri gerak pinggul yang lebih banyak didominasi, tidak keras dan tidak terlampau halus.
4.    Banuaka “Group : Taman, Tamambaloh dan subnya, Kalis, dan sebagainya. Wilayah penyebarannya di Kabupaten Kapuas Hulu.ciri gerak mirif kelompok ibanic, namun sedikit lebih halus.
5.    Kayaanik, punan, bukat dll.
Selain terbagi berdasarkan ethno linguistik yang terdata berdasarkan jumlah besar groupnya, masih banyak lagi yang belum teridentifikasikan gerak tarinya, alasannya menyebar dan berpencar dan terbagi menjadi suku yang kecil-kecil. Misalnya Dayak Mali /ayek-ayek, terdapat dialur jalan tayan kearah Kabupaten Ketapang. kemudian Dayak Kabupaten Ketapang, Daerah simpakng seperti Dayak Samanakng dan Dayak Kualan, kawasan Persaguan, Kendawangan, daerah Kayong, Sandai, tempat Krio, Aur kuning. Daerah Manjau dan sebagainya.
Kemudian Dayak kawasan Kabupaten Sambas, yaitu Dameo / Damea, Sungkung daerah Sambas,Kabupaten Bengkayang dan sebagainya. Kemudian daerah Kabupaten Sekadau kearah Nanga Mahap dan Nanga Taman, Jawan, Jawai, Benawas, Kematu dan lain-lain. Kemudian Kabupaten Melawi, adalah: dayak Keninjal (dominan tanah pinoh antara lain desa ribang rabing, ribang semalan, madya raya, rompam, ulakmuid, maris dll) dayak Kebahan (antara lain desa: poring, nusa kenyikap, Kayu Bunga, dan lain-lain yang memiliki tari alu dan tari belonok kelenang yang nyaris punah), dayak Linoh (antara lain desa:Nanga taum,sebagian ulak muid, mahikam dll), dayak pangen (Jongkong, sebagian desa balaiagas dll), dayak kubing (antara lain desa sungai bakah/sungai mangat, nyanggai, nanga raya dll),dayak limai (antara lain desa tanjung beringin,tain, menukung, ela dll), dayak undau, dayak punan, dayak ranokh/anokh (antara lain sebagian di desa watu buil, sungai raya dll), dayak seberuang (antara lain didesa tanjung rimba, piawas dll),dayak Ot Danum ( masuk golongan Kalteng), Leboyan. (Sejarah asal-undangan Dayak Kalimantan Barat: J, U. Lontaan Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat 1974),).
2.    Kepercayaan akan Benda-Benda Gaib
Secara geografik masyarakat Dayak masih memegang teguh dogma mereka percaya setiap kawasan-tempat tertentu benda-benda tertentu mirip watu-batu, pohon-pohon besar, danau, lubuk (air sungai yang dalam) dan lain-lainnya ada penguasanya, yang mereka sebut: Jubata, Petara, Ala Taala, Penompa dan lain-lain, untuk istilah Tuhan yang tertinggi, kemudian mereka masih memiliki penguasa lain dibawah kekuasaan Tuhan tertingginya: contohnya: Puyang Gana (penguasa tanah), Raja Juata (penguasa Air), Kama” Baba (penguasa Darat), Jobata, Apet Kuyangh dan lain-lain. Bagi mereka yang masih memegang teguh keyakinan dinamismenya dan budaya aslinya, sambil mencari tanah yang subur untuk berladang dan bercocok tanam mereka memisahkan diri masuk hutan keluar hutan semakin jauh kepedalaman Kalimantan. Semakin subur tanah dan hutan-hutan lebat, kian banyak mereka berkumpul guna mempersiapkan diri untuk berladang dan bercocok tanam
            Sementara itu masyarakat Dayak yang sudah masuk Islam lebih banyak meniru gaya hidup pendatang yang dianggap sudah mempunyai peradaban tinggi dan lebih maju alasannya banyak berhubungan dengan dunia luar. (sesuai dengan berjalannya waktu dan kemajuan social,  maka masuklah para misionaris ke pedalaman). Pada umumnya masyarakat Dayak yang masuk Islam di Kalimantan Barat disebut dengan suku melayu. Suku Dayak yang masih asli (memegang teguh iktikad nenek moyang) di periode kemudian, hingga mereka berupaya menguatkan perbedaan, suku dayak yang masuk Islam  menawarkan  diri sebagai suku melayu banyak yang lupa akan identitas sebagai suku dayak mulai dari agama barunya dan hukum keterikatan dengan adab istiadatnya. Setelah masyarakatpendatang di pesisir berasimilasi dengan suku Dayak yang beragama Islam, agama islam lebih identik dengan suku melayu dan agama kristiani atau akidah dinamisme lebih identik dengan suku Dayak. Keunikan suku Dayak terutama Dayak di Kalimantan Barat. Apabila masuk agama Islam mereka tidak lagi menyebut diri mereka sebagai orang Dayak, namun penyebut dirinya “:Melayu”. Tidak seperti orang Batak atau orang Jawa, apapun agama yang dipeluknya, dan dimanapun mereka berdomisili tetap menyebut diri selaku suku aslinya. Sejalan terjadinya urbanisasi ke Kalimantan, menjadikan pesisir Kalimantan Barat menjadi ramai, sebab kian banyak di kunjungi pendatang baik local maupun dari luar nusantara yang lain.
Untuk mengatur daerah tersebut maka tokoh orang melayu yang di percayakan masyarakat lokal diangkat menjadi pemimpin atau diberi gelar Penembahan (ungkapan yang dibawa pendatang untuk menyebut raja kecil ) penembahan ini hidup mampu berdiri diatas kaki sendiri dalam suatu wilayah kekuasaannya berdasarkan komposisi agama yang dianut sekitar pusat pemerintahannya, dan cenderung menjaga daerah tersebut. Namun ada kalanya penembahan tersebut tunduk terhadap kerajaan dari daerah asalnya, demi keselamatan dan perluasan kekuasaan.
3.    Tari “Ajat Temuai Datai” (Tari Menyambut Tamu)
            “Ajat Temuai Datai” diangkat dari bahasa Dayak Mualang, Dayak Kantuk dan  Dayak Desa (Ibanic Group), yang tidak mampu diartikan secara langsung, alasannya adalah terdapat kejanggalan jika di diartikan kata per kata. Tetapi maksudnya Ajat ialah Persembahan/Permohonan dengan menggelar ritual atau Upacara budpekerti, lalu Temuai artinya: tamu, Datai artinya: Datang. Jika diadaptasi dengan maksud tarian yaitu: Tari yang di dalamnya terdapat Upacara Adat dalam prosesi menyambut  tamu atau Tari Menyambut tamu. bertujuan untuk penyambutan tamu yang datang atau tamu agung (diagungkan). Awal lahirnya kesenian ini ialah dari era pengayauan/kala lampau, diantara kalangan-kalangan suku Dayak.
4.    Ngayau
Mengayau, berasal dari kata me dan Ngayau. Me bermakna melaksanakan aksi, Ngayau: pemenggalan kepala musuh, tindakan memenggal kepala lawan (Mengayau terdapat dalam bahasa Dayak Iban dan Ibanik, juga pada penduduk Dayak kebanyakan). Tetapi jikalau mengayau mengandung pemahaman khusus yakni suatu langkah-langkah yang mencari kelompok yang lain (lawan) dengan cara menyerang dan memenggal kepala lawannya (mengayau terdiri dari berbagai macam adatnya diantaranya:
Kayau banyau/ramai/serang, Kayau Anak adalah: Mengayau dalam kelompok kecil, Kayau Beguyap yakni: Mengayau tidak lebih dari tiga orang. Pada masyarakat Dayak Mualang dimasa lampau para satria yang pulang dari pengayauan dan membawa bukti hasil Kayau berupa kepala manusia (lawan), merupakan tamu yang diagungkan serta dianggap sebagai seorang yang mampu menjadi pahlawan bagi kelompoknya. Oleh alasannya itu diadakanlah upacara “Ajat Temuai Datai”. Masyarakat Dayak yakin bahwa pada kepala seseorang menyimpan sebuah semangat ataupun kekuatan jiwa yang dapat melindungi siempunya dan sukunya. Menurut J, U. Lontaan (Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat 1974),
Ada empat tujuan mengayau yakni: untuk melindungi pertanian, untuk menerima tambahan daya jiwa, untuk balas dendam, dan selaku daya tahan berdirinya sebuah bangunan. Setelah menerima hasil dari mengayau, para satria tidak boleh memasuki daerah kampungnya, tetapi dengan cara menunjukkan tanda dalam bahasa Dayak disebut Nyelaing (teriakan khas Dayak) yang berbunyi Heeih!!!, sebanyak tujuh kali yang bermakna satria pulang dan menang dalam pengayauan dan mendapatkan kepala musuh yang masih segar. Jika teriakan tersebut cuma tiga kali bermakna para jagoan menang dalam berperang atau mengayau tetapi jatuh korban dipihaknya. Jika hanya sekali memiliki arti para pahlawan tidak menerima apa-apa dan tidak diadakan penyambutan khusus. Setelah menawarkan tanda nyelaing, para pengayau mengirimkan utusan untuk menemui pimpinan ataupun kepala sukunya agar menyiapkan program penyambutan.
Proses penyambutan ini, lewat empat babak yakni: 1. Ngunsai Beras (memboroskan beberapa beras di depan para Bujang Berani / Ksatria / Pahlawan, sambil membacakan doa melalui perantaraan Sengalang Burong), 2.Mancong Buloh yaitu; Menebaskan Mandau/Nyabor untuk memutuskan bambu yang sengaja dilintangkan atau di empang di pintu masuk daerah rumah panjai. 3.Ngajat Ngiring Temuai: menari mengiringi tamu atau memandu tamu hingga kedepan tangga naik Rumah Panjai (rumah panggung yang panjang) proses ngiring temuai ini dilakukan dengan cara menari dan tarian ini dinamakan Ngajat Ngiring Temuai. 4.Tamak’ Bilik (memasuki rumah panjai) atau masuk ke daerah tertentu sesudah merendam kakinya pada suatu kerikil di dalam suatu wadah sebagai simbol pencelap semengat, sesudah lewat prosesi babak diatas, maka tamu diijinkan naik ke rumah panjang dengan maksud menyucikan diri dalam upacara yang disebut Mulai Semengat ( mengembalikan semangat perang), lalu baru diadakan Gawai palak’ acara ini untuk menghormati kepala hasil kayau, dan dalam acara ini terdapat beberapa tarian yang disebut: Tari Ayun Palak, Tari Pedang dll. Adapun Nama-nama beberapa Panglima /Tuwak Dayak Mualang kurun lalu yakni: Tuwak Biau Balau (pemimpin Kayau), Tuwak Pangkar Begili (Tidak Pernah Mundur,strateginya jikalau terkepung, memutar dan menyerang), Tuwak Sangau Sibi (Setiap ketika ingin Mengayau), Tuwak Tali Aran ( senang koleksi kepala musuh semampunya dalam mengayau ),Tuwak Lang Ngindang (senantiasa mengintai tempat – kawasan pertahanan musuh terlebih dulu seperti elang, bila terkepung dia akan meloncat dan terbang mengikuti angin) dan lain sebagainya. (key Informan: Tokoh Masyarakat Kumpang Bis Belitang Tengah dll.)
5.    Pakaian Adat Dayak
Kalimantan Barat yakni salah satu provinsi paling luas di Indonesia. Luas wilayahnya yang meraih 146.807 km² (7,53% luas daratan Indonesia) membuat provinsi ini terluas ke 4, sehabis Irian Jaya, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah. Luasnya kawasan Kalimantan Barat menciptakan orangnya mempunyai asal-ajakan yang sangat heterogen. Akan namun, suku yang paling secara umum dikuasai di Provinsi ini ialah suku Dayak dan Suku Melayu. Kedua suku ini mensugesti bagaimana kebudayaan dan budpekerti istiadat yang berkembang Kalimantan Barat. Pengaruh tersebut contohnya dapat kita lihat dari pakaian adatnya. Pakaian Adat Kalimantan Barat  Di periode silam, penduduk Kalimantan Barat mengenakan busana adat yang sangat sederhana. Pakaian adab Kalimantan Barat tersebut berjulukan King Baba dan King Bibinge. Berikut ini dihidangkan Pakaian budpekerti Dayak dan Pakaian budpekerti Melayu Kalimantan.
Usul dan Penyebarannya di Bumi Borneo Barat AYAK ASAL-USUL DAN PENYEBARANNYA DI BUMI BORNEO BARAT(1)
 


                        Pakaian Adat Dayak                                   Pakaian Adat Melayu
1.    Pakaian Adat untuk Laki-laki Pakaian adab Kalimantan Barat untuk Laki-laki bernama King Baba. Dalam bahasa Dayak, King berarti busana dan Baba mempunyai arti laki-laki. Pakaian ini yang dibuat dari materi kulit kayu flora ampuro atau kayu kapuo. Kedua jenis kayu ini yaitu tanaman endemik Kalimantan yang memiliki kandungan serat tinggi. 
2.    Untuk membuat king baba, kulit kayu tersebut dipukul-pukul menggunakan palu lingkaran di dalam air, sehingga hanya tertinggal seratnya saja. Setelah lentur, kulit tersebut kemudian dijemur dan dihias dengan lukisan-lukisan etnik khas Dayak menggunakan materi pewarna alami. Kulit kayu dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai rompi tanpa lengan dan sebuah celana panjang. Sebagai hiasan, serat kulit kayu tersebut juga dibuat menjadi semacam ikat kepala. Sebagai pemanis hiasan, biasanya pria budbahasa suku Dayak di Kalimantan Barat juga akan menyelipkan sehelai bulu burung enggang, burung khas Borneo yang kini mulai langka. Tak lupa, senjata tradisional berupa mandau dan perisai juga dikenakan, apalagi saat mereka hendak berperang. Oleh sebab itu, tak jarang busana budpekerti Kalimantan Barat ini juga diketahui dengan nama pakaian perang.
Burung Enggang atau disebut juga Rangkong yaitu burung dengan paruh mirip tanduk sapi dengan warna cerah. Burung ini merupakan burung endemik di wilayah Kalimantan. Burung Enggang yang di sakralkan orang Dayak di lukiskan selaku berikut:
Usul dan Penyebarannya di Bumi Borneo Barat AYAK ASAL-USUL DAN PENYEBARANNYA DI BUMI BORNEO BARAT(1)
 



Burung Enggang
3.    Pakaian Adat Perempuan Sama seperti busana pria, pakaian adat Kalimantan Barat untuk para perempuan juga dibentuk dari bahan dan cara yang serupa. Namun, desainnya lebih sopan dengan perlengkapan antara lain epilog dada, stagen, kain bawahan, serta banyak sekali pernik lain mirip kalung, manik-manik, dan dekorasi bulu burung Enggang di kepalanya. Beberapa suplemen lain yang dikenakan di antaranya: Jarat tangan (gelang tangan) yaitu gelang yang dibuat dari pintalan akar tumbuhan tengang untuk dikenakan di tangan sebagai penolak bala. Kalung dari bahan-materi seperti akar kayu atau kulit (tulang) hewan sebagai penangkal gangguan dari roh-roh halus, utamanya sering dipakai pada bayi. Beragam jenis gelang, di antaranya tjuk bulu tantawan, tajuk bulu area, kalung manik lawang, galling gading, galang pasan manik, galang pasan, sa’sawak tali mulung, sa’sawat pirak kurumut, dan posong. Oleh penduduk suku Dayak di Kalimantan Barat, kedua jenis busana ini senantiasa dikenakan baik saat menjalani kegiatan harian, mirip bertani, berburu, atau dikala melaksanakan upacara adat. Adapun karena bahan-bahannya yang condong panas dan kurang nyaman dikenakan, busana adat ini seiring berjalannya waktu mulai ditinggalkan. Kemajuan peradaban dan dampak dari luar kawasan membuat penduduk Dayak di Kalimantan Barat mulai menjajal beragam jenis busana lain yang lebih nyaman. Beberapa di antaranya yaitu: Bulang Buri dan King Buri yaitu pakaian akhlak yang dibentuk dari buri atau kulit kerang maritim. Pakaian King Kabo’ ialah busana dari materi kulit kayu yang cuma berbentukcawat dengan hiasan manik-manik atau pita-pita rumbai.
Pakaian King Tompang yaitu pakaian dari materi kain berwarna polos yang mulai dikenal sejak ada interaksi dengan orang Melayu. Pakaian Indulu Manik yaitu pakaian dari kain dengan tempelan manik-manik selaku hiasan. Buang Kuureng adalah baju kurung dengan lengan panjang berbahan kain beludru. Dan masih banyak lagi, di antaranya pakaian Bulang Kawat, King Tatak, Bulang Panosokan, Bulang Kontong. Nah, demikianlah berbagai macam busana adab Kalimantan Barat dan keterangannya. Dari beragam jenis pakaian di atas, saat ini yang masih tetap lestari yaitu King Baba dan King Bibinge. Kedua busana ini sampai kini tetap digunakan khususnya oleh suku-suku Dayak Kubu yang masih tinggal di pedalaman dan bertahan hidup secara nomaden.


6.    Dunia Supranatural.
Usul dan Penyebarannya di Bumi Borneo Barat AYAK ASAL-USUL DAN PENYEBARANNYA DI BUMI BORNEO BARAT(1)
 


Dunia Supranatural bagi Suku Dayak memang telah sejak jaman dulu ialah ciri khas kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang mancanegara menyebut Dayak selaku pemakan insan (kanibal). Namun pada kenyataannya Suku Dayak yaitu suku yang sangat cinta hening asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari eksistensi lawan yang merepotkan di dapatkan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun lawan yang di cari pasti akan didapatkan.
7.    Mangkok Merah.
Mangkok merah ialah media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam ancaman besar. Panglima” atau sering suku Dayak sebut Pangkalima umumnya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berbentukmangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari performa sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya biasa-umumsaja, cuma saja beliau memiliki kekuatan supranatural yang hebat. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu mampu melayang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.
Usul dan Penyebarannya di Bumi Borneo Barat AYAK ASAL-USUL DAN PENYEBARANNYA DI BUMI BORNEO BARAT(1)
 


Mangkok merah tidak asal-asalan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima bertindak memimpin program etika untuk mengenali kapan waktu yang tepat untuk mengawali perang. Dalam program etika itu roh para leluhur akan merasuki dalam badan pangkalima kemudian jikalau pangka lima tersebut ber Tariu” (memanggil roh leluhur untuk meminta bantuan dan menyatakan perang) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan memiliki kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau abnormal kalau mendengar tariu.
Orang-orang yang telah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan disantap. Jika tidak dalam situasi perang tidak pernah orang Dayak makan insan. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan upacara akhlak. Meminum darah dan mengkonsumsi hati itu, maka kekuatan magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut kian sakti.
Mangkok merah yang dibuat dari teras bambu (yang dibuat dari tanah liat) yang didesain dalam bentuk bundar. Untuk menyertai mangkok ini ditawarkan juga perlengkapan yang lain mirip ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan keberanian (mampu diganti dengan beras kuning), bulu ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (bisa diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk kawasan berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak selaku lambang persatuan. Perlengkapan tadi dibungkus dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan kain merah.
Menurut cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar saat perang melawan Jepang dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari tempat-daerah Dayak pada tahun 1967. pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis namun lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia.
Menurut dogma Dayak, khususnya yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari ekspresi ke ekspresi, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, sampai dikala ini yang tidak tertulis menimbulkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa asal-seruan nenek moyang suku Dayak diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan Palangka Bulau” (Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan Ancak atau Kalangkang” )
8.    Upacara Tiwah
Usul dan Penyebarannya di Bumi Borneo Barat AYAK ASAL-USUL DAN PENYEBARANNYA DI BUMI BORNEO BARAT(1)
 


Sandung rid755.wordpress.com
Upacara Tiwah ialah satu acara akhlak suku Dayak. Tiwah ialah ritual yang dijalankan untuk pengantaran tulang orang yang telah meninggal ke Sandung yang sudah di disiapkan sebelumnya. Sandung ialah daerah semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk menyimpan tulang belulang orang yang telah meninggal.
Bagi suku Dayak, Upacara Tiwah yakni momen yang sungguh sakral. Pada program Tiwah ini, sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (Sandung), berbagai acara-acara ritual, tarian, bunyi gong maupun hiburan lain. hingga jadinya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).

 

9.    Mandau Sebagai Senjata Khas Dayak
a.    Bilah Mandau
Bilah mandau yang dibuat dari lempengan besi yang ditempa hingga berupa pipih-panjang seperti parang dan berujung runcing (menyerupai paruh yang bab atasnya berlekuk datar). Salah satu segi mata bilahnya diasah tajam, sedangkan segi lainnya dibiarkan sedikit tebal dan tumpul. Ada berbagai macam materi yang dapat dipakai untuk menciptakan mandau, yaitu: besi montallat, besi matikei, dan besi baja yang diambil dari per mobil, bilah gergaji mesin, cakram kendaraan, dan lain sebagainya. Konon, mandau yang paling baik mutunya yakni yang dibentuk dari watu gunung yang dilebur khusus sehingga besinya sangat besar lengan berkuasa dan tajam serta hiasannya diberi sentuhan emas, perak, atau tembaga. Mandau jenis ini cuma dibuat oleh orang-orang tertentu. Pembuatan bilah mandau diawali dengan menciptakan bara api di dalam suatu tungku untuk memuaikan besi.
Kayu yang digunakan untuk menciptakan bara api ialah kayu ulin (sebagian menyebutnya kayu belian). Jenis kayu ini dipilih sebab dapat menciptakan panas yang lebih tinggi daripada jenis kayu yang lain. Setelah kayu menjadi bara, maka besi yang akan dijadikan bilah mandau ditaruh diatasnya agar memuai. Kemudian, ditempa dengan menggunakan palu. Penempaan dilakukan secara berulang-ulang sampai menerima bentuk bilah mandau yang dikehendaki. Setelah bilah terbentuk, tahap selanjutnya yaitu menciptakan hiasan berupa lekukan dan gerigi pada mata mandau serta lubang-lubang pada bilah mandau. Konon, pada zaman dahulu banyaknya lubang pada sebuah mandau mewakili banyaknya korban yang pernah kena tebang mandau tersebut. Cara membuat hiasan sama dengan cara menciptakan bilah mandau, ialah memuaikan dan menempanya dengan palu berulang-ulang sampai menerima bentuk yang diinginkan. Setelah itu, barulah bilah mandau dihaluskan dengan menggunakan gerinda.
b.    Gagang (Hulu Mandau)
Gagang (hulu mandau) yang dibuat dari tanduk rusa yang diukir menyerupai kepala burung. Seluruh permukaan gagangnya diukir dengan aneka macam motif mirip: kepala naga, paruh burung, pilin, dan kait. Pada ujung gagang ada pula yang diberi dekorasi berbentukbulu binatang atau rambut manusia. Bentuk dan goresan pada gagang mandau ini dapat membedakan tempat asal mandau dibuat, suku, serta status sosial pemiliknya.
c.    Sarung Mandau
Sarung mandau (kumpang) umumnya terbuat dari lempengan kayu tipis. Bagian atas dilapisi tulang berupa gelang. Bagian tengah dan bawah dililit dengan anyaman rotan selaku penguat apitan. Sebagai hiasan, lazimnya ditempatkan bulu burung baliang, burung tanyaku, manik-manik dan kadang kala juga diselipkan jimat. Selain itu, mandau juga dilengkapi dengan sebilah pisau kecil bersarung kulit yang diikat melekat pada segi sarung dan tali pinggang dari anyaman rotan. Nilai Budaya Pembuatan mandau, jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung nilai-nilai yang pada gilirannya mampu dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu antara lain: keindahan (seni), ketabahan, ketelitian, dan ketabahan. Nilai keindahan tercermin dari bentuk-bentuk mandau yang dibentuk sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang memerlukan kesabaran, kecermatan, dan ketekunan. Tanpa nilai-nilai tersebut mustahil akan terwujud suatu mandau yang indah dan sarat makna.
Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok yang tinggal di daerah pedalaman, di hutan, di gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri sebetulnya diberikan oleh orang-orang Melayu yang tiba ke Kalimantan. Orang-orang Dayak sendiri bekerjsama keberatan menggunakan nama Dayak, alasannya adalah lebih diartikan agak negatif. Padahal, semboyan orang Dayak adalah “Menteng Ueh Mamut”, yang berarti seseorang yang mempunyai kekuatan gagah berani, serta tidak kenal menyerah dan pantang mundur. Semoga bermanfaat dan berkontribusi melestarikan budaya bangsa yang ber Bhinndka Tunggal Akhir.
Punahnya beberapa budpekerti budaya dan kesenin Kalimantan Barat harusnya kian menyadarkan kita sebagai penerus bangsa untuk tetap melestarikannya. Ini agar anak cucu kita kelak tetap mampu mengenali budaya yang sudah diwariskan nenek moyang di periode Lalu.
DAFTAR PUSTAKA
Alfred Russel Wallace, 1986. Kepulauan nusantara. Sebuah dongeng perjalanan, kajian manusia dan alam. Jakarta: Komunitas Bambu.
Departemen Pendidikan Nasional, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka.
Evangelical (1836). “Evangelical magazine and missionary chronicle,” 14. s.n. p. 578.
Foreign missionary chronicle 5. Board of Foreign Missions and of the Board of Missions of the Presbyterian Church. p. 87.

Fridolin Ukur Biography”. (2016) bpkgunungmulia.com. Diakses tanggal 25 November 2016.
J.U.Lontaan (1974) Sejarah, aturan adab, dan akhlak istiadat Kalimantan-Barat Ed. 1. Published  Pemerintah Daerah Tingkat I Kalbar, Penyalur tunggal, Pilindo Pontianak.
J.U. Lontaan, (1975). Sejarah aturan akhlak dan budbahasa istiadat Kalimantan Barat. Jakarta: Bumi Restu.
Kong, Yuanzhi (2000). Hembing Wijayakusuma, ed. Muslim Tionghoa Cheng Ho: misteri perjalanan muhibah di Nusantara. Yayasan Obor Indonesia. p. 54. ISBN 9794613614.ISBN 978-979-461-361-0.
Lathief. H., Upacara adab kwangkay Dayak Benuaq Ohong di Mancong. Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996 – Social Science – 220 pages
Leeming, David Adams (2010). Creation myths of the world: an encyclopedia 1 (2 ed.). ABC-CLIO. p. 99. ISBN 1598841742.ISBN 978-1-59884-174-9.
Maunati, Yekti. Identitas Dayak. PT LKiS Pelangi Aksara. p. 8.  ISBN  979949298X.ISBN 978-979-9492-98-2.
Malayan miscellanies (1820). Malayan miscellanies. Malayan miscellanies.
MacKinnon, Kathy (1996). The ecology of Kalimantan. Oxford University Press.  ISBN 9780945971733.ISBN 0-945971-73-7.
Schulze, Fritz; Holger Warnk (2006). Insular Southeast Asia: linguistic and cultural studies in honour of Bernd Nothofer. Otto Harrassowitz Verlag. p. 47. ISBN 3447054778ISBN 9783447054775.
Tjilik Riwut, (2003). Sanaman mantikei manaser panatau tatu hiang. Menyelami kekayaan leluhur. Palangkaraya: Pusaka Lima.
University of Calcutta (1869). Calcutta review. 48-49. University of Calcutta. p. 171.
Internet

C Wahyu Haryo dan Fandri Yuniarti. (2010) Meski di pedalaman mereka punya ponsel. Tersedia di http://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/bx.html Ethnicity and territory in the late colonial imagination