Aturan Waris Di Indonesia

 A. Macam-macam Hukum Waris

     Hukum waris di Indonesia masih bersifat pluralistis,alasannya adalah saat ini berlaku tiga sistem aturan kewarisan, yakni Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam, Hukum Waris Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
     Hukum Waris Adat mencakup keseluruhan asas, norma, keputusan/ketetapan aturan yang bertalian dengan proses penerusan serta pengendalian harta benda (materiil) atau harta cita (nonmateriil) dari generasi yang satu kepada generasi selanjutnya. Hukum Waris Adat yang berlaku di Indonesia sungguh bermacam-macam tergantung pada daerahnya. Dalam kewarisan budpekerti ini ada yang bersifat patrilineal, matrilineal, ataupun patrilineal dan matrilineal beralih-alih atau bilateral. Hal ini memperlihatkan adanya perbedaan-perbedaan tempat aturan adab yang satu dengan yang lain, yang berkaitan dengan tata cara kekeluargaan dengan jenis serta status harta yang diwariskan.
       Hukum Waris Islam dirumuskan selaku ”perangkat” ketentuan hukum yang mengontrol pembagian harta kekayaan yang dimilki seseorang pada waktu dia meninggal dunia”. Sumber pokok aturan Waris Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi, lalu Qias (analogon) dan Ijma’ ( kesamaan pertimbangan ).
            Hukum Kodifikasi adalah Hukum Waris berupa perangkat ketentuan hukum yan menertibkan akibat-akibat aturan biasanya di bidang Hukum Harta kekayaan sebab maut seseorang, yakni pengalihan harta yang ditinggalkan si mati beserta akibat-akhir pengasingan tersebut bagi para penerimanya, baik dalam kekerabatan antarmereka maupun antarmereka dengan pihak ketiga.
          R.Subekti berasumsi mirip halnya dengan Hukum Perkawinan, begitu juga Hukum Waris di Indonesia masih bervariasi. Di samping Hukum Waris menurut Hukum Adat, berlaku Hukum Waris berdasarkan Agama Islam dan Hukum Waris berdasarkan KUHPerdata ( Burgerlijk Werbook ).
Hukum Waris di Indonesia berbeda-beda, antara lain :
  1. Adanya Hukum Waris Islam yang berlaku untuk segolongan masyarakatIndonesia;
  2. Adanya Hukum Waris menurut Hukum Perdata Barat yang berlaku untuk golongan penduduk yang tunduk pada Hukum Perdata Barat;
  3. Adanya Hukum Adat yang disana sini berlawanan-beda, tergantung pada kawasan masing-masing, yang berlaku bagi orang-orang yang tunduk kepada Hukum Adat.
  Macam-Macam Kaidah Sosial

B. Subjek Hukum Waris Kodifikasi

     Masih berlaku atau tidaknya Hukum Perdata Barat  di Indonesia, haruslah terlebih dahulu dilihat penggolongan masyarakatpada periode pemerintah Hindia Belanda dan aturan yang berlaku pada masing-masing kelompok masyarakattersebut. Pada kurun kemudian masyarakatIndonesia digolong- golongkan berdasarkan ketentuan pasal 131 jo. Pasal 163 Indische Staatsregeling, adalah :
  1. Orang-orang Belanda;
  2. Orang-orang Eropa lainnya;
  3. Orang-orang Jepang, dan orang-orang yang lain yang tidak termasuk dalam golongan satu dan dua yang tunduk pada aturan yang memiliki asas-asas aturan keluarga yang serupa;
  4. Orang-orang yang lahir di Indonesia, yang sah ataupun diakui secara sah dan keturunan lebih lanjut dari orang-orang yang termasuk kelompok 2 dan 3.
       Berdasarkan pasal 131 jo. Pasal 163 Indische Staatsregeling, Hukum Waris yang dikelola dalam KUHPerdata berlaku bagi orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang-orang Eropa tersebut.
       Berdasarkan Staatsblad 1917 No. 129 Hukum Waris Perdata berlaku bagi kelompok Timur Asing Tionghoa. Kemudian menurut Staatsblad 1924 No. 557 Hukum Waris dalam KUHPerdata berlaku bagi orang-orang Timur Asing Tionghoa di seluruh Indonesia.
       Hukum Waris sama halnya dengan Hukum Perkawinan ialah bidang hukum yang sensitif atau riskan. Keadaan inilah yang menyebabkan sulitnya diadakan unifikasi di bidang Hukum Waris. Unifikasi yang menyeluruh dlam perkawinan khususnya yang berkaitan dengan HUkum Waris mustahil tercapai.
        Meskipun demikian di bidang Hukum Perkawinan sudah terbit Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 perihal Perkawinan. Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 membicarakan mengenai harta benda yang dikontrol dalam pasal-pasal berikut ini :
Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 mengatakan :
  1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bareng ;
  2. Harta benda dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan , adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak memilih lain.
Pasal 36 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menyampaikan :
  1. Mengenai arta bersama, suami, istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak;
  2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri memiliki hak sepenuhnya untuk melaksanakan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

    Pasal 37 berbunyi :
    ” Bila perkawinan putus sebab, perceraian , harta bersama diatur mrnutuny hukumnya masing-masing”.

         Kemudian dalam Peraturan Pelaksanaannya, ialah Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 belum diatur ihwal harta benda dalam perkawinan.
        Oleh alasannya adalah belum ada undang-undang yang mengontrol masalah harta perkawinan, ataupun kewarisan, maka lewat ketentuan pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 masih tetap berlaku ketentuan aturan yang usang.
        Ketentuan Penutup, Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 ihwal Perkawinan , mengatakan :
”  Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan menurut atas undang-undang ini, maka dengan berlakunya undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang dikontrol dalam Kitab Indang-undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen ( Huwelijk Ordonnantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74 ), Peraturan Perkawinan Campuran ( Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158). dan peraturan-peraturan lain yang mengatur wacana perkawinan sejauh telah dikontrol dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.

         Dengan demikian, ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata (BW Ordonansi Orang Kristen ( Huwelijk Ordonanntie Christen Indonesier, S. 1933 No. 74 ). Peraturan Perkawinan Campuran ( Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158) sejauh sudah dikontrol dalam Undang-Undang Perkawiann tidka berlaku lagi.
        Melalui ketentuan yang ada dalam Pasal 66 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tersebut diatas dapat ditarik kesempulan , bahwa KUHPeradata (BW) masih berlaku bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa dan Eropa. Sebagaimana dibilang juga oleh Subekti, yakni :
”Ini bermakna bahwa KUHPerdata (BW) dan lain-lain undang-undang tersebut tadi masih berlaku sekedar perihal hal-hal yang belum dikontrol dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”
     Hal ini depertegas dalam Surat Edaran Mahkamah Agung terhadap para Ketua/Hakin Pengadilan Tinggi dan para Ketua/ Hakim Pengadilan Negeri tertanggal 20 Agustus  1975 No. M.A./Pnb/0807/75, perihal petunjuk-petunjuk pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975. 
      Hal-hal tentang Hukum Waris sebagaimana terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, pastinya cuma berlaku bagi mereka yang tunduk atau menundukkan diri terhadap Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Mereka yang tunduk terhadap Kitab Undang-undang Hukum Perdata, khususnya mengenai Hukum Waris yaitu Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa dan Eropa.
Referensi  :
 Surini Ahlan Sjarif,SH.,MH , Dr. Nurul Elmiyah,SH.,MH. Edisi Pertama 2005. Hukum Kewarisan Pedata Barat  Pewarisan Menurut Undang-undang. Kencana. Jakarta.