Aturan Tawassul Berdasarkan Syariat Islam

“Kita nanti akan memasuki kajian legalitas “Tawassul/Istighatsah” yang tepat dengan aliran syariat Islam biar kita tidak terjerumus dalam penentuan obyek Tawassul/Istighatsah secara ‘liar’ sehingga menyebabkan kita terjerumus ke dalam jurang bid’ah dan kesesatan, mirip yang dapat kita temukan dalam masyarakat kejawen di Indonesia. Ataupun terjerumus ke dalam jurang ke-jumud-an dalam memilih obyek Tawassul/Istighatsah, sebagaimana yang dijalankan oleh golongan sekte Wahabisme, efek dari kerancuan metodologi mengetahui teks. Baik kelompok ‘Kejawen’ maupun ‘Wahabi’ keduanya telah terjerumus ke dalam jurang ekstrimitas (ekstrim kiri dan ekstrim kanan) yang mengakibatkan kerancuan dalam bersikap berkaitan dengan desain Tawassul/Istighatsah. Tentu kedua bentuk ekstrimitas tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Islam.”
Kita nanti akan memasuki kajian legalitas  Hukum Tawassul Menurut Syariat Islam

Tawassul/Istighatsah (1); Sebuah Pengantar
Hakekat “Tawassul” ialah hal yang sudah menimbulkan kejelasan dalam Islam. Al-Alquran sebagai sumber utama agama Islam dalam suatu ayatnya menyatakan: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah terhadap Allah dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, biar kamu menerima keberuntungan” (QS Al-Maidah: 35). Dalam ayat tadi Allah SWT menerangkan bahwa ketakwaan dan jihad ialah fasilitas legal untuk memberikan manusia kepada Allah SWT.
Yang menjadi pertanyaan ialah; adakah fasilitas -sarana lain yang legal menurut syariat Islam yang bisa menghantarkan manusia menuju Allah SWT, ataukah dalam penentuan fasilitas -fasilitas tadi telah sepenuhnya diserahkan terhadap manusia? Untuk menjawab secara ringkas maka dapat kita katakana bahwa; jelas sekali bahwa penentuan sarana pendekatan diri kepada Allah SWT tidak terdapat campur tangan manusia sehingga dengan ijtihad pribadinya mampu memilih fasilitas -fasilitas apapun untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hanya sarana-sarana yang sudah diputuskan oleh syariat Islam –yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah as-Sohihah Rasulullah SAW- saja yang mampu menjadi penghantar manusia menuju Allah SWT. Sehingga dari sini dapat kita simpulkan bahwa, semua sarana yang tidak mendapat legalitas syariat –baik dengan dalil biasa maupun khusus- maka tergolong bid’ah dan kesesatan yang nyata. Dalam potensi kali ini, kita akan memasuki kajian legalitas “Tawassul/Istighatsah” sesuai dengan aliran syariat Islam, baik dari apa yang sudah dijelaskan oleh al-Alquran, Sunnah Rasulullah maupun prilaku para Salaf Saleh dan Ulama Salaf Ahlusunnah wal Jamaah. Sehingga kita tidak terjerumus dalam penentuan obyek tawassul/Istighatsah secara ‘liar’ sehingga menimbulkan kita terjerumus ke dalam jurang bid’ah dan kesesatan, mirip yang mampu kita temukan dalam penduduk kejawen di Indonesia. Ataupun terjerumus ke dalam jurang kejumudan dalam memilih obyek Tawassul/Istighatsah, sebagaimana yang dilaksanakan oleh kalangan sekte Wahabisme, imbas dari kerancuan metodologi mengetahui teks. Baik kalangan ‘Kejawen’ maupun ‘Wahabi’ keduanya sudah terjerumus ke dalam jurang ekstrimitas (ekstrim kiri dan ekstrim kanan) yang menyebabkan kerancuan dalam bersikap berhubungan dengan rancangan Tawassul/Istighatsah. Tentu kedua bentuk ekstrimitas itu tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Islam.
Jika kita menyaksikan beberapa kamus bahasa Arab yang sering dijadikan rujukan dalam memilih asal dan makna kata maka akan kita dapati bahwa, kata “Tawassul” mempunyai arti dari ‘darajah’ (kedudukan), atau ‘Qurbah’ (kedekatan), atau ‘washlah’ (penyampai/penghubung). Sehingga ketika dibilang bahwa ‘wasala fulan ilallah wasilatan idza ‘amala ‘amalan taqarraba bihi ilaihi’ berarti ‘seseorang telah mengakibatkan sarana penghubung terhadap Allah lewat sebuah pebuatan ketika melaksanakan pebuatan yang mampu mendekatkan diri kepada-Nya’. (Lihat: Kitab Lisan al-‘Arab karya Ibn Mandzur jilid 11 asal kata wa-sa-la). Begitu juga berkaitan dengan asal kata ‘ghatsa’ yang mempunyai arti ‘menolong’ yang dengan memakai bentuk (wazan) ‘istaf’ala’ yang lalu menjadi ‘istighatsah’ yang mempunyai arti ‘mencari/meminta dukungan’. Pengertian-pengertian semacam ini pun akan kita dapati dalam banyak sekali kamus-kamus bahasa Arab terkemuka yang lain.
Berkaitan dengan desain Tawassul dan Istighatsah ini, terdapat perbedaan pertimbangan di kalangan beberapa golongan. Letak perbedaannya dalam dilema penentuan obyek-obyek tawassul dan istighatsah yang dilegalkan oleh syariat Islam. Dikarenakan terjadi perbedaan usulan dalam penentuan obyek maka terjadi ikhtilah juga dalam menghukuminya. Dari perbedaan hukum tadilah alhasil muncul ‘penyesatan’ dari kalangan yang belum dewasa dalam menerima perbedaan, merasa benar sendiri, tidak menilai usulan kalangan lain, bahkan menganggap kelompok lain tadi telah berbuat yang tidak boleh oleh Islam, bid’ah atau syirik.
Di sini, kita akan mengkalasifikasikan usulan-pendapat tersebut menjadi tiga bab;
  • Pertama: Pendapat Sekte Wahabisme
Dalam hal ini, kita akan menukilkan pertimbangan Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi (pencetus dan pendiri sekte Wahabisme) yang dalam kita “Kasyfus Syubuhaat” menyatakan: “Jika ada sebagian orang musyrik (muslim non-Wahaby .red) mengatakan kepadamu; “Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (QS Yunus: 62)”, atau mengatakan bahwa syafa’at yakni benar, atau menyampaikan bahwa para nabi mempunyai edudukan di sisi Allah, atau mengungkapkan perkataan Nabi untuk berargumen memutuskan kebatilannya (mirip Syafa’at, Tawassul/Istighatsah, Tabarruk…dst. Red) sedang kalian tidak memahaminya (tidak mampu menjawabnya) maka katakanlah: Sesungguhnya Allah dalam al-Quran menjelaskan bahwa orang-orang yang menyimpang yaitu orang yang meninggalkan ayat-ayat yang jelas (muhkam) dan mengikuti yang samar (mutasyabih)”. (Lihat: Kitab Kasyfus Syubuhaat halaman 60). Di sini terang sekali bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab menyatakan ‘sesat’ (bahkan menuduh musyrik) orang-orang yang meyakini adanya syafaat, kedudukan tinggi para nabi di sisi Allah sehingga dimintai istighatsah/tawassul…dst. Bahkan di sini, Muhammad bin Abdul Wahhab mengajarkan kepada para pengikutnya “trik melarikan diri” dari diskusi tentang doktrinan sektenya dengan golongan lain dengan cara melarikannya kepada pembagian tasyabuh dan muhkam ayat-ayat al-Quran. Termasuk trik mengajak para pengkritisi anutan Wahabisme untuk bertobat ‘tanpa terbukti’ kesalahannya. Ternyata, kesudahannya ‘trik-trik licik’ ini pun yang sering digunakan banyak para pengikut sekte Wahaby dikala terpepet dalam berargumentasi ketika membela iman wahabismenya, bahkan menjadi ‘kebiasaan jelek’ mayoritas para pengikut sekte tersebut.
Contoh lain. Nashiruddin al-Bani -yang konon- yaitu seorang ahli hadis dari golongan Wahaby pun pernah menyatakan dalam salah satu karyanya yang berjudul “at-Tawassul; Ahkaamuhu wa Anwa’uhu” (Tawassul; hukum-hukum dan jenis-jenisnya) begitu pula dalam mukaddimahnya atas kitab “Syarh at-Thawiyah” (Lihat: di halaman 60 dari kitab Syarh Thahawiyah) dia mentakan bahwa; “Sesungguhnya duduk perkara tawassul bukanlah tergolong problem keyakinan”.
Dan pola lainnya yaitu apa yang dinyatakan oleh Abdullah bin Baz seorang mufti Wahaby: “Barangsiapa yang meminta (istighatsah/tawassul) terhadap Nabi dan meminta syafaat darinya maka ia sudah menghancurkan keislamannya” (Lihat: Kitab Al-‘Aqidah as-Shohihah wa Nawaqidh al-Islam).
  • Kedua: Pendapat Ahlusunnah wal Jamaah (bahkan Islam secara keseluruhan).
Terlampau banyak acuan ajaran ulama Ahlusunnah dalam menerangkan legalitas Tawassul/Istighatsah ini. Insya-Allah pada kesempatan berikutnya akan lebih kita perjelas tentang istilah-ungkapan mereka. Namu di sini kita akan menunjukkan pola beberapa tokoh dari mereka saja;
1- Imam Ibn Idris as-Syafi’i sendiri permnah menyatakan: “Sesungguhnya saya telah bertabarruk dari Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi .red) dan mendatangi kuburannya saban hari. Jika aku memiliki hajat maka aku melakukan shalat dua rakaat dan lantas endatangi kuburannya dan meminta terhadap Allah untuk mengabulkan doaku di segi (kuburan)-nya. Maka tidak usang kemudian akan dikabulkan” (Lihat: Kitab Tarikh Baghdad jilid 1 halaman 123 dalam bagian mengenai kuburan-kuburan yang berada di Baghdad)
2- As-Samhudi yang bermazhab Syafi’i menyatakan; “Terkadang orang bertawassul kepadanya (Nabi SAW .red) dengan meminta pinjaman berkaitan suatu masalah. Hal itu menawarkan arti bahwa Rasul memiliki kesanggupan untuk memenuhi seruan dan memperlihatkan syafaatnya kepada Tuhannya. Maka hal itu kembali kepada permohonan doanya. Walaupun terdapat perbedaan dari segi pengibaratannya. Kadangkala seseorang meminta; aku memohon kepadamu (wahai Rasul .red) untuk mampu menemanimu di sorga…tiada yang dikehendakinya malainkan bahwa Nabi SAW menjadi karena dan pemberi syafaat” (Lihat: Kitab Wafa’ al-Wafa’ bi Akhbar Daarul Mustafa karya as-Samhudi Jilid 2 halaman 1374)
3- As-Syaukani az-Zaidi pernah menyatakan akan legalitas tawassul dalam kitab karyanya yang berjudul “Tuhfatudz Dzakiriin” dengan menyampaikan: “Dan bertawassul kepada Allah lewat para nabi dan insan saleh”. (Lihat: Kitab Tuhfatudz Dzakiriin halaman 37)
4- Abu Ali al-Khalal salah seorang tokoh mazhab Hambali pernah menyatakan: “Tiada masalah yang membuatku gunda kecuali saya pergi ke kuburan Musa bin Jakfar (salah seorang cucu Rasulullah yang dianggap salah seorang Imam oleh Syiah .Red) dan saya bertawasul kepadanya melainkan Allah akan memudahkannya bagiku sebagaimana yang kukehendaki” (Lihat: Kitab Tarikh Baghdad jilid 1 halaman 120 dalam bagian kuburan-kuburan yang berada di Baghdad).
  • Ketiga: Pendapat Ibnu Taimiyah al-Harrani
Jika kita telaah beberapa karya Ibnu Taimiyah maka akan kita dapati bahwa beliau telah mengalami kebingungan dalam menentukan persoalan ini. Kita akan dapati bahwa acap kali dia mengingkarinya, terjadang membolehkannya, dan terkadang menjawabnya dengan membagi-baginya. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat apa yang telah ditulisnya dalam salah satu kitab yang berjudul “At-Tawassul wal Wasilah” dimana dia membagi Tawassul menadi tiga klasifikasi, beliau mengatakan:
1- Tawassul dengan ketaatan Nabi dan keimanan kepadanya. Ini tergolong asal usul Iman dan Islam. barangsiapa yang mengingkarinya memiliki arti sudah mengingkarinya (kufur) terhadap hal yang umum dan yang khusus.
2- Tawassul dengan doa dan syafa’at Nabi -dalam arti bahwa Nabi secara pribadi mampu memberi syafaat dan mendengar doa- semasa hidupnya dan sehingga di akherat kelak mereka akan bertawassul kepadanya untuk mendapat syafaatnya. Barangsiapa yang mengingkari hal tersebut maka dia tergolong kafir murtad dan harus dimintai tobatnya. Jika tidak tobat maka beliau mesti dibunuh alasannya adalah kemurtadannya.
3- Tawassul untuk mendapat syafaatnya pasca kematiannya. Sungguh ini ialah bid’ah yang dibentuk-buat. (Lihat; Kitab At-Tawassul wal Wasilah karya Ibnu Taimiyah halaman 13/20/50)
Kaprikornus jelaslah bahwa Ibnu Taimiyahpun termasuk orang yang tidak mengingkari legalitas tawassul, walaupun dalam beberapa hal ia nampak rancu dalam menentukan sikapnya. Dari klarifikasi di atas tadi menerangkan bahwa, pengkategorian bid’ah dalam tawassul versi Ibnu Taimiyah terletak pada hidup dan matinya obyek yang ditawassuli. Benarkah demikian? Kita akan buktikan -nanti- bahwa pernyataan Ibnu Taimiyah itu tidak sesuai dengan anutan Islam itu sendiri.
Yang perlu aku perjelas dari istilah aku di atas berhubungan dengan pendapat kedua “Islam secara keseluruhan” melegalkan desain dan praktik Tawassul/Istighatsah terhadap Nabi dan orang-orang saleh adalah, bukan cuma Ahlusunnah wal Jamaah saja (tergolong mahir tasawwuf), bahkan kelompok Syiah pun meyakininya. Kaprikornus Sufi dan Syiah kedua kelompok yang paling dibenci oleh kaum Wahhaby pun mempunyai kesamaan –juga dalam banyak hal yang dituduhkan Wahaby terhadap Ahlusunnah- dengan kalangan Ahlusunnah. Jadi dalam persoalan ini –terkhusus problem Tawassul/Istighatsah, juga dilema-duduk perkara lain yang dinyatakan syirik dan bid’ah oleh sekte Wahaby- ternyata golongan Salafy gadungan itu (Wahaby) sendirian, selain sebab mereka juga tidak memiliki dalil yang kuat baik bersandarkan dari al-Alquran, sunnah Rasul, dan sikap Salaf Saleh. Dengan kata yang lebih singkat dan mengena; “Dalam masalah ini Wahabisme akan berhadapan dengan Islam”. 
“Sekarang yang menjadi pertanyaan kita untuk kaum pengikut sekte Wahhaby yakni; Jikalau istighatsah yaitu syirik, lantas apakah mungkin para nabi-nabi Allah tadi membiarkan umat mereka melaksanakan syirik padahal mereka di utus untuk menumpas segala macam bentuk syirik? Jikalau istighotsah dan tawassul syirik, apakah mungkin mereka mengiyakan seruan kaum musyrik yang justru akan menimbulkan mereka berlebihan dalam melakukan kesyirikan, bermakna para nabi itu telah melaksanakan tolong membantu kepada dosa dan permusuhan (ta’awun ‘alal istmi wal ‘udwan)? Naudzubillah min dzalik. Jika istighotsah dan tawassul adalah tindakan tidak berguna maka, apakah mungkin para nabi membiarkan –bahkan meridhoi dan mengajarkan- umat mereka melaksanakan tindakan sia-sia dimana kita tahu bahwa pebuatan sia-sia adalah perbuatan yang tercela bagi makhluk yang berakal? Apakah para nabi tidak tahu bahwa Allah Maha mendengar dan lagi Maha mengenali sehingga membiarkan, meridhoi dan bahkan mengajarkan umatnya ajaran tawassul dan istighotsah?”

Tawassul/Istighatsah (2); Ayat-Ayat al-Alquran wacana Legalitas Tawassul/Istighotsah

Setelah kita melihat secara ringkas pembagian pertimbangan beberapa golongan berkaitan dengan legalitas Tawassul / istighotsah, pada kesempatan kali ini kita akan mengkaji secara global ayat-ayat al-Alquran -yang menjadi pedoman utama kaum muslimin- yang menjelaskan ihwal desain tersebut.

Dalam persepsi al-Alquran akan kita dapati bahwa hakekat Istighotsah/Tawassul yakni ialah salah satu pewujudan dari peribadatan yang legal dalam syariat Allah SWT. Ini ialah hal yang jelas dalam anutan al-Quran sehingga mustahil dapat disangkal oleh muslim manapun, hatta kalompok Wahhaby, bila mereka masih mempercayai kebenaran al-Alquran. Dalam al-Alquran akan kita dapati beberapa teladan dari permohonan pinjaman (istighotsah) dan pengambilan sarana (tawassul) para pengikut setia para nabi dan kekasih Ilahi yang berkhasiat untuk mendekatkan diri terhadap Allah SWT. Hal itu semoga supaya Allah SWT mengabulkan doa dan hajatnya dengan secepatnya. Di sini kita akan memberi beberapa teladan yang ada:

1- Dalam surat Aali Imran ayat 49, Allah SWT berfirman: “Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil (yang Berkata kepada mereka): “Sesungguhnya Aku Telah datang kepadamu dengan menjinjing sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, ialah Aku membuat untuk kau dari tanah berbentuk burung; Kemudian Aku meniupnya, Maka beliau menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan Aku menyembuhkan orang yang buta semenjak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan Aku membangkitkan orang mati dengan seizin Allah; dan Aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kau simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu yakni suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, bila kau betul-betul beriman”.

Dalam ayat di atas disebutkan bahwa para pengkut Isa al-Masih bertawassul kepadanya untuk memenuhi hajat mereka, termasuk membangkitkan orang mati, menyembuhkan yang berpenyakit sopak dan buta. Tentu, mereka bertawassul kepada nabi Allah tadi bukan sebab mereka meyakini bahwa Isa al-Masih memiliki kekuatan dan kemampuan secara independent dari kekuatan dan kemampuan Maha Sempurna Allah SWT, sehingga tanpa perlindungan Allah-pun Isa mampu melakukan semua hal tadi. Mereka meyakini bahwa Isa al-Masih mampu melaksanakan semua itu (menyanggupi berbagai hajat mereka) karena Isa memiliki ‘kedudukan khusus’ (jah / wajih) di sisi Allah, sebagai kekasih Allah, sehingga apa yang dikehendaki olehnya niscaya akan dikabulkan oleh Allah SWT. Ini bukanlah tergolong syirik, karena syirik yaitu; “meyakini kekuatan dan kemampuan Isa al-Masih (makhluk Allah) secara independent dari kekuatan dan kesanggupan Allah”. Dan pasti, muslimin sejati tidak akan meyakini hal tersebut. Namun aneh bila kelompok Wahhaby langsung menvonis musyrik bagi pelaku istighotsah terhadap para kekasih Ilahi semacam itu.

2- Dalam surat Yusuf ayat 97, Allah SWT berfirman: “Mereka berkata: “Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)””.

Jika kita teliti dari ayat di atas maka akan mampu diambil pelajaran bahwa, para belum dewasa Yakqub mereka tidak meminta pengampunan dari Yakqub sendiri secara independent tanpa menyaksikan kemampuan dan otoritas mutlak Ilahi dalam hal pengampunan dosa. Namun mereka jadikan ayah mereka yang termasuk kekasih Ilahi (nabi) yang mempunyai kedudukan khusus di mata Allah sebagai wasilah (sarana penghubung) permintaan pengampunan dosa dari Allah SWT. Dan ternyata, nabi Yakqub pun tidak menyatakan hal itu selaku perbuatan syirik, atau memerintahkan anak-anaknya supaya pribadi memohon kepada Allah SWT karena Allah Maha menyimak segala permohonan dan doa, malahan Yakqub menjawab permintaan anak-anaknya tadi dengan ungkapan: “Ya’qub berkata: “Aku akan memohonkan ampun bagimu terhadap Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha penyayang””(QS Yusuf: 98).

  Pemahaman Dan Hukum Nikah Sirri

3- Dalam surat an-Nisa’ ayat 64, Allah SWT berfirman: “Dan kami tidak menyuruh seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka dikala menganiaya dirinya datang kepadamu, kemudian memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”.

Dari ayat di atas juga dapat diambil pelajaran yang esensial yakni bahwa, Rasululah SAW sebagai makhluk Allah yang terkasih dan memiliki kedudukan (jah/maqom/wajih) yang sangat tinggi di sisi Allah sehingga diberi otoritas oleh Allah untuk menjadi mediator (wasilah) dan tempat meminta derma (istighotsah) kepada Allah SWT. Dan terbukti (nanti kita akan perjelas dalam kajian mendatang) bahwa banyak dari para sobat mulia Rasul yang termasuk Salaf Saleh menggunakan potensi emas tersebut untuk memohon ampun kepada Allah SWT melalui mediator Rasulullah SAW. Hal ini yang menjadi kajian para penulis Ahlusunnah wal Jamaah dalam mengkritisi fatwa Wahhabisme, tergolong orang mirip Umar Abdus Salam dalam karyanya “Mukhalafatul Wahhabiyah” (Lihat: halaman 22).

Sekarang yang menjadi pertanyaan kita untuk kaum pengikut sekte Wahhaby yakni; Jikalau istighotsah ialah syirik, lantas apakah mungkin para nabi-nabi Allah tadi membiarkan umat mereka melaksanakan syirik padahal mereka di utus untuk menumpas segala jenis bentuk syirik? Jikalau istighotsah dan tawassul syirik, apakah mungkin mereka mengiyakan usul kaum musyrik yang justru akan menyebabkan mereka berlebihan dalam melakukan kesyirikan, bermakna para nabi itu sudah melaksanakan tolong menolong kepada dosa dan permusuhan (ta’awun ‘alal istmi wal ‘udwan)? Naudzubillah min dzalik. Jika istighotsah dan tawassul ialah perbuatan tidak berguna maka, apakah mungkin para nabi membiarkan –bahkan meridhoi dan mengajarkan- umat mereka melakukan perbuatan sia-sia dimana kita tahu bahwa pebuatan sia-sia ialah tindakan yang tercela bagi makhluk yang arif? Apakah para nabi tidak tahu bahwa Allah Maha mendengar dan lagi Maha mengetahui sehingga membiarkan, meridhoi dan bahkan mengajarkan umatnya pedoman tawassul dan istighotsah?

Jikalau benar bahwa fatwa Istighotsah/tawassul ialah tindakan syirik, bid’ah, tidak berguna, khurafat, akhir tidak mengenal Allah yang Maha mendengar doa, dst….maka Oh betapa bodohnya –naudzuillah min dzalik- para nabi Allah itu perihal desain anutan Allah…dan Oh betapa cardasnya –naudzubillah min dzalik- Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi beserta para pengikut sektenya terhadap fatwa murni Ilahi….

Oleh alasannya adalah itu wahai saudara-saudaraku muslimin, marilah kita simak kebodohan-kebodohan Wahhaby wacana berbagai pedoman Ilahi menurut ayat-ayat al-Quran, as-Sunnah Rasulillah, prilaku Salaf Saleh dan aliran para pemuka mazhab Ahlusunnah, meskipun para pengikut Wahhaby tetap merasa benar sendiri dengan bekal kecongkakan dan kebodohannya.

“Jika ada kelompok muslim yang mengijinkan menyebabkan ‘doa’ manusia saleh selaku fasilitas (wasilah) menuju ridho Allah maka menimbulkan fasilitas (wasilah) kepribadian (dzat / syakhsyiyah) dan kedudukan (jah/maqom/manzilah/karamah/fadhilah) manusia saleh tadi pun lebih utama untuk diperbolehkan. Karena antara ‘sarana pengkabulan doa’ dan ‘fasilitas kedudukan/kepribadian agung insan saleh’ terdapat kekerabatan erat dan menjadio konsekuensi logis, riil dan legal (syar’i). Memisahkan antara keduanya sama halnya memisahkan dua hal yang memiliki hubungan dekat, bahkan sampai pada derajat kekerabatan sebab-akhir. Karena, pengkabulan doa insan saleh oleh Allah disebabkan sebab kepribadiannya yang luhur, dan kepribadian luhur itulah yang menimbulkan kedudukan mereka diangkat oleh Allah SWT.”

Tawassul/Istighatsah (3); Ayat-Ayat al-Quran tentang Obyek Tawassul/Istighotsah

Dalam al-Quran, Allah SWT telah menekankan kepada umat Muhammad SAW untuk melaksanakan tawassul, dan Ia sudah mengijinkan mereka untuk melaksanakan tawassul dengan banyak sekali jenis dan bentuknya. Ini semua menjadi bukti bahwa tawassul sama sekali tidak bertentangan dengan desain kesempurnaan Ilahi, tergolong dengan ke-Maha Mendengar-an dan ke-Maha Mengetahui-an Allah kepada doa hamba-hamba-Nya, terlebih dengan kesia-siaan perbuatan tawassul. Di sini, kita akan sebutkan secara ringkas beberapa bentuk tawassul yang dilegalkan menurut al-Alquran;

1- Tawassul dengan Nama-Nama Agung Allah

Allah SWT berfirman: “Hanya milik Allah asmaa-ul husna, Maka bermohonlah terhadap-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka akan menerima akibat kepada apa yang Telah mereka kerjakan.” (QS al-A’raf: 180)

Ayat di atas dalam rangka menerangkan wacana kebaikan nama-nama Allah tanpa ada perbedaan dari nama-nama itu. Dan lewat nama-nama sarat berkah itulah kita diperkenankan untuk berdoa terhadap Allah. Tentu nama Allah bukan Dzat Allah sendiri. Akan tetapi melalui nama-nama Allah yang mempunyai kandungan sifat keindahan, rahmat, ampunan dan keagungan itulah kita disuruh memohon terhadap Dzat Allah SWT, obyek utama doa, untuk pengkabulan segala hajat dan pengampunan dosa.

2- Tawassul melalui Amal Saleh

Amal saleh ialah salah satu jenis fasilitas (wasilah) yang dilegalkan oleh Allah SWT. Amal saleh juga bukan Dzat Allah itu sendiri, tetapi Allah mengizinkan kita mengambil sarana darinya untuk memohon sesuatu terhadap Dzat Allah SWT. Melalui sarana tersebut seorang hamba akan didengar semua keinginannya oleh Allah. Ketika tawassul mempunyai arti; “Mempersembahkan (menyodorkan) sesuatu terhadap Allah demi untuk menerima Ridho-Nya” maka tanpa disangsikan lagi bahwa amal saleh yakni salah satu dari sekian fasilitas yang bagus untuk mendapat ridho Ilahi. Hal ini sebagaimana yang dilaksanakan oleh Nabi Ibrahim AS dikala pertama kali membangun Ka’bah. Allah dalam al-Alquran berfirman: “Dan (camkan), dikala Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh terhadap Engkau dan tunjukkanlah terhadap kami cara-cara dan daerah-tempat ibadat haji kami, dan terimalah Taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS al-Baqarah 127-12)

Ayat di atas menjelaskan bagaimana kekerabatan antara Amal Saleh (pembangunan Ka’bah) dengan harapan Ibrahim al-Khalil semoga Allah menjadikan dirinya, anak-cucunya selaku muslim sejati dan agar Allah menerima taubatnya.

3- Tawassul lewat Doa Rasul

Allah SWT dalam al-Alquran (dalam banyak ayat) menyebutkan betapa agung kedudukan para Nabi dan Rasul di segi-Nya. Allah SWT juga menekankan bahwa mereka yaitu manusia-manusia khusus yang berlainan secara kualitas maupun kuantatitas bobot penciptaan yang mereka miliki dibanding insan biasa, terlebih berhubungan dengan pribadi agung Muhammad bin Abdillah SAW sebagai penghulu para Nabi dan Rasul. Atas dasar itu, kalau kita lihat, dalam problem permintaan (panggilan) saja –yang nampaknya remeh- para insan diperintah untuk menyamakannya dengan seruan kepada insan biasa yang lain. Allah SWT berfirman: “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kau seperti panggilan sebahagian kau kepada sebahagian (lainnya). Sesungguhnya Allah Telah mengenali orang-orang yang berangsur- angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa ujian atau ditimpa azab yang pedih” (QS an-Nur: 63)

Bahkan dalam potensi lain Allah SWT juga menerangkan, betapa insan agung pemilik kedudukan (jah) tinggi di segi Allah SWT itu sudah mampu menjadi pengaman bagi penghuni bumi ini dari banyak sekali peristiwa. Allah SWT berfirman: “Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kau berada di antara mereka. dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun” (QS al-Anfal: 33).

Bahkan dalam banyak potensi (ayat), Allah SWT menyandingkan nama-Nya dengan nama Rasulullah SAW dan menyatakan bahwa tindakan keduanya dinyatakan selaku berasal dari sumber yang satu. Ini sebagai bukti, betapa tinngi, agung dan mulianya sosok Nabi Muhammad SAW di mata Allah SWT. Sebagai pola, apa yang dinyatakan Allah SWT dalam al-Alquran yang berbunyi: “Mereka (orang-orang munafik) mengemukakan ‘uzurnya kepadamu, kalau kau Telah kembali kepada mereka (dari medan perang). Katakanlah: “Janganlah kau mengemukakan ‘uzur; kami tidak percaya lagi kepadamu, (karena) Sesungguhnya Allah Telah memberitahukan kepada kami beritamu yang bantu-membantu. dan Allah serta rasul-Nya akan menyaksikan pekerjaanmu, Kemudian kau dikembalikan kepada yang mengetahui yang ghaib dan yang positif, kemudian beliau mengumumkan kepadamu apa yang Telah kau kerjakan” (QS at-Taubah: 94). Atau ayat yang berbunyi: “Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak menyampaikan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka Telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan Telah menjadi kafir setelah Islam dan mengingini apa yang mereka tidak mampu mencapainya, dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali Karena Allah dan rasul-Nya Telah melimpahkan karunia-Nya terhadap mereka. Maka kalau mereka bertaubat, itu yaitu lebih baik bagi mereka, dan jikalau mereka berpaling, pasti Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan alam baka; dan mereka sekali-kali tidaklah mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di wajah bumi” (QS at-Taubah: 74) dan masih banyak ayat yang lain yang menjadi bukti bahwa Rasulullah SAW yaitu makhluk termulia dan mempunyai kedudukan khusus di segi Khaliknya. Jika kita sudah mengenali kedudukan tinggi Rasul semacam ini maka kita akan mendapat kepastian (pasti dengan berdasar dalil) bahwa permintaan doa –pasti doa yang baik- dengan menimbulkan Rasul selaku sarana (wasilah) pasti Allah SWT akan enggan menolak seruan kita dengan menjinjing nama kekasih-Nya tersebut. Dengan menyebut nama Rasulullah Muhammad bin Abdullah SAW maka kita telah menyeru Allah SWT dengan berpegangan terhadap tonggak yang sangat kuat yang tidak akan tergoyahkan. Atas dasar itu, Allah SWT memerintahkan terhadap para pelaku dosa dari kaum muslimin untuk berpegangan dengan tonngak yang tak tergoyahkan tersebut (hakekat Muhammad Rasulullah SAW) dan meminta pengampunan di setiap majlis mereka, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain. Karena lewat permohonan ampun melalui hakekat pribadi Muhammad SAW adalah kunci dari penyebab turunnya rahmat, pengampunan dan ridho Allah SWT. Dalam hal ini Allah SWT berfirman: “Dan kami tidak mendelegasikan seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun terhadap Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS an-Nisa’: 64). Ayat tadi dikuatkan dengan ayat yang lain, seperti firman Allah SWT: “Dan kalau dikatakan kepada mereka: marilah (beriman), semoga Rasulullah memintakan ampunan bagimu, mereka mencampakkan tampang mereka dan kamu lihat mereka berpaling sedang mereka menyombongkan diri” (QS al-Munafiqqun: 5). Semua itu sebagai sedikit bukti bahwa Rasulullah SAW mempunyai kedudukan, kemualiaan dan keagungan di mata Allah SWT, Pencipta dan Penguasa alam semesta.

Hakekat tersembunyi dari eksklusif agung Muhammad seperti ini cuma akan mampu dipahami dan diyakini dengan baik oleh pribadi-pribadi yang mengenal betul siapakah gerangan Muhammad bin Abdillah SAW tadi. Bagi orang yang belum mengenal diri baginda Rasul niscaya dia akan meragukannya, sebab masih mengaggap Rasul selaku manusia biasa, sepatutnya manusia biasa yang lain. Anggapan kerdil semacam inilah yang menjadikan beberapa pengikut sekte Wahaby terjerumus ke lembah penyesatan golongan lain yang mengenali belakang layar keagungan Rasul sewaktu mereka memuji Rasulullah SAW dengan kebanggaan-kebanggaan yang bersumber dari al-Alquran dan Hadis asli, baik pujian yang terjelma dalam kitab-kitab maulid maupun kitab-kitab ratib. Rahasia hakekat Muhammad –dan nabi-nabi lain- ini pulalah yang akan kita jadikan dalil “Legalitas Tawassul terhadap Pribadi Agung yang secara Zahir sudah Meninggal”, pada peluang mendatang.

4). Tawassul lewat Doa Saudara Mukmin

Salah satu sarana lain yang disinggung oleh Allah SWT dalam al-Quran yakni, doa saudara mukmin. Dalam al-Alquran, Allah SWT berfirman: “Dan orang-orang yang datang setelah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan Saudara-kerabat kami yang Telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami kepada orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”” (QS al-Hasyr: 10). Ayat di atas menerangkan bahwa kaum mukmin yang tiba terakhir sudah mendoakan untuk mendapat pengampunan bagi kaum mukmin yang terdahulu. Ayat ini selain menerangkan bahwa doa terhadap orang terdahulu sungguh ditekankan oleh Islam, juga mampu menjadi bukti global bahwa memberi hadiah doa terhadap yang sudah mati –walau bukan anak serta famili (saudara)- akan dapat sampai dan bermanfaat buat sang jenazah di alam sana.

5). Tawassul lewat Diri Para Nabi dan Hamba Saleh

Bagian dari tawassul ini berbeda dengan bab sebelumnya (lihat no 3). Jika pada kesempatan yang kemudian disebutkan tentang tawassul lewat doa Nabi maka pada peluang kali ini kita diberitahukan ihwal tawassul terhadap diri dan eksklusif Nabi supaya menjadi fasilitas pengkabulan doa, karena mereka memiliki kedudukan (jah) di segi Allah SWT. Sebagai teladan apa yang dikerjakan nabi Ayyub dengan baju bekas dipakai (menempel di badan) oleh Yusuf sebagai fasilitas (wasilah) kesembuhannya dari kebutaan, berkat izin Allah SWT. Jelas sekali perbedaan antara tawassul melalui doa Nabi, dengan tawassul lewat diri Nabi.

Jadi, di sini kita diberitahukan perihal legalitas tawassul terhadap Allah melalui keistimewaan (fadhilah), kedudukan (jah), kemuliaan (karamah) dan keagungan (adzamah) eksklusif Nabi/Rasul di sisi Allah SWT. Ini merupakan bentuk anugerah khusus (‘inayah khasshah) yang Allah berikan kepada para nabi dan rasul, juga para kekasih-Nya yang lain. Kaprikornus fasilitas (wasilah) yang dijanjikan Allah SWT itu diletakkan kepada langsung para hamba Allah yang telah dimuliakan, diagungkan dan diangkat derajatnya oleh Allah SWT. Hal itu sebagaimana Allah telah mengangkatnya ke pangkuan-Nya. Allah SWT berfirman: “Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu” (QS al-Insyirah: 4). Orang-orang semacam itu (manusia Saleh pengikut sejati Rasul), mereka yaitu para pemiliki kedudukan tinggi di sisi Allah, maka Allah SWT menyuruh terhadap segenap kaum muslimin lainnya untuk memuliakan dan menghormati mereka. Allah SWT berfirman: “(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Bibel yang ada di segi mereka, yang memerintahkan mereka melakukan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang bagus dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan mencampakkan dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang mujur” (QS al-A’raf: 157).

Jika kunci terkabulnya doa terdapat pada kepribadian dan kedudukan luhur di segi Allah SWT yang dimiliki oleh setiap manusia Saleh tadi maka sudah menjadi hal yang utama jikalau mereka dijadikan selaku fasilitas (wasilah) oleh segenap manusia muslim biasa untuk menerima keridhoaan Allah. Sebagaimana doa mereka pun senantiasa didengar dan dikabulkan oleh Allah SWT. Jika ada kelompok muslim yang mengizinkan menjadikan ‘doa’ insan saleh selaku sarana (wasilah) menuju ridho Allah maka menimbulkan fasilitas (wasilah) kepribadian (dzat/syakhsyiyah) dan kedudukan (jah/ maqom/manzilah/karamah/fadhilah) insan saleh tadi pun lebih utama untuk diperbolehkan. Karena antara ‘fasilitas pengkabulan doa’ dan ‘sarana kedudukan/kepribadian agung manusia saleh’ terdapat hubungan erat dan menjadio konsekuensi logis, riil dan legal (syar’i). Memisahkan antara keduanya sama halnya memisahkan dua hal yang mempunyai relasi dekat, bahkan sampai pada derajat korelasi karena-balasan. Karena, pengkabulan doa insan saleh oleh Allah disebabkan alasannya kepribadiannya yang luhur, dan kepribadian luhur itulah yang menjadikan kedudukan mereka diangkat oleh Allah SWT.

  Hukum Menyayangi Sesama Jenis Dalam Islam

Tawassul jenis ini juga memiliki sandaran hadis yang diriwayatkan oleh para imam perawi hadis dari Ahlusunnah melalui jalur yang otentik. Untuk menyingkat waktu, bagi yang ingin menelaah lebih lanjut hadis-hadis tersebut, silahkan merujuknya dalam kitab-kitab hadis mirip;

  • Musnad Imam Ahmad bin Hambal; jilid: 4 halaman: 138 hadis ke-16789
  • Sunan Ibnu Majah; jilid: 1 halaman: 441 hadis ke-1385
  • Sunan at-Turmudzi; jilid: 5 halaman: 531 dalam kitab ad-Da’awaat, bagian 119 hadis ke-3578

6). Tawassul melalui Kedudukan dan Keagungan Hamba Saleh

Disamping yang sudah kita singgung pada bab sebelumnya (no 5), jika kita telaah dari sejarah hidup para pendahulu dari kaum muslimin niscaya akan kita dapati bahwa mereka melegalkan tawassul dengan jalan ini, sesuai pengertian mereka perihal syariat yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Mereka bertawassul lewat kedudukan dan kehormatan para insan Saleh, dimana diyakini bahwa para insan saleh tadi pun memiliki kedudukan tinggi di segi Allah SWT. Manusia saleh yang dimaksud di sini yakni sebagaimana apa yang dikemukakan oleh Rasul terhadap Muadz bin Jabal ini, Rasul bersabda: “Wahai Muadz, apakah engkau mengetahui apakah hak Allah terhadap hamba-Nya?”. Muadz menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Lantas Rasul bersabda: “Sesunguhnya hak Allah terhadap Hamba-Nya yaitu hendaknya hamba-hamba-Nya itu menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya terhadap apapun”. Agak beberapa lama, kembali Rasul bersabda: “Wahai Muadz!”, aku (Muadz) menjawab: “Ya wahai Rasul!?”. Rasul mengajukan pertanyaan: “Adakah engkau tahu, apakah hak seorang hamba dikala sudah melaksanakan hal tadi?”. saya (Muadz) menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Rasul bersabda: “Ia tiada akan mengazabnya”. (Lihat: Sohih Muslim dengan syarh dari an-Nawawi jilid: 1 halaman: 230-232). Dari hadis tadi jelas bahwa maksud dari Saleh ialah setiap orang yang melakukan penghambaan sarat (ibadah) terhadap Allah dan tidak melaksanakan penyekutuan terhadap Allah SWT. Dan dikarenakan tawassul (mengambil wasilah) bukanlah tergolong penyekutuan Allah –karena dilegalkan oleh Allah SWT- maka para pelaku tawassul pun mampu masuk kategori orang Saleh pula, jika dia melakukan peribadatan yang nrimo dan tidak melaksanakan kesyirikan (penyekutuan Allah). Orang-orang saleh semacam itulah yang dinyatakan dalam al-Quran sebagai pemancar cahaya Ilahi yang dengannya mereka hidup di tengah-tengah insan. Allah SWT berfirman: “Dan apakah orang yang telah mati Kemudian beliau kami hidupkan dan kami berikan kepadanya cahaya yang jelas, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah penduduk manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak mampu keluar dari padanya? Demikianlah kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang Telah mereka lakukan” (QS al-An’am: 122). Atau sebagaimana dalam firmah Allah SWT lainya; “Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah terhadap Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, pasti Allah memperlihatkan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan mengakibatkan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kau dapat berlangsung dan ia mengampuni kau. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-Hadid: 28). Sebagaimana kita semua mengenali bahwa, fungsi dan kekhususan cahaya yaitu; “dia sendiri terang dan mampu menerangi obyek lain”. Begitu juga dengan manusia saleh yang mendapat otoritas pembawa pancaran Ilahi.

Dari sini terang sekali bahwa al-Quran sudah menun jukan terhadap kita bahwa, para nabi dan manusia saleh dari hamba-hamba Allah –mirip insiden umat Isa al-Masih atau kerabat-saudara Yusuf (bawah umur Yakqub)- telah melaksanakan tawassul. Dan al-Alquran pun telah dengan jelas menunjukkan penjelasan tentang beberapa obyek tawassul. Tawassul tersebut bukan cuma sebatas berkaitan dengan doa para manusia kekasih Ilahi itu saja, bahkan pada langsung para insan kekasih Ilahi itu juga. Hal itu alasannya antara pribadi para kekasih Ilahi dengan bacaan doa mereka tidak dapat dipisahkan dan terjadi kekerabatan (konsekuensi) yang sungguh erat.

“Kejelasan-kejelasan semacam inilah yang tidak mampu dipungkiri oleh kaum muslimin manapun, terkhusus para pengikut sekte Wahabisme. Atas dasar itu, Ibnu Taimiyah sendiri dalam kitabnya “at-Tawassul wa al-Wasilah” dengan mengutip pendapat para ulama Ahlusunah mirip; Ibnu Abi ad-Dunya, al-Baihaqi, at-Thabrani, dan sebagainya telah melegalkan tawassul sesuai dengan hadis-hadis yang ada.”

Tawassul/Istighatsah (4); Hadis-Hadis perihal Legalitas Tawassul/Istighotsah

Pada potensi kali ini, kita akan mengkaji beberapa teladan hadis yang menjadi landasan legalitas tawassul/istighotsah. Dalam beberapa kitab standart Ahlusunah wal Jamaah akan mampu kita jumpai beberapa hadis yang menerangkan ihwal legalitas hal tawassul dan istighotsah terhadap Rasul dan para hamba Allah yang saleh. Sebagai acuan apa yang disebutkan dalam hadis-hadis di bawah ini:

1- Dari Ustman bin Hanif yang mengatakan: Sesungguhnya telah datang seorang laki-laki yang tertimpa musibah (penyakit) terhadap Nabi SAW. Lantas lelaki itu menyampaikan kepada Rasul; “Berdoalah terhadap Allah untukku agar Ia menyembuhkanku!”. Lantas Rasul bersabda: “Jika engkau mengharapkan maka saya akan menundanya untukmu, dan itu lebih baik. Namun jikalau engkau menginginkan maka saya akan berdoa (untukmu)”. Lantas beliau (laki-laki tadi) berkata: “Memohonlah kepada-Nya (untukku)!”. Lantas Rasul memerintahkannya untuk mengambil air wudhu, lalu beliau berwudhu dengan baik lantas melaksanakan shalat dua rakaat. Kemudian ia membaca doa tersebut:

اللهم إني أسئلك و أتوجه إليك بمحمد نبي الرحمة يا محمد إني قد توجهت بك إلي ربي في حاجتي هذه لتُقضي اللهم فشفعه فيٍَ

(Ya Allah, bergotong-royong saya memohon terhadap-Mu, dan saya tiba menghampiri-Mu, demi Muhammad sebagai Nabi yang penuh rahmat. Ya Muhammad, bahwasanya saya telah tiba menghampiri-mu untuk menjumpai Tuhan-ku dan meminta hajat-ku ini supaya terkabulkan. Ya Allah, maka berilah pemberian kepadanya untukku)

Yang dimaksud dengan Abu Jakfar dalam hadis tadi ialah, Abu Jakfar al-Khathmi yang dinyatakan kepercayaannya oleh banyak mahir rijal hadis, tergolong ar-Rifa’i dalam kitab “At-Tawasshul ila Haqiqat at-Tawassul” halaman 158.

Hadis di atas juga diriwayatkan oleh para Imam hadis ternama Ahlusunnah, seperti: Imam at-Turmudzi dalam “Sunan at-Turmudzi” 5/531 hadis ke-3578, Imam an-Nasa’i dalam kitab “as-Sunan al-Kubra” 6/169 hadis ke-10495, Imam Ibnu Majah dalam “Sunan Ibnu Majah” 1/441 hadis ke-1385, Imam Ahmad dalam “Musnad Imam Ahmad” 4/138 hadis ke-16789, al-Hakim an-Naisaburi dalam “Mustadrak as-Shohihain” 1/313, as-Suyuthi dalam kitab “al-Jami’ as-Shoghir” halaman 59, dsb. Sehingga dari situ, Ibnu Taimiyah pun menyatakan kesahihannya pula .

Anehnya, sebagian Wahhaby menyatakan bahwa tawassul/istighotsah semacam itu perbuatan tidak berguna dan berlawanan dengan ke-Maha mendengar dan mengetahui-an Allah dengan menyatakan; “Kenapa kita harus berdoa melalui orang dengan argumentasi ia lebih akrab kedudukannya di sisi Allah dan doanya lebih didengar oleh-Nya? Bukankah Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui atas doa para hamba-Nya?”.

Justru pertanyaan berikutnya yang mesti dijawab oleh orang Wahhaby yang berpikiran semacam itu adalah; kenapa Rasul menjawab permintaan orang tadi dengan menyampaikan “…Namun jikalau engkau menginginkan maka aku akan berdoa (untukmu)”, apakah Nabi –yang makhluk erkasih Ilahi itu- tidak mengenali apa yang ada di otak kepala Wahhaby tadi? Apakah mereka lebih pandai dari Nabi?

Dari hadis di atas juga dapat kita ambil pelajaran bahwa, bagaimana Nabi mengajarkan cara bertawassul terhadap lelaki terkena peristiwa tersebut. Dan juga mampu kita ambil pelajaran bahwa, bersumpah atas nama pribadi Nabi (بمحمد) yaitu hal yang diperbolehkan (legal berdasarkan syariat Islam), begitu juga dengan kedudukan (jah) Muhammad yang tertera dalam kata “نبي الرحمة”. Jika tidak maka sejak semula Nabi akan menegur laki-laki tersebut. Jadi tawassul laki-laki tersebut melalui eksklusif Muhammad –bukan hanya doa Nabi- yang sekaligus atas nama selaku Nabi pembawa Rahmat yang ialah kedudukan (jah) tinggi anugerah Ilahi ialah hal legal menurut syariat Muhammad bin Abdillah SAW.

2- Diriwayatkan oleh ‘Aufa al-‘Aufa dari Abi Said al-Khudri, bahwa Rasul SAW pernah menyatakan: “Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat (di masjid) maka hendaknya menyampaikan:

اللهم إني أسئلك بحق السائلين عليك ”و أسئلك بحق ممشاي هذا فإني لم أخرج أشرا و لا بطرا و لا ريائا و لا سمعة خرجت اتقاء سختك و ابتغاء مرضاتك فأسئلك أن تعيذني من النار و أن تغفرلي ذنوبي إنه لا يغفر الذنوب إلا أنت

(Ya Allah, bekerjsama saya memohon kepada-mu, demi para pemohon terhadap-Mu. Dan saya memohon terhadap-Mu, demi langkah kakiku ini. Sesungguhnya saya tidak keluar untuk berbuat aniaya, diktatorial, ingin pujian dan berbangga diri. Aku keluar untuk menjauhi marah-Mu dan mengharap ridho-Mu. Maka saya memohon kepada-Mu supaya Kau jauhkan diriku dari api neraka. Dan hendaknya Engkau ampuni dosaku, sebab tiada dzat yang dapat meniadakan dosa melainkan diri-Mu), pasti Allah akan menyambutnya dengan muka-Nya kepadanya dan memberinya balasan sebanyak tujuh puluh ribu malaikat”. (Lihat: Kitab “Sunan Ibnu Majah”, 1/256 hadis ke-778 bab berjalan untuk melakukan shalat)

Dari hadis di atas dapat diambil pelajaran bahwa, Rasul SAW mengajarkan terhadap kita bagaimana kita berdoa untuk menghapus dosa kita dengan menyebut (bersumpah dengan kata ‘demi’) diri (dzat) para peminta doa dari para manusia saleh dengan istilah “بحق السائلين عليك”. Rasulullah di situ tidak memakai kata “بحق دعاء السائلين عليك” (demi doa para pemohon kepada-Mu), tetapi eksklusif menggunakan ‘diri pelaku perbuatan’ (memakai isim fa’il). Dengan begitu mempunyai arti Rasul SAW membenarkan –bahkan mengajarkan- bagaimana kita bertawassul terhadap diri dan kedudukan para insan saleh kekasih Ilahi (wali Allah) -yang senantiasa memohon kepada Allah SWT- untuk mengakibatkan mereka selaku fasilitas penghubung antara kita dengan Allah dalam persoalan usul syafa’at, permohonan ampun, meminta hajat, dsb.

3- Diriwayatkan dari Anas bin Malik, beliau mengatakan; saat Fathimah binti Asad meninggal dunia, Rasulullah SAW datang dan duduk di sisi kepalanya sembari bersabda: “رحمك الله يا أمي بعد أمي” (Allah merahmatimu wahai ibuku pasca ibu (kandung)-ku). Lantas beliau (Rasul) menyebutkan pujian terhadapnya, lantas mengkafaninya dengan jubah dia. Kemudian Rasul mengundang Usamah bin Zaid, Abu Ayyub al-Anshari, Umar bin Khattab dan seorang budak hitam untuk menggali kuburnya. Lantas mereka menggali liang kuburnya. Sesampai di liang lahat, Rasul sendiri yang menggalinya dan mengeluarkan tanah lahat dengan memakai tangan ia. Setelah selesai (menggali lahat), lalu Rasul berbaring di situ sembari berkata:

 الله الذي يحي و يميت و هو حي لا يموت اغفر لأمي فاطمة بنت أسد و وسع عليها مدخلها بحق نبيك و الأنبياء الذين من قبلي

(Allah Yang menghidupkan dan mematikan. Dan Dia Yang selalu hidup, tiada pernah mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad. Perluaskanlah jalan masuknya, demi Nabi-Mu dan para nabi sebelumku). (Lihat: Kitab al-Wafa’ al-Wafa’)

Hadis di atas terang sekali bagaimana Rasulullah bersumpah demi kedudukan (jah) yang dia miliki, yaitu kenabian, dan kenabian para pendahulunya yang telah mati, untuk dijadikan sarana (wasilah) pengampunan kesalahan ibu (angkat) ia, Fathimah binti Asad. Dan dari hadis di atas juga mampu kita ambil pelajaran, bagaimana Rasul memberi ‘berkah’ (tabarruk) liang lahat itu untuk ibu angkatnya dengan merebahkan diri di sana, plus mengkafani ibunya tersebut dengan jubah dia.

Sebagai penutup dari pola hadis-hadis tentang legalitas tawassul dalam syariat Islam, kita akan melihat satu ‘kebanggaan’ yang diberikan salah satu sahabat Rasul kepada diri Rasulullah SAW yang mempunyai muatan Tawassul.

4- Diriwayatkan bahwa Sawad bin Qoorib melantunkan pujiannya kepada Rasul dimana dalam pujian tersebut juga terdapat muatan permintaan tawassul kepada Rasulullah SAW. Ia menyampaikan:

و أشهد أن الله لا رب غيره …. * …. و أنك مأمون علي كل غائب
و أنك أدني المرسلين وسيلة …. * …. الي الله يان الأكرمين الأطائب
فمرنا بما يأتيك يا خير مرسل …. * …. و إن كان فيما فيه شيب الذوائب
و كن لي شفيعا يوم لا ذو شفاعة *…. …. سواك بمغن عن سواد بن قارب

(Lihat: Kitab Fathul Bari 7/137, atau kitab at-Tawasshul fi Haqiqat at-Tawassul karya ar-Rifa’i halaman 300)

Kejelasan-kejelasan semacam inilah yang tidak dapat dipungkiri oleh kaum muslimin manapun, terkhusus para pengikut sekte Wahabisme. Atas dasar itu, Ibnu Taimiyah sendiri dalam kitabnya “at-Tawassul wa al-Wasilah” dengan mengutip pendapat para ulama Ahlusunah seperti; Ibnu Abi ad-Dunya, al-Baihaqi, at-Thabrani, dan sebagainya sudah melegalkan tawassul sesuai dengan hadis-hadis yang ada. (Lihat: Kitab “at-Tawassul wal Wasilah” karya Ibnu Taimiyah halaman 144-145)

Walaupun beberapa hadis di atas secara tersirat telah menunjukan legalitas tawassul kepada para nabi terdahulu dan para manusia saleh yang sudah mati, namun mungkin masih menjadi pertanyaan di benak kaum muslimin, adakah dalil yang dengan terang memperbolehkan tawassul/istighotsah kepada orang yang zahirnya sudah mati?

“Jika riwayat sebelumnya berkaitan dengan ‘membisu’-nya Ali terhadap orang yang bertawassul terhadap yang sudah meninggal. Padahal kita tahu bahwa Ali ialah sobat dan menantu mulia Rasul. Kini berkaitan dengan ‘usulan’ istri Rasulullah. Jika bertawassul/istighotsah terhadap orang yang telah mati ialah bid’ah atau syirik, maka apakah mungkin istri Rasul -seperti Ummulmukminin Aisyah- tidak mengetahui hal itu, padahal dia senantiasa hidup bareng Rasul yang sepantasnya Rasul sebelum mendidik orang lain terlebih dulu mendidik istri dan anaknya apalagi dulu. Jika istighotsah kepada orang yang zahirnya telah mati yaitu bid’ah dan syirik –yang dibenci dalam Islam- lantas, apakah mungkin Rasul tidak megindahkan perintah Allah untuk; “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka!”? Apakah kaum pengikut sekte Wahhaby jauh lebih paham Islam ketimbang Ali bin Abi Thalib dan Ummulmukminin Aisyah? Silahkan direnungkan dengan hati dan kepala yang acuh taacuh!”

Tawassul/Istighatsah (5); Prilaku Salaf Saleh Penguat Legalitas Tawassul/Istighotsah

Kita semua mengenali bahwa para sahabat, tabiin dan tabiut at-tabiin yaitu tergolong dalam kelompok salaf soleh dimana mereka hidup sungguh erat denga zaman penurunan risalah Islam. Terkhusus para sobat yang menerima pengajaran langung dari Rasulullah SAW dimana setiap masalah yang tidak mereka ketahui eksklusif mereka tanyakan dan pribadi menerima jawabannya dari baginda Rasul. Salah satu dari sekian perkara yang menjadi materi kajian kita kali ini ialah, bagaimana pemahaman para teman berkaitan dengan konsep istighotsah / tawassul yang sesuai dengan isyarat Rasulullah SAW.

Untuk mempersingkat waktu, di sini kita akan memberikan beberapa riwayat yang menjelaskan pengertian Salaf Saleh –yang dalam hal ini meliputi para teman mulia Rasul- berkaitan dengan konsep tersebut, dan parktik mereka dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, kita akan menawarkan beberapa contoh seperti di bawah ini:

1- Dahulu Rasulullah mengajarkan seseorang wacana metode memohon terhadap Allah dengan lantas menyeru Nabi untuk bertawassul kepadanya, dan meminta kepada Allah biar mengabulkan syafaatnya (Nabi) dengan menyampaikan:

يا محمد يا رسول الله إني أتوسل بك إلي ربي في حاجتي لتُقضي لي اللهم فشفعه فيٍ.

  Aturan Bermain Games Dalam Islam

(Wahai Muhammad, Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku bertawassul denganmu terhadap Tuhanku dalam menyanggupi hajatku agar dikabulkan untukku. Ya Allah, terimalah bantuannya padaku). (Lihat: Kitab “Majmu’atur Rasa’il wal Masa’il” karya Ibnu Taimiyah 1/1 8)

Jelas sekali bahwa yang dimaksud dengan lelaki di atas yaitu lelaki muslim yang sezaman dan pernah hidup bersama Rasul, serta pernah berguru dari beliau, yang semua itu adalah menyanggupi standar teman menurut fatwa Ahlusunnah wal Jamaah. Mari kita teliti dan renungkan kata demi kata dari pedoman Rasul kepada salah seorang teman itu sewaktu beliau mengajarinya metode bertawassul melalui ‘diri’ Muhammad sebagai Rasulullah, satu ‘kedudukan’ (jah) tinggi di sisi Allah. Sengaja kita ambil rujukan dari Ibnu Taimiyah supaya pengikut sekte Wahhaby mengerti dengan baik apa sinyal dibalik tujuan kami menukil dari kitab syeikh mereka itu, semoga mereka berpikir.

2- Khalifah Umar bin Khattab pernah meminta hujan kepada Allah lewat paman Rasul, Abbas bin Abdul Mutthalib. Dalam bertawassul, khalifah Umar mengatakan:

اللهم كنا نتوسل إليك بنبينا فتسقينا و إنا نتوسل إليك بعم نبينا فاسقنا. قال: فيسقون

(Ya Allah, dahulu kami bertawassul terhadap-Mu melalui Nabi kami lantas Engkau beri kami hujan. Sekarang kami bertawassul kepada-Mu lewat paman Nabi kami maka beri kami hujan. Dan (perawi) berkata: maka mereka diberi hujan). (Lihat: Kitab “Shohih Bukhari” 2/32 hadis ke-947 dalam Bab Shalat Istisqo’)

Riwayat di atas menunjukkan pelajaran kepada kita bagaimana Khalifah Umar –sobat Rasul- melaksanakan hal yang pernah diajarkan Rasul kepada para sobat mulia beliau. Walaupun riwayat di atas memperlihatkan bahwa Umar bin Khattab bertawassul terhadap insan yang masih hidup, akan namun hal itu tidak memiliki arti secara otomatis riwayat di atas mampu menjadi bukti bahwa bertawassul terhadap yang telah mati yakni ‘haram’ (entah alasannya adalah argumentasi syirik atau bid’ah), karena tidak ada konsekuensi di situ. Di tambah lagi nanti terdapat riwayat lain yang menjelaskan bahwa sebagian sahabat –sesuai dengan pemahaman mereka dari apa yang diajarkan Rasul- juga melakukan tawassul terhadap seseorang yang secara zahir sudah mati. Yang terang, riwayat di atas dengan tegas menjelaskan akan legalitas tawassul / istighitsah dan menyangkal pendapat sebagian Wahhaby yang menyampaikan bahwa bertawassul adalah perbuatan sis-sia dan bertentangan dengan ke-Mahamendengar dan Mahamengetahui-an Allah SWT. Juga sekaligus menjelaskan legalitas tawassul lewat diri (Abbas bin Abdul Mutthalib) dan kedudukan (sebagai paman insan termulia) di hadapan Allah SWT.

3- Berkata al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Musa an-Nukmani dalam karyanya yang berjudul “Mishbah adz-Dzolam”; Sesungguhnya al-Hafidz Abu Said as-Sam’ani menyebutkan satu riwayat yang pernah kami nukil darinya yang bermula dari Khalifah Ali bin Abi Thalib yang pernah mengisahkan: “Telah tiba kepada kami seorang badui sehabis tiga hari kita mengebumikan Rasulullah. Kemudian ia menjatuhkan dirinya ke pusara Rasul dan membalurkan tanah (kuburan) di atas kepalanya seraya berkata: Wahai Rasulullah, engkau telah menyeru dan kami sudah mendengar seruanmu. Engkau sudah mengenang Allah dan kami sudah mengingatmu. Dan telah turun ayat; “Sesungguhnya Jikalau mereka dikala menganiaya dirinya tiba kepadamu, kemudian memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS an-Nisa: 64) dan aku telah menzalimi diriku sendiri. Dan saya mendatangimu semoga engkau memintakan ampun untukku. Lantas terdengar permintaan dari dalam kubur: Sesungguhnya Dia (Allah) telah mengampunimu”. (Lihat: Kitab “Wafa’ al-Wafa’” karya as-Samhudi 2/1361)

Dari riwayat di atas menjelaskan bahwa; bertawassul terhadap Rasulullah pasca wafat beliau yaitu hal yang legal dan tidak tergolong syirik atau bid’ah. Bagaimana tidak? Sewaktu prilaku dan perumpamaan tawassul / istighotsah itu disampaikan oleh si Badui di pusara Rasul -dengan memeluk dan melumuri kepalanya dengan tanah pusara- yang di tujukan terhadap Rasul yang sudah dikebumikan, hal itu berlangsung di hadapan Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib. Dan khalifah Ali sama sekali tidak menegurnya, padahal beliau adalah salah satu teman ternama Rasulullah yang memiliki keilmuan yang sangat tinggi dimana Rasulullah pernah bersabda berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib KW:

– “Ali bareng kebenaran dan kebenaran bareng Ali” (Lihat: Kitab “Tarikh Baghdad” karya Khatib al-Baghdadi 14/321, dan dengan kandungan yang sama bisa dilihat dalam kitab “Shohih at-Turmudzi” 2/29 8)

– “Ali bersama al-Alquran dan al-Quran bersama Ali, keduanya tidak akan pernah terpisah hingga hari kebangkitan” (Lihat: Kitab “Mustadrak as-Shohihain” karya al-Hakim an-Naisaburi 3/124)

– “Aku (Rasul) yaitu kota ilmu dan Ali yaitu pintu gerbangnya. Barangsiapa mengharapkan (masuk) kota maka hendaknya lewat pintu gerbangnya” (Lihat: Kitab “Mustadrak as-Shohihain” 3/126)

– “Engkau (Ali) adalah penjelas kepada umatku perihal apa-apa yang mereka selisihkan setelah (maut)-ku” (Lihat: Kitab Mustadrak as-Shohihain” 3/122)

Jika tawassul / istighotsah terhadap orang yang sudah mati adalah syirik atau bid’ah –sebagaimana yang diiskukan oleh kalangan sekte Wahhaby- dan pada riwayat di atas disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib –pemilik kebanggaan-kebanggaan Rasul yang tertera dalam kitab-kitab Ahlusunnah tadi- yang menjadi saksi perbuatan si Badui muslim tadi -yang bertawassul di pusara Rasul- lantas membisu padahal dia mampu untuk melarangnya bila itu tidak legal (ghair syar’i) maka ada dua kemungkinan;

1- Ali ialah sobat yang tidak tahu apa-apa (ndeso) tentang aturan Islam, terkhusus dilema larangan bertawassul kepada orang yang sudah meninggal. Dimana dari ungkapan pada poin ini juga meniscayakan bahwa, Rasul sudah berbohong kepada kita (umatnya), bahwa ternyata Ali bukan pemilik keistimewaan-keutamaan mirip hadis-hadis di atas. Bagaimana mungkin orang yang tidak memiliki kemuliaan semacam itu lantas dianjurkan oleh Rasul yang al-Amin itu?

2- Hadis-hadis pujian Rasul terhadap eksklusif Ali itu benar. Dan diamnya Ali atas tindakan si Badui tadi menerangkan bahwa bertawassul/istighotsah terhadap orang yang zahirnya sudah mati itu yaitu legal menurut syariat Islam, paling tidak yang diketahui Ali sebagai pintu gerbang ilmu Rasul, yang senantiasa bersama kebenaran, senantiasa bersama al-Quran dan yang diberi mandat Rasul untuk menjelaskan hal-hal yang terjadi perbedaan usulan di kelompok kaum muslimin, pasca wafat Rasul.

Tentu, bagi seorang ‘Ahlusunnah wal Jamaah sejati’, pasti dia akan menentukan kemungkinan yang kedua. Karena kemungkinan yang pertama itu sungguh berat resikonya di dunia maupun di akherat, terkhusus bagi pengaku Ahlusunnah wal Jamaah. Kecuali kalau kita melakukan kebodohan sebagaimana apa yang sering dijalankan oleh pada umumnya ulama Wahhaby, mudah menvonis sebuah hadis yang tidak sesuai dengan doktrin akidahnya dengan vonis “hadis lemah” (dho’if), tanpa melakukan pengecekan secara rincian apalagi dahulu.

4- Ad-Darami meriwayatkan: Penghuni Madinah mengalami paceklik yang sangat parah. Lantas mereka mengadu kepada Aisyah (ummul Mukminin). Lantas Aisyah mengatakan: “Lihatlah pusara Nabi! Jadikanlah beliau (kuburan) selaku penghubung menuju langit sehingga tidak ada lagi penghalang dengan langit. Lantas beliau (perawi) menyampaikan: Kemudian mereka (penduduk Madinah) melakukannya, kemudian turunlah hujan yang banyak sampai tumbulah rerumputan dan gemuklah onta-onta dipenuhi dengan lemak. Maka saat itu disebut dengan tahun “al-fatq” (makmur)”. (Lihat: Kitab “Sunan ad-Darami” 1/56)

Jika riwayat sebelumnya berhubungan dengan ‘diam’ Ali kepada orang yang bertawassul kepada yang telah meninggal. Padahal kita tahu bahwa Ali adalah sobat dan menantu mulia Rasul. Kini berhubungan dengan ‘rekomendasi” istri Rasulullah. Jika bertawassul/istighotsah terhadap orang yang sudah mati yakni bid’ah atau syirik, maka apakah mungkin istri Rasul -seperti Ummulmukminin Aisyah- tidak mengetahui hal itu, padahal beliau selalu hidup bareng Rasul yang sepatutnya Rasul sebelum mendidik orang lain terlebih dulu mendidik istri dan anaknya apalagi dulu. Jika istighotsah terhadap orang yang zahirnya sudah mati yakni bid’ah dan syirik –yang dibenci dalam Islam- lantas, apakah mungkin Rasul tidak megindahkan perintah Allah untuk; “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka!”? Apakah kaum pengikut sekte Wahhaby jauh lebih paham Islam ketimbang Ali bin Abi Thalib dan Ummulmukminin Aisyah? Silahkan direnungkan dengan hati dan kepala yang masbodoh!

5- Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang asli. Dari riwayat Abu Salih as-Saman dari Malik ad-Dar –seorang bendahara Umar- yang berkata: Masyarakat mengalami paceklik pada zaman (kekhalifahan) Umar. Lantas seseorang tiba ke makam Nabi seraya berkata: Ya Rasulullah mintakan hujan untuk umatmu, alasannya mereka hendak binasa. Kemudian datanglah seseorang dimimpi tidurnya dan berkata kepadanya: Datangilah Umar! Saif juga meriwayatkan hal tersebut dalam kitab al-Futuh; Sesungguhnya laki-laki yang berimajinasi tadi yakni Bilal bin al-Harits al-Muzni, salah seorang sahabat. (Lihat: Kitab “Fathul Bari” 2/577)

Riwayat di atas juga menguatkan bahwa beapa di kalngan teman Nabi abad itu telah menjadi hal yang biasa bila seseorang memiliki hajat untuk bertawassul, walaupun terhadap Rasulullah yang secara zahir sudah meninggal dunia. Lantas apakah kaum sekte Wahabi masih bersikeras menyatakan bahwa Salaf Saleh tidak pernah mencontohkan tindakan tersebut sesuai dengan pengertian mereka kepada pedoman syariat Nabi? Sekali lagi pertanyaan yang timbul, apakah kaum Wahaby berani menyatakan para sobat besar itu selaku pelaku syirik atrau bid’ah sebab sudah bertawassul terhadap yang sudah mati? Pertanyaan seperti ini belum pernah ada balasan yang memuaskan dari golongan pengikut sekte Wahhaby, alasannya adalah mereka akan berbenturan dengan pemuka Salaf Saleh seperti teman-teman besar yang telah kami sebutkan di atas, tergolong Ummulmukminin Aisyah, istri Nabi sendiri.

Guna mengakhiri kajian kali ini, kita akan menunjukkan satu pola lagi dari riwayat (atsar) para teman berhubungan dengan legalitas syariat Islam terhadap masalah istighotsah / tawassul, terkhusus terhadap langsung yang dianggap telah mati.

6- Dalam suatu riwayat panjang tentang dongeng Usman bin Hunaif (salah seorang sahabat mulia Rasul) yang disebutkan oleh at-Tabrani dari Abi Umamah bin Sahal bin Hunaif yang bersumber dari pamannya, Usman bin Hunaif. Disebutkan bahwa, suatu dikala seorang lelaki sudah beberapa kali mendatangi khalifah Usman bin Affan agar memenuhi hajatnya. Saat itu, Usman tidak menyikapi kedatangannya dan tidak pula memperhatikan hajatnya. Kemusian lelaki itu pergi dan ditengah jalan bertemu Usman bin Hunaif dan mengeluhkan hal yang dihadapinya kepadanya. Mendengar hal itu lantas Usman bin Hunaif mengatakan kepadanya: Ambillah baskom dan berwudhulah. Kemudian pergilah ke masjid (Nabi) dan shalatlah dua rakaat. Seusainya maka katakanlah:

اللهم إني أسألك و أتوجه إليك بنبينا محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلي ربي فتقضي لي حاجتي

(Ya Allah, bantu-membantu saya memohon terhadap-Mu dan mendatangi-Mu demi Nabi-Mu Muhammad yang selaku Nabi pembawa Rahmat. Wahai Muhammad, aku menghadapkan wajahku kepadamu untuk memohon terhadap Tuhanku. Maka kabulkanlah hajatku)

Lantas sebutkanlah hajatmu. Beranjaklah maka aku akan mengiringimu. Kemudian laki-laki itu melaksanakan apa yang telah diberitahukan kepadanya. Selang beberapa dikala, lantas ia kembali mengunjungi pintu rumah Usman. Usmanpun mempersilahkannya masuk dan duduk di satu kursi dengannya, seraya berkata: Apakah gerangan hajatmu? Lantas ia menyebutkan hajatnya, dan Usmanpun secepatnya memenuhinya. Lantas ia berkata kepadanya: Aku tidak ingat terhadap hajatmu melainkan baru beberapa dikala yang kemudian saja. Iapun kembali mengatakan: Jika engkau memiliki hajat maka sebutkanlah (kepadaku)! Setelah itu, laki-laki itu keluar meninggalkan rumah Usman bin Affan dan kembali berjumpa Usman bin Hunaif seraya berkata: Semoga Allah membalas kebaikanmu!? Dia (Usman bin Affan) mulanya tidak melihat dan memperhatikan hajatku sehingga engkau telah berbicaranya kepadanya tentangku. Lantas Usman bin Hunaif berkata: Demi Allah, saya tidak pernah berbicara ihwal kamu kepadanya. Tetapi aku telah menyaksikan Rasulullah SAW dihadiri dan dikeluhi oleh seorang yang terkena musibah penyakit (isu: ini mengisaratkan pada hadis ihwal sahabat yang mengunjungi Rasul alasannya kehilangan penglihatannya yang diriwayatkan dalam kitab “Musnad Ahmad” 4/138, “Sunan at-Turmudzi” 5/569 hadis ke-3578, “Sunan Ibnu Majah” 1/441 dan “Mustadrak as-Shohihain” 1/313) kehilangan kekuatan penglihatannya, lantas Nabi bersabda kepadanya: Bersabarlah! Lelaki itu menjawab: Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai penggandeng dan itu sangat menyulitkanku. Lantas Nabi bersabda: Ambillah ember dan berwudhulah, kemudian shalatlah dua rakaat. Lantas bacalah doa-doa berikut…. berkata Ibnu Hunaif: Demi Allah, kami tidak akan meninggalkan (cara tawassul itu). Percakapan itu begitu panjang sehingga datanglah seorang laki-laki yang seakan ia tidak mengidap satu penyakit. (Lihat: Kitab “Mu’jam at-Tabrani” 9/30 nomer 8311, “al-Mu’jam as-Shoghir” 1/183, dikatakan hadis ini asli)

Lihat hadis di atas, bagaimana teman Usman bin Hunaif mengerti pedoman Rasul yang mengajarkan diperbolehkannya tawassul terhadap Rasul pada periode hidupnya namun beliau juga terapkan pada pasca kematian dia. Apakah pengertian teman Usman bin Hunaif itu tidak mampu dibenarkan? Sebodoh itukah sahabat Usman bin Hunaif yang menerapkan hadis Rasul tentang tawassul kepada yang masih hidup dengan legalitas tawassul kepada yang mati? Jika ada pengikut sekte Wahhaby yang berani menyatakan bahwa sahabat Usman bin Hunaif adalah terbelakang maka jangan segan-segan juga untuk menyatakan bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib dan Ummulmukminin pun ndeso, sebagaimana banyak sahabat lainnya. Kenapa tidak? Bukankah mereka semua membenarkan anutan tawassul/istighotsah kepada Rasul yang sudah mati? Atau selama ini pengertian Wahhaby yang salah bahwa Nabi tidak ‘mati’, zahirnya saja ‘mati’,tetapi beliau senantiasa hidup dan mendengar setiap permintaan yang diajukan umatnya terhadap dia, sebagai sarana (wasilah) menuju Allah SWT.

Yang sungguh mengherankan sekali adalah, Nashiruddin al-Bani (konon Ahli Hadis kelompok Wahabi) dalam karyanya yang berjudul “at-Tawassul” yang tidak lagi mampu mewaspadai kesahihan riwayat di atas (sebagaimana yang dinyatakan sahih oleh at-Tabrani) ternyata jiwa kewahabiannya terlalu kental -sehingga fanatisme setaninya sangat kuat membikin dia keras kepala dan jumud- dan tidak berani menolak fatwa pendahulunya, Muhammad bin Abdul Wahhab dan Ibnu Taimiyah. Seakan aliran kedua orang itu yaitu wahyu yang tiba dari langit yang tidak boleh diganggu-gugat. Padahal kejelasan dalil sudah faktual baginya. Keangkuhannya dalam menghadapi kenyataan (baca: kebenaran) semacam inilah yang ternyata juga masih dibarengi oleh para pengikut Wahhabi di dunia ini, tidak terkecuali di Tanah Anir. Padahal, riwayat teman Usman bin Hunaif –yang menjadi keyakinan sobat Ali dan Umar (Lihat: Kitab “Siar A’lam an-Nubala’” 2/320)- sebegitu jelasnya, sebagaimana eksistensi matahari di siang hari yang cerah. Memang benar firman Allah SWT yang menyatakan bahwa, kita tidak akan dapat memberi isyarat kepada kaum yang sudah tersesat, dan Allah akan memperbesar kesesatan mereka. Bagaimana mungkin aliran sekte (Wahabisme) yang bertumpu pada pengingkaran hakekat itu akan mengaku sebagai pemurnian fatwa Islam? Namun, bagaimanapun, kebenaran harus disampaikan, alasannya adalah tugas kita hanyalah menyampaikan.

Ini semua yaitu beberapa teladan dari riwayat-riwayat yang dapat kita kemukakan pada peluang kali ini. Tentu masih banyak riwayat lain yang tidak akan mungin kita sebutkan di sini, untuk mempersingkat waktu dan tempat. Yang terperinci, Salaf Saleh sudah menunjukkan teladan terhadap kita perihal pengertian mereka kepada aliran Islam -yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah Rasul- terhadap legalitas tawassul/istighotsah kepada para kekasih Ilahi, walaupun pasca ajal zahir mereka.