Aturan Memelihara Jenggot Menurut 4 Madzhab

Sebagian pembenci Islam menilai dan mengopinikan jenggot sebagai ciri khas teroris. Jika ada seorang laki-laki memelihara jenggot, maka dia adalah teroris, atau minimal berpikiran radikal dan intoleran. Ini yaitu bab upaya mereka untuk menjauhkan umat Islam dari pedoman dan ciri khas mereka. Jenggot, celana cingkrang, jilbab, cadar, dan ciri-ciri khas muslim yang lain dianggap dan diopinikan sebagai ciri khas teroris. Sayangnya, opini pembenci Islam ini ‘dikonsumsi mentah-mentah’ oleh sebagian kaum muslimin.
Di sisi yang lain, sebagian umat Islam yang begitu tinggi ghirah Islamnya, dan begitu besar lengan berkuasa impian mengikuti sunnah-nya, namun kurang memahami dilema khilafiyah, kesudahannya menimbulkan jenggot sebagai kriteria ahlus sunnah atau ahlul bid’ah-nya seseorang. Yang memelihara jenggot, bermakna beliau ahlus sunnah, sedangkan yang mencukur jenggot, bermakna beliau ahlul bid’ah. Mereka juga tutup mata dan tutup telinga kepada fakta bahwa ulama berbeda pendapat ihwal kewajiban memelihara jenggot ini. Orang-orang seperti ini gampang mengklaim mutlak kebenaran ada pada dirinya atau komunitasnya, dan yang menyelisihi mempunyai arti salah mutlak.
 Sebagian pembenci Islam menganggap dan mengopinikan jenggot sebagai ciri khas teroris Hukum Memelihara Jenggot Menurut 4 Madzhab
Lalu bagaimana aturan memelihara jenggot dalam fiqih?
Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/224] dibilang bahwa seluruh ulama setuju memelihara jenggot merupakan kasus yang ditugaskan oleh Syari’ah. Hal ini berdasarkan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya:
1. Hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia bersabda:
خَالِفُوا المُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
Artinya: “Selisihilah orang-orang musyrik. Peliharalah (jangan cukur) jenggot dan cukurlah kumis kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 5892)
2. Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ
Artinya: “Cukurlah kumis dan biarkanlah (jangan dicukur) jenggot kalian. Selisihilah orang-orang Majusi.” (HR. Muslim no. 260)
3. Hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ
Artinya: “Sepuluh masalah yang termasuk fitrah, yaitu mencukur kumis, memelihara jenggot, …” (HR. Muslim no. 261)
Ibnu Hajar menyatakan bahwa orang-orang Majusi ada yang memotong pendek jenggot mereka dan ada juga yang mencukurnya habis (Fathul Bari [10/349]).
Walaupun memelihara jenggot ialah perkara yang disyariatkan dalam Islam, tetapi tidak otomatis hukumnya wajib atau ulama setuju atas kewajibannya. Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah ada beberapa pembahasan terkait memelihara jenggot ini, dan yang paling penting di antaranya yaitu ihwal (1) memanjangkan dan melebatkan jenggot dengan treatment tertentu, (2) memangkas jenggot yang panjangnya melebihi genggaman tangan, dan (3) mencukur habis jenggot.
Memanjangkan dan Melebatkan Jenggot dengan Treatment Tertentu
Ibn Daqiq al-‘Ied berkata:
لَا أَعْلَمُ أَحَدًا فَهِمَ مِنَ الْأَمْرِ فِي قَوْلِهِ أَعْفُوا اللِّحَى تَجْوِيزَ مُعَالَجَتِهَا بِمَا يُغْزِرُهَا كَمَا يَفْعَلُهُ بَعْضُ النَّاسِ
Artinya: “Saya tidak mengetahui ada orang yang mengerti perintah Nabi dalam sabda beliau, ‘peliharalah jenggot’ dengan kebolehan menunjukkan treatment tertentu semoga jenggot tersebut berkembang lebat, sebagaimana yang dilaksanakan oleh sebagian orang.” (Fathul Bari [10/351]; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/224])
Jadi, bagi yang memang dari sononya tak punya jenggot, tidak usah duka, dan tidak usah juga membeli penumbuh jenggot berguna mahal untuk merealisasikan perintah Nabi ini. Perintah memelihara jenggot ini cuma untuk yang dikaruniai jenggot oleh Allah ta’ala.
Memotong Jenggot yang Melebihi Genggaman Tangan
Dalam hal ini, ulama berlawanan pertimbangan . Berikut sedikit gambarannya:
1. Tidak boleh memotong jenggot, walaupun panjangnya melampaui genggaman tangan. Yang beropini seperti ini contohnya yakni Imam an-Nawawi. Beliau menyatakan bahwa kebolehan memotong jenggot yang melampaui genggaman tersebut berlawanan dengan zhahir hadits yang memerintahkan membiarkannya (tidak mencukurnya). (Fathul Bari [10/350]; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/224])
2. Boleh memotong jenggot yang melebihi genggaman tangan. Ini yakni pendapat Hanabilah dan Hanafiyyah. Mereka melandasi pendapatnya ini dengan atsar dari Ibn ‘Umar:
إِذَا حَجَّ أَوِ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ، فَمَا فَضَلَ أَخَذَهُ
Artinya: “(Ibnu ‘Umar) ketika berhaji atau ber-‘umrah dia menggenggam jenggotnya, dan yang melebihi genggaman tersebut ia potong.” (HR. Al-Bukhari no. 5892)
Terkait riwayat dari al-Bukhari di atas, Mushthafa al-Bugha memperlihatkan ta’liq­-nya, bahwa yang dimaksud dengan fadhala adalah ‘melampaui dari genggaman’ dan akhadzahu artinya qashshahu (memotongnya).
Secara terang, golongan Hanabilah menyatakan bahwa tidak makruh hukumnya memangkas jenggot yang melebihi genggaman tangan, dan ini yang dinyatakan oleh Imam Ahmad (Syarh Muntaha al-Iradat [1/44]; Nailul Ma-arib [1/57]; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/225]).
Sedangkan Hanafiyyah menyatakan bahwa memotong jenggot yang melebihi genggaman tangan hukumnya sunnah, sebagaimana disebutkan oleh Muhammad dari Abu Hanifah (al-Fatawa al-Hindiyyah [5/358]; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/225]).
Ada juga pendapat dari golongan Hanafiyyah yang menyatakan wajib memotong jenggot yang melebihi genggaman tangan, dan berdosa membiarkannya (tidak memotongnya) (Hasyiyah Ibn ‘Abidin [2/417]; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/225]).
Adapun memotongnya lebih pendek dari genggaman tangan, maka Ibn ‘Abidin berkata, ‘tidak ada seorangpun yang membolehkannya’ (Hasyiyah Ibn ‘Abidin [2/418]; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/225])
3. Jenggot tidak dipotong kecuali jika jenggot tersebut kacau (tidak rapi) alasannya begitu panjang dan lebatnya. Pendapat ini dinukil oleh ath-Thabari dari al-Hasan dan ‘Atha. Dan pertimbangan inilah yang diseleksi oleh Ibn Hajar, dan menurut dia alasannya adalah alasan inilah Ibn ‘Umar memangkas jenggotnya. ‘Iyadh berkata bahwa memangkas jenggot yang terlalu panjang dan lebat itu baik, bahkan dimakruhkan membiarkan jenggot yang terlalu panjang dan lebat sebagaimana dimakruhkan memendekkannya (Fathul Bari [10/350]; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/225]).
Salah satu dalil yang dipakai oleh yang beropini mirip ini ialah hadits:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْخُذُ مِنْ لِحْيَتِهِ مِنْ عَرْضِهَا وَطُولِهَا
Artinya: “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu memotong jenggotnya sebab sungguh lebat dan panjangnya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2762, dan ia berkata, ‘ini hadits gharib’)
Tentang hadits ini, Ibn Hajar dalam Fathul Bari [10/350] memuat pernyataan al-Bukhari ihwal ‘Umar ibn Harun (periwayat hadits ini), ‘saya tidak mengenali hadits munkar darinya, kecuali hadits ini’. Ibn Hajar juga menyatakan bahwa sekelompok ulama mendhaifkan ‘Umar ibn Harun secara mutlak.
Mencukur Habis Jenggot
Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/225-226] dinyatakan bahwa dominan fuqaha, yakni golongan Hanafiyyah, Malikiyyah, Hanabilah dan satu usulan dari kelompok Syafi’iyyah mengharamkan mencukur habis jenggot. Di al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu [1/462], Syaikh Wahbah az-Zuhaili menyatakan bahwa kalangan Malikiyyah dan Hanabilah mengharamkan mencukur habis jenggot, sedangkan kalangan Hanafiyyah menyatakan hukumnya makruh tahrim.
Kelompok yang mengharamkan ini berargumentasi bahwa mencukur habis jenggot bertentangan dengan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memeliharanya. Dan Ibn ‘Abidin dalam kitab Hasyiyah-nya (sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya) menyatakan bahwa tidak ada seorangpun yang mengizinkan memotong jenggot lebih pendek dari genggaman tangan (al-akhdzu minal lihyah duunal qabdhah), sedangkan mencukur habis jenggot (halqul lihyah) lebih dari itu (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/226]). Maksudnya, memotong jenggot lebih pendek dari genggaman tangan saja dihentikan, apalagi mencukur habis jenggot tersebut.
Dalam Hasyiyah ad-Dusuqi [1/90] dinyatakan, ‘Haram bagi seorang laki-laki mencukur habis jenggot dan kumisnya, dan orang yang melakukan itu diberi sanksi ta’dib’.
Berbeda dengan jumhur fuqaha, pendapat yang ashah dari kalangan Syafi’iyyah menyatakan bahwa mencukur habis jenggot hukumnya makruh (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/226]). Syaikh Wahbah az-Zuhaili, ulama besar kekinian bermadzhab Syafi’i, di kitab dia al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu [1/462], juga menyatakan hal yang sama, bahwa mencukur habis jenggot berdasarkan madzhab Syafi’i hukumnya makruh tanzih.
Az-Zuhaili juga menukil pernyataan an-Nawawi ihwal sepuluh kebiasaan yang dimakruhkan terkait dengan jenggot, dan salah satunya ialah mencukur habisnya. Dikecualikan dari hal ini, jika jenggot tersebut tumbuh pada seorang wanita, maka mustahab mencukurnya habis (Syarh Shahih Muslim [3/149-150]; al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu [1/462]).
***
Inilah fakta perbedaan pendapat ulama perihal hukum memelihara jenggot. Sekali lagi ini fakta, dan tidak mampu didustakan, kecuali ada yang bisa menunjukkan bahwa penisbahan pendapat-pendapat di atas kepada empunya pendapat keliru. Dan ini bukan dilema tarjih, pertimbangan mana yang lebih besar lengan berkuasa. Mengakui ada pertimbangan yang berlainan itu satu hal, dan menentukan pendapat yang dianggap paling berpengaruh itu hal lain lagi.
Namun, walaupun terdapat perbedaan pertimbangan , bagaimanapun ia tetap sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan disyariatkan bagi kita umat Islam, seluruh ulama sepakat perihal hal ini. Makara, haram bagi seorang muslim mencemooh dan mengejek orang yang mengamalkan sunnah ini. Ini yaitu sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan umat Islam sebaiknya semangat menjalankan sunnah ini, apalagi di kurun sekarang, di dikala umat Islam banyak yang kehilangan ghirah keislaman dan kebanggaannya terhadap Islam.
Wallahu a’lam bish shawab.
Maraji’
1. al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah
2. Fathul Bari karya Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani asy-Syafi’i
3. Syarh Shahih Muslim karya Imam an-Nawawi asy-Syafi’i
4. al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu karya Wahbah az-Zuhaili asy-Syafi’i
5. Hasyiyah Ibn ‘Abidin karya Ibn ‘Abidin al-Hanafi
6. al-Fatawa al-Hindiyyah karya ulama-ulama India bermadzhab Hanafi
7. Hasyiyah ad-Dusuqi karya ad-Dusuqi al-Maliki
8. Syarh Muntaha al-Iradat karya al-Buhuti al-Hanbali
9. Nailul Ma-arib karya Ibn Abi Tughlub al-Hanbali