Hukum Islam Dan Transformasi Sosial Masyarakat Jahiliyyah
Nabi Muhammad saw mendapatkan wahyu dari Allah SWT pertama kali pada hari Senin tanggal 17 Ramadhan tahun ke-41 dari kelahirannya, bertepatan dengan tanggal 6 Agustus 610 M. Semenjak ketika itu, Muhammad bin Abdullah mengemban amanat nubuwwah dari Allah SWT untuk menjinjing agama Islam ke tengah-tengah manusia, yang ternyata ialah sebuah anutan yang merombak seluruh system social, terutama system hukum yang ada pada penduduk Jahiliyyah. Islam datang ke tengah-tengah penduduk Jahiliyyah dengan menjinjing syari’ah (system aturan) yang tepat sehingga mampu mengatur korelasi yang adil dan egaliter antar individu manusia dalam penduduk . Secara prinsip, kehadiran Nabi Muhammad saw dengan membawa anutan-pemikiran egaliter, dapat dinilai selaku sebuah pergeseran social terhadap kejahiliyyahan yang sedang terjadi di dalam penduduk , khususnya system hukumnya, dengan wahyu dan petunjuk dari Allah SWT.
Hukum Islam (Islamic Law) ialah perintah-perintah suci dari Allah SWT yang mengendalikan seluruh faktor kehidupan setiap Muslim, dan mencakup materi-materi-materi hukum secara murni serta bahan-materi spiritual keagamaan. Melalui penelitian sejarah yang empiris, Joseph Schacht menyebut Islamic Law sebagai ringkasan dari ajaran Islam, manifestasi way of life Islam yang sangat khas, dan bahkan selaku inti dari Islam itu sendiri.
Pada abad Islam permulaan, yaitu masa Islam di Makkah, hukum Islam dimulai dengan tetap membiarkan praktek-praktek aturan yang telah ada di dalam penduduk . Namun kemudian, sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Hamidullah, secara sedikit demi sedikit, menurut wahyu (al-Qur’an) dan sunnah Nabi Muhammad saw, system aturan yang sudah menjadi kebiasaan pada penduduk Jahiliyyah tersebut diperbaiki, dirombak dan bahkan diganti sama sekali dengan system hukum Islam yang berlawanan dalam abad waktu sekitar dua puluh tiga tahun.
Sebagai konsekuensi dari suatu transformasi (pergeseran) social, hukum Islam berposisi sebagai aturan yang berbeda dan merombak hukum Jahiliyyah. Dalam sejarah, Nabi Muhammad saw beserta para pemeluk Islam awal sungguh-sungguh menciptakan perilaku kontra kepada system aturan Jahiliyyah dalam perilaku dan tindak tanduk mereka, sehingga mendapatkan kontradiksi yang keras dari para tokoh penegak system aturan Jahiliyyah. Dan bahkan lalu, pendekatan Muhammad saw sebagai pembawa Islam permulaan kepada kelompok yang ‘terpinggirkan’ dalam stratifikasi social untuk membawa pedoman Islam di penduduk , juga menjadi poin penting dalam konsekuensi tersebut.
Makalah ini berangkat suatu pemahaman bahwa aturan Islam yang terlibat dengan sejarah manusia –dalam konteks ini dengan aturan Jahiliyyah-, merupakan suatu gejala budaya dan mampu diteliti dengan pendekatan ilmu budaya serta perangkat-perangkat metodologisnya. Dengan kelebihan dan kekurangannya, studi ihwal perubahan social oleh hukum Islam kepada aturan Jahiliyyah sebagai latar belakang kemunculannya, yang menjadi pembahasan dalam makalah ini, diupayakan bisa menjauhkan diri dari sikap yang disebut Richard C. Martin selaku fideistic subjectivism ataupun scientific objectivism. Lebih penting lagi, sisi yang memotret keberpihakan Islam terhadap kaum mustadl’afin menjadi sebuh penyadaran penting yang kritis kepada adanya perubahan social oleh hukum Islam di dalam penduduk .
A. Sistem Hukum Jahiliyyah Masyarakat Arab Pra-Islam
Secara umum, abad Makkah pra-Islam disebut sebagai periode Jahiliyyah yang bermakna kebodohan dan barbarian. Secara kasatmata, dinyatakan oleh Philip K. Hitti, penduduk Makkah pra-Islam yaitu penduduk yang tidak memiliki takdir keutamaan tertentu (no dispensation), tidak mempunyai nabi tertentu yang terutus dan memimpin (no inspired prophet) serta tidak memiliki kitab suci khusus yang terwahyukan (no revealed book) dan menjadi pedoman hidup.
Merujuk kata “Jahiliyyah” dalam al-Qur’an, yaitu dalam surat Ali Imron/3 ayat 154 (…yazhunnuna bi Allahi ghayra al-haqqi zhanna al-jahiliyyati…), surat al-Ma’idah/5 ayat 50 (afahukma al-jahiliyyati yabghuna…), surat al-Ahzab/33 ayat 33 (wala tabarrujna tabarruja al-jahiliyyati …) dan surat al-Fath/48 ayat 26 (…fi qulubihmu al-hamiyyata hamiyyata al-jahiliyyati…) sebagaimana ditunjuk oleh Philip K. Hitti dan diidentifikasi oleh Muhammad Fuad selaku ayat-ayat yang mengandung kata “Jahiliyyah”, cukup memberikan suatu petunjuk bahwa penduduk Jahiliyyah itu memiliki ciri-ciri yang khas pada aspek doktrin terhadap Tuhan (zhann bi Allahi), hukum-hukum peradaban (hukm), life style (tabarruj) dan huruf kesombongannya (hamiyyah). Sehubungan dengan sejarah kemanusiaan, hukum Jahiliyyah ternyata membuat keberpihakan pada golongan tertentu yang mampu disebut mempunyai huruf rasial, feudal dan patriarkhis.
1. Karakter Rasial
Sifat pertama, rasial, yang terdapat pada hukum Jahiliyyah bisa ditunjukkan dengan adanya perasaan kebangsaan yang berlebihan (ultra nasionalisme) dan kesukuan (‘ashabiyyah) serta adanya pembelaan terhadap orang-orang yang berada dalam komunitas kesukuan (qabilah) yang serupa. Pada masyarakat Arab pra-Islam, dikenal perumpamaan al-‘ashabiyyah atau al-qawmiyyah yang bermakna kecenderungan seseorang untuk membela dengan mati-matian kepada orang-orang yang berada di dalam qabilah-nya dan dalam qabilah lain yang masuk ke dalam pertolongan qabilah-nya. Benar atau salah posisi seseorang di dalam aturan, asal dia dinilai selaku inner group-nya, pasti akan selalu dibela mati-matian saat berhadapan dengan orang yang dinilai sebagai outer group-nya.
Orang-orang Arab pra-Islam memiliki perasaan kebangsaan yang luar biasa (ultra nasionalisme). Mereka menganggap diri mereka (Arab) sebagai bangsa yang mulia dan menganggap bangsa lain (‘Ajam) mempunyai derajat di bawahnya. Ibn Jarir al-Thabari menceritakan suatu peristiwa aturan perkawinan jahiliyyah yang berkarakter rasial dengan didasari semangat ultra nasionalisme. Cerita tersebut ialah kisah penolakan Nu’man Ibn Munzhir terhadap lamaran seorang raja Persia Kisra Abruwiz pada anaknya yang berjulukan Hurqa alasannya adanya aturan Jahiliyyah yang dipegangi oleh Nu’man bahwa bangsa Arab ialah bangsa “super” di atas bangsa selain Arab dan oleh akibatnya tidak boleh berafiliasi nikah dengan seorang ‘ajam sekalipun pelamarnya adalah seorang raja-, alasannya diyakini mampu menurunkan kualitas ke-‘Arab-an yang “super” pada diri Nu’man dan anaknya.
Dalam pergaulan antar kelompok, orang Arab pra-Islam senantiasa membela anggota golongan dan kepentingan kelompoknya. Seseorang akan senantiasa dibela oleh anggota se-qabilah (inner group) ketika berhadapan dengan anggota kalangan lain (outer group), baik dalam posisi benar maupun dalam posisi salah. Kebenaran dan kesalahan seseorang ditentukan oleh keputusan masing-masing qabilah-nya. Sebuah pola yang mampu dikemukakan adalah aturan berperang dan pembunuhan pada penduduk Jahiliyyah yang sangat ditentukan oleh perasaan ‘ashabiyah. Yaitu insiden perang Fijar yang sebetulnya terjadi pada bulan yang terlarang untuk berperang (asyhur al-hurum) antara suku Kinanah dengan suku Qays ‘Ailan (keduanya yakni nama suku dalam suku besar Quraysy) yang disaksikan oleh Muhammad saw dikala berusia 14/15 tahun (dia belum diangkat menjadi Rasulullah). Perang tersebut terjadi alasannya adalah pembelaan terhadap anggota kedua suku masing-masing yang terlibat bentrok dan pembunuhan di pasar Ukaz, tanpa menimbang-nimbang kesalahan dari masing-masing orang yang dibela. Apapun kondisinya, kalau ada salah satu anggota dari suatu kelompok terlibat bentrok, maka dengan serta-merta seluruh anggota kelompoknya akan membela beliau.
2. Karakter Feudal
Karakter feudal pada hukum Arab pra-Islam tergambar dengan adanya superioritas yang dimiliki oleh kaum kaya dan kaum ningrat di atas kaum miskin dan lemah. Kehidupan jualan yang banyak dijalani oleh orang Arab Makkah pada waktu itu yang mengutamakan kesejahteraan materi mengakibatkan tumbuhnya superioritas kalangan kaya dan ningrat di atas kelompok miskin dan lemah. Kaum kaya dan darah biru Arab pra-Islam yaitu pemegang tampuk kekuasaan dan sekaligus menjadi kalangan yang makmur dan makmur di Makkah, kebalikan dari kaum miskin dan lemah.
Sekalipun ada nilai kebaikan (al-muru’ah) dalam penduduk Arab pra-Islam, sebagaimana yang tergambar dalam puisi-puisi Arab pra-Islam, ialah bahwa salah satu kebaikan yang harus dimiliki oleh pemimpin kalangan ialah kedermawanan -sebagaimana dicatat oleh Philip K. Hitti-, tetapi disebutkan oleh Lapidus bahwa masyarakat Arab pra-Islam mempunyai rasa kebanggaan yang salah, ialah neglect of the poor, neglect of almsgiving and of support for the weaker member of the community (menampik orang miskin, menolak memberi sedekah dan dukungan kepada anggota penduduk yang lemah). Sistem aturan dan sejarah perbudakan di kelompok Arab pra-Islam merupakan bukti besar lengan berkuasa adanya abjad feudal pada hukum Jahiliyyah penduduk Arab pra-Islam tersebut. Budak ialah insan rendahan yang mempunyai derajat jauh di bawah rata-rata manusia pada umumnya, bisa diperjualbelikan, bisa diperlakukan apa saja oleh pemiliknya, dan tidak memiliki hak-hak asasi insan sewajarnya sebagaiseorang manusia.
3. Karakter Patriarkhis
Karakter selanjutnya yang melekat berpengaruh pada hukum Jahiliyyah yaitu patriarkhis. Dalam observasi Haifaa, kaum lelaki pada waktu itu memegang kekuasaan yang tinggi dalam hubungan laki-laki dengan wanita, diposisikan lebih tinggi di atas kaum wanita, Kaum perempuan mendapatkan perlakuan diskriminatif, tidak adil dan bahkan dianggap sebagai biang kemelaratan dan symbol kenistaan (embodiment of sin). Dalam metode aturan Jahiliyyah, wanita tidak memperoleh hak warisan, bahkan dijadikan sebagai harta warisan itu sendiri. Kelahiran anak wanita dianggap selaku aib, sehingga banyak yang kemudian dikubur hidup-hidup dikala masih bayi. Secara singkat, dalam perumpamaan Haifaa, wanita diperlakukan sebagai a thing dan bukan selaku a person.
Kondisi perempuan pada periode Jahiliyyah seperti dalam observasi Haifaa tersebut, tergambarkan dalam al-Qur’an surat al-Nahl/16 ayat 58-59 selaku berikut (wa idza busysyira ahaduhum bi al-untsa zhalla wajhuhu muswaddan wa huwa kazhim, yatawara min al-qawmi min su’in ma busysyira bihi, ayumsikuhu ‘ala hunin am yadussuhu fi al-turab…). Ayat tersebut bercerita wacana perilaku orang Jahiliyyah dalam menanggapi gosip kelahiran anak perempuannya yang dianggap sungguh memalukan, menurunkan harga diri orang renta dan keluarga, sehingga anak perempuan tersebut jika perlu dibunuh atau dikubur hidup-hidup. Cerita tersebut dan beberapa kisah lain wacana wanita Arab pra-Islam, cukup mewakili gambaran tentang aksara patriarkhis pada system aturan Jahiliyyah.
Sistem hukum Jahiliyyah pada masyarakat Arab pra-Islam dengan ketiga karakter utama mirip yang dipaparkan di atas, kemudian menjadi latar belakang kehadiran Islam dengan menjinjing perubahan social di dalam aturan yang revolusioner.
B. Hukum Islam yang Revolusioner dan Egaliter
Secara jelas, al-Qur’an menolak penggunaan aturan Jahiliyyah yang dinilai penuh dengan usulanhawa nafsu dan pemihakan terhadap golongan tertentu yang berkuasa di dalam masyarakat. Selanjutnya ditegaskan bahwa aturan Islam ialah satu-satunya aturan yang harus dipegangi oleh manusia sebab berasal dari Allah SWT dan membawa prinsip keadilan dan kesetaraan social.
Pada kala awal Islam, Nabi Muhammad saw membuatkan aliran Islam secara universal terhadap seluruh insan, di bawah panduan wahyu Allah SWT. W.M. Watt merinci aliran Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw pada kurun awal Islam tersebut ke dalam 5 (lima) tema pokok, yaitu; kebaikan dan kekuasaan Tuhan (God’s Goodness and Power), pengadilan Tuhan di alam baka (the Return to God for Judgement), respon manusia untuk bersyukur dan menyembah Tuhan (Man’s Response –gratitude and worship), respon manusia di hadapan Tuhan untuk seorang senang memberi (Man Response to God –Generosity) dan risalah kenabian Muhammad saw (Muhammad’s own vocation).
Inti pedoman permulaan Nabi Muhammad saw yaitu ajaran tawhid ialah anutan untuk beriman terhadap Allah yang Maha Esa, Yang Maha Kuasa, Pencipta alam semesta dan Penguasa alam akhirat yang mengadili pertanggungjawaban seluruh makhluk-Nya (termasuk manusia) atas semua perbuatannya. Konsekuensi logis dari pedoman ini ialah adanya kewajiban untuk menyembah dan bersyukur kepada Tuhan serta kewajiban untuk menjadi egaliter dan saling mengasihi antar sesame makhluk, utamanya sesama manusia. Sementara itu, secara singkat mampu dibilang bahwa dasar aliran pada kala permulaan tersebut adalah kesalihan keakhiratan, kemuliaan etis dan ibadah shalat, seperti dikemukakan oleh Lapidus bahwa eschatological piety, ethical nobility and prayer formed the basis of early Islam.
Secara lazim, aturan Islam bangun di atas prinsip-prinsip yang harus dipertahankan secara sewenang-wenang dan universal. Prinsip-prinsip tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Masdar F. Mas’udi, yakni pedoman yang qath’i dan menjadi kriteria pengertian dan penerimaan aturan Islam secara keseluruhan. Prinsip-prinsip tersebut diidentifikasikan oleh Masdar yang antara lain yaitu prinsip keleluasaan dan pertanggungjawaban individu, prinsip kesetaraan derajat manusia di hadapan Allah, prinsip keadilan, prinsip persamaan insan di hadapan aturan, prinsip tidak merugikan diri sendiri dan orang lain, prinsip kritik dan kendali sosial, prinsip menepati akad dan menjunjung tinggi janji, prinsip tolong menolong untuk kebaikan, prinsip yang besar lengan berkuasa melindungi yang lemah, prinsip musyawarah dalam permasalahan bersama, prinsip kesetaraan suami-istri dalam keluarga, dan prinsip saling memperlakukan dengan ma’ruf antara suami dan istri.
Berkenaan dengan egalitarianitas dalam Islam, surat al-Hujurat/49 ayat 13 menegaskan bahwa orang yang paling mulia di hadapan Allah SWT yakni orang yang paling bertaqwa, bukan orang yang paling kaya, paling bakir atau paling berkuasa, entah itu laki-laki atau perempuan dan entah berasal dari suku bangsa apapun. Disebutkan di permulaan ayat bahwa insan itu tercipta dari asal usul yang sama, adalah dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang kemudian tersebar ke banyak sekali kelompok dan suku bangsa. Ditegaskan pula bahwa antar sesama insan perlu mengadakan komunikasi dan interaksi timbal balik. Ayat tersebut diceritakan turun berkenaan dengan beberapa peristiwa, antara lain kejadian yang terjadi pada waktu fath al-makkah. Diceritakan bahwa Bilal bin Rabah mengumandangkan permintaan adzan dan dinilai oleh al-Harits bin Hisyam tidak pantas alasannya adalah Bilal adalah seorang “bekas” budak yang berkulit hitam. Suhayl bin Amru menanggapi evaluasi tersebut dengan menyatakan bahwa kalau perbuatan Bilal itu salah, tentu Allah SWT akan menggantinya dan turunlah ayat tersebut.
Jika lalu ada aturan-aturan dalam hukum Islam yang kelihatannya tidak sesuai dengan prinsip egaliter dan dan prinsip-prinsip yang lain, maka hukum tersebut mesti dipahami sesuai dengan konteks realitas sosial yang melingkupinya dan memperhatikan fungsinya sebagai legal counter kepada hukum-hukum hukum non-egaliter yang berlaku pada era Jahiliyyah. Sebagai teladan hukum waris yang membagi harta warisan pada pria dan wanita dengan bagian satu berbanding dua sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur’an, menurut pemahaman yang egaliter, sebagaimana diungkapkan oleh Masdar contohnya, harus dipahami dengan mengamati dua hal yang penting. Pertama, dengan memberi bab warisan kepada wanita serta mendudukkan laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai subyek akseptor warisan, maka mempunyai arti aturan Islam sudah melakukan reformasi yang cukup revolusioner dan radikal terhadap hukum Jahiliyyah yang sudah ada sebelumnya, yaitu tidak mengakibatkan perempuan selaku subyek peserta harta warisan dan bahkan mampu menjadi harta warisan itu sendiri. Kedua, setting sosial ekonomi dalam kehidupan keluarga pada kurun hadirnya hukum aturan tersebut yaitu beban nafkah keluarga ditanggung oleh laki-laki, sehingga pembagian warisan yang membagi laki-laki dengan bab warisan yang lebih besar dibandingkan dengan bagian warisan wanita ialah pembagian yang adil. Dengan begitu, maka hukum-aturan aturan Islam ialah hukum hukum yang memiliki aksara egaliter, tidak rasial, tidak feudal dan tidak patriarkhal.
C. Reaksi Masyarakat Jahiliyyah Terhadap Islam dan Hukum Islam
Islam muncul pada masyarakat Jahliliyyah dengan menenteng pergantian sosial, melawan sistem hukum yang telah ada sebelumnya. Dengan adanya pergantian yang signifikan oleh Islam kepada hukum masyarakat Arab pra-Islam, misi Islam menerima sambutan dan respon dari masyarakat, baik dari kalangan masyarakat yang menghendaki pergantian maupun dari kalangan masyarakat yang menjadi penopang hukum Jahiliyyah yang telah ada.
1. Penerimaan Islam Oleh Masyarakat Jahiliyyah
Para penerima ajaran Islam permulaan, sebagaimana yang diidentifikasikan oleh Albert Hourani berisikan beberapa pemuda (dalam jumlah yang relatif kecil) dari keluarga Quraisy yang berpengaruh, beberapa orang (dalam jumlah yang relatif besar) anggota keluarga-keluarga yang kecil dan lemah, orang-orang yang tergolong anggota suku-suku yang berada di bawah derma suku Quraisy dan beberapa pekerja (tukang-tukang) serta beberapa orang budak. Orang-orang Jahiliyyah yang menyambut baik pedoman Islam tergolong juga di dalamnya para migran yang marginal dan kaum miskin dibilang oleh Lapidus yaitu orang-orang yang sungguh tidak puas dengan keadaan adab dan kondisi sosial yang ada dan lalu menerima alternatif pengganti oleh Nabi Muhammad saw. itu.
Secara terperinci, orang yang mula-mula masuk Islam yaitu kaum perempuan, yaitu istri Nabi Muhammad saw., Khadijah binti Khuwaylid, lalu seorang perjaka Quraisy berusia 10 tahun, anak paman Nabi Muhammad saw. yang lama diasuh oleh Nabi Muhammad saw., adalah ‘Ali bin Abi Thalib sebagai anak pria pertama yang mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw., disusul kemudian seorang budak tunjangan Khadijah yang lalu dimerdekakan oleh Nabi Muhammad saw. sebelum ia menerima peran nubuwwah, yaitu Zayd bin Haritsah dan orang keempat berikutnya yakni seorang ansabu Quraisy li Quraisy yang lemah lembut dan penyayang, ialah Abu Bakr al-Siddiq bin Abu Quhafah, yang mempunyai nama asli ‘Abd Allah dan laqab ‘Atiq. Dimulai dengan keempat orang tersebut, perlahan-lahan Nabi Muhammad saw. mulai menerima sambutan baik dari masyarakat Jahiliyyah yang lain yang mau mendapatkan pergantian, khususnya dari kalangan yang diidentifikasikan di atas.
Nabi Muhammad saw. senantiasa menawarkan perlakuan yang egaliter kepada para pengikut Islam, tanpa membeda-bedakan asal-seruan, status sosial dan jenis kelaminnya. Nabi Muhammad saw menjadi teladan utama bagi kaum muslim awal dengan mempunyai sikap yang rendah hati pada para pengikut Islam. Ada perintah Allah swt. yang turun 3 tahun setelah turunnya wahyu yang pertama dalam kerangka perintah untuk mengembangkan Islam secara jelas-terangan, yang menampung perintah untuk memiliki perilaku rendah hati terhadap para pengikut keimanan Islam yang sudah ada.
Tercatat dalam sejarah, beberapa kejadian yang menggambarkan kehidupan egaliter dan kontras dengan aturan Jahiliyyah, antara lain peran yang besar dari seorang perempuan berjulukan Khadijah binti Khuwaylid dalam nubuwwah Nabi Muhammad saw. dan penyebaran Islam, pembebasan Bilal bin Rabah oleh Abu Bakr, penolakan Nabi Muhammad saw. terhadap perilaku feodal dan rasial terhadap Bilal bin Rabah, pergeseran sikap ‘Umar bin Khattab sehabis rnasuk Islam yang menjadi penentang hukum Jahiliyah dan beberapa kejadian lainnya.
2. Pertentangan Jahiliyyah terhadap Transfromasi Sosial Islam yang Dibawa Nabi Muhammad saw.
Sebelum Nabi Muhammad saw. menyelenggarakan perombakan terhadap seluruh bangunan hukum Jahiliyyah, utamanya yang diawali dengan problem keimanan dan ritual keagamaan, nyaris-nyaris tidak ada satu kontradiksi pun terhadap Islam dari penduduk Jahiliyyah. Namun sehabis Nabi Muhammad saw. secara terang-terangan melakukan indzar kepada penduduk Jahiliyyah pra-Islam, Islam menemukan kontradiksi yang hebat dari golongan ningrat yang kaya dan berkuasa pada abad Jahiliyyah, ialah kalangan Quraisy yang sebetulnya merupakan suku yang dimiliki oleh Nabi Muhammad saw. sendiri.
Tor Andrae menegaskan bahwa menurut pada deskripsi dalam Al-Qur’an, kontradiksi antara Nabi Muhammad saw. (Islam) dengan kaum Quraysy Jahiliyyah, mempunyai dua aspek yang bekerjasama akrab yaitu aspek keagamaan dan aspek sosial. Aspek keagamaan bermuara pada doktrin tentang Tuhan dengan keharusan meninggalkan ritual sesembahan masing-masing qabilah untuk lalu beralih menyembah Allah yang Esa. Ditambah lagi dengan iman tentang alam darul baka yang menjadi tempat pertanggungjawaban perbuatan insan yang belum pernah didengar oleh orang Quraisy dari nenek moyangnya. Ternyata, aspek keagamaan yang dianut oleh suku-suku Jahiliyyah ini sekaligus menjadi sebuah ikatan sosial yang mepersatukan anggota-anggota dari masing-masing suku. Sehingga, menganut pedoman Islam memiliki arti dianggap keluar dari ikatan kesukuan yang sudah ada dan mengganti tatanan kekuasaan pada masyarakat Jahiliyyah
Dalam sejarah, tercatat ada beberapa perbincangan dan debat antara Quraisy dengan Abu Thalib, antara Quraisy dengan Nabi Muhammad saw. sendiri dan antara Quraisy dengan Raja Najasyi di Abyssinia yang menyimpulkan beberapa keberatan Quraisy terhadap Islam dan Nabi Muhammad saw. Paling tidak ada tiga kali perbincangan antara Quraisy dengan Abu Thalib yang menjadi pelindung Nabi Muhammad saw.: (1) dengan datang baik-baik, (2) dengan menjajal memberi tekanan yang dikaitkan dengan posisi Abu Thalib dalam suku Quraisy, dan (3) dengan memberikan pertukaran Muhammad saw. dengan Umarah bin al-Walid.
Dalam obrolan dengan Nabi Muhammad saw. sendiri tercatat paling tidak ada tiga peristiwa yang penting yaitu (1) menghujat-maki Nabi Muhammad saw. selaku penyihir, penyair, dukun, dan bahkan orang aneh, (2) perbincangan di Hijr yang lalu berakhir dengan menilai Nabi Muhammad saw. selaku orang kurang pandai, dan (3) penawaran agar menghentikan pedoman Islam dan menjadi orang yang paling kaya, paling berkuasa, paling mulia dan akan dilindungi dari gangguan jin. Sedangkan perbicangan antara Quraisy dengan raja Najasyi di Abyssinia adalah untuk meminta agar raja mengembalikan pengungsi Muslim Makkah ke daerah asalnya.
Pertentangan Quraisy kepada Islam yang tergambar dalam beberapa insiden perbincangan di atas secara garis besar memuat keberatan Quraisy kepada Nabi Muhammad saw. yang dianggap sudah melakukan beberapa kesalahan yang antara lain : sabb al-alihah, ‘aib a1-din, tasfih al-ahkam, syatm al-aba’ dan tafriq al-jama’ah. Meski divonis melaksanakan beberapa kesalahan tersebut, Nabi Muhammad saw. tetap menolak untuk menghentikan penyebaran pedoman Islam kepada penduduk umum dan menolak hukum yang memakai acuan pikir Jahiliyyah. Ketetapan hati Nabi Muhammad saw. ini tergambar dan pernyataan dia kepada Abu Talib, ya ‘amm law wadha’uw al-syams ft yamini wa a1-qamar fi yasari ‘a/a an atruka hadza al-amr hatta yuzhhirahu Allahu aw ahlaka fihi ma taraktuhu.
Tampaknya penolakan Quraysh terhadar Islam dan counter dari Nabi Muhammad saw. kepada penolakan tersebut berhubungan dekat dengan perubahan hukum yang mempengaruhi struktur sosial dan pola kepemimpinan penduduk . Struktur social dan kepemimpinan yang bertemapemihakan kepada golongan kaya, aristokrat dan penguasa, menuju ke struktur social dan kepemimpinan yang bernuansa egaliter dan pemihakan kepada kalangan muastadl’afin dalam struktur social.