Aturan Benda Dan Kepemilikan Dalam Islam

A.    Pengertian Benda Dalam Islam

Pengertian aturan benda berdasarkan perspektif Islam tidak jauh berlawanan dengan kitab undang-undang hukum pidana, arti benda berdasarkan Dr. Muhammad Yusuf Musa yaitu segala sesuatu yang mampu dimiliki oleh insan dan keberadaannya memberikan manfaat bagi kehidupan.

Hukum benda atau hukum kebendaaan yaitu serangkaian ketentuan aturan yang mengendalikan relasi aturan secara  langsung antara seseorang dengan benda, yang melahirkan banyak sekali hak kebendaan. Hak kebendaan memperlihatkan kekuatan pribadi terhadap seseorang dalam penguasaan dan kepemilikan atas sesuatu benda dimanapun bendanya berada. Dengan kata lain hukum benda atau aturan kebendaan yaitu keseluruhan kaidah-kaidah aturan yang mengendalikan perihal kebendaan atau yang berkaitan dengan benda.
B.    Macam-Macam Benda Dalam Islam

1.    Dari segi tetap atau tidaknya benda dalam Hukum Islam diketahui juga dua macam benda yakni:

a. Benda tak bergerak (al-’aqaar)
 Dalam memaknai benda ini ada dua pendapat di golongan para fuqha.

1.    Ulama Hanafiyah.

Benda tak bergerak ialah harta benda yang tidak bisa dipindahkan. Makara berdasarkan Ulama Hanafiyah benda tak bergerak hanya tanah.

2.    Ulama Malikiyah dan jumhur fuqaha.

Benda tak bergerak ialah harta benda yang tidak mampu dipindahkan dengan tetap (tidak berubah) bentuknya. Kaprikornus kelompok ini beropini bahwa benda bergerak bukan cuma tanah tapi sesuatu yang dibangun (bangunan) atau berkembang ia atasnya (pohon) tergolong benda tak bergerak.
b. Benda bergerak (al-manquul)
1.    Ulama Hanafiyah
Benda bergerak adalah semua benda yang dapat dipindahkan baik berubah bentuk atau tidak.
2.    Ulama Malikiyah dan jumhur fuqaha
Benda bergerak adalah harta semua benda yang mampu dipindahkan tanpa berganti bentuknya. 
2.     Dari segi keberadaannya benda di bagi dua macam yakni:
a. Keberadaan satuannya
Berdasarkan eksistensi ini benda dibagi dua, adalah:
1.    Harta mistli
Harta yang memiliki persamaan harga di pasaran.

2.    Harta qimi
Harta yang tidak memiliki satuan yang sama dalam pasaran.

b. Keberadaan pemakaian

Dalam hal ini harta atau benda dibagi menjadi dua macam yaitu:
1.    Harta istihlaki
Harta yang habis alasannya adalah pemakaian. Harta ini dibagi dua ialah; harta yang secara nyata habis alasannya adalah pemakaian dan harta yang secara yuridis dianggap habis alasannya adalah pemakaian.
2.    Harta isti’mali
Harta ini yaitu harta yang tidak habis sebab pemakaian mampu dipakai secara kontinyu dan diambil keuntungannya.

3.     Dari sisi penilaian Syara’ benda dibedakan menjadi tiga macam yaitu:

a.    Harta mutaqawwim

Harta ini yakni harta yang sudah dimiliki dan dibenarkan oleh syara’ dan dapat diambil keuntungannya bukan dalam kondisi diharapkan atau darurat.

b. Harta gair mutaqawwim

Harta ini yakni harta yang belum/tidak dimiliki dan tidak dibenarkan oleh Syara’ untuk diambil manfaatnya kecuali dalam keadaan sangant diharapkan atau keadaan darurat.

c. Harta Mubah

Harta ini yakni harta yang belum dimiliki dan belum menjadi milik seorang/golongan orang namun tidak tidak boleh oleh Syara’ untuk diambil manfaatnya.
C.    Pengertian Milik Dalam Islam
“Kepemilikan” berasal dari bahasa Arab dari akar kata “malaka” yang artinya memiliki. Dalam bahasa Arab “milk” mempunyai arti kepenguasaan orang terhadap sesuatu (barang atau harta) dan barang tersebut dalam genggamannya baik secara riil maupun secara aturan. Dimensi kepenguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang mempunyai sesuatu barang bermakna memiliki kekuasaan terhadap barang tersebut sehingga dia dapat mempergunakannya menurut kehendaknya dan tidak ada orang lain, baik itu secara individual maupun kelembagaan, yang dapat menghalang-halanginya dari memanfaatkan barang yang dimilikinya itu. Adapun menurut ulama fikih yaitu kekhususan seorang pemilik kepada sesuatu untuk dimanfaatkan, selama tidak ada penghalang syar’i.
Milik yakni penguasaan terhadap sesuatu, yang penguasanya mampu melakukan sendiri tindakan terhadap sesuatu yang dikuasainya itu  dan mampu dicicipi manfaatnya bila tidak ada halangan syarak.  Islam mengajarkan bahwa hak milik mempunyai fungsi sosial. Artinya terdapat kepentingan orang lain atau kepentingan biasa yang mesti diperhatikan. Lebih dari itu bahwa milik pada hakikatnya hanyalah ialah titipan dari Allah sehingga perlakuan kepada kepemilikan mesti mengindahkan aturan dari pemiliknya yang asli.
D.    Macam-Macam Milik Dalam Islam
Menurut pandangan Islam bahwa hak milik itu dapat dibedakan menjadi berbagai jenis, diantaranya:
a.  Kepemilikan sarat (milk-tam), ialah penguasaan dan pemanfaatan terhadap benda atau harta yang dimiliki secara bebas dan dibenarkan secara hukum.
b. Kepemilikan bahan, adalah kepemilikan seseorang kepada benda atau barang terbatas kepada penguasaan materinya saja.
c. Kepemilikan manfaat, yaitu kepemilikan seseorang terhadap benda atau barang terbatas terhadap pemanfaatannya saja, tidak dibenarkan secara aturan untuk menguasai harta itu.
Menurut Dr. Husain Abdullah kepemilikan mampu dibedakan menjadi:
a.  Hak milik langsung (al-milkiyat al-fardiyah), Islam mengizinkan hak individu kepada harta benda dan membenarkan pemelikan semua yang diperoleh secara halal dimana seseorang menerima sebanyak harta yang diperoleh. Kepemilikan eksklusif yakni hukum shara’ yang berlaku bagi zat ataupun kegunaan tertentu, yang memungkinkan pemiliknya untuk mempergunakan barang tersebut, serta menemukan kompensasinya–baik alasannya adalah diambil manfaatnya oleh orang lain seperti disewa ataupun karena disantap–dari barang tersebut.
Adanya wewenang terhadap manusia untuk membelanjakan, menafkahkan dan melaksanakan aneka macam bentuk transaksi atas harta yang dimiliki, mirip jual-beli, gadai, sewa menyewa, hibah, wasiat, dll yaitu meriupakan bukti legalisasi Islam terhadap adanya hak kepemilikan individual. Karena kepemilikan ialah izin al-shari’ untuk mempergunakan sebuah benda, maka kepemilikan atas sebuah benda tidak semata berasal dari benda itu sendiri ataupun sebab aksara dasarnya, semisal bermanfaat atau tidak. Akan namun beliau berasal dari adanya izin yang diberikan oleh al-shari’ serta berasal dari karena yang diperbolehkan al-shari’ untuk memilikinya (seperti kepemilikan atas rumah, tanah, ayam dsb bukan minuman keras, babi, ganja dsb), sehingga melahirkan kesudahannya, yaitu adanya kepemilikan atas benda tersebut.
b.   Hak milik lazim (al-milkiyyat al-’ammah), Konsep hak milik lazim mula-mula digunakan dalam Islam dan tidak terdapat dalam era sebelumnya. Semua harta dan kekayaan milik penduduk yang memperlihatkan pemilikan atau pemanfaatan atas berbagai macam benda yang berlainan-beda terhadap warganya. Pembagian mengenai harta yang menjadi milik penduduk dengan milik individu secara keseluruhan berdasakan kepentingan lazim. Setidak-tidaknya, benda yang dapat dikelompokkan ke dalam kepemilikan umum ini, ada tiga jenis, yaitu:
1. Fasilitas Dan Sarana Umum
Benda ini tergolong ke dalam jenis kepemilikan biasa karena menjadi kebutuhan utama penduduk dan kalau tidak tercukupi mampu menyebabkan perpecahan dan persengketaan. Jenis harta ini diterangkan dalam hadits nabi yang berkaitan dengan sarana biasa :
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
“Manusia berserikat (bersama-sama memiliki) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api”.
Air yang dimaksudkan dalam hadist di atas yakni air yang masih belum diambil, baik yang keluar dari mata air, sumur, maupun yang mengalir di sungai atau danau bukan air yang dimiliki oleh perorangan di rumahnya. Oleh sebab itu, pembahasan para fuqaha mengenai air selaku kepemilikan lazim difokuskan pada air-air yang belum diambil tersebut. Adapun al-abad’ yaitu padang rumput, baik rumput lembap atau hijau (al-khala) maupun rumput kering (al-hashish) yang tumbuh di tanah, gunung atau fatwa sungai yang tidak ada pemiliknya. Sedangkan yang dimaksud al-nar adalah materi bakar dan segala sesuatu yang terkait dengannya, tergolong didalamnya yaitu kayu bakar.

2. Sumber Alam Yang Tabiat Pembentukannya Menghalangi Dimiliki Oleh Individu Secara Perorangan.

Meski sama-sama selaku fasilitas biasa sebagaimana kepemilikan biasa jenis pertama, akan namun terdapat perbedaan antara keduanya. Jika kepemilikan jenis pertama, budbahasa dan asal pembentukannya tidak menghalangi seseorang untuk memilikinya, maka jenis kedua ini, secara sopan santun dan asal pembentukannya, menghalangi seseorang untuk memilikinya secara eksklusif. Sebagaimana hadits nabi:
مِنًى مُنَاخُ مَنْ سَبَقَ
“Kota Mina menjadi tempat mukim semua orang yang lebih dahulu (hingga kepadanya)”.
Mina ialah suatu nama kawasan yang terletak di luar kota Makkah al-Mukarramah selaku daerah singgah jama’ah haji sehabis menyelesaikan wukuf di padang Arafah dengan tujuan meleksanakan syiar ibadah haji yang waktunya telah diputuskan, mirip melempar jumrah, menyembelih binatang hadd, memangkas qurban, dan menginap di sana. Makna “munakh man sabaq” (kawasan mukim orang yang lebih dulu sampai) dalam lafad hadith tersebut adalah bahwa Mina ialah tempat seluruh kaum muslimin. Barang siapa yang lebih dahilu sampai di bagian daerah di Mina dan dia menempatinya, maka bab itu adalah bagiannya dan bukan ialah milik individual sehingga orang lain dihentikan memilikinya (menempatinya).

3. Barang Tambang Yang Depositnya Tidak Terbatas
Dalil yang dipakai dasar untuk jenis barang yang depositnya tidak terbatas ini yaitu hadits nabi riwayat Abu Dawud wacana Abyad ibn Hamal yang meminta terhadap Rasulullah agar ia diizinkan mengurus tambang garam di tempat Ma’rab:
أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ فَقَطَعَهُ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِي مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ قَالَ فَانْتَزَعَ مِنْه
“Bahwa beliau datang kepada Rasulullah SAW meminta (tambang) garam, maka beliaupun memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki yang mengajukan pertanyaan kepada beliau: “Wahai Rasulullah, tahukah apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau sudah menunjukkan sesuatu yang bagaikan air mengalir”. Lalu ia berkata: Kemudian Rasulullah pun mempesona kembali tambang itu darinya”.
Larangan tersebut tidak hanya terbatas pada tambang garam saja, melainkan meliputi seluruh barang tambang yang jumlah depositnya banyak (laksana air mengalir) atau tidak terbatas. Ini juga mencakup kepemilikan semua jenis tambang, baik yang terlihat di permukaan bumi mirip garam, kerikil mulia atau tambang yang berada dalam perut bumi mirip tambang emas, perak, besi, tembaga, minyak, timah dan sejenisnya.
c.     Hak milik negara (Milkiyyat Al-Dawlah ), Hak milik negara intinya adalah hak milik umum. Tetapi dalam pengelolahan hak yang mengorganisir ialah pemerintah. Kepemilikan negara ini mencakup semua jenis harta benda yang tidak mampu digolongkan ke dalam jenis harta milik umum (al-milkiyyat al-’ammah/public property) tetapi kadang kala bisa tergolong dalam jenis harta kepemilikan individu (al-milkiyyat al-fardiyyah).Beberapa harta yang dapat dikategorikan ke dalam jenis kepemilikan negara berdasarkan al-shari’ dan khalifah/negara berhak mengelolanya dengan pandangan ijtihadnya yakni:
(1) Harta ghanimah, anfal (harta yang diperoleh dari rampasan perang dengan orang kafir), fay’ (harta yang diperoleh dari lawan tanpa pertempuran) dan khumus;
(2)  Harta yang berasal dari kharaj (hak kaum muslim atas tanah yang diperoleh dari orang kafir, baik melalui peperangan atau tidak);
(3)   Harta yang berasal dari jizyah (hak yang diberikan Allah kepada kaum muslim dari orang kafir sebagai tunduknya mereka kepada Islam);
(4)  Harta yang berasal dari daribah (pajak);
(5)  Harta yang berasal dari ushur (pajak pemasaran yang diambil pemerinyah dari penjualyang melewati batas wilayahnya dengan pungutan yang diklasifikasikan menurut agamanya);
(6)  Harta yang tidak ada ahli warisnya atau keunggulan harta dari sisa waris (amwal al-fadla);
(7) Harta yang ditinggalkan oleh orang-orang murtad;
(8)  Harta yang diperoleh secara tidak sah para penguasa, pegawai negara, harta yang didapat tidak sejalan dengan shara’;
(9)  Harta lain milik negara, semisal: padang pasir, gunung, pantai, bahari dan tanah mati yang tidak ada pemiliknya.

  Ketika Orang Tionghoa Indonesia, Terhadap Negara

KESIMPULAN :

Hukum benda menurut perspektif Islam tidak jauh berlainan dengan KUHP, arti benda menurut Dr. Muhammad Yusuf  Musa yaitu segala sesuatu yang dapat dimiliki oleh manusia dan keberadaannya memperlihatkan faedah bagi kehidupan. Hukum benda atau hukum kebendaaan ialah serangkaian ketentuan hukum yang mengendalikan korelasi aturan secara  eksklusif antara seseorang dengan benda, yang melahirkan aneka macam hak kebendaan. Hak kebendaan menawarkan kekuatan pribadi kepada seseorang dalam penguasaan dan kepemilikan atas sesuatu benda dimanapun bendanya berada. Dengan kata lain aturan benda atau aturan kebendaan adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengontrol tentang kebendaan atau yang berhubungan dengan benda.
Milik yaitu penguasaan kepada sesuatu, yang penguasanya dapat melaksanakan sendiri tindakan kepada sesuatu yang dikuasainya itu dan dan mampu dirasakan keuntungannya jika tidak ada hambatan syarak. Hikmah Kepemilikan:
a. Terciptanya rasa aman dan tentram dalam kehidupan bermasyarakat.
b. Terlindungnya hak-hak individu secara baik.
c. Menumbuhkan sikap kepedulian terhadap kemudahan-fasilitas lazim.
d. Timbulnya rasa kepedulian sosial yang makin tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
(diakses pada Rabu, 13 April 2016, 15.05 pm ).
(diakses pada Rabu, 13 April 2016, 15.07 pm).
https://ridhamujahidahulumuddin.wordpress.com/2015/12/15/aturan-benda-berdasarkan-perspektif-islam/  (diakses pada Kamis, 14 April 2016, 03.05 am).