Kaidah fiqih merupakan kaidah-kaidah yang berasal dari akhir dalil Al-Alquran dan sunnah berdasarkan rumusan ulama’ terkait aturan – aturan fiqh. Ada aneka macam kaidah fiqh yang dihasilkan oleh para ulama. Namun, ada 5 kaidah lazim yang utama. Lima kaidah ini sering disebut selaku al-qawaid al-fiqhiyah al-kubra. Dari 5 kaidah memiliki turunan kaidah lanjutan sebanyak 40. Kaidah yang ketujuh yaitu
اْلأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ
“Asalnya itu tetapnya sesuatu atas sesuatu”
Implementasi kaidah di atas ialah sebagai berikut :
- Barang siapa yang makan sahur diakhir malam dan sangsi sudah muncul fajar, maka sah puasanya, sebab bahwasanya asalnya yakni masih tetapnya malam.
- Barang siapa yang berbuka puasa diakhir siang dengan tanpa ijtihad, dan ia raguragu pada terbenamnya matahari, maka batal puasanya, sebab bantu-membantu asalnya yaitu masih tetapnya siang.
- Kedua suami istri hidup sukar dalam waktu yang cukup lama, lalu istrinya menggugat suaminya tidak pernah memberikannya busana, dan nafkah, maka ucapan yang dipegang yaitu ucapan si istri itu, karena pakaian dan nafkah itu berada pada tanggungan suaminya dan suami tidak dapat memenuhi keduanya (pakaian dan nafkah)
- Suami istri yang berselisih/berseteru perihal dilema tamkin (perlakuan istri melayani suami), maka ucapan yang dipegang adalah ucapan suami, alasannya asalnya itu tidak adanya tamkin, maka tidak wajib bagi suami untuk memperlihatkan nafkah, sebab nafkah itu wajib jika adanya tamkin.
- Seseorang yang sudah berbelanja air kemudian menggugat bahwa air itu najis, dan hendak mengembalikannya, maka ucapan yang harus dipegang yakni ucapan si pedagang , alasannya adalah bahu-membahu asalnya air itu yakni suci.
- Seseorang yang mencurigai air suci yang berganti, apakah perubahan itu sedikit atau banyak, maka air itu masih tetap suci.